2 ~ Hariku
Ruang kelas dengan hiasan origami yang dipasang di jendela, terlihat begitu cerah; para murid bersemangat, sinar mentari menerobos melalui kaca jendela, juga sela-sela.
Para murid sibuk dengan aktivitas masing-masing. Mulai dari menulis, menggambar, melipat kertas, dan juga mewarnai. Bangku-bangku dari kayu dengan meja tinggi pun penuh diduduki mereka.
Tak mau kalah, papan tulis hitam yang menempel di dinding muka kelas pun juga belum menampakkan tulisan. Meski sisa serpihan debu bekas menulis masih nyata, tertinggal.
Archa Ayunda.
Dua kata itu berusaha ditulisnya sebaik dan serapi mungkin agar bisa dibaca. Gadis berseragam merah putih itu sedang sibuk dengan alat tulis. Dibukanya buku bergaris-garis itu. Digerakkannya pensil lentur yang biasa dipanggil dengan pensil inul. Angka satu melekat di lengan kirinya sebagai penunjuk kelas. Tak ketinggalan pula bet yang melekat di saku kiri.
"Yu! Ayu!" panggil salah satu temannya. Gadis yang merasa namanya dipanggil pun menoleh ke kiri.
"Apa?"
"Satu tambah satu, berapa?" Nitan bertanya.
"Dua," balas Ayunda.
"Salah!" seru gadis dengan gaya rambut yang bergelombang sesiku. Mendengar sahutan itu, Ayunda mengernyit. Ia merasa benar dan memang itu jawabannya. Lalu, mengapa Nitan justru menyalahkannya.
Ayunda menghela napas. Kemudian balas bertanya, "Terus berapa?"
"Ngg ...," Nitan mendengung. Bingung harus menjawab apa. "Mmm ...." Kali ini bergumam. "Nggak ada!" Lalu diakhiri dengan tertawa terbahak-bahak.
"Capek, deh!" keluh Ayunda. Ia pun kembali pada buku dan pensil inul yang telah ditinggalkan.
1+1=
Giliran Ayunda yang membahas penjumlahan itu. Ditulisnya dengan rapi di buku tulis, tepat di bawah namanya. Bagaimana mungkin satu ditambah satu jawabannya bukan sama dengan dua? Bahkan jawabannya tidak ada.
"Selamat pagi, anak-anak!" seru seorang perempuan yang sudah berdiri di muka kelas.
"Pagi, Buuuuuu!" Para murid kelas satu pun menjawab dengan antusias.
Perempuan dengan setelan pakaian berwarna krem pun tersenyum. Merasa senang dan bangga dengan murid-muridnya yang begitu antusias di hari pembelajaran pagi ini.
Bu Fiza melangkah tidak leluasa karena rok yang hanya mencapai di bawah lutut, agak mengekangnya. "Apa kabar hari ini?" Beliau bertanya lagi.
"Baik, Buuuu!" sahutan para murid tak kalah antusias dengan yang pertama tadi.
Lagi-lagi Ibu guru dengan rambut sebahu itu tersenyum. "Bagus! Hari ini kita akan belajar matematika. Siapa yang sudah bisa penjumlahan dan pengurangan?"
"Sayaaaa!" jawab beberapa murid. Sedangkan Ayunda bergeming. Seolah tidak ingin memperkeruh pikirannya yang semula mantap jika hasil penjumlahannya sama dengan dua, justru menjadi tak berjawaban.
"Baik!" kata Bu Fiza, "Nitan. Satu ditambah satu, sama dengan berapa?"
"Satu tambah satu, ya?" tanya gadis mungil itu.
Bu Fiza mengangguk-angguk. "Iya. Berapa, Nitan?"
"Mmm ... nggak tau!" balasnya lalu diakhiri dengan cengiran khas anak-anak yang menggemaskan.
Mendengar jawaban Nitan demikian, seisi kelas pun tertawa. Terkecuali Bu Fiza dan Ayunda. Bahkan si penjawab pun turut menertawakan dirinya sendiri.
"Lho, kok ketawa?" tegur Bu Fiza.
Bukannya berhenti tertawa, Nitan justru menyengir pula. Seakan tidak kuasa dengan jawabannya sendiri.
"Satu tambah satu aja nggak tau!" seloroh temannya, "ya dua-lah!" Masih diakhiri dengan tawa. Kelas pagi ini, sudah dibuka dengan canda tawa. Kecuali seorang Ayunda yang justru tidak paham dengan semua ini. Bukan, bukannya dia bodoh. Hanya saja ia tidak tahu, jawaban macam apa yang dilontarkan oleh Nitan. Sungguhkah hanya bercanda? Tetapi itu ... cukup untuk mengganggu pikirannya.
"Nah, itu si Novan bener. Sudah-sudah ketawanya. Kita mulai belajar ya?" Bu Fiza pun berbalik arah dan berjalan menuju meja untuk meraih kapur tulis.
"Bu!" seru Ayunda seraya mengangkat tangan. Bu Fiza pun menoleh.
"Ya? Ada apa, Ayu?" balas beliau.
"Jadi, satu tambah satu, berapa?" Ayu bertanya.
"Satu, dong. Eh, maksud Ibu, dua," jawab Bu Fiza.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro