Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XXVIII | END

Pernikahan Arya dan Andrea dirayakan selama tiga hari dua malam. Mempelai pria dan wanita itu kini tengah terkapar lemah di atas ranjang besar. Setelah acara selesai, Arya memboyong Andrea langsung ke Bintaro. Tidak luput dari para awak media yang menyorot pernikahannya.

Sudah! Arya berjanji ia tidak akan menikah lagi! Mengurus pernikahan yang katanya satu kali seumur hidup saja sudah mau membuatnya mati. Menikahi anak orang lain memang sangat luar biasa, jelas ia menikahi seorang Lubis dari turunan Matteo Lubis yang besar kepala dan tidak mau diremehkan.

Betapa beruntungnya Andrea. Di sisi lain Arya terus berjuang mempertahankan Andrea agar menjadi miliknya. Matteo tidak akan pernah semudah itu memberikan Andrea padanya, di lihat dari beberapa bulan sebelum pernikahan Matteo selalu mengawasinya.

Ya bagaimana lagi? Arya cinta pada Andrea. Jika dengan wanita lain tidak ada rasa ingin melindungi dan memiliki, dengan Andrea ia merasakan hal berbeda. Arya ingin memiliki Andrea, melindunginya, mencintainya. Mungkin, itu adalah salah satu dari berbagai alasan ia menikahi Andrea.

Arya salut, pada pria yang memiliki lebih dari satu istri. Sekarang ia adalah kepala rumah tangga, ia adalah pemimpin untuk Andrea. Arya akan bertemu, melihat, dan terus menerus bersama Andrea sepanjang hidupnya. Sebelum menikah Arya selalu bertanya, apa tidak bosan melihat orang yang sama seumur hidup?

Tapi ternyata tidak, ia bisa melihat Nenek dan Kakeknya bersama selama hidup mereka. Tidak ada kata bosan, membantu satu sama lain, memecahkan masalah hidup satu persatu, melewati kesedihan, kesenangan, kesuksesan, kegagalan dengan bersama.

Lalu kenapa Arya pernah skeptis akan pernikahan? Jawabannya adalah kedua orangtuanya. Arana dan Pradipta adalah contoh darimana sebuah pernikahan hanya permainan semata.

Ia hanya berharap dengan Andrea bisa melewati segala rintangan yang ada. Karena menikah bukan hanya soal membayangkan hidup yang indah dengan orang yang kita inginkan. Menyatukan dua kepala dengan sifat yang berbeda bukanlah hal yang mudah, Arya sudah diperingatkan hal itu oleh Marshall sahabatnya.

Mungkin saja perdebatan, pertengkaran bisa muncul karena kekerasan kepala dari pihak lain.

"Arya," ujar Andrea yang baru saja melepaskan heels-nya. "Kamu mau sampai kapan bengong gitu? Mandi gih,"

Arya menggulingkan tubuhnya ke sisi kanan, melihat Andrea yang sudah menghapus seluruh makeup wajahnya.

"Aku nggak mau nikah lagi, Yang. Capek banget." keluh Arya.

Andrea tersenyum geli. "Itu kenapa ada kata menikah seumur hidup sekali, aku juga nggak mau kalau menikah ternyata serumit ini. Astaga, sudah 23 tahun aku ini ya.."

Arya mengerutkan keningnya heran. "Kok kamu jadi bahas umur?"

Andrea menggidikkan bahunya. "Aku nggak nyangka aja, 1 tahun di Jakarta aku malah dapat pasangan."

Arya kini menatap Andrea dengan curiga. "Jangan bilang kamu nyesel nikah sama aku?"

Andrea tertawa geli mendengarnya. "Nggak lah! Kamu ini aneh-aneh aja sih, Ya. Sana mandi deh, nanti kita gantian."

"Mandi bareng aja," sahut Arya.

Andrea melemparkan bantal ke wajah Arya. "Nggak mau, Ya!"

"Kenapa sih? Mandi doang!"

"Aku nggak pernah mandi sama pria sebelumnya. Kamu ini jangan gila deh!"

Arya berdecak malas. "Sudah ini juga percuma, bakal keringatan lagi."

"Keringat? Memang ngapain? AC kamar kamu ini dingin Arya, udah jangan ngoceh terus. Kamu kayaknya capek jadi nggak nyambung."

Arya ternganga, lihat betapa polos nan begonya Andrea. Ah, terserah lah percuma jika Arya menjelaskan panjang lebar pada Andrea, lebih baik ia langsung bertindak menelanjangi Andrea saja.

"Kamu lama ya, Ya! Aku mandi duluan!" teriak Andrea yang sudah masuk kamar mandi.

Arya menghela napasnya pasrah. "Ah, malam pertama macam apa!" keluhnya sambil merebahkan tubuhnya kembali.

...

...

Tidak ada yang terjadi apapun tadi malam, Arya tepar, begitupun dengan Andrea. Keduanya bahkan bangun terlambat dan kini Andrea tengah memasak sarapan yang terlambat itu.

Arya menghampiri Andrea ke dapur dan memeluk Andrea dari belakang. "Morning," sapa Arya mencium pipi Andrea.

Andrea mengerutkan hidungnya. "Bukan pagi lagi deh, Ya. Udah bantu aku siapin piring di sana."

Arya ingin mengumpat, ia baru ingat kalau ia harus mencari ART setelah ini. "Kamu ini nggak bisa diajak romantis ya, Ndre."

Andrea tersenyum jahil. "Iya nanti dong, Ya.. Aku kan lagi masak, sini deh." kata Andrea memanggil Arya agar mendekatinya lagi.

Arya mendekati Andrea dengan wajah malas, Andrea tahu Arya akan marah jika pria itu dihiraukan olehnya terus menerus.

Andrea mencium wajah Arya yang mulai dipenuhi oleh jambang kasar itu. "The first kiss buat suami aku."

Arya mengangkat alisnya, tak mau terpancing oleh gombalan Andrea ia kembali mencium pipi Andrea. "Okay, setelah makan kita bicara."

Andrea mengangguk. "Okay,"

Arya pergi menuju ruang makan, Andrea memasak soto betawi, teri kacang balado yang Arya sudah minta sejak dulu baru dimasakkan oleh Andrea kali ini, setelah menjadi istrinya.

"Kamu bikin teri kacang? Kok aku nggak tahu?"

"Kamu baru keluar kamar tadi, Sayang. Udah makan aja, keburu dingin."

Arya tersenyum pada istrinya. "Aku minta teri kacang sebelum nikah, baru dibuatin sekarang."

"Sengaja," timpal Andrea.

"Sengaja?"

"Iya, itu makanan yang kamu pengen, jadi aku buatnya setelah kamu jadi suami aku."

Arya mengambil sendoknya dan mulai memakan makanannya. "Tahu gini aku nikahin kamu dari kemarin!"

Andrea membulatkan matanya. "Jadi kamu mau nikahin aku gara-gara teri kacang? Lucu banget, Ya.."

Arya tertawa mendengarnya, makan bersama pertama setelah menjadi suami istri itu terjadi begitu hangat. Arya sudah meminta pada Andrea agar mereka berdua menghabiskan waktu berdua lebih banyak sebelum mereka dikaruniai anak.

Karena ceritanya akan beda jika Andrea sudah mengandung nanti. Banyak hal yang akan Arya pikirkan, termasuk menjaga Andrea lebih ekstra.

"Sayang," panggil Arya kini ketika mereka berdua telah selesai makan.

Andrea mendongak, posisi keduanya tengah berada di ruang tengah menonton playlist Netflix kesukaan Andrea. Yang mereka lakukan tidak jauh berbeda saat berpacaran.

"Mau bulan madu?" tawar Arya.

Andrea menggeleng. Arya tidak percaya jika Andrea malah tidak menyukai ajakannya. "Buang-buang uang, Sayang. Dipakai yang lain aja ya, uangnya?"

"Kan namanya juga pengantin baru, Sayang. Orang lain pun pergi, waktu Fazan sama Indira menikah mereka dapat hadiah bulan madu dari aku ke Turki."

Andrea menghela napasnya. "Kamu mau?"

"Ya kalau kamu mau, aku siap aja, sih." jawab Arya sambil menciumi kepala Andrea.

"Nggak deh, uangnya pakai sedekah aja gimana? Kita sedekah ke panti asuhan, uhm.. Kasih sumbangan buat sekolah anak-anak difabel? Atau, mungkin kita kasih dana buat panti jompo? Iya, kan? Itu lebih baik, Sayang."

Entah, Arya harus senang atau terharu. Ia senang mendapatkan istri dengan hati sebesar Andrea, sementara itu Arya terpukau dengan kesederhanaan Andrea.

Pernah sekali ketika Arya membelikan jam tangan mahal untuk Andrea, bukannya senang gadis itu malah marah kepadanya.

"Tahu nggak, Ya? Pakaian mahal, barang mahal yang dipakai tidak akan menjamin kepribadian seseorang itu baik. Bukan hanya dari apa yang diperlihatkan, betapa mahalnya suatu barang dan nama yang kita pakai tidak akan membantu apa-apa. Buat apa sih uang sebanyak itu kamu belikan hanya untuk satu jam tangan? Di luar sana masih banyak yang memerlukan bantuan, kenapa nggak kamu kasih sama mereka saja? Bantu mereka yang lebih membutuhkan."

Dan sejak saat itu Arya tidak mau memberikan barang mahal kecuali jika Andrea yang memintanya.

"Sayang, kamu tahu kalau aku nggak akan pernah bisa ngehapus semua orang miskin," ujar Arya kini.

Andrea menatap Arya. "Memang siapa yang bilang kamu harus hapus orang miskin? Arya.. Apa untungnya kita mampu tapi kalau kita nggak bisa bantu sesama?"

Arya mengecup pelipis Andrea yang tengah mengomel. "Okay, aku ikutin kamu."

"Bukan aku menolak kesenangan, tapi terkadang.. Kesenangan perlu dikesampingkan, Arya. Aku senang dengan pernikahan ini, to be honest aku bahagia bisa menjadi istri kamu." kata Andrea sambil menyentuh rahang Arya. "Tapi hidup kita nggak buat hari ini saja, kan? Dipakai buat hal bermanfaat akan bawa dampak baik untuk hubungan kita. Itu maksudku."

Arya mencium wajah Andrea sekali lagi. "Kenapa kamu pintar ngomong begini sih, Sayang?"

Andrea merasa geli karena bulu-bulu kasar milik Arya. "Ya gimana, ya? Aku udah biasa kayak begitu sama Ibu sejak dulu. Maaf, aku nggak akan mengubah kamu kok, Sayang. Gaya hidup kamu yang dulu, jelas itu milik kamu, aku nggak akan melarang, cuman.. Membatasi aja."

Arya terkekeh pelan mendengarnya. "Kamu benar, sejak aku sama kamu Marshall jadi banyak ngomel."

Kening Andrea berkerut. "Kok bisa begitu?"

"Kata dia, kamu bikin jiwa ilahi ku datang, Sayang. Dia kan senang banget kalau udah ajak aku beli motor, mobil dan segala macam. Tahunya, aku beneran berhenti setelah kenal sama kamu."

Andrea tertawa puas dan kini memandang Arya. "Ya, motor kamu aja di garasi ada empat, besar pula! Aku udah jelas nggak akan bisa pakai motor kamu, terus delapan mobil yang ada di carport sama garasi itu apa, Ya? Kamu nggak akan setiap hari bisa bawa kedelapan mobil itu."

"Iya makanya, aku nggak beli mobil lagi kan?"

Andrea mengangguk dan kembali memeluk Arya. "Kecuali.." tambah Arya.

"Kecuali?"

"Kalau kita punya anak, dan kita punya keluarga kecil aku harus beli mobil yang nyaman."

Andrea tersipu malu dan mencubit perut Arya. "Bebas kamu, Ya.."

"Jadi.. Gimana?" tanya Arya lagi.

Andrea kini menatap Arya penuh antisipasi. "Gimana apanya?"

Arya menarik napasnya. "Aku harus lebih ngajari kamu ekstra, Ndre. Ini maksudku,"

Arya langsung mencium bibir Andrea tanpa babibu. Ia tidak mau menjelaskan panjang lebar bagaimana kewajiban suami istri yang harus dilakukan setelah menikah.

Andrea paham apa maksud Arya, ia hanya tidak menyangka kalau Arya akan memintanya secepat ini. Sejak semalam ia berpikir keras di kamar mandi, bagaimana menjawab pertanyaan jika Arya mengajaknya. Saran dari Rani dan Kaia, ia cukup diam saja, dan minta diajari. Tapi sayangnya Andrea bukan perempuan yang akan kurang ajar beraninya meminta pada suami.

Andrea menerima semua sentuhan yang Arya lakukan pada tubuhnya, menyerahkan diri adalah jalan satu-satunya. Ketika Arya mulai mencumbu bagian yang lain, ia hanya berharap erangan anehnya menghilang. Tapi ternyata tidak bisa.

"Andrea," geram Arya dengan suara beratnya.

Andrea menyentuh lengan besar Arya yang keras, pria itu tengah menahan bobot tubuhnya sendiri agar tidak menindihi Andrea. Tolong ingatkan lagi, mereka sedang berada di sofa ruang tengah.

Kedua mata abu-abu Arya menatapnya dengan dalam, seakan semua hasrat kini berkumpul di wajah pria itu. Andrea memberanikan diri menyentuh kedua sisi wajah Arya dengan kedua tangannya yang gemetar, menelusuri dada bidang pria itu dan menatap Arya sekali lagi.

"Arya," panggil Andrea.

Arya tidak bisa lagi menahan semuanya ketika aroma tubuh Andrea menyeruak dan suara gadis itu memenuhi telinganya, Arya mencium Andrea kembali dan hanya tersenyum tipis, dalam hatinya ia bersyukur karena hidupnya benar-benar telah lengkap. Sejak dulu hingga saat ini, Tuhan telah menyiapkan kebahagiaan yang Andrea idam-idamkan dalam hatinya, dan Tuhan telah mempersiapkan kebahagiaan yang Arya cari selama ini.

15 tahun kemudian..

"Renuka, kembalikan mobil, ATM, dan fasilitas yang sudah Papamu berikan pada kamu,"

Suara Andrea yang terdengar kalem, namun membuat suasana menakutkan itu membuat putri sulungnya Renuka diam. Renuka Baiduri Atmodjo adalah putri sulung dari Arya dan Andrea. Andrea tidak mengerti, gen bebal mana asalnya sikap Renuka. Renuka keras kepala, sulit diatur dan lagi, tukang foya-foya.

Jika bisa, Andrea hanya ingin membatasi uang jajan Renuka sebesar dua puluh ribu. Tapi, suaminya Arya tidak akan pernah membiarkan putrinya memegang uang sedikit. Seperti anak keduanya, Anjali Listuhayu Atmodjo masih berusia tiga belas tahun yang terlalu pasif dan tidak peduli, barangkali senyum pun hanya satu kali dalam setahun. Lalu, anak ketiganya Raka Praditya Atmodjo, si bandel berusia tujuh tahun yang selalu melawan dirinya.

"Aku cuman beli motor gede apa salahnya sih, Ma?" protes Renuka pada Andrea.

Andrea menghela napasnya kesal sambil berkacak pinggang. Ia melihat kedatangan suaminya, Arya dengan anak ketiganya Raka yang baru saja pulang dari rumah Kakek mereka.

"Kamu tanya apa salahnya? Kamu perempuan, Renuka. Apa kamu nggak berpikir sebelum membelinya? Motor gede, dan.. Oh Tuhan, Mama tahu kamu tinggi.. Renuka, tapi kalau kamu bawa motor itu dan dipakai balap, apa Mama nggak berpikiran hal yang ditakutkan?"

"Nggak, Ma.. Aku janji nggak akan balapan!" ujar Renuka membalas dirinya.

Andrea tetap menggelengkan kepalanya dan meminta bantuan pada putri keduanya, Anjali. "Anjali, bantu Mama beritahu Mbak kamu kalau dia nggak bisa-"

"Terserah Renu saja, Ma." balas Anjali memotong ucapan Andrea. "Kalau dia celaka, dia yang bakal rasain sendiri kok."

Lihat, betapa pedasnya mulut Anjali. Namanya boleh cantik, tapi mulutnya sangat tajam. Karena ucapan Anjali itu lah yang mengundang sorot mata tajam dari Renuka.

"Apa lo bilang?! Lo doain gue celaka?" tanya Renuka menuntut jawaban dari Anjali.

Anjali menatap Renuka dengan dingin. "Iya, lo kan memang nggak akan kapok kalau belum ngerasain getahnya." balas Anjali tanpa rasa takut.

Renuka mendengus kasar, lalu Andrea berjalan mendekati Renuka dan menengadahkan tangan kanannya. "Mana?" tagih Andrea.

Renuka lagi-lagi merasa kesal. "Apa sih, Ma?"

"Kunci mobil, ATM, dan dompet kamu."

"Ma! Aku sudah lima belas tahun!" jawab Renuka.

"Belum cukup dewasa untuk bisa naik motor gede ke jalan raya." balas Andrea tidak mau kalah. "Lagian kamu beli motor gede itu atas nama siapa, Renuka? Siapa yang mendukung kamu?"

Renuka melipat kedua tangannya di dada dengan wajah malas dia membalas Andrea. "Om Marshall."

"Apa?!" teriak Andrea.

Teriakan Andrea berhasil mengundang Arya mendekat dengan anak bungsunya.

"Ada apa lagi ini?" tanya Arya tanpa rasa takut.

Anjali menutup MacBook Air-nya dan dengan malas ia mengajak adik bungsunya, Raka. "Raka, ikut sama Mbak ke kamar yuk, biarin Renu di sidang sama Mama dan Papa."

Raka hanya mengangguk saja, sementara Renuka sudah mengepalkan kedua tangannya dan menatap Anjali tajam.

Andrea duduk di depan Renuka dan menunjuk putrinya. "Tanya aja sama kamu sendiri, Ya. Pusing kepala aku, kamu nggak lihat di garasi tadi ada apa?"

Arya menggelengkan kepalanya dengan wajah polos. "Nggak, aku nggak lihat apa-apa. Kenapa memangnya? Renuka buat salah apa lagi?"

"Aku nggak salah, Pa!" teriak Renuka membela dirinya sendiri. "Aku cuman beli motor!"

"Dan itu motor gede, Arya!" tambah Andrea.

Arya menganga tidak percaya menatap putrinya. "Kamu beli motor?"

Renuka mengangguk dengan wajah kesalnya. "Iya,"

"Sama siapa?" tanya Arya lagi.

"Om Marshall."

Arya terkekeh pelan, karena reaksi Arya yang terlalu santai itu membuat Andrea menajamkan matanya dan menatap Arya dengan kesal.

"Kamu nggak marah, Ya?" tanya Andrea sinis.

Arya menggelengkan kepalanya. "Nggak, apa salahnya, Sayang? Motornya bisa Renuka pakai kalau dia sudah tujuh belas tahun."

Semudah itu? Batin Andrea berkata. Jadi, sejak tadi ia marah-marah itu percuma. Karena ketiga anak mereka akan selalu ada yang mendukung, siapa lagi kalau bukan Papanya sendiri?

Andrea merasa kesal, Arya jika sudah seperti ini tidak akan bisa apa-apa dan akan kalah dengan keinginan seorang anak. Arya tidak akan bisa tegas karena kalah dengan rasa sayangnya. Andrea tahu, betapa gilanya Arya jika sudah menyangkut urusan anaknya. Tapi jika soal Renuka, itu lain lagi.

Andrea sudah berapa kali menemukan dan membereskan masalah Renuka selama ini? Tapi Arya sepertinya memang tidak akan pernah mengerti ketakutan seorang Ibu pada anak perempuannya.

Arya menatap Andrea dengan hati-hati dan berkata. "Aku salah lagi ya, Sayang?"

Andrea menggelengkan kepalanya dan berdecak. Lalu ia berdiri dengan wajah acuh Andrea menatap Renuka dan Arya bersamaan. "Terserah kalian saja, Mama pusing."

Renuka dan Arya hanya diam memandang kepergian Andrea dari living room. Renuka hanya tersenyum masam dan berkata.

"Pa, kalau ATM ini diambil sama Mama, Papa masih mau kasih aku ATM yang lain, kan?" tanya Renuka dengan hati-hati.

Baru saja Arya menganggukkan kepalanya, teriakan Andrea terdengar begitu saja. "Renuka! Mama bisa dengar apa yang kamu minta sama Papa kamu! Jangan bodoh-bodohi Mama lagi!"

Arya hanya tersentak ditempatnya dan menatap Renuka dengan perasaan tidak berdaya. "Maaf ya, Sayang. Kayaknya Mama marah banget-"

"Ya, dan Papa takut banget sama Mama." lanjut Renuka dengan nada menyebalkan. "Aku tahu kok, Pa. Tapi.. Mama kok tambah galak aja sih, Pa?"

"Memang kenapa kalau Mama galak? Mama galak sama kamu karena dia khawatir, Renu." balas Arya dengan tenang.

Renuka menggelengkan kepalanya. "Nggak, tapi yang aku ingat.. Kalau Mama galak, artinya dia lagi.. Hamil. Waktu hamil Raka aja Mama galak banget, masalah sepele aja jadi besar, jangan-jangan Mama hamil lagi ya, Pa?"

Arya terdiam, tidak bisa menjawab ataupun berpikir. Selama dua minggu ini, Arya pun selalu terkena semprot Andrea, entah itu karena pulang kerjanya yang telat, atau ketika Arya terlalu lama di ruang kerja dan segala hal yang berhubungan dengan mulainya dengan sumber masalah, selama dua minggu ini Andrea sudah menjadi wanita yang resek.

Benar, kapan juga Andrea menjadi pemarah? Bahkan tadi pun Andrea tidak menyapa dirinya seperti biasa.

"Renuka," panggil Arya dengan hati-hati. "Kalau Mama kamu hamil, dan kamu punya adik lagi, artinya Papa akan habis selama sembilan bulan ini."

Renuka hanya tertawa keras, sangking kerasnya tawa Renuka hal itu membuat Arya ikut tertawa dan berlari menyusul istrinya yang sudah masuk kamar.

"Sayang! Kamu hamil lagi, ya? Kok nggak bilang sama aku?" teriak Arya.

"Kamu yang hamilin aku, Ya! Berisik atau aku pindah ke rumah Ibu sama Ayah!" ancam Andrea dari dalam kamar.

Arya tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Astaga, ia akan menjadi Ayah untuk keempat kalinya.

Ia harus bersyukur, bukan? Ya, Arya sangat bersyukur dan bahagia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro