XXIII
Mengapa jatuh cinta pada Andrea bisa semudah itu? Arya sendiri tidak tahu jawabannya. Jika memang mencintai semudah ini, kenapa ia harus menunggu hingga waktu yang tepat dan membuat hidupnya terporos pada waktu yang tidak bisa ia temukan titiknya?
Selama ini sebenarnya apa yang Arya cari? Cinta? Mengenai cinta sendiri, ia merasa bahagia ketika mendapatkan seseorang yang bisa diklaim menjadi miliknya.
Katakan Arya lemah, ia tak bisa memilih mana wanita cerdas yang perlu ia cintai dan mana wanita pantas yang bisa ia dapatkan. Andrea, telah meruntuhkan semua standar tinggi yang Arya buat selama ini.
"Ternyata benar apa kata pepatah," sambar Marshall yang baru saja memilih stick golf-nya itu berjalan mendekatinya. "Orang jatuh cinta benar-benar akan berubah."
Fazan yang tengah menengadahkan wajahnya demi mendapatkan sinar matahari tersenyum menanggapi ucapan Marshall. "Ya, lo benar."
"Siapa?" tanya Arya dengan bodoh.
Marshall menggidikkan bahunya dan mulai bersiap posisi. "ART gue, Ya. Dia kayaknya lagi jatuh cinta, sangking lagi kena rona jatuh cintanya itu ART bawa aura baik buat semua orang."
Fazan tertawa mendengarkan kekesalan Marshall yang menjadi-jadi. "Tinggal bilang si Arya aja kenapa sih, Mar?"
Arya memegang stick golf dan memulai melakukan backswing pada bola yang ada di depannya. "Well, jadi kalian berdua membicarakan gue."
"Obviously, ya!" timpal Marshall kesal. "Apa sih yang membuat lo jadi beda begini, Ya? Apa jatuh cinta semenarik ini, ya?"
"Lo memang belum rasain gimana rasanya jatuh cinta ya, Mar."
"Memang, bagaimana? Gue tanya sama Arya aja deh, lo kan sudah jadi bibit bucin setelah menikah dengan Indira dan jawaban lo nggak fair buat gue dengar."
Fazan hanya mengangkat bahunya acuh dan membetulkan letak topinya. "Silakan, kepada Arya untuk memperjelas apa yang Anda rasakan pada Marshall si hati batu."
Arya mengganti stick golf-nya dengan stick hybrid. "Hm, jatuh cinta bisa membuat orang berubah ya? Ya jelas dong, Mar. Lo kira, karena cinta nggak akan ada yang berubah itu mustahil, lo nggak akan bisa menetapkan diri sebagai pihak paling benar dalam suatu hubungan, kan?"
"Itu artinya, cewek lo yang merubah pendirian lo, kan?" jawab Marshall skeptis.
"Hm, bisa di bilang iya. Untuk ukuran seseorang keras kepala bagi gue, merubah diri untuk mengimbangi wanita yang gue inginkan pasti akan gue lakukan." timpal Arya lagi dan ia melalukan backswing dengan tenaganya.
"Ya gue akan tetap menjawab kalau pada saat itu pendirian lo berubah hanya karena perempuan. How funny isn't?" ujar Marshall meremehkan. Marshall membuka sarung tangannya dan memandang Arya penuh rasa penasaran.
"Marshall," ujar Arya yang kini sudah meletakkan stick golf-nya di atas tanah. "Kenapa lo sekesal ini ketika membahas pendirian dan cinta. Lo tahu, kan? Kalau itu nggak ada hubungannya sama sekali?"
Fazan hanya terkekeh pelan mendengarnya. Marshall memang pria paling keras kepala yang tidak mau berubah hanya karena wanita. Menurutnya, seorang pria harus berpendirian teguh dan tidak goyah hanya karena wanita.
"Jujur, gue belum mengenal lama Andrea, tapi lo tahu nggak? Kalau orang bilang, dengan menikah seorang pria bisa berubah? Dan itu termasuk pada gue. Gue bahkan belum menikah, tapi gue ada keinginan untuk berubah menjadi lebih baik hanya karena Andrea."
"Jadi, menurut lo Andrea yang membuat lo lebih baik?" tanya Marshall dengan wajahnya yang menahan terik panas matahari.
Arya mengangguk. "Iya, coba deh Mar, gue pengen tahu pendapat lo. Esensi lo soal cewek, apa sih?"
Marshall terlihat berpikir, Fazan menunggu jawaban dari sahabatnya yang paling keras kepala itu. Bagus Arya membuka percakapan berbobot kali ini, karena biasanya Marshall paling anti jika sudah membicarakan tetek bengek percintaan.
"Nggak ada, selain cewek adalah orang penghancur mood dan suasana, dia adalah manusia yang paling harus gue hindari. Kasusnya sama, Ibu gue dan para wanita-wanita yang ada di bumi, tidak penting menurut gue." jawab Marshall telak.
Mereka bertiga berjalan menuju area paviliun, diman barang-barang mereka berada dan di jaga oleh para Caddy Girl.
"Kenapa pemikiran lo selalu begitu, Mar?" tanya Arya yang mulai terpancing.
Tontonan di mulai, batin Fazan.
Marshall mendengus setelah meneguk minuman isotonik dingin itu. "Wanita cantik, dan wanita-wanita lainnya hanya akan mengikuti stereotipe masyarakat. Like pencapaian wanita saat dewasa adalah, dia harus dapat suami yang mapan, kaya raya, pekerjaan bagus dan lingkungan yang bagus. Sempit, kan? Pekerjaan mereka hanya sekedar melayani, dan mengurus anak. That's it, membosankan."
"Jadi lo memang sudah skeptis tentang wanita dan pernikahan bukan?" tanya Arya lagi.
Marshall mengangguk. "Marriage life, kedengarannya buruk. Gue bukan manusia yang akan tahan pada satu komitmen."
"Nggak ada yang begitu, Mar. Di dalam setiap kehidupan, lo pasti akan menginginkan tempat untuk stay, kecuali kalau memang lo hanya akan hidup sendirian. Tanpa istri, tanpa anak, dan tanpa keinginan lo untuk membangun keluarga."
"I know, ada beberapa hal yang gue harus pikirkan, Ya. Pertama, menikah yang katanya menyempurnakan agama itu menurut gue nggak penting-penting amat. Pernikahan terjadi hanya untuk menyatukan dua manusia yang akan menghabiskan hidup satu sama lain, wasting time banget, nggak sih?"
Arya tersenyum kembali dan kini menatap Marshall. "Coba lo tanya sama Fazan, dia yang sudah menikah dengan adik gue. Bagaimana rasanya?"
"Gue?" tunjuk Fazan pada dirinya sendiri. "Kalau gue sendiri, menemukan Indira dan Teresa dalam hidup gue adalah kebahagiaan tersendiri untuk gue."
"Tapi pernikahan bukan lagi soal kebahagiaan saja!" kilah Marshall.
"Memang benar," timpal Arya setuju. "Apa yang orang maksudkan pernikahan lebih tepatnya menjalani hidup bersama, Mar. Bayangkan, kehidupan itu tidak selalu mulus. Tidak hanya masalah kehidupan, itu lah kenapa mental finansial, kesiapan diperlukan dalam dunia pernikahan."
"Dan gue nggak yakin akan menemukan wanita yang satu frekuensi dengan gue." jawab Marshall percaya diri.
Arya menghela napasnya kesal. "Hm, ya lo dan gue memang berbeda pendapat, Mar. Tapi Andrea, aneh nggak sih kalau gue bicara seperti ini? Andrea cewek sederhana yang bahkan bukan tipe gue, tapi ternyata gue merasa cocok sama dia?"
"Kenapa bisa?" tanya Marshall penasaran.
"Karena Andrea memiliki segala yang gue cari selama ini. Itu namanya tujuan." ujar Arya memperjelas kata-katanya. "Selama ini, hanya Tarasya yang ada dalam pikiran gue, meskipun gue sudah merubahnya kembali dan memfokuskan bahwa dia sahabat gue. Dan kedatangan Andrea membuat semuanya berubah."
"Nah, lo merasa berubah kan, karena cewek? Itu hal yang paling gue benci." kata Marshall yang berusaha teguh dengan pendiriannya.
Arya menghela napasnya. "Lo cuman belum bertemu sama orang yang tepat aja, Mar. Kalau lo sudah bertemu, lo nggak bakalan butuh wanita-wanita yang menemani lo setiap hari itu."
"Jelas mereka semua sama saja."
Arya menggelengkan kepalanya. "They're different, lo bakal rasain sendiri, Mar. Sudah ya, gue balik duluan mau jemput Andrea."
"Kemana lo?!" teriak Marshall kini.
Arya melambaikan tangannya tak peduli. "Spending time with Andrea. Kalau lo lupa, ini Saturday!"
Fazan tertawa melihat wajah Marshall yang menahan kesal. Arya hanya perlu waktu cepat demi memahami apa yang ia inginkan, sementara Marshall, pria itu membutuhkan waktu banyak hanya untuk memahami apa yang ingin ia lakukan dan kemana kakinya akan melangkah.
─
Arya menjemput Andrea di lobby kantor, gadis keras kepala itu baru saja membantu Produser Bima Sakti News, kebetulan Bima Sakti News adalah program yang menayangkan berita harian. Andrea menggantikan kreatif Bima Sakti News yang tengah cuti karena lahiran.
"Hi," sapa Arya pada Andrea ketika gadis itu memasuki mobil.
Andrea sudah memakai kacamata barunya yang kini terlihat sangat baik daripada sebelumnya, bingkainya tidak terlalu besar namun batangnya yang terbuat dari besi silver terlihat menarik bagi Andrea.
"Tahu, nggak?" kata Andrea tiba-tiba.
Arya menavigasi mobilnya dan segera keluar dari pekarangan kantor. "Orang-orang kantor bikin gosip baru. Semenjak kamu yang seret aku di party-nya Alexa dan Alexi itu!"
"Oh, ya?" tanya Arya antusias.
Andrea mengangguk cepat. "Ya! Kaia sampai marah sama aku, karena dia nggak percaya kalau aku memang nggak ada apa-apa sama aku. Tapi semua orang, bilang kalau aku punya secret affair sama kamu, Arya!"
"Oh ya bagus dong," timpal Arya dengan enteng.
"Kok bagus?"
"Karena dengan begitu, kamu nggak perlu takut orang-orang meremehkan dan mengerjai kamu, bukan? Kamu sekarang pacar dari CEO FGM."
Andrea mengernyitkan keningnya, pasti ada yang salah dari otak Arya. "Ih, nggak enak lah! Mereka semua membicarakan aku seolah-olah aku ini jadi bahan yang paling enak buat dighibahin."
Arya mengacak-acak surai Andrea dengan gemas. "How your day? Ah, ya, Mamaku bilang your Dad and your Mom was arrived at Sentul. Apa kamu mau ke sana?"
Andrea menggeleng dengan cemas. "Nggak deh, aku mau biarin mereka lebih banyak menghabiskan waktu berdua."
"That's good, ini waktunya kamu sama aku, sih. Mau makan apa sekarang? Makan di luar apa masak?"
Andrea menyipitkan matanya lagi memandang Arya. "Nggak biasanya kamu ajak aku makan di luar."
"Oh, belum pernah ya." ujar Arya dengan sengaja memancing kekesalan Andrea.
Andrea hanya memutarkan bola matanya dengan malas. "Nggak mau juga sih makan di luar. Seninya bagi aku, ya makan itu masak!"
"Bikin challenge?"
"For what?"
"Tonight, I'm cooking for you, gimana?" tawar Arya.
Andrea mengangkat alisnya ragu. "Serius?"
"Iya, have any request? Mau makan apa, bilang aja sama Chef Arya."
"Oh lagaknya!" ledek Andrea.
Arya tertawa puas. "Kamu itu jago banget kalau di dapur, Ndre.. Aku juga pengen lah!"
"Hm... Aku pengen sup Makassar." kata Andrea dengan enteng.
Kedua mata Arya membulat. "Sup Makassar? Kamu.. Pikir itu mudah?"
"Tuh kan, udah deh aku aja yang masak." bantah Andrea.
"No, no!" bantah Arya tak mau kalah. "This is my part, kamu hanya harus duduk, diam, menonton aku masak dan memberikan arahan padaku."
"Deal," jawab Andrea.
Arya tersenyum mendengarnya.
...
...
Karena bahan-bahan yang tidak memungkinkan, Andrea tidak memaksakan Arya agar memasak Sop Makassar untuknya. Ia hanya tengah melihat bagaimana Arya tengah membuat pasta yang sedang di buat oleh pria itu.
"Saus tomat, okay?" tanya Arya pada Andrea.
Andrea mengangguk. "Okay,"
Arya menumis semua bawang bombay dan daging cincang halus. Pria itu memasak dengan sederhana tapi anehnya Andrea suka melihatnya.
Gini ya rasanya jatuh cinta. Kata Andrea dalam hati. Hatinya senang, Andrea tidak bisa memungkiri pesona yang dimiliki oleh Arya.
"Tada!" kata Arya memberikan satu piring berisikan pasta yang sudah dihias oleh parutan keju di atasnya.
Andrea tersenyum senang, ia melihat Arya yang terlihat berbeda memakai apron putihnya. "Terima kasih, Pak."
"Your welcome, your pleasure is mine." kata Arya dengan gombal.
Andrea hanya tersenyum, lalu ia memperhatikan satu manusia yang sejak tadi tidak ia lihat.
"Michael dimana?" tanya Andrea penasaran.
Arya membuka apronnya dan duduk di hadapan Andrea. "Mic pulang ke Nice."
"Dia orang Nice? Oh pantas saja, rumah kamu sepi banget kalau nggak ada dia."
"Iya, dia memang cuman liburan aja sih niatnya. Mic berisik setiap kali datang, dan dia kebetulan hanya satu-satunya keluarga yang berasal dari Prancis, jadi wajar deh kadang berlebihan juga."
Andrea terkekeh mendengarnya. "Percaya sih, dari awal datang dia baik banget sama aku."
"Oh, ya? Mic banget sama kamu dan kamu suka sama dia?" tanya Arya tiba-tiba.
Andrea mengernyitkan keningnya bingung. "Gimana bisa? Apa kita bisa menyukai lebih dari satu orang?"
Arya menatapnya lekat dan pria itu menegaskan rahangnya. "Awas aja kalau kamu coba-coba."
"Eh? Coba-coba apa, sih?" tanya Andrea tak mengerti.
Arya berdeham dan meminum airnya, ia tersenyum dalam diam memerhatikan Andrea yang fokus pada makanannya.
Matteo Lubis sudah mengabari Arya dan meminta Arya agar menahan Andrea malam ini. Karena besok, Matteo berencana melamar Zoya kembali di hadapan Andrea.
Jadi, apa ia memiliki rencana yang sama untuk melamar Andrea? Apa bisa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro