07: The Final Act
Hari yang beranjak memasuki petang itu lebih muram dari seharusnya lantaran sang mendung yang menguasai angkasa. Hampir-hampir tak ditemukan sosok manusia pada saat ini. Tak mengherankan, karena dari awal gedung tersebut hanya terisi hiruk pikuk kehidupan dalam jam-jam pembelajaran.
Dua sosok pemuda berambut putih dan kelam baru saja kembali ke ruangan mereka, ruang OSIS. Menarik napas panjang, Mafumafu yang pertama memulai dialog, "Akhirnya selesai juga... haish, tak dapat kupungkiri diskusi tadi lumayan alot."
Sang wakil menanggapi dengan kekeh pelan. "Yah, setidaknya, semua berjalan lancar, bukan? Kesepakatan pun telah terbentuk."
"Soraru-san..."
"Ya, Ketua?"
Tanpa peringatan tiba-tiba kerahnya ditarik. Bros permata biru terjatuh bersama tali dasi yang dikuncinya, berdenting kala membentur ubin lantai. Tak lama menyusul pula kancing atas kemeja seragam yang turut terlepas akibat tarikan kasar.
Raga si raven sedikit terangkat, lantas langsung dibanting ke atas meja kerja Ketua OSIS teramat keras. Soraru agak melebarkan mata disertai erangan karena pinggulnya sempat membentur keras pinggiran meja. Tak berhenti disana, sepasang tangan sang albino langsung mencekik lehernya.
"Kerja yang bagus, Soraru-san," agak berbisik rendah suara itu.
"Akh... Aakkhh...."
Cengkeraman pada leher semakin erat, semakin merenggut napas si raven serta menjepit kerongkongan dan pembuluh darah. Mulai dari tekanan ini, dapat dipastikan tangan itu akan meninggalkan bekas yang jelas di leher sang wakil. Sepasang tangan Soraru gemetar meraih lemah kedua tangan milik albino. Namun begitu saja, tanpa melakukan perlawanan lanjutan.
"Aku benar-benar amat beruntung punya asisten sepertimu. Pertunjukan ini takkan berjalan lancar tanpa bantuanmu, Soraru-san."
Serombongan lethe diana berhamburan dari jendela di belakang si albino. Mengitari keduanya, semakin meredupkan atmosfer tempat itu. Bunga-bunga krisan bertumbuhan dari bawah meja, merekahkan mahkota berlapis mereka menguar aroma sang maut. Sulur-sulur berduri merambat entah berhulu darimana. Melilit kaki kursi, merambati sisi meja dan sofa, hingga naik ke rak-rak buku di sisi ruangan. Selagi demikian lampu gantung di bagian tengah berulang kali terang-redup, beriringan dengan sayup-sayup riuh rendah misterius yang entah berasal darimana.
Pandangan Soraru mulai mengabur tak fokus berkat airmata yang menggantung. Semakin sulit ia menarik napas, semakin buram apa yang terlihat di pandangan. Satu-satunya figur yang masih samar ia tangkap ialah wajah sang albino pemilik netra merah darah di atasnya, menatap intens pada sepasang biru safir miliknya yang makin meredup.
"Sakit?" Si albino bertanya.
"Sa... kit... K-Ketua..."
"Oh, benarkah?" Terangkat sudut bibir seorang Mafu, "tapi, kok, wajah Soraru-san tidak terlihat begitu?"
Perkataan yang tak salah, tentu saja. Lihat senyuman lebar yang disuguhkan si raven selagi berusaha menarik napas yang semakin menipis. Kontras betul dengan keadaan tubuhnya yang kian tak berdaya. Soraru merasakan sesuatu bergejolak dalam dirinya. Sensasi itu, bak ektasi yang mendongkrak kadar dopamin dalam tubuh. Manik biru samudera itu memang meredup, tetapi tak menunjukkan takut sedikitpun.
Ia menikmatinya.
Baru ketika sepasang iris biru sang wakil hampir-hampir hilang, Mafu menghentikan aksinya. Mengabaikan Soraru yang terbatuk-batuk lagi tersengal, ia beranjak meraih sejumlah dokumen di atas nakas, kemudian mulai membaca mereka seraya duduk di kursi kerjanya. Dalam ruangan yang normal, sama persis dengan sebelum mereka keluar tadi.
Di sela upayanya mengatur napas, Soraru bertanya lemah, "Udahan...?"
"Udah, lah," balas si albino, "masih banyak yang harus dikerjakan. Masa' Soraru-san mau kabur?"
Mengerucut bibir si raven, agak tak terima dengan tuduhan sang ketua. "Apa maksudnya kabur?"
"Kau pingsan, semua dokumen ini aku yang kerjakan. Kabur itu namanya."
-
-
-
Hari ini adalah hari penentuan.
Seluruh persiapan untuk babak terakhir pertunjukan mereka telah usai.
Kini, waktunya mengangkat tirai untuk segera membuat para penonton terkesima.
"Katanya, persidangan Sakata itu hari ini, ya?"
"Iya benar. Kira-kira pukul satu, berarti waktu istirahat siang... Kudengar akan ada perwakilan dari OSIS yang menghadiri persidangannya."
"Ketua OSIS, kah?"
"Sepertinya bukan. Tadi aku lihat Ketua OSIS masuk ke ruang kepala sekolah."
"Eh? Bukankah... seharusnya Ketua OSIS hadir sebagai saksi?"
"Entahlah, sepertinya ada hal yang sangat mendesak. Paling nanti diwakilkan, sih."
"Memangnya boleh begitu?"
"Omong-omong... Suasana sekolah akhir-akhir ini jadi tenang engga, sih?"
"Iya juga, ya... Kayaknya, sebelum kasus Sakata dan Matsuzaka-sensei itu ada sesuatu yang besar..."
"...Tapi apa, ya?"
Amelia menunduk dalam, terdiam sendirian di bangkunya. Begitu lesu, dengan sepasang manik biru mudanya memandang hampa.
"Amelia-chan," panggilan beberapa teman menyentaknya. Tampak dua orang siswi menghampiri gadis itu. "Kamu ngga apa-apa?"
"Oh, eum... iya. Aku baik-baik saja, kok."
Seorang lagi siswi rambut hitam panjang ikut bicara. "Tidak perlu memaksakan diri, ya... kamu pasti masih sangat shock. Tidak apa-apa, Amelia-chan, semangat, ya!"
Mengangguk disertai senyum, Amelia membalas, "Tentu. Terima kasih, ya."
Waktu berjalan. Tak terasa bel tanda istirahat siang telah berdering. Amelia terlihat menarik napas dalam-dalam, sebelum kemudian membuangnya perlahan.
"Amelia-san?"
Sempat berjengit tubuh itu. Bahkan, semakin kaget tatkala berbalik untuk mendapati pemuda kuning telah berdiri di belakangnya. "O-oh... S-Senra-kun...? A-ada masalah apa, ya?"
"Eh?" Tampak sedikit terkejut raut pemuda itu, "Amelia-san... beasiswanya bermasalah, kan?"
Mendelik sepasang netra si gadis. "Darimana kau--"
"Aah... berarti benar kabarnya belum sampai, ya?"
Pertanyaan Senra mengurung niat Amelia untuk memekik panik, tergantikan rasa bingung dan penasaran. "Kabar?"
Senra mengangguk, "Ada pengumuman pagi tadi, katanya anak-anak yang beasiswanya bermasalah disuruh kumpul pas jam istirahat makan siang. Karena di daftarnya ada nama Amelia-san, aku pikir Amelia-san punya nasib sama sepertiku."
"Ah..." sang gadis kini mulai tenang. "B-begitu, ya..."
Sekali lagi anggukan diberi oleh Senra. "Mau bareng?"
Sebenarnya Amelia merasa sedikit ragu dengan ajakan itu. Ia bimbang. Apakah pemuda di hadapannya ini berkata jujur, atau...
"Kalau ngga mau bareng, ya sudah. Aku duluan saja," mengerti kegundahan itu membuat Senra kembali buka mulut, "nanti kuberitahu saja harus kumpul dimana. Tapi sebaiknya cepat, ya, soalnya sudah ditunggu."
Rangkaian kalimat tersebut seketika memberi rasa aman pada Amelia. Jika kondisinya seperti ini, kecil kemungkinan dia sedang ditipu.
Bisakah ia memercayai orang ini?
"K-kalau begitu... Y-yaudah, deh, kita bareng saja..."
Maka disinilah mereka berdua, berjalan bersama menyusuri koridor sekolah mereka yang konon telah berdiri sejak tiga abad lalu. Tiada konversasi dilakoni keduanya. Masing-masing tenggelam dalam pemikiran mereka sendiri, menumpuk kegelisahan seiring langkah membawa keduanya semakin jauh.
Amelia tidak mengerti, perasaan apa yang saat ini berkecamuk dalam batinnya. Terasa aneh, campur aduk. Amelia tak terpikir nama untuk kabut hitam yang menyelimuti pikiran ini. Terasa mengganjal. Meski harus dirinya akui, entah mengapa ia begitu yakin perasaan ini takkan menuntunnya bertemu dengan sang malapetaka.
Bagaimanapun, Amelia tak dapat membedakan apakah bola-bola mata yang bermunculan sepanjang dinding koridor mengikuti langkahnya itu sungguhan atau hanya bagian dari kegelisahannya. Lanskap yang tersaji di bagian luar barisan jendela beberapa kali mengalami glitch, kehilangan warna mereka setiap beberapa detik dengan durasi teramat cepat. Semakin jauh melangkah, semakin redup pigmen warna yang dipancar jagat di sekitar mereka.
Barisan perempuan berkepala gladiol membentuk barisan di sisi kanan dan kiri lorong sepanjang seratus meter ke depan. Chemise putih pucat seragam yang mereka pakai melambai tertiup angin. Selagi demikian, semuanya bersenandung samar. Begitu samar, sehingga gaungnya hanya terdengar laksana gerungan pengisi ruang hampa.
Hingga kemudian, henti langkah Senra menyentak gadis berasma Amelia itu.
"Kita sampai," itulah kalimat pertama yang diucap Senra dalam perjalanan bisu mereka. Keduanya berhenti di depan pintu. Saat itu Amelia sedikit terkejut.
Ia baru menyadari kemana langkah mereka mengarah.
"Kenapa di ruang OSIS?" Tanya dia sedikit lirih. "Aku juga punya pertanyaan sama, tahu," balas Senra dengan raut yang terlihat tanpa minat, "kenapa dari sekian banyak tempat, harus disini..."
Memutuskan untuk tak membuang terlalu banyak waktu, pintu tersebut dibuka. Tampak Urata dan Shima rupanya telah datang mendahului mereka. Baru saja Amelia mau mengajukan pertanyaan lagi, Senra kembali menukas, "Menurutmu dengan kelakuan mereka berdua akhir-akhir ini, beasiswa mereka baik-baik saja?"
"Coba kau ngaca, sih," cibir Urata selagi menyilang kaki. Memajang ekspresi datar, Senra bicara bak robot, "Sudah di awal tadi."
Tak mau repot memperpanjang sesi debat, Senra mempersilakan Amelia duduk di sebuah sofa yang masih kosong. Sang gadis mengucap terima kasih, sebelum kemudian mengikuti anjuran si pemuda pirang.
"Hah... Sepertinya, sih, beasiswaku ga akan selamat ini," Urata mengeluh selagi mengacak punggung kepala. Shima menambahi, "Apalagi aku. Ah, Mizuno-senpai pasti dendam kesumat padaku. Akhir-akhir ini masalah mereka terlupakan, sih... Ugh, kenyataan itu bikin aku kesal!"
"Eh?" Amelia sedikit terhenyak, "Masalah... Mizuno-senpai?"
Shima langsung menjawab, "Itu, loh, yang siaran langsung Alysia Tresscott dengan Kiyo di gedung milik keluarga Mizuno-senpai. Huh! Padahal susah payah loh aku mengumpulkan barang bukti agar mereka bisa segera ditindak. Sejak dulu, kan, aku memang benci sekali dengan narkotika. Idih... Sampai rela diancam Pak Waka kesiswaan, aku! Huh! Mana ngancemnya bawa-bawa beasiswa lagi--"
"--Siapa sangka tahunya gembong langganan mereka ternyata mantan teman satu SMP-ku?? Gara-gara itu, aku ngamuk sampai hilang akal karena merasa dikhianati! Membayangkannya lagi bikin aku semakin sakit hati!"
Raut wajah Amelia seketika terkejut bak baru menyadari sesuatu. "Ah... Iya, ya, sempat ada masalah seperti itu, ya...?"
Menanggapi pertanyaan Amelia, Urata menggeleng dengan mimik sakit hati, "Wah, keterlaluan... Padahal nyari-nyari datanya kami sudah pusing sekali, loh. Si Senra bahkan sampai kurang tidur karena mengetik belasan artikel dari bocoran data dan bukti yang berhasil kami kumpulkan. Ah, aku jadi curiga, jangan-jangan kejadian si Sakata itu pengalihan isu, lagi."
Tentu saja itu bohongan. Kan, kau dapat semua data itu dari orang lain.
"Hoi, ngomongnya sembarangan!" Tegur Shima seraya menggeplak, "setiakawan dan percaya itu bagus, tapi harus objektif juga, dong, Urata-san."
"Ya habis bagaimana?" Balas Urata tak kalah menggebu, "Begitu Sakata ditangkap dan Matsuzaka-sensei dinyatakan meninggal, pembahasan soal pengedaran narkoba itu lenyap sama sekali. Tak seorangpun yang kudengar membahas soal ini!"
Macam tersentak, Senra menambahi, "Ah, benar juga... Investigasi dari OSIS juga meredup karena harus mengurus bombardir wartawan yang sempat sampai berulah di hari-hari pertama kasus ini ramai... Mereka sampai kewalahan, kan?"
Kali ini telunjuk Urata menuding lepas menepuk tangan satu kali. "Nah, itu!" Ia menuding, "pasti itu, tuh! Agh! Kok aku kesal, ya?? Padahal niat kita itu bikin pemberontakan agar sistem sekolah yang bobrok ini bisa diperbaiki. Mau belajar saja tidak tenang. Huh! Padahal masa belajarku disini tinggal setahun..."
"Dan sekarang, gara-gara itu beasiswa kita malah terancam dihapus. Kalau sudah didepak dari sekolah unggulan begini, kan, bakal susah dapat sekolah lagi," cetus Shima tak kalah dongkolnya.
"Gimana menurutmu, Amelia-san?" Pertanyaan Senra menyentak sang gadis, "kami sudah cerita bagaimana beasiswa kami bermasalah. Kalau kamu, beasiswanya bermasalah karena apa?"
Seketika Amelia merasa langit runtuh menimpanya. Bumi tempat ia berpijak seakan berguncang. Raganya mulai gemetar, kedua matanya berkunang-kunang. Amelia bergerak meremas rok seragam yang ia pakai. Menggigit bibir, gadis itu dilanda kegundahan teramat sangat.
"Amelia-san," panggilan dari Senra kembali menyentaknya. Gadis itu sedikit tertegun melihat wajah itu. Senra menatap begitu dalam, lurus pada matanya.
Pemuda itu lalu meneruskan dengan nada bicara teramat lembut, "Wajahmu pucat sekali. Kau tidak apa-apa? Apa kau sakit?"
"Eh? Kalau gitu apa mending kita bawa ke UKS?" Urata jadi ikut cemas. Amelia menggeleng, "T-tidak. Aku... tidak apa-apa. Sungguh..."
Saling pandang tiga pemuda itu. Cukup lama mereka saling diam satu sama lain. Hingga pada akhirnya, Urata memutuskan menjadi perwakilan suara dari mereka bertiga, "Apa masalah yang kau hadapi begitu berat?"
Terhenyak, Amelia mendongak bersamaan ketika Shima menimpali, "Sampai pucat begitu, pasti berat banget, lah! Ura-san, kayaknya malah jauh lebih berat dari kita bertiga!"
Cepat Urata menggeplak bahu si pemuda ungu. "Ish, bicaramu nggak disaring," dia mengomel, "kau mau bilang kelakuan dia lebih bobrok dari kita?? Anak kelihatan baik-baik begini..."
"Idih, sok nuduh," Shima mencibir, "bukan gitu, Ura-san... maksudku, tekanan dan kecaman yang dia terima dari sekolah pasti lebih parah dari kita. Itu masuk akal, kan? Soalnya seperti yang Urata-san bilang tadi, Amelia-san kelihatan sangat baik. Yang begini, nih, mudah sekali diperdaya. Kalau kita, kan, tidak. Kalau digigit, kita bertiga-- eh, berempat-- akan gigit balik."
"Begitukah?" Urata memandang simpati, "apa itu benar, Amelia-san?"
Gadis itu kembali tergugu. Ia bimbang. Orang-orang ini memang terlihat peduli, tetapi... Apakah dia boleh memercayai mereka? Ia merasa tak boleh sedikitpun salah langkah. Di tempat dimana orang dapat hancur berkeping-keping dengan satu kesalahan seperti ini, ia harus terus waspada.
Benar begitu, bukan?
Ini bukan perkara ia tidak memiliki keberanian, bukan?
"Amelia-san," sekali lagi terhenyak, ia dapati Senra menggengam tangannya dengan lembut namun erat. Pemuda itu memandang lagi begitu dalam.
Masih diam gadis itu kala si surai kuning meneruskan, "Aku tahu kau tak boleh sama sekali mengendurkan kewaspadaan. Aplagi, kami orang asing. Sikapmu benar. Jangan pernah percaya pada orang asing. Kau tidak mengetahui tabiat asli kami. Tapi, Amelia-san..."
Sedikit melebar netra sang gadis mendapati senyum tipis tersemat pada wajah Senra, "Terkadang memendam sendiri dan menolak uluran tangan seseorang, akan mengantarmu pada jalan penyimpangan. Orang-orang berhati busuk, sebagian terlahir karena hal seperti itu."
Kali ini sang gadis tertegun. Wajah pemuda bersurai kuning itu terlihat sendu. Ia bisa merasakan tangan itu begitu hangat. Kehangatan yang menyentuh kalbunya. Senyum tipis yang terasa masam, mata yang memandang kuyu. Entah mengapa dirinya merasa dipahami. Seakan Senra, pemuda di hadapannya ini, pernah berada di posisi serupa dengan dirinya.
"Apa aku... bisa percaya pada kalian? Apakah dengan bicara, aku dapat melanjutkan hidupku dengan tenang tanpa kekangan dan rasa bersalah? Gadis itu bertanya.
Senra membalas tenang, namun tegas, "Percaya pada kami atau tidak, itu semua terserah padamu, Amelia-san. Kami tak akan memberi janji apapun. Tapi, soal melepaskan diri dari kekangan dan rasa bersalah, kami jamin kau dapat melakukannya. Kau layak mendapat kehidupan sekolah yang tenang tanpa kegelisahan, Amelia-san. Karena itu merupakan salah satu hak seorang siswa."
"Baiklah," kali ini sepasang mata sang gadis terlihat membara, "aku akan memberitahu semuanya."
Maka dimulailah, kisah panjang sang gadis.
"Sejak awal aku terlahir dari keluarga yang pas-pasan. Ayahku meninggal saat aku masih sangat kecil sekali. Ibu bekerja keras banting tulang seorang diri, memastikan aku tetap makan makanan sehat dan bisa bersekolah setinggi mungkin. Aku punya mimpi yang besar, tapi tak ingin membebani Ibuku..."
"... Saat itulah aku tahu ada program beasiswa masuk sekolah ini. Sekolah unggulan yang sudah banyak menjalin kerjasama dengan universitas-universitas ternama. Aku ingin membanggakan Ibuku, mendapat pekerjaan yang layak, dan membantu menghidupi kami berdua. Apalagi, akhir-akhir ini Ibu mulai sering sakit-sakitan."
Mengeratkan genggam tangan, Amelia menunduk, "Tapi ternyata, mendapat beasiswa di sekolah ini tak semanis kelihatannya."
Gadis itu melanjutkan, "Teman-teman di kelas memang baik. Tapi terkadang, mungkin salahku juga, aku kurang sapat beradaptasi dengan kehidupan mereka yang lebih berada. Aku sering dicibir sombong dan sok rajin karena lebih memilih mendekam di perpustakaan untuk belajar daripada ikut mereka nongkrong. Siswa dengan peringkat lebih tinggi dariku mendapat nilai dari menyogok guru. Aku merasa usaha kerasku belajar giat sia-sia, kalah oleh kekuatan uang dari anak-anak yang bahkan hanya meminta dari orangtua mereka."
"Aku sering juga mendapat perlakuan tak menyenangkan. Ketika kulaporkan hal ini ke BK, mereka hanya memberi surat peringatan, bahkan hukuman skors yang bersangkutan dicabut karena sogokan uang. Pada akhirnya, hidup saja dalam diam adalah pilihan terbaik. Asal aku bisa bertahan dan menyelesaikan studi tanpa masalah, semua akan beres..."
"... Tapi kemudian, aku berurusan dengan elite Flamboyant Family."
"Idih, kok, persis kami?" Urata menukas, "kami jadi begini juga gara-gara para flamboyan itu. Wah, terlalu. Memang, kau melakukan kesalahan apa pada mereka?"
Sedikit membuang pandang ke sisi, Amelia menjawab, "Aku... tak sengaja berurusan dengan Alysia Tresscott."
"Apa kau melakukan kesalahan besar padanya?"
Tak diduga, Amelia menggeleng, "Aku bahkan tidak tahu sudah melakukan apa padanya. Dia selalu bersikap dingin padaku. Kadang mengganggu dengan lemparan air dari ember, atau mengunciku di kamar mandi. Aku benar-benar bingung. Sampai akhirnya, aku mengetahui bahwa cowok yang dia suka, ternyata suka padaku."
"Wheew," Shima sedikit bersiul. Sekali lagi, menuai jitak dari Urata, "Serius bentar, bisa engga?"
Menahan pembicaraan yang melenceng dari topik, Senra segera mengambil alih sebelum keributan terjadi, "Lalu, bagaimana kelanjutannya?"
"Aku sudah menolak dia!" Meremat kepala, Amelia membalas, "aku ingin fokus belajar dan mengejar cita-cita. Masalah asmara itu tidak penting dan aku ingin menghindari konflik dengan Alysia. Kutolak secara baik-baik, kok. Tapi cowok itu tetap gigih. Dia bahkan sampai mengancam akan membuat ibuku dikeluarkan dari rumah sakit dengan koneksinya. Di lain sisi, Alysia menggunakan bantuan para elite flamboyan, bernegosiasi dengan sekolah agar beasiswaku dicabut dan aku dikeluarkan. Aku benar-benar stress! Dalam situasi seperti itu, aku harus bagaimana??"
"Gila," komentar Shima, "cowok kayak gitu gila. Cocok emang dengan cewek modelan Alysia Tresscott. Bagus kau menolaknya."
Urata langsung menyahut perkataan Shima,"Lalu, apa kaitannya dengan Matsuzaka-sensei?"
Amelia kembali menjawab, "Suatu hari, sepertinya sekitar tiga minggu yang lalu, Alysia tiba-tiba merekomendasikan aku untuk membantu proyek Matsuzaka-sensei dengan menjadi model gambar. Awalnya aku tak yakin dan ingin menolak. Tapi, lalu Alysia berjanji akan mencabut permintaannya pada sekolah dan takkan mengusikku lagi... Maka akhirnya aku setuju."
"Awalnya hanya model biasa. Aku duduk di kursi dan Matsuzaka-sensei menggambarku. Tapi lama kelamaan beliau bertingkah aneh. Aku sering diminta melakukan pose-pose aneh yang... menurutku tidak senonoh. Beliau juga sering meraba-raba tubuhku tanpa permisi. Aku tak nyaman. Sungguh, aku benar-benar tak nyaman..."
"... Hingga puncaknya, terjadi pada insiden kemarin. Beliau memintaku melepas semua bajuku. Aku sudah menolak, tapi beliau terus memaksa dan mulai melucuti pakaianku. Aku sudah pasrah. Pada saat itu, aku benar-benar tidak berdaya... Tapi lalu, Sakata-kun tiba-tiba datang dan memukul kepala Sensei dari belakang. Aku tidak tahu, sih, dia datang darimana dan mengapa ia kebablasan begitu. Tapi Sakata-kun menyelamatkan aku. Kalau dia datang terlambat sedikit saja... Entahlah, aku tak berani membayangkan apa yang bisa saja terjadi."
"Aku masih ingat dengan jelas, kok. Awalnya aku ingin memberikan keterangan langsung pada polisi. Tapi malam itu juga, Waka Kesiswaan datang langsung ke rumah dan memintaku tutup mulut! Aku tahu ini salah, aku ingin menolak itu. Tapi lagi-lagi beliau mengancam akan menghapus beasiswaku. Aku tak punya pilihan lain! Aku diam, tapi hatiku sangat sakit dipenuhi rasa bersalah setiap kali mendengar berita tentang Sakata-kun di televisi. Aku benar-benar merasa sangat berdosa! Aku benar-benar melakukan tindakan jahat dan pengecut dengan menyelamatkan diriku sendiri..."
Gadis itu sekejap tenggelam dalam isak tangis. Senra bergerak mengelus punggung sang gadis, tanda seakan dia simpati. "Tenang saja, Amelia-san," hiburnya, "menyelamatkan diri kadang bukan hal yang buruk. Kau sudah melakukan yang terbaik. Kau memang tidak punya pilihan lain. Tidak apa-apa... Kau kuat. Kau adalah gadis yang sangat kuat, Amelia-san..."
Bruagh!
"Kau dengar, Kepala Sekolah?"
Mafumafu memandang tenang nan tegas pada sang Kepala Sekolah yang menubruk meja penuh amarah di hadapannya. Wajah pria itu merah padam, menahan gondok teramat kentara pada sorot matanya yang menajam. Pemuda albino tetap tenang, tanpa berniat sedikitpun menurunkan alat penyadap di tangan.
Sang pemuda bersurai salju kembali bicara, "Aku sama sekali tidak menyangka, ternyata situasi sekolah semenyedihkan ini."
"Omong kosong!" Seru sang Kepala Sekolah gusar, "Gadis itu mengada-ada! Semua yang diceritakannya itu palsu!"
"Mari anggap Amelia-san berbohong," Mafumafu menukas. Masih tenang tanpa mengurangi ketegasan. "Lalu bagaimana Anda menjelaskan apa yang sedang dilakukan Amelia-san bersama Matsuzaka-sensei di ruang kesenian sore itu? Jelas-jelas karena situasi sekolah sedang keruh, Anda sendiri yang memutuskan agar segala macam event atau proyek yang lain dihentikan sementara. Matsuzaka-sensei itu seorang guru. Masa' iya beliau tidak tahu soal itu sama sekali?"
Mafu dapat menduga pria di hadapannya mulai kehabisan akal untuk menjawab.
Lebih lanjut si albino menjelaskan, "Dari rekaman cctv yang sudah saya tunjukkan pada Anda sebelumnya, jelas terlihat bahwa Amelia-san masuk ke ruang kesenian bersama-sama. Saat saya sudah selesai dengan urusan saya, saya berniat menemui Sakata di ruangan itu."
Kali ini sang Kepala Sekolah menuding gusar, "ITU DIA! ADA URUSAN APA KALIAN DI TEMPAT ITU SORE-SORE DISAAT TIDAK BOLEH ADA SEPERTI ITU?? JELAS-JELAS BOCAH ITU DULUAN YANG MASUK KESANA!"
Saatnya memulai sandiwara.
"Ini menyangkut investigasi," Mafu menukas, "Akhir-akhir ini, saya bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada sahabat kecil saya itu. Sakatan bukan anak yang suka membuat onar. Semula saya pikir dia hanya memberontak karena selama ini dibuli. Rupanya, dia dan beberapa temannya berhasil mengendus peredaran narkotika yang terjadi di sekolah ini lewat kelompok flamboyan dengan campur tangan pihak sekolah. Karena itu, saya berniat menawarinya kerjasama untuk mengusut kasus ini. Wajar, dong, saya meminta pertemuan rahasia."
"Kau-- Sudah kubilang gunakan otakmu, dasar bocah bodoh!! Itu hal wajar, kau tahu?? Biar kuberitahu langsung saja padamu, karena sepertinya nalarmu tidak jalan--"
"--SEMUA ITU DILAKUKAN UNTUK KEPENTINGAN BERSAMA! MEREKA UNTUNG, PIHAK SEKOLAH UNTUNG, DAN KAU JUGA AKAN MENDAPATKAN UNTUNG KALAU DARI AWAL DIAM SAJA DAN TIDAK IKUT CAMPUR!!"
Sang kepala sekolah terperenyak. Jelas sekali, pemuda albino di hadapannya saat ini, tengah tersenyum penuh kemenangan.
"Gitu katanya, Soraru-san."
Terdengar kekehan sang pemilik bariton. Namun, wujudnya tidak ada. Saat didengarkan lebih teliti lagi, Sang Kepala Sekolah menyadari suara itu berasal dari ponsel sang pemuda albino.
"Wah, bukan main," terdengar lagi si raven dari sana, "aku pikir Ketua sudah lupa kalau kita masih terhubung."
"Ya enggak, lah. Aku malah takut dari tadi Soraru-san atau yang lain akan buat suara aneh yang bikin kita ketahuan," balas Mafu seraya terkekeh balik.
"Sudah aku mute sepanjang percakapan tadi, makanya gak kedengaran apapun dari pihak kami."
Dialog itu memancing kebingungan sang Kepala Sekolah, "Apa maksudnya ini, Ketua OSIS?"
Menghela napas, Mafu menjawab, "Kepala Sekolah lupa, kah, kalau saat ini persidangan Sakata sedang berlangsung?"
Seketika itu juga sang Kepsek membelalak. Ia telah sepenuhnya tersadar, apa yang tengah terjadi sejak tadi.
Belum habis disana, Mafumafu menambahi keterangan, "Wakil Ketua dan Sekretaris OSIS hadir di persidangan sebagai perwakilan. Saya juga berstatus saksi. Akan tetapi, kami membentuk kesepakatan dengan pihak penyidik untuk diam-diam mengumpulkan bukti dan menjalin kerjasama dengan tiga teman Sakatan yang lain--"
"--Dan lewat telpon ini serta penyadap yang juga dipegang oleh jaksa, seluruh kesaksian yang terekam di ruang OSIS serta ucapan Anda juga, semuanya telah didengar oleh pihak pengadilan."
"Kau..."
"Jangan lakukan tindakan bodoh," si albino menukas lagi, "sebagai validasi, ruang OSIS dan ruang kepala sekolah ini sedang direkam dan dipantau langsung oleh pengadilan. Selain itu, saya juga telah mengatur lewat klub siaran, agar seluruh percakapan ini dan percakapan mereka yang di ruang OSIS, didengar seluruh siswa lewat pengeras suara di berbagai sudut sekolah."
"APA?!"
Mafumafu tersenyum. Meski ini bukanlah tindakan beretika, tentu ia tak merasa masalah. Semua sudah sesuai perhitungannya, takkan ada yang salah.
Merasa kehilangan akal untuk membalas, dengan rampang Kepala Sekolah itu berseru lagi, "Tetap saja! Temanmu itu sudah membunuh orang! Bagaimana kau bisa menjelaskan tindakan berlebihannya itu hanya untuk menolong seorang gadis??"
Mafu tampak bicara sendiri sejenak di telepon, menyuruh orang di ruang siaran mematikan seluruh speaker sekolah yang sejak tadi merekam mereka. Lepas itu, ia kembali meladeni sang kepala sekolah.
"Mulai dari sini, pembicaraan kita bersifat privasi," katanya, "Sakatan itu punya trauma di masa lalu terkait tindak pelecehan. Semua record-nya sudah kuminta untuk diserahkan ke jaksa. Karena itu, setelah kesaksian ini dapat dipastikan setidaknya dia akan mendapat keringanan hukuman--"
"--Syukurlah Sakatan tahu apa yang kurencanakan dan mengikuti perannya dengan baik. Semua berjalan mulus. Sekarang tinggal serahkan pada mereka bertiga di pengadilan. Kemudian, setelah semuanya beres, takkan ada yang protes jika aku menyatakan akan mengambil alih tempat ini. Kemenangan sudah pasti di pihak kami."
"Kau bicaranya terang-terangan sekali."
"Kan, telponnya sudah kumatikan. Hanya kau dan aku yang mendengar kalimat barusan, Pak tua."
Iblis. Pemuda yang kini duduk di hadapannya adalah iblis.
Menggertakkan gigi, nyalang sepasang netra Kepala Sekolah menatap merah darah yang tetap tenang itu. "Apa jangan-jangan, sejak awal... Yang seantero sekolah ini lakukan hanyalah menari di telapak tanganmu?"
Lihat itu sudut bibirnya terangkat. Menunjukkan senyum, kilat merah darah matanya berpendar seiras bros permata pada pita dasinya, "Kau benar, Kepala Sekolah," kata dia, "Sejak awal, semuanya sudah berjalan sesuai dengan perhitunganku."
***
To be Continued...
Pengumuman!
Dikarenakan ada urusan mendadak, sepertinya update chapter berikutnya akan mengalami penundaan selama sekitar dua sampai tiga hari:(( tapi coba liat nanti, Kafka sempet ato engga. Mohon pengertiannya, ya🙏
Sebagai penutup, Kafka pengen tau sejauh ini kesan pesan kalian soal book satu ini apa, sih, hehe:)) Tulis pendapat kalian disini, yaa😆
Bubaiii~~
July 18, 2022
-Sierrakafka-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro