XVI
"Andrea!" panggil Arya pagi itu di lobby.
Andrea menoleh dan tersenyum seperti biasa, ia menyadari satu hal, Arya tampak bersih dan sudah mencukur bulu-bulu halus yang terdapat di rahangnya. Pria itu terlihat semakin muda, dengan penampilan rapi siapapun pasti akan menyukai pria itu.
"Iya, Pak?"
Arya tersenyum ramah dan berkata. "Kamu nggak lupa, kan? Kalau saya mengatakan kalau kamu kekasih saya pada orangtua saya?"
Wajah Andrea terlihat menegang untuk sesaat, di saat yang bersamaan ia berjaga-jaga agar tak banyak orang yang mendengar percakapan mereka. "Pak, kita bicarakan ini di tempat lain,"
"Nggak," kata Arya memaksa. "Kamu bisa izin hari ini untuk tidak bekerja, benar?"
Mata Andrea membulat, Arya ini seenaknya saja. "Nggak bisa, Pak. Astaga—"
"Kamu sudah menyelesaikan semua script untuk para bintang tamu, kan?" todong Arya tiba-tiba. "Saya tahu kamu selalu lembur."
Andrea mengerjapkan matanya lambat. Arya ini benar-benar cenayang atau mengawasi dirinya?
"Lah, kalau saya lembur kan bagus, Pak. Tapi soal izin, bagaimana bisa? Nanti Producer saya marah dan—"
"Siapa yang berani marah pada kamu, Andrea?" potong Arya lagi. "Nggak ada waktu, kita pergi ke Bogor sekarang." kata Arya memaksa.
Pria itu menggenggam tangan Andrea dan menariknya menuju lift. "Pak, Bapak nggak bisa paksa saya begini dong! Saya punya tugas dan kewajiban, astaga!" gerutu Andrea.
Arya tersenyum miring dan tidak memperdulikan omelan Andrea. Andrea memang akan selalu menolaknya, gadis itu keras kepala dan entah kenapa tidak pernah menyetujui segala hal yang Arya katakan padanya. Arya dianggap sebagai pria yang memiliki mulut besar dan omong kosong, jika selama ini ia berusaha menunjukkan usahanya, maka bagi Andrea itu tidak berarti sama sekali.
Andrea menyentak lengannya yang masih digenggam dengan erat. "Pak! Bapak selalu seenaknya sama saya, kenapa?! Saya kira Bapak orang yang baik, nggak pemaksa kayak gini!"
Arya menyimpan telunjuknya di bibir Andrea dengan gemas. "Shuuut! Bisa diam, nggak? Kamu ini belum saya culik beneran."
Mata Andrea membulat tak percaya. "Jadi Bapak mau culik saya?!"
"Seandainya," balas Arya santai.
Lift sudah sampai di lantai teratas dimana helikopter miliknya sudah terparkir di atas helipad.
"Pak!" kata Andrea dengan gugup. "Naik helikopter siapa?"
Arya terkekeh pelan dan menatap Andrea, rambut Andrea terkena angin karena baling-baling helikopter dari balik kacamata besar itu Arya masih bisa melihat Andrea yang sebenarnya. Polos, dan lugu.
"Helikopter saya. Kamu pikir helikopter siapa lagi? Kita akan pergi ke Sentul. Soal izin kamu, saya sudah minta Bagus mengurusnya."
"Sentul?!" tanya Andrea kaget. "Ngapain?"
"Ke rumah orangtua saya."
Arya lagi-lagi tak mau dibantah, ia mendorong Andrea hingga gadis itu duduk di kursi penumpang helikopter.
"Halo, Pak." sapa Captain Pilot yang bersama Co-Pilot di sisinya.
"Halo, Capt." balas Arya dengan senyuman.
Ia membantu memasangkan sabuk pengaman di tubuh Andrea. Helikopter dengan nama Atmodjo di badan heli tersebut seolah mengumumkan kepemilikan nama besar dari Atmodjo.
Arya memasangkan headphone di telinga Andrea agar memudahkan komunikasi. Kedua mata Andrea membulat tak mengerti dengan semua tindakan Arya yang tiba-tiba. Bertemu dengan Arya pagi hari memang suatu kesialan.
Lalu Arya memasang headphone dan sabuk pengaman untuk dirinya sendiri. "Ready, Pak?" tanya Captain Pilot itu.
"Ya, ready Sentul now." kata Arya pada kedua pilot yang ada di depannya.
Arya menoleh menatap Andrea yang kelihatan kesal. "Tidak takut ketinggian?" tanyanya pada Andrea.
Andrea dengan kesal tetap menggeleng sebagai jawabannya.
Pemandangan kota Jakarta begitu terlihat, polusi, langit biru menyatu dengan sempurna. Andrea menikmatinya, tentu saja. Kapan lagi ia bisa merasakan menaiki helikopter? Orang sibuk seperti Arya memang pasti memiliki helikopter guna memudahkan transportasi dalam urusan genting.
Jarang bagi pengusaha di Jakarta yang memiliki helikopter, mereka lebih rela menyewa helicity dan membayarnya sebagai jasa transportasi saja.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di Sentul Bogor. Terdapat hutan pinus yang sangat menawan di lihat oleh Andrea, baginya melihat hijaunya hutan adalah cuci mata, dari hutan pinus yang baru saja ia lewat dari atas helikopter tak jauh terdapat satu rumah yang berdiri sendirian. Andrea kini tahu, rumah besar itu yang dikatakan oleh Arya adalah rumah orangtuanya.
Hamparan rumput hijau yang luas, rumah putih besar layaknya rumah-rumah konglomerat. Itu bukan lagi bisa dikategorikan sebagai rumah, lebih tepatnya mansion yang berdiri di tanah Sentul.
Helikopter mendarat tepat di depan rumah putih besar itu, anginnya yang besar berhasil membuat rumput hijau itu menjadi rusak. Arya berterimakasih pada kedua pilot itu, Andrea masih berusaha menormalkan kakinya ketika menginjak tanah. Gila! Luar biasa memang, tapi Andrea sangat menikmati bagaimana rasanya saat di atas udara tadi.
Arya menggandeng lengan Andrea agar gadis itu berjalan cepat mengikutinya. Di depan rumah sudah ada kedua orangtunya adan satu pria yang sudah sejak tadi Arya tunggu reaksinya.
"Andrea.." kata Arana menyambutnya.
Andrea mencium tangan Arana, Pradipta dan satu pria asing yang tak ia kenali.
Arana memeluknya dengan erat, membuat Andrea sedikit terkejut tapi ia berusaha mengontrol wajahnya dan tetap tersenyum.
"Apa kabar kamu, Sayang?" tanya Arana padanya.
"Baik, Tante.." jawab Andrea gugup.
Andrea menatap satu persatu orang di depannya yang tengah menatapnya dengan penuh arti.
"Masuk, angin cukup kencang." kata Arana menghapus air matanya.
Andrea heran, kenapa juga Arana harus menangis? Ia melihat pada Arya yang kini tengah tersenyum pada pria yang ada di depannya.
"Andrea, kamu..."
Pria di sisi Arya menyikut tubuh Arya dan membuat Arya meringis.
Ia mengernyitkan keningnya melihat interaksi kedua pria itu. "Kalian.. Saya, maaf, saya butuh toilet." kata Andrea pada Arya.
Arya mengangguk dan menyuruh Andrea agar memasuki rumahnya lebih dulu. "Ya sudah, sana duluan."
Andrea mengangguk kecil dan berlari menuju ke dalam rumah.
Arya tersenyum pada pria yang ada di sisinya kini, Matteo Lubis terlihat kaku dan tegang. Arya tertawa melihatnya. "Om, jelek banget mukanya serius!" ledek Arya dengan jahil.
Matteo memukul bahu Arya. "Kamu jahil banget, Arya. Dia bisa marah kalau kamu geret dia kayak gitu. Dia harusnya kerja, kan?"
"Iya, ya tapi gimana lagi? Kapan lagi kalau bukan sekarang?"
Matteo Lubis mengangguk dan ia terharu melihat putrinya yang sudah besar itu, meskipun Natte-nya tidak mengenalinya, tapi Matteo sangat mengenali putrinya.
"She's really same with my wife, Arya."
"Ya jelas, hanya saja.. Dia sangat norak." ujar Arya dengan jujur.
Kali ini Matteo menendang kaki Arya lagi. "Dia bukan norak, Arya! Dia cuman nggak mau mengubah gayanya!"
"Hell ya, Om bisa lihat gayanya kayak apa." balas Arya.
Matteo mengangkat telunjuknya. "Awas kamu kalau naksir anak Om, nggak bakal Om terima!"
"Dih, ngomong dulu yang bener coba sama Andrea. Bikin dia ingat sama Bapaknya sendiri dong!"
"Yah, I see her happy with her life, and healthy was enough for me. Om nggak nyangka, dia sudah 22 tahun aja." kata Matteo dengan tatapan mata yang sendu.
Arya menggelengkan kepalanya. "Happy life ever after, tapi kayaknya Om nggak mau. Padahal, kalau Om berani aja tinggal bilang kalau Om Ayah dia."
Matteo memandang Arya dengan kesal. "Om bakal bilang sama dia."
"Kapan?" tantang Arya.
"Secepatnya, lihat saja. Dia anak dari Matteo Lubis dan bahkan nggak pantas buat jadi karyawan kamu! Dia itu harusnya menikmati kekayaan Ayahnya!"
"What ever," balas Arya malas jika sudah mendengarkan kesombongan Matteo itu.
...
...
Makan siang yang sangat berlebihan menurut Andrea. Sejak tadi ia tidak paham dengan rumah sebesar ini dengan jumlah kamar lima belas itu lebih cocok dijadikan hotel daripada rumah.
Kolam ikan yang dipenuhi ikan arwana, rasanya Andrea ingin memilikinya satu dan menjualnya dengan harga yang fantastis, ah otaknya yang penuh dengan pemikiran uang ini memang perlu dihilangkan.
"Andrea, makan, Sayang.. Kita sengaja menyiapkan ini ketika tahu kamu mau datang sama Arya, lho." kata Arana pada Andrea.
Andrea tersenyum. "Iya Tante.. Terima kasih, tapi ini makanannya, banyak banget."
Semua orang yang berada di ruangan itu tertawa, Andrea merasa malu.
"Lihat, Mamaku menyiapkan segalanya karena tahu kamu mau datang." kata Arya kini.
Andrea menyipitkan matanya pada Arya. "Pak Arya harusnya bilang sama saya sejak semalam, jangan mendadak kayak gini!" protesnya.
"Bukannya lebih bagus? Saya memang bukan pria dengan tipe selalu mengumbar janji dan rencana, lebih baik tindakan, bukan?"
"Kalian ini pacaran tapi.. Kenapa Andrea masih sebut kamu dengan panggilan seformal itu, Arya? Kamu bossy sekali." kata Pradipta pada putranya.
Arana mengangguk. "Kamu panggil nama Arya saja, Sayang.. Ini kan bukan kantor." kata Arana lagi.
Andrea membulatkan matanya. "Tapi itu, Tan.. Nggak sopan.."
Lagi-lagi semua orang tertawa. "Kamu lucu sekali, Ndre.." kata Arana yang sudah mengisi piring suaminya.
"Oh ya, Matteo kamu akan terbang ke Sidney besok pagi, kan?"
Andrea membulatkan matanya kala mendengarkan nama itu. Kok namanya mirip sama Ayah?
"Hm, besok pagi." jawab Matteo yang tengah meminum airnya.
"Bagus, lebih baik Om bermalam di sini." timpal Arya.
"Memang itu rencanaku, Arya. Dan kamu, teman Arya," kata Matteo kini beralih menatap Andrea. "Berapa usia kamu?"
"Dia kekasihku, Om!" hardik Arya dengan menyebalkan.
Mata Matteo membulat. "Kekasih?! Nat, maksud Om, Andrea itu kekasih kamu?!" Ah, hampir saja Matteo keceplosan.
Arya mengangguk dengan santai. "Iya, Andrea kekasihku."
Mata Andrea ikut membulat terkejut dan menoleh pada Arya. "Sejak kapan, Pak?"
"Apa kamu lupa, Andrea? Saya menyatakan perasaan pada kamu waktu itu di ruangan saya!" jawab Arya ngotot.
Andrea mengangguk, ia pun ingat. "Tapi saya belum jawab tawaran Bapak!"
Kedua orang itu kini tengah berdebat di depan para orangtua mereka membahas perasaan Arya yang belum pernah tertuntaskan.
"Kalau begitu jawab sekarang, kamu mau apa tidak jadi kekasih saya?! Jangan menggantung saya selama ini, Andrea!" balas Arya dengan nada suara yang berkali-kali lipat meninggi.
Andrea menarik napasnya kesal. "Bisa-bisanya Bapak memaksa saya?! Saya juga perlu berpikir, kita belum saling kenal. Saya tahu, apa yang Bapak rasakan itu hanya rasa penasaran aja!"
"Kata siapa?!" hardik Arya tidak menerima tuduhan itu. "Saya benar-benar suka sama kamu!"
"Ya suka doang, kan?!" kata Andrea yang ikut membentak. "Kata teman saya, suka itu banyak artiannya. Suka menjadi teman, sahabat, dan lain-lain lagi! Kalau suka sebagai kekasih itu artinya cinta!"
Arya kini berdiri dari kursinya dan menatap Andrea penuh api-api. "Apapun yang teman kamu katakan itu, saya tidak peduli. Saya memang cinta sama kamu, Andrea!"
Andrea membulatkan matanya mendengarkan jawaban spontan itu. "Bapak cinta sama saya?"
Matteo tidak bisa lagi menahan apa yang ia pikirkan, kurang ajar sekali si Arya ini pada anaknya membentak seenaknya.
"Kalian ini.." lirih Arana mencairkan suasana tegang itu. "Apa kamu tidak bisa melamar seorang perempuan dengan baik-baik Arya?"
Arya kini melonggarkan ikatan dasinya dan membuka kancing kemejanya. Pradipta, Papanya hanya bisa tertawa, sementara Matteo tengah menatapnya tajam dan siap-siap untuk membunuhnya.
"Maafkan saya Tante.. Saya sudah lancang merusak makan siang hari ini, tapi saya sudah kesal dan tidak bisa menahan kesabaran lagi terhadap sikap Pak Arya yang selalu tiba-tiba. Pak Arya ini kurang ajarnya kebangetan!" adu Andrea kini pada Arana.
Arya mendengus kesal. "Setelah apa yang saya lakukan sama kamu, kamu malah bilang saya kurang ajar?"
"Iya!" balas Andrea berapi-api. "Sejak awal Bapak memang senang mengusili dan memanfaatkan saya saja, kan? Jangan bilang kalau rasa suka Bapak terhadap saya hanya rasa penasaran."
Arya terkejut, tak menyangka jika Andrea akan seberani ini di depan orangtuanya. "Yang tidak menerima saya kan kamu, kenapa jadi saya yang disalahkan?"
"Lah, Bapak kapan pernah menghargai saya? Saya berpikir keras atas segala apa yang Bapak ucapkan, termasuk berkonsultasi dengan teman saya! Tapi Bapak malah.."
Andrea menarik napasnya, ia ingin menangis rasanya malu sekali. "Bapak malah.. Bapak maksa saya dan seret saya ke sini. Saya kan bingung, ketemu sama orangtua Bapak pakai pakaian kerja gini, nggak ada persiapan sama sekali!" omel Andrea menahan tangisnya.
Arya menyugarkan rambutnya ke belakang. "Orangtua saya nggak protes Andrea, lihat bahkan mereka oke-oke saja kan sama kamu?"
"Tapi saya malu!" teriak Andrea kali ini.
"Malu kenapa? Apa yang salah di sini?!"
Andrea benar-benar akan menangis sekarang, ah selama 22 tahun ia akan menangis hanya karena seorang pria bernama Arya Atmodjo!
"Saya malu, Bapak ganteng tapi saya biasa-biasa aja kayak gini!" kata Andrea kini yang sudah menangis.
Arya termangu melihatnya. Arana, Mamanya segera memeluk Andrea dan menenangkan gadis itu. Jadi, selama ini Andrea tidak percaya diri? Dan apa tadi katanya.. Bapak ganteng tapi saya biasa-biasa aja kayak gini.
Arya rasanya ingin tertawa, tapi ia tak bisa. Ada rasa senang yang melingkupi hatinya, astaga.. Gadis ini benar-benar ineffable, Arya sampai tidak bisa berkata-kata lagi dengan segala sikap dan sifat Andrea yang baru saja ia temukan.
Ia menoleh melihat Matteo Lubis yang kini tengah menahan amarahnya. Sekali lagi, ia sudah memancing amarah singa yang sedang tertidur itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro