Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1 ~ Awal

Sidomukti, 2003.

Seorang gadis kecil duduk di bangku kayu beranda rumah. Usianya baru akan menginjak enam tahun. Dan sebentar lagi duduk di bangku Sekolah Dasar. Sepasang matanya menerawang ke depan. Sejurus dengan pagar yang terbuat dari semen. Tingginya sekitar lima puluh senti dari permukaan tanah. Dibangun sebagai benteng antara jalan raya dengan halaman rumah. Juga menjaga sewaktu ia kanak-kanak atau balita, agar tidak berlarian ke jalanan dengan sembarangan. Walaupun tidak dilengkapi dengan pintu pengaman. Hanya dibiarkan lepas tanpa gerbang berarti. Apalagi kadang pengendara juga suka ugal-ugalan.

Semilir angin memainkan rambutnya yang sepanjang siku. Hitam dan lebat, serta wangi sampo tadi pagi masih melekat pekat. Sepasang matanya kini menyisir pemandangan sekitar. Di dekat pagar tadi, tumbuh pohon nangka dengan batang yang besar dan kekar pada masing-masing sisi. Menjulang tinggi, melebihi rumah-rumah sekitar. Buahnya besar-besar. Nyaris setinggu tubuhnya. Di samping phon nangka, bunga-bunga berwarna merah muda saling merekah. Bentuknya kecil menyerupai bunga kamboja yang berbatang tinggi, berbunga berwarna putih, merah muda, dan kuning.

Pelataran dengan alas semen yang sebagian retak, lubang, dan menampakkan pasir itu tampak pucat. Terlalu sering kepanasan dan jarang mendapatkan hujan. "Nduk!" panggil seorang perempuan dengan suara berat. Terkesan usianya sudah mencapai setengah abad, bahkan lebih. Sosok dengan rambut disanggul alami hingga menciptakan gelungan mini di kepala bagian belakang, berjalan menghampiri setelah membuka pintu kecil khas desa-desa. Di tangan kanannya memegang sebuah kotak makan dengan penutup berwana biru tua dan wadah putih.

Gadis yang merasa terpanggil pun berdiri. Kemudian menghampiri dan memapah perempuan tadi. Dibantunya untuk duduk di bangku tempatnya bergeming sembari melamun. Hari ini, tidak banyak teman-teman yang biasanya mengajaknya bermain, menampakkan diri. Sedari tadi hanya angin yang menyihir dedaunan dan ranting-ranting untuk saling berbisik dan berisik. Gadis itu menunjukkan gigi gingsul kepunyaannya ketika perempuan dengan kebaya tipis bermotif bunga dan bawahan selendang berwana cokelat, mengusap-usap kepalanya. Gadis kecil itu pun terlihat begitu menggemaskan dan menyenangkan. Membuat siapa saja yang melihat pipi bakpao ala-ala anak yang hendak duduk di bangku Sekolah Dasar, ingin mencubitinya.

Kemudian perempuan itu menurunkan tangannya dan kini sibuk dengan kotak makannya. Dibukanya kotak itu dan berisi daun sirih, kapur, dan juga gambir. Sedangkan gadis kecil itu juga antusias mengamati segala gerak-gerik buyutnya. "Yut!" lirihnya seraya mencolek-colek perempuan paruh baya itu.

Perempuan yang dipanggil, tidak menoleh. Hanya langsung mengangkat wajah dan bersitatap dengan si kecil. "Itu apa, Yut?" tanyanya. Sementara angin masih terus berembus dan menyihir langit kian menggelap. "Yut, kenapa makan itu? Emang enak?" tambahnya sebelum mendapatkan balasan. Beberapa detik kemudian, atap seng sebagai peneduh serambi, mendadak dijatuhi sesuatu. Terdengar begitu berisik, seiring dengan titik-titik yang jatuh pada pelataran semen, kemudian hilang. Seakan-akan pelataran itu menderita haus yang berkepanjangan.

"Gambir," jawab perempuan tadi seraya mengangkat sesuatu.

"Yut," gadis itu kembali mencolek-colek buyutnya. "Ayu hujan-hujan ya?"

Perempuan itu tidak menoleh. Tidak pula mengiakan. Seakan melarang dengan halus dan tersirat.

"Yahaaaaa! Hujaaaaan!" Gadis itu memekik kegirangan seraya mengangkat kedua tangan. Sementara air-air masih terus jatuh ke bumi. Membasahi apa pun yang tidak dilindungi. Si kecil berputar-putar di halaman. Menciprat-cipratkan air ke mana pun ia mau. Bahkan, sempat mengenai buyutnya yang hanya dibalas dengan senyuman. Senyuman penuh makna.

Seakan kembali bernostalgia dengan masa mudanya.

Seolah teringat saat-saat masa kecilnya.

Seperti merangkak, ralat, berlari mundur pada masa lalunya.

"Wuuuuu!!! Hujan yang dereeeees! Nanti disambelkan buyutku yang puedeeeeees!"

Seharusnya gadis itu menata ucapannya. Lebih tepatnya akan disambalkan yang puedas oleh buyutnya. Bukannya sebaliknya, buyutnya yang pedas. Bagi orang yang tidak tahu di mana orang tuanya, mungkin mengira bahwa ia ditelantarkan.

Mungkin menerka bahwa ia anak yang sama sekali tidak diinginkan, oleh sebab itu ia berada di desa. Desa yang memang sunyi. Tak banyak orang berteknologi canggih seperti di kota. Tak mengenal makhluk astral bernama gadget. Tidak pula mengenal yang namanya permainan dari ponsel. Yang ia tahu saat ini adalah bersenang-senang bersama temannya. Temannya yang sudah lama sekalo dirindukan.

Air-air dari langit yang selalu dirindukannya. Bukannya, Ayah dan Ibunya. Hujan deras tanpa petir yang diinginkannya. Bukannya kedua orang tuanya. Baginya, tidak ada alasan untuk berhenti selagi air masih terus ditumpahkan, guntur dan kilatan cahaya juga tak bersahutan, amarah dari orang dewasa tak terdengarkan, dan ia masih terus membiarkan diri dibasahi air. Gadis itu sudah cukup tampak bahagia. Lantas, manusia mana yang tega merampas kebahagiaannya?

"Ayu! Kok hujan-hujan!" tegur seorang perempuan yang sudah basah kuyup. Bukannya menunduk dan merasa bersalah, gadis itu justru meringis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro