XXIV
Andrea diam tak bisa berbicara, setelah melihat apa yang terjadi di depannya kini adalah Ayahnya baru saja melamar Ibunya kembali untuk hidup bersama layaknya sepasang suami istri.
Ia patut acungi jempol untuk keberanian Ayahnya, dan lagi bersatunya Matteo dan Zoya yang sudah berpisah sekian lamanya. Banyak rasa sakit yang harus mereka lewati, tujuh belas tahun tanpa kasih sayang seorang Ayah, ataupun Ibunya yang tidak pernah memiliki seseorang yang ia butuhkan dengan benar.
Zoya memeluk Matteo, Andrea menahan tangis harunya. Ia senang, bukan main! Mimpinya menjadi kenyataan, semua masalah yang terjadi di masa lalu menjadi arti. Kepingan rindu itu menyatu, waktu tidak pernah berusaha memisahkan, tapi kehendak setiap manusia yang memisahkan apa yang harusnya tidak terpisah.
Semuanya benar-benar menjadi arti.
"I want to live with you, Matteo." kata Zoya pada suaminya.
Matteo yang tengah memeluk Zoya itu melirik putrinya Andrea yang tengah memandangi mereka dengan penuh arti.
"Come here," kata Matteo pada Zoya.
Andrea menghampiri mereka. Ibunya terlihat malu-malu berada di pelukan Matteo. "Everything gonna be okay, kan?"
"Iya," jawab Zoya mencium pipi Andrea.
Andrea menoleh pada Arya yang tengah tersenyum kini. "Yes spending time together, before I'll take Andrea for mine." ujar Arya pada Matteo.
Matteo menggeleng. "Tidak semudah itu, Boy."
"Oh, ya? I thought, Tante Zoya already agreed."
"Benar begitu?" tanya Matteo pada Zoya.
Andrea merasa malu, Arya meminta langsung kepada orangtuanya dan kenapa pria itu bersikap manis disaat keadaan begitu menyenangkan?
Zoya mengangguk. "For the first, jadi pacar Andrea yang baik ya."
Arya mengangkat tangannya ke udara. "Yes! You see?" tanyanya pada Matteo. "Tante Zoya memang lebih bijak daripada Om."
"Oh what? Apa Andrea mau bersama kamu?" tanya Matteo balik.
Kini semua orang menatap Andrea dengan penasaran. "Oh.. A..aku, itu, anu." jawabnya gugup.
Zoya mengelus puncak kepala Andrea dan berkata. "Setidaknya, kalau ada yang menyakiti kamu, sekarang ada Ayahmu yang akan melindungi kamu langsung di depan."
"Oh, jadi selama ini kamu takut?" kata Matteo pada Zoya.
Zoya mengangguk, mengurus gadis layaknya Andrea memang sulit. Tapi ia cukup beruntung karena Andrea bukan anak yang bebal.
"Iya lah, kamu pikir setelah aku pergi dan membawa Andrea aku bisa tenang? Dia seorang gadis, Matteo. Dan aku mengajarinya begitu ketat, apa lagi jika sudah menyangkut seorang pria."
Andrea mengangguk menyetujuinya. "Itu alasan kenapa aku jomblo sampai sekarang."
"Tapi sekarang kamu punya aku!" balas Arya cepat.
Wajah pria itu terlihat sumringah, Andrea tak yakin bahwa Arya baik-baik saja dengan otaknya hari ini. Membuat Ayahnya kesal, merencanakan lamaran untuk Ayah dan Ibunya, lalu sekarang pria itu meminta dirinya langsung pada kedua orangtuanya.
Matteo menghela napasnya pasrah, ia berjalan menuju Arya yang tengah memasang wajah sempurna bahagia itu. "Sebenarnya Om belum siap kasih Natte buat kamu. Momen Natte dan Om masih belum banyak."
Arya berdecih mendengarnya. "Aku bukan merebut Andrea, kalau Om pikir pun Andrea masih tetap anak Om jika dia menjadi milikku."
"Dan bahkan kamu sudah berani mengklaim Andrea." balas Matteo sinis.
"Ya bagaimana lagi?" jawab Arya yang kini sudah menggandeng tangan Andrea.
Kedua pipi Andrea memanas, ia melihat Arya dengan gemas. Ia tak menyangka jika Arya akan secepat ini dalam bertindak, ia pun perlu pengenalan lebih jauh.
"Ayo, kita pergi dari sini dan tinggalkan Ayah dan Ibumu." ajak Arya.
Andrea kebingungan. "Memang kita mau kemana?"
"Kemana? Kamu mau kemana? Kita kencan, aku dan kamu belum pernah berkencan sebelumnya."
Matteo membulatkan matanya, sementara Zoya tersenyum melihat keberanian Arya di depan suaminya.
"Ta..tapi, aku harus—"
"Udah, jangan banyak bicara." Arya menarik tangan Andrea dan kini Matteo berteriak namun tidak dipedulikan oleh keduanya.
Arya menggenggam tangan Andrea dan menatap gadis itu. "Kenapa, sih?"
"Kamu aneh banget deh, Arya. Kepikiran nggak sih, kalau kita tuh terlalu cepat?" tanya Andrea kini.
"Bukankah bagus? Lebih menghabiskan waktu kalau aku lama-lama bertindak pada kamu, Andrea. Kamu harus sadar, kamu bukan cewek yang mengerti kode dan flirting, sudah jangan banyak protes."
"Ih! Bukan begitu!" protes Andrea lagi.
Arya membuka pintu mobilnya. "Lalu bagaimana?"
"Terus kita sekarang itu apa?" tanya Andrea kini.
Arya tersenyum miring. "Pacar? Calon tunangan? Calon suami? Kamu bisa pilih sendiri." jawab Arya enteng.
Andrea menganga, ia menyusul memasuki mobil Arya dan keningnya berkerut melihat pria itu. Arya yang mengerti kebungkaman Andrea, ia membantu gadis itu memakai seat belt dan tersenyum penuh arti.
"Kepala kamu ini," ujar Arya yang sudah mengelus puncak kepala Andrea. "Sangat-sangat terlalu banyak berpikir. Aku nggak tahu spekulasi apa yang kamu buat, tapi aku berusaha untuk menjalani ini dengan serius, dan tentunya dengan kamu."
"Kenapa?" tanya Andrea.
Arya menarik napasnya, dan kini wajahnya begitu dekat dengan wajah Andrea yang terlihat menegang. "Selain karena itu kamu, aku nggak mau yang lain. Aku jatuh cinta sama anak bayi tujuh tahun lalu yang pernah aku ledek karena ingusnya."
Andrea membulatkan matanya. "Dan itu aku?!"
Arya mengangguk. "Hm, itu kamu." jawabnya sambil tersenyum. "Lalu kamu bekerja di kantorku, dengan nama asing yang tidak pernah aku ketahui. Sejak bayi, kamu bukan Andrea tapi Natte. Itu alasannya aku tidak mengenali kamu."
Andrea mengangguk setuju. "Ibu yang merubah panggilan aku, jadi.. Ini kita mau kemana?" tanya Andrea.
Arya tersenyum lagi dan bergerak untuk mencium pipi Andrea. "Bertemu dengan teman-temanku, aku mau mengenalkan kamu pada mereka."
"Okay," jawab Andrea pasrah.
Arya mulai menyalakan mobilnya, Andrea senang dengan semua sikap Arya yang selalu jelas jika menyangkut dirinya. Pria itu memang tak pernah banyak basa-basi dalam bertindak.
Andrea mengerti, jika dia bisa serius dan menanggapi hubungan ini dengan cepat, Arya akan mengajaknya menikah. Tapi Andrea jelas belum siap, ia ingin menikmati kebersamaannya dengan Arya. Jika memang benar pria itu jodohnya, Andrea pun takkan mengelak.
...
...
Marshall, Fazan, Indira, Benedict, Tarasya, menatap heran melihat kedatangan Arya dan Andrea yang tiba-tiba. Arya menggenggam tangan Andrea erat, dan hal itu menjadi atensi fokus semuanya yang kini tengah kumpul di rumah Indira dan Fazan.
Indira mengadakan acara syukuran kecil-kecilan setelah keberhasilan Teresa, anaknya memenangkan juara children ballerina.
"Andrea, kan?" tebak Marshall kini yang melihat perubahan Andrea.
Andrea mengangguk kaku, berbeda dengan Tarasya dan Benedict yang tak mengenal siapa Andrea di depannya.
Tarasya mengingat sesuatu dan ia. "Ah, apa dia ini yang—"
Fazan segera melemparkan tissue pada Tarasya agar tak meneruskan ucapannya. Bisa berabe jika yang sudah-sudah di bahas hari ini, Indira pun tak menyangka kalau saudara kembarnya benar-benar serius soal Andrea.
"Andrea, kenalkan ini Tarasya dan Ben suaminya." kata Indira memulai percakapan.
Andrea menerima jabatan tangan dari Tarasya dan Ben. Tarasya tersenyum penuh arti pada Arya.
"Kalian habis darimana?" tanya Indira penasaran melihat pakaian Arya dan Andrea yang cukup serasi.
Andrea memakai dress putih, sementara Arya memakai kaus putih beserta jeans hitamnya. "Oh, habis dari acara lamaran." jawab Arya enteng.
"Lamaran?!" tanya Marshall penasaran.
Arya mengangguk dan menunjuk Andrea. "Bokap dan Nyokap Andrea baru saja balikan, mereka rujuk hari ini."
"Oh, ya?! Om Matteo, kan? Aku tahu dari Mama sekilas." timpal Indira. "Congrats, Andrea.. Your parents have a new journey, kalau kamu kapan?" tanya Indira pada Andrea.
Andrea mengangkat alisnya tak mengerti, ia menatap Arya meminta bantuan. "Jangan tanya Andrea deh, jadi dimana keponakan gue paling cantik itu?" tanya Arya mengalihkan pembicaraan.
Arya pergi mencari Teresa, meninggalkan Andrea di ruang tengah bersama teman-temannya.
"Andrea kenal sama Arya darimana?" tanya Tarasya basa basi.
Andrea menatap Tarasya dengan hangat. "Oh, aku kenal Arya di kantor, dia Direktur di kantorku."
"Ya, CEO or Director ass." ledek Marshall kesal. "Kenapa lo mau sama Arya sih?" tanya Marshall pada Andrea.
Andrea menggeleng sebagai jawabannya. "Kalau aku tahu jawaban kenapa aku mau sama Arya, kayaknya hari ini aku nggak akan ada di sini. Alasan kenapa aku masih bingung pun, aku belum bisa cari alasan kenapa aku mau sama Arya."
Jawaban Andrea membingungkan bagi semua orang, tapi bagi Benedict sangat unik. "Arya pasti susah bikin kamu mengerti," timpal Benedict.
"Kok lo tahu?" tanya Arya yang baru saja datang tak berhasil menemukan keponakannya yang disabotase oleh orangtua Fazan.
"Kelihatan," jawab Benedict santai. "Andrea bukan tipe gadis yang suka ngemis cinta, dia sama kayak Zara,"
"Zara Felipe?" tanya Marshall.
Benedict mengangguk. "Ya, lo tahu kan, adik gue Walter kelimpungan karena Zara. Dan mungkin, Arya pun sama."
Andrea kesal mendengarnya, kenapa ia harus menjadi subjek utama di perbincangan ini?
"Berarti maksud lo si Arya yang ngemis sama Andrea?" timpal Marshall.
Semua orang memandang Arya, termasuk Andrea. "Hei! Perasaan memang aneh, kan? Gue suka sama Andrea saja bisa tiba-tiba begini." jawab Arya.
Andrea mengangguk cepat. "Ya, pasti kalian merasa aneh karena Arya dekat denganku."
Semua kini menggelengkan kepalanya, Benedict tertawa melihatnya. "Astaga, lihat deh, Sayang." katanya pada Tarasya. "Beda tipis banget sama Zara, astaga kayaknya kalian kembaran deh."
Tarasya memukul paha suaminya. "Kamu ini aneh banget deh, Ben! Ya memang orang tuh beda-beda sifatnya, dan Andrea memang bukan tipe cewek yang bakal teriak histeris lihat Arya. Udah aku bilang, kan? Semua orang yang keren, akan ada masanya tidak terlihat keren bagi seseorang. Ya, itu mungkin termasuk pada Andrea yang nggak mempan sama pesonanya Arya."
Fazan tertawa mendengarnya. "Lo sudah melempem ya, Ya. Andrea bahkan sangat biasa saja pada lo. Coba cewek-cewek lain, mereka akan sangat tergila-gila pada lo."
Arya hanya berdecak kesal mendengarnya, Indira tertawa dan merangkul Andrea. "Thanks Andrea, karena kamu adalah cewek paling normal yang pernah singgah di hidup Arya."
Andrea terkekeh pelan, ia menatap Arya dengan canggung.
"Nggak apa-apa, tenang aja.. Arya memang orangnya nggak bakal banyak bicara dan akan langsung menunjukkan keseriusannya." kata Indira menenangkan lagi.
"Ayo dong, Andrea.. Menurut lo, Arya ini gimana, sih?" tantang Tarasya.
Arya menatap Tarasya dengan kesal, membawa Andrea kumpul bersama temannya ternyata salah.
Andrea mengulum bibirnya ragu sebelum menjawab. Ia harus tahu, apa sebenarnya makna Arya ada dalam hidupnya. Mungkin, dengan cara ini Andrea akan menemukan sesuatu yang ia cari tentang Arya dalam hatinya?
"Hmm, Arya.." lirih Andrea pelan.
Arya menegang, ia tak percaya bahwa Andrea akan speak up di depan teman-temannya.
"Arya itu sebenarnya, baik? Ya, dia baik. Dulu, aku sebal banget kalau lihat dia yang selalu datang tiba-tiba dan minta hal-hal aneh, aku pikir.. Mungkin karena dia punya kedudukan, dia bisa melakukan apapun pada aku. Tapi aku berpikir lagi, sebenarnya apa mau dari seorang Arya Atmodjo? Ketika sudah mempunyai kekasih cantik di sisinya, wanita banyak menyukainya, dan dia adalah salah satu eligible bachelor yang berpengaruh di Indonesia."
Andrea menarik napasnya dan ia berusaha tersenyum. "Tapi sekarang aku nggak melihat dia seperti apa yang aku katakan tadi. Arya adalah Arya, mungkin memahaminya butuh waktu yang lama. Selama ini aku berpikir, kenapa harus aku diantara semua wanita yang menunggu perhatiannya agar bisa dilihat oleh Arya. Tapi, semakin banyak waktu untuk bicara dan bersama, aku jadi mengerti. Arya itu.. Sebuah adaptasi untuk aku."
Arya menatapnya lekat, Andrea mengulum senyumnya lagi sambil menatap mata abu-abu Arya. "Arya adalah adaptasi, kamu adalah adaptasi untuk aku." ulang Andrea pada Arya.
Indira menatap Andrea dengan haru, berbeda dengan Tarasya yang tercengang saat ini, ataupun Marshall yang terpukau mendengarkan penuturan Andrea.
"Aku jadi paham, apa itu perasaan. Setelah datang Arya, aku beradaptasi dengan perasaan itu. Terkadang, manusia dibutakan dengan ekspektasinya, dan aku nggak pernah mau menyentuh apa itu ekspektasi sebelum Arya ada. Rasanya.. Aku terlalu membawa perasaan, dan ternyata spekulasi temanku benar."
Arya masih menunggu lanjutan ucapan dari gadis yang sangat sederhana yang ada di sisinya itu. "Jatuh cinta, dan tragedi adalah satu. Dan aku menganggap Arya sebagai tragedi terbaik aku. Apa sih sebenarnya yang Arya lakukan? Tidak ada. Dia hanya mempertemukan aku dan Ayahku, menyatukan Ibu dan Ayahku, dan itu tidak ternilai untuk aku."
Indira menangis haru dan mengusap sudut matanya dengan jarinya. "Astaga Andrea, pantas saja Arya jatuh cinta sama kamu secepat ini, kamu memang... Ineffable banget."
"Aku sudah mengatakan hal itu sebelumnya, bukan?" kata Arya pada Indira. "I found everything, pada diri Andrea dalam waktu sekejap. Aku harus benar-benar bersyukur."
Fazan kini tersenyum penuh kemenangan, ia menatap Marshall sahabatnya yang kini tengah menahan amarahnya. Fazan tahu Marshall tengah berperang dengan egonya sendiri.
Arya adalah teman satu kepala dengan Marshall, melihat tujuan Arya yang sudah berubah dan berlabuh pada Andrea, Fazan yakin Marshall tidak akan menarik Arya ke dalam hasutan egonya sebagai pria.
"Aku sudah banyak bicara hari ini," kata Andrea tersipu malu. "Maaf, dan tadi yang bertanya Mbak Tarasya, that's my answer." jawab Andrea dengan ramah.
Tarasya mengangguk dan tersenyum senang, ia tenang ketika melihat Arya yang sudah menemukan apa yang ia cari selama ini.
"Kita pulang," ajak Arya bangkit dari sofa.
Arya menggandeng tangan Andrea dan membuat Andrea menatapnya dengan aneh. "Eh, tapi aku baru aja—"
"Nggak usah, lebih baik kita habiskan waktu berdua aja." jawab Arya dengan nada menyebalkan.
Kedua mata Arya mengerling pada Andrea dan membuat Andrea kesal sekaligus malu.
"Ya, ya, sana pergi!" usir Indira pada dua manusia itu. "Tentukan tanggal ya, Ya." tambah Indira.
Arya tidak memedulikan ledekan semua orang, ia tersenyum menggandeng tangan gadis sederhananya yang terlalu berharga.
"Mau makan apa sekarang?" tanya Arya.
Andrea tersenyum kesal menanggapi Arya. "Makanan mulu!"
"Memang apa lagi? Karena kamu nggak pernak banyak minta sama aku. Ya udah deh, aku tunggu apa maunya kamu." kata Arya sambil membuka pintu mobilnya untuk Andrea.
"Aku cuman ingin tetap menjadi orang yang kamu inginkan," jawabnya pada Arya.
Arya tersenyum lagi mendengarkan jawaban Andrea yang sangat manis, ia menggigit bibirnya dan mengalihkan tatapan matanya dari Andrea.
Gadis ini...
"Terima kasih," timpal Arya.
Kening Andrea berkerut. "For what?"
"Karena sudah tumbuh menjadi gadis yang pintar mengambil hati orang." ujar Arya pada Andrea.
"Terus saja bahas aku masih bayi!"
"Aku masih ingat wajah kamu saat bayi, bahkan ingus kamu yang turun dari sini," kata Arya sambil menyentuh hidung Andrea.
Andrea menepis tangan Arya. "Arya!"
"Ya, Natte?" jawab Arya menyebalkan.
Andrea tersenyum malu, kedua pipinya sudah terasa panas, pasti wajahnya memerah sempurna. Melihat Arya yang menutup pintu mobilnya, dan lalu berjalan di depan mobil dan memasuki mobilnya.
"Kita pergi sekarang?"
"Hmm, aku rasanya mau masakin kamu sesuatu." kata Andrea kini sambil memasang seat belt.
"That's good, itu yang aku tunggu dari tadi."
Andrea memukul bahu Arya dengan gemas, pria ini.. Selalu saja mempunyai ide untuk membuat Andrea memasak untuknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro