02: Say Goodbye to Normal School Life
"Nee, nee, Soraru-san."
Mengesampingkan urusannya dengan gawai sejenak, Soraru beralih menatap si putih. Keduanya berjalan beriringan di sisi trotoar. Angkasa baru saja menggelap dan lampu-lampu jalan belum ada lima menit dinyalakan.
Pemuda yang lebih tua itu menoleh. Biru safirnya bersitubruk dengan merah delima. Selagi demikian, ia menjawab, "Apaan, Ketua?"
"Panggil nama saja," tukas si rambut salju, "kita sudah di luar jam kerja dan cuma berdua."
"Ah, kalau begitu... Mafu-kun?"
Mafumafu mengangguk puas. Lepas itu, ia baru melanjutkan dialog mereka,
"Jus apa yang rasanya paling ngga enak?"
Seketika itu juga atensi Soraru sepenuhnya milik Mafumafu. Sebelah alis terangkat. Meski sambil berjalan, rasanya ia tak akan bisa seratus persen fokus. Apa lagi ini? Jelas-jelas sekian menit kebelakang tiada konversasi dilakoni keduanya. Mereka hanya berjalan berdampingan sembari tangan terjalin agar tak saling hilang. Tiba-tiba entah darimana sekalinya buka mulut, pertanyaan tak jelas itu yang terlontar dari bibir si albino.
Jangan-jangan, orang ini memang lagi memikirkan sesuatu yang aneh.
Menyadari tatap seribu tanya yang ditujukan padanya, Mafumafu tanpa mengalih pandang dari arus pejalan kaki di depan mereka meneruskan, "Ini tebak-tebakan. Ayo jawab saja..."
Oh, tanpa bertanya Soraru bisa menduga bahwa pemuda ini tengah disergap suntuk. Memang, berjalan berdua saja begini tanpa bicara sepatah katapun akan menyiksa batin ketika dijalani terlalu lama.
Meskipun mereka hanya sekadar "pulang bareng sehabis mengurus para siswa yang dilarikan ke rumah sakit" pendekatan semacam ini adalah syarat yang mutlak biar sekadar basa-basi juga. Toh, sekarang mereka telah menjadi partner. Bukan hanya partner dalam hal jabatan organisasi, namun juga dalam hal 'kepentingan bersama' yang mengikat keduanya.
Jadi, kini si pucuk raven menyibukkan diri menerka. Agaknya jawaban macam apa yang diharapkan telinga Mafu untuk didengar. Otak Soraru yang terbiasa menjawab sungguh-sungguh biar seaneh apapun pertanyaan yang diajukan padanya kini berusaha keras.
Satu menit terbuang untuk mendapat hasil nihil. Merasa risih membuat Mafu menunggu terlalu lama, sebuah gagasan ia munculkan ke permukaan, "Pertanyaanmu itu sifatnya sangat subjektif. Orang yang ngga suka apel akan bilang jus apel yang paling ngga enak, sementara yang lain akan menjawab jus melon tidak enak."
"Oh, ayolah..." Mafumafu tergelak, "Jangan serius amat, deh, Soraru-san. Ini tuh cuma tebak-tebakan! Duh..."
"Ya maaf, nih. Selera bercandamu itu agak maksa dan ketinggalam zaman."
"Iya, deh, iya... kalau soal bercanda, kau memang ahlinya, Soraru-san~"
Celetukan itu mengundang bibir Soraru untuk mencibir. Mafumafu tersenyum melihat tingkah senior merangkap partnernya ini. Tanpa menunggu lama, Soraru kemudian bertanya, "Jadi, apa jawabannya?"
"Jus friend." Jawaban pendek dirilis terbungkus wajah tanpa dosa membuat Soraru tercengang.
Astaga, sisi absurd apa lagi ini yang baru dia pelajari dari si putih berpipi barcode.
Tidak tahu, atau sebenarnya enggan menanggapi, entahlah. Yang jelas Soraru hanya diam memandang Mafu dengan tatap lelah. Rupanya jawaban si putih tak seribet ekspektasinya. Atau sebenarnya ribet? Ah, sudahlah.
Mereka berdua tiba di persimpangan besar kala Mafu tersentak seperti baru mengingat sesuatu. "Oh, iya,"kata dia nyaris memekik, "habis ini, aku mau ke tempat Sakatan. Soraru-san mau ikut?"
Tanpa ia duga rupanya geleng pelan tanda penolakan diajukan si surai kelam. Soraru tersenyum tipis,"Tidak. Soalnya ada tempat yang mau kusinggahi."
Sebetulnya acara komedi tak begitu menarik minat Urata. Ia hanya terbiasa menyalakan televisi selagi menyiapkan makan malam. Maklumlah tiada penghuni selain dirinya di rumah kecil itu. Membuat keramaian minor sebagai pelipur sepi bukan hal yang buruk, kan?
Sepiring omurice kini telah tersaji di atas meja makan yang langsung menghadap ke televisi. Si pemuda rakun baru saja selesai memanjatkan doa dan bersiap meraih sendok. Ia pasti sudah mulai melahap santap malamnya, kalau saja dering bel pintu tidak menginterupsi.
Dengan sedikit ogah ia melenggang. Dihampiri pintu depan yang berdiri kokoh, kemudian membuka tanpa mengecek lubang pintu terlebih dahulu.
Maka ia dapati kemudian pemuda raven yang tersenyum tanpa dosa selagi tangannya menenteng sebuah kotak. Belum sempat Urata yang tiba-tiba semakin jengkel melayangkan protes, si tamu keburu menyambar dengan tangan menggoyang-goyang kotak tentengan, "Urata-kun, udah makan?"
Lawakan si komedian di televisi sama sekali tak membuat Urata tertawa. Jari telunjuk kanan si rakun sibuk mengetuk gusar meja makan sedangkan tangan kiri menumpu dagu. Dengan wajah masam, ia hanya bisa mengutuk dalam hati sosok yang kini asyik menyantap omurice makan malam di hadapannya.
"Kenapa malah jadi kau yang makan jatah makan malamku, Soraru sialan?!"
"Hee? Nanti sayang dong donat yang sudah susah payah kubelikan untukmu?"
"Kau, kan, tahu aku ngga begitu suka donat!"
"Eh yang benar? Maaf, deh, aku lupa."
Sialan. Atas azam apa orang ini tiba-tiba sudi bersua ke kediamannya? Sudah begitu, tanpa tahu malu seenaknya memakan jatah makanan yang sudah susah payah dibuat, pula. Sedikit mengenyahkan rasa dongkol, Urata melirik sekotak donat edisi terbatas yang terletak tak jauh dari tempat ia duduk.
"Itu susah, loh, dapatnya," tiba-tiba Soraru berceletuk, "aku dan Ketua OSIS susah payah menerobos antrean toko kue ngetren yang baru buka itu."
Hih, jeli benar matamu.
Menghela napas dalam-dalam, Urata mempertebal dinding kesabaran sebelum kembali memulai dialog, "Jadi, apa yang membuatmu datang kemari?"
Dengan tatap sok tersakiti, Soraru lantas membalas. "Jahatnya... memang ngga boleh aku berkunjung ke rumah temanku sendiri?"
"Sudahlah, berhenti bermulut manis. Lagipula kau pernah kemari cuman sekali waktu SMP. Keren juga kau masih ingat alamatku sampai sekarang." Dialog terhenti sesaat, sebelum Urata kembali melanjutkan, "Omong-omong soal rumah..."
Netranya melirik, menatap si pemilik netra samudera. "Orang-orang di rumahmu, apa keluarga besarmu sudah tahu?"
Ah, wajah tenang yang tersenyum simpul itu sudah cukup menjawab pertanyaan Urata. Harusnya dia sudah tahu. Bodoh sekali masih bertanya. Sekali lagi si manik zamrud menghela napas. "Benar juga," cibir dia, "kalau itu kau, mana mungkin mereka tahu."
Kekeh pelan diberi sebagai sahutan atas cibiran itu. Tak lama setelah mengenyahkan piring yang telah kosong, si raven menepuk tangannya sekali. "Oh, iya. Selamat, ya, atas debut kalian."
Sempat mendelik sesaat, Urata segera menanggapi, "Hah! Jangan bilang maksudmu membelikan aku donat itu sebagai perayaan debut hitam kami?"
"Aku baik, kan?"
"Dasar sakit jiwa."
"Aku bawa cermin saku, nih. Mau pinjam?"
Urata mendecih. Berurusan dengan orang ini memang kerap membuat dirinya sakit kepala. Terutama perkara bagaimana orang ini selalu bisa mengatakan hal-hal yang membuat tensinya naik dengan mimik kalem seperti itu, Urata paling tidak tahan.
Membuka kotak donat, Urata cukup tertegun menyaksikan enam buah roti bulat berlubang itu hadir dalam berbagai warna dan taburan. Serta mungkin, rasa juga. Ia jadi ingat perkataan orang-orang kalau memakan makanan manis, suasana hati akan membaik. Perlukah ia buktikan sekarang?
Untuk itulah, tangan si rakun tergerak mengambil sebuah donat yang dihias cokelat leleh. Satu gigitan, lumayan. Ternyata rasanya enak juga. Ia jadi keterusan melahap roti manis itu. Persetan dengan reaksi Soraru yang kelihatan senang. Kalau si rakun menanggapi hal ini, ia yakin sang siswa teladan akan membalas dengan kalimat yang lebih memancing emosi.
Sebagai gantinya, Urata menanyakan hal lain, "Kenapa kau membocorkannya? Kau tidak ingat janjimu padaku empat tahun lalu?"
Lihat itu bibirnya yang masih setia terangkat. Wajah yang menurut Urata menyebalkan. Si manik zamrud menghela napas panjang, "Maashi, Sakata, dan Senra juga. Kami berempat hanya ingin punya kehidupan damai sebagai siswa biasa."
"Memangnya selama ini kalian sudah menjadi siswa biasa?" Urata tertegun. Kilat biru di mata sang teman seangkatan seperti menarik Urata tenggelam jauh ke laut yang begitu dalam. Sorot mata yang kini tersaji di hadapannya tak mungkin diperlihatkan pada orang lain. Setidaknya, tidak pada orang-orang yang mengira pemuda berambut kelam ini waras.
Soraru melanjutkan, "Kalian mendapat perundungan dari orang yang 'lebih lemah' dari kalian. Kalau aku dan Ketua OSIS tidak menawarkan kesepakatan ini pada kalianpun, kalian akan meledak dengan sendirinya dalam waktu dekat. Mau pilih yang manapun, memang sudah waktunya kalian mengucap selamat tinggal pada kehidupan sekolah kalian yang biasa saja. Soalnya sejak awal, sudah mustahil kalian hidup sebagai pelajar normal."
Prediksi yang mengerikan, tapi akurat. Urata tak bisa menyangkal bahwa belakangan kondisinya terombang-ambing di perbatasan. Sekat antara moral dan egonya itu tipis, jadi bisa roboh kapan saja. Meski pasca lulus SMP ia telah berikrar untuk hidup sebagai pelajar normal pada jenjang pendidikan berikutnya, tak terhitung sudah berapa kali Urata nyaris menyerah pada sang ego.
Memang jika boleh dikata, sepertinya keputusan takdir telah bulat untuk terus mengikatnya bersama katastrofe. Semua sudah salah sejak nuraninya mengalami penyimpangan. Bukan hanya soal perkara hidup, bahkan orang-orang yang singgah dalam kehidupannya juga cacat secara emosional. Contoh termudah? Tentu pemuda raven yang kini masih duduk di hadapannya.
Biar begitu rasa maklum tidak lantas mengambil alih nurani Urata. Pemuda itu kembali bertanya, "Meski begitu, kau tetap melanggar janjimu dengan memberitahu Ketua OSIS perihal aku yang dulu. Kenapa kau melakukannya?"
"Aku ada alasan sendiri," balas Soraru tenang, "yang jelas, situasi akan lebih menguntungkan kalau anak itu juga tahu. Tenang saja, dia pandai menjaga rahasia."
"Kau tahu masalahnya bukan itu, kan, Soraru?" kali ini sepasang emerald menatap tajam. Soraru tak merasa gentar, malah terhibur dengan reaksi pemuda rakun yang semakin merasa jengkel.
Satu donat lagi Urata ambil dari kotak selepas memutus kontak mata dengan Soraru. Andai merampas nyawa seseorang adalah sesuatu yang legal, Urata sudah melakoninya sejak tadi. Akan tetapi bukan hal itu yang menjadi pokok persoalan, melainkan sosok yang ingin dia kirim ke alam sana itu sendiri. Benar, lawannya adalah Soraru. Hal itu yang menyebabkan niatnya tertahan sebatas keinginan batin.
Karena Urata tahu benar, setan macam apa yang berada di hadapannya saat ini.
Sekian sekon dilalui keduanya dalam keheningan total. Entah ada alasan apa angin malam itu tak bertiup, menyisakan kebisuan tiada celah bahkan bagi suara-suara serangga sekalipun. Sampai pada suatu titik, Soraru memundurkan kursinya dan berdiri.
"Baiklah, urusanku di sini sudah selesai, sepertinya. Aslinya masih ada lagi, sih... tapi kayaknya ngga usah, deh," si raven berujar.
Sebetulnya kalimat "Bagus, cepat pulang sana," adalah sesuatu yang ingin Urata ungkapkan sebagai bentuk pengusiran pasif. Akan tetapi, yang terlontar dari mulutnya malah menikung tajam menjadi, "Lalu, donatnya?"
Soraru sempat ingin tertawa karena tercengang atas pertanyaan konyol hasil bantingan niat tersebut, tapi pada akhirnya tetap menanggapi serius, "Itu sisa empat, kan? Bagilah sama junior-juniormu yang imut itu. Mereka juga pasti senang atas traktiranku."
"Hah! Padahal jangan-jangan yang bayar donat ini Ketua OSIS, bukan kau."
Seketika Soraru yang tengah dalam proses mengenakan sepatu di pintu masuk tak bergeming. Dirinya terdiam sejenak sebelum menoleh ke arah Urata dengan wajah kagum. Aksi pelik itu segera mengundang tanya dari yang bersangkutan.
"...Apa?"
"Urata-kun keren, ya..."
"Apanya yang keren?" firasat si rakun tidak enak.
"Kau bisa tahu kalau donatnya dibayar pakai uang Mafumafu..."
"AGH! BODO AMAT DAH. CEPAT PULANG SANA!!"
-
-
-
Shima sudah lama menghilangkan kebiasaan berangkat lima menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Menjadi anak rajin dan serius menekuni pendidikan adalah jalan hidup yang ia tentukan begitu menapaki langkah pertama di kota ini.
Karena itu, untuk saat ini sulit baginya masih berada di rumah setelah pukul enam. Akan tetapi, sepertinya khusus hari ini si surai ungu telah tiba di sekolah lebih pagi dari biasanya.
Kalau boleh jujur, sebenarnya ada banyak hal yang tengah dipikirkan Shima. Terutama soal perasaan yang ia rasakan sore lalu saat menghajar orang-orang itu. Sensasi yang menggelitik hati kala ciprat darah mewarnai penglihatan, suara renyah dari benturan tulang sama tulang bersamaan dengan rintih ngilu memenuhi telinga, serta bau debu bercampur karat merah menyeruak hidung membawa dirinya bernostalgia. Sang pemuda menunduk, menatap kepalan tangan sendiri.
"...Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku menghajar orang..." ia menggumam seorang diri.
Saat itulah secara insidental ekor matanya menangkap beberapa orang anak berjalan mengendap menuju bagian belakang sekolah. Shima memicingkan mata, merasa pelik melihat kejadian mencurigakan itu.
Hanya berbekal analisis penampilan Shima langsung tahu bahwa anak-anak itu termasuk berandalan sekolah. Firasatnya mendadak tak enak. Jangan-jangan karena ulah mereka berempat petang lalu, para berandalan sekolah berkumpul untuk melancarkan serangan balasan.
Situasi itu bisa menjadi sangat gawat. Karenanya, Shima memutuskan menguntit mereka diam-diam dari belakang. Saat pada akhirnya mereka telah tiba di halaman belakang sekolah yang lumayan terpencil, Shima bersembunyi di balik sesemakan.
Pemuda itu terus menunggu. Pikirnya, tak lama lagi para berandalan yang lain akan segera datang dan ia punya pendengaran yang cukup tajam untuk menguping. Tetapi siapa sangka rupanya prediksi Shima meleset.
Tak ada orang tambahan yang datang bergabung. Sejumlah anak tadi mengeluarkan sesuatu dari kantong seragam mereka usai memastikan tiada mata yang mengawasi. Shima terkejut mendapati benda yang mereka keluarkan berupa bungkusan putih yang terbuat dari bahan kertas.
Hati sang pemuda berasumsi bahwa diam saja bukanlah keputusan yang bijak. Maka dari itu, Shima segera bangkit dari tempatnya dan mulai menunjukkan kehadiran secara terang-terangan.
"Oi!"
Panggilan kasar itu tentu membuat mereka terlonjak. Meski sempat berniat berlaku galak untuk membalas, mereka segera pucat tatkala melihat wajah Shima.
"H-hey, i-itu anak yang kemarin sore, kan, yang menghabisi para senior sampai mampus?" ujar salah seorang anak terbata. Yang lain mengiyakan, "Hah, kau benar! L-lari, kita harus lari!"
Niat awal Shima yang ingin langsung mengejar lalu menghajar mereka sirna. Atensinya teralih pada bungkusan putih yang sempat dilempar anak-anak itu, kini jatuh ke tanah.
Sempat timbul pertanyaan mengapa mereka segitu pengecut, tak bernyali menghadapi Shima padahal sekadar perkara senior mereka dibuat babak belur olehnya kemarin sore. Memangnya kalian tak punya kepercayaan diri pada kemampuan kalian? Masih ada kemungkinan kalian menang, bukan?
Akan tetapi ditepis segala pemikiran itu oleh Shima. Ia pungut bungkusan yang jatuh ke tanah. Dirundung penasaran, akhirnya Shima mencoba mengintip isi dari bungkusan itu. Sekian detik kemudian ia tampak membatu, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
"I... Ini, kan..."
Hatinya terasa mengganjal, diliputi perasaan cemas. Shima berusaha menepis dugaan yang timbul di benaknya, namun tak bisa. Pada taraf ini, pemuda itu sudah tak bisa lagi berbaik sangka pada apa yang kini berada dalam genggam tangannya.
"Tapi, masa, sih?"
Ia tertegun, merasa bimbang atas keputusan apa yang sebaiknya diambil. Haruskah ia membuang bungkusan itu? Atau perlukah ia memberitahu hal ini pada ketiga temannya? Bagaimana kalau menyerahkan ini ke BK? Tidak, mungkin ke Ketua OSIS merupakan opsi yang lebih ia percaya.
Pergelutan batin sempat terjadi pada diri Shima sebelum akhirnya pemuda beriris violet itu memutuskan untuk menyembunyikan hal ini sementara waktu. Shima segera pergi dari tempat itu, berjalan kembali menuju ke kelas.
Anak-anak lain yang turut menjadi staff persiapan lapangan lebih enggan terlibat dengannya pasca kejadian sore lalu. Sakata sudah menduga hal ini akan terjadi, tetapi hatinya tetap saja merasa kesal. Meski tujuan yang ia deklarasikan adalah pembalasan dan perlawanan, tak efektif sama sekali untuk mengenyahkan segenap pasang mata yang memandang dirinya sebagai penjahat.
Setiap orang yang ia lewati menghindar terang-terangan. Bahkan penanggung jawab staff jadi segan bicara padanya. Sakata tentu sangat paham, inilah konsekuensi yang harus ia tuai dari keputusan yang ia ambil. Tiada sesal yang diizinkan, tak ada jalan kembali. Semua sudah ditentukan sejak mereka memutuskan memulai debut mayor kemarin sore.
Menjadi pegangguran dini adalah hasil lain yang ia dapatkan, begitu juga tiga kawan setimnya yang kini telah tertangkap ujung penglihatan. Si merah berjalan mendekat. Lambat laun figur tiga rekannya yang ternyata telah mengakrabkan diri dengan kebosanan semakin jelas terlihat.
"Ternyata benar, bukan hanya aku yang jadi kurang kerjaan karena kejadian kemarin sore," begitulah kata pembuka yang ia lontarkan begitu bergabung. Shima mengerang, "Iya, semua teman di kelas jadi takut padaku! Kalau begini tidak ada bedanya dari pas aku SMP..."
"Kurasa kemarin kita memang berlebihan, ya?" kali ini Senra yang bicara. Sakata menjawab pernyataan itu dengan gelengan. "Tidak, debut kita kemarin sukses besar," tandasnya, "kita berhasil membuat siswa lain jadi takut pada kita. Memang itu, kan, tujuan debut kita kemarin sore?"
Seketika Urata menyambar pula, "Malah menurutku kemarin kita masih kurang, loh... padahal cuma kayak gitu, tapi orang-orang langsung pada takut sama kita? Aku benar-benar ngga habis pikir."
Detik itu juga tiga junior menatap datar, sepakat menobatkan Urata sebagai orang paling dipertanyakan mentalnya diantara mereka berempat.
Tanpa berlama-lama nyaman dengan keheningan, sang senior mengeluarkan kotak berisi empat buah donat dari tasnya. Tentu tiga junior memandang roti manis itu kagum. "Ura-san," Sakata berkomentar, "aku baru tahu kalau Ura-san suka beli makanan manis-manis..."
"Heh, ini bukan aku yang beli. Soraru yang seenaknya memberi saat berkunjung semalam," dengan segera Urata mengonfirmasi. Tentu pernyataan ini berdampak kejutan bagi trio junior.
"Eh? Ini dikasih sama Wakil Ketua OSIS? Wow... padahal dari gosip cewek-cewek di kelasku, donat ini edisi terbatas yang ngantrinya minta ampun dan harganya lumayan mahal. Wakil Ketua OSIS ternyata baik juga, ya..." tanggap Shima terpukau.
"Hah! Jangan suka menilai orang dari sampulnya, nanti kau menyesal. Dia itu orang yang paling tak ingin kulibatkan dalam hidupku,"si rakun menukas.
"Karena dia murid teladan?" Senra bertanya.
"Karena dia sinting," Urata menjawab kilat.
"Memangnya Ura-san ngga sinting?" celetukan yang keluar dari mulut Sakata selagi mencomot sebuah donat itu sukses mengundang geplakan dari si senior. Urata mengomel, "Woi, jangan samakan aku dengan dia! Sakata, kau sudah lama berteman dengan Ketua OSIS, kan? Seharusnya kau paham dengan apa yang kurasakan!"
Sakata meringis, "Aduduh... loh? Kenapa jadi Mafu dibawa-bawa?"
"Karena mereka berdua sudah seperti berbagi sel otak yang sama! Bertahun-tahun aku hidup dengan menilai orang lain. Penilaianku tidak pernah salah. Tidak ada yang lebih cocok jadi partner si gila itu selain Ketua OSIS. Bahkan kalau ada yang bilang mereka berdua saudara kembar pun aku pasti percaya!"
"Hee..." Sakata melahap donatnya, "pantas saja aku selalu merasa familiar kalau melihat wajah Wakil Ketua OSIS."
Ternyata karena hawa orang itu mirip dengan si Mafu, toh?
Kalau begitu kasusnya, Sakata juga tidak mau melibatkan orang itu dalam hidupnya. Berteman dengan Mafumafu saja sudah lebih dari cukup untuk mendegradasi mentalnya. Kalau nambah satu orang lagi? Entahlah, Sakata tidak yakin dia bisa menikmati hidup nyaman.
Omong-omong soal si rambut salju itu, Sakata jadi teringat sesuatu. Mumpung masih tahu apa yang harus disampaikan, si rambut merah memutuskan buka mulut, "Oh, ya, teman-teman. Ini soal target kita berikutnya..."
Seketika tiga pemuda yang tengah asyik menikmati donat menghentikan kegiatan mereka. Senra menyahut heran, "Target berikutnya? Kita, kan, baru membuat keributan kemarin. Sekarang sudah mau membuat keributan lagi. Apa tidak terlalu cepat?"
"Justru karena baru kemarin," potong Sakata, "kalau kita terlalu lama melakukan pergerakan berikutnya, orang-orang akan menganggap kita angin lalu. Dengan sendirinya mereka akan melupakan kita. Agar itu ngga terjadi, kita harus terus berperan aktif dan selalu punya target."
"Merepotkan, ya," celetuk Shima, "aku paling gabisa ngelakuin hal kayak gitu."
"Itu sih karena kau sudah terkenal secara alami sebab brutal dari sananya. Jadi kau ngga perlu repot-repot sengaja merencanakan hal jelek terjadi," sarkas Urata.
Dua orang itu sempat berdebat sebentar, sebelum akhirnya Shima menyerah dan memilih untuk mengoper fokus pada hal yang sebelumnya dibahas Sakata. "Jadi, siapa, nih, target kita selanjutnya?"
Terlihat seringai muncul di wajah Sakata. Sambil berdiri lalu meregangkan badan, ia berkata, "Pas sekali, Maashi, kamu dulu berandalan, kan?"
Anggukan pengiyaan dari si netra amethyst. Sekarang netra itu bertemu pandang dengan merah delima. "Pas banget," lanjut si merah, "target kita berikutnya adalah berandalan sekolah."
Mendengar hal itu, memori Shima berputar kembali ke waktu pagi tadi. Tanpa sadar pemuda itu refleks menyentuh saku celana, meraba bungkusan yang sama sekali belum ia buka terang-terangan. Hingga saat ini, hati kecilnya masih diliputi kebimbangan. Shima masih belum bisa memutuskan apakah hal ini perlu ia sampaikan atau tidak.
Sepertinya Urata menyadari hal itu. Karenanya ia lalu menegur, "Maashi, aku harap kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari kami."
Seketika yang lebih muda tersentak. Saat itu juga Shima menyadari bahwa ia takkan bisa menyembunyikan apapun dari orang-orang ini. Maka ia menghela napas, merogoh ke dalam saku untuk mengeluarkan bungkusan tersebut.
"Aku menemukan ini dibawa oleh beberapa berandalan sekolah tadi pagi. Aku tak mau berpikir yang macam-macam, makanya sampai sekarang aku diam saja soal ini," Shima menjelaskan.
Urata mengambil bungkusan itu, mengamatinya dengan saksama. Senra dan Sakata turut menunjukkan ketertarikan. Tak lama, si pucuk merah menjentikkan jari, "Aah... jadi ini, ya?"
Satu kalimat itu membuat Shima terkejut, sama seperti Urata dan Senra. "Apa maksudnya, Sakata?" Senra menjadi perwakilan suara. Tangan si merah bergerak membuka bungkusan putih tersebut, memperlihatkan segunungan kecil bubuk putih yang menjadi isinya. "Kemarin malam Mafu datang ke tempatku, dia bercerita soal peredaran obat-obatan terlarang terjadi di kalangan para siswa. Hal ini jadi PR yang sangat susah buat OSIS."
"Obat-obatan terlarang? Di sekolah ini?? Gila, ya?!" Urata refleks menggebrak meja tak terpakai terdekat dari tempatnya duduk. Sakata menyawang heran si pemuda zamrud, "Apa Wakil Ketua OSIS tidak mengatakan apapun padamu? Bukannya kau bilang semalam dia main ke tempatmu?"
"Ha?? Si br*ngsek itu ngga bilang apa-ap—"
Aslinya masih ada lagi, sih... tapi kayaknya ngga usah, deh.
Memori kilat barusan sukses membuat alis Urata berkedut. "Ah... si sialan itu..." mulutnya menggerutu. Apa lagi ini? Jangan-jangan maniak berkepala raven itu sudah mengembangkan skill berkongkalikong dengan si albino tanpa harus tatap muka terlebih dahulu? Dilihat dari reaksi Sakata sekian sekon lalu, jelas terlihat bahwa Mafu tidak mengatakan apa-apa soal Soraru yang bertandang ke rumah si zamrud. Itu berarti tiada kesepakatan antara keduanya soal hal seperti ini.
Gila. cara mereka berdua membaca alur masa depan itu gila.
"Tapi nekat banget, ya..." gumaman Senra mengalihkan lamunannya, "biar gimanapun mengedar obat seperti itu di lingkungan sekolah kita ini terlalu berisiko."
Perkataan Senra tidak salah sebenarnya. Sekolah mereka memang merupakan sekolah elit dengan biaya masuk yang bahkan lebih dari cukup untuk membeli sebuah mobil. Kecuali otakmu cukup cerdas untuk mendapat beasiswa, kau takkan bisa masuk ke tempat ini. Urata, Shima, Senra, dan Soraru adalah contoh dari sangat minimnya golongan tersebut. Memang laba yang didapat akan lebih besar jika berdagang di tempat ekslusif kalangan borjuis semacam ini, tetapi sejauh yang mereka tahu aturan dan keamanan sekolah ini cukup ketat dan berbahaya untuk dimasuki hal-hal tabu semacam obat terlarang.
"Pasti ada permainan di belakang," sebuah gagasan meluncur dari lisan Sakata. Tiga rekan yang lain terhenyak. Si merah melanjutkan opininya, "Mafu sampai tidak bisa turun tangan sembarangan, berarti ada kaitannya dengan pihak sekolah. Kalau tidak begitu mana mungkin sampai sekarang hal kayak gini masih rapat sekali?"
"Jadi," Shima memotong, "apa yang musti kita lakukan sekarang?"
Ah... Sebenarnya bagian inilah yang paling membuat Sakata sebal. Sudah tahu otaknya paling tidak mumpuni merancang siasat, masih disuruh berpikir sendiri pula. Sakata masih ingat betul senyum inosen si pipi barkode saat dengan enteng berucap, "Nah, entahlah. Kira-kira kau harus ngapain, coba?"
Yang lebih parah, Urata yang ia yakini cukup cerdas untuk merancang hal semacam ini malah tidak diberi tahu lebih awal. Labirin pemikiran pasangan ini rupanya segitu rumit sampai tak bisa dia lacak. Mengesalkan plus membuat frustrasi. Sakata bisa merasakan otaknya berasap.
Tidak, tidak. Bukan perkara ia tak punya satu atau dua cara yang terpikir. Justru sebaliknya ia tengah membaca arah pikiran Mafu. Sebenarnya goal seperti apa yang diharapkan albino itu dari mereka dengan memberikan persoalan ini? Tentu ada banyak kemungkinan. Bersahabat selama belasan tahun tidak menjamin Sakata tahu keseluruhan peta kontemplasi si albino.
Jadi, kalau tak bisa dengan cara pikir si putih, bagaimana dengan partnernya?
"Kalau gitu boleh aku bicara?" Urata angkat suara. Tentu tiada pertentangan dari yang lebih muda. Pemuda rakun kemudian melanjutkan, "Kalau dari tindakan Soraru semalam yang memilih tidak mengumbar masalah ini, berarti ini kasus yang bahkan tabu untuk dibahas di kalangan OSIS."
"Woah, Ura-san bisa mikir kesana? Keren."
"Aku benci mengakuinya, tapi setiap tindak tanduk orang itu pasti ada maksud tertentu. Kayaknya dia tahu Ketua OSIS juga berniat lepas tangan, makanya Soraru meninggalkan sejumlah clue saat bertamu semalam."
Baiklah, sekarang Sakata semakin yakin dua orang ini telah berbagi sel otak yang sama.
Kembali ke persoalan. Kali ini Shima yang berinisiatif bicara selepas menangkap maksud perkataan Urata, "Jadi intinya, bahkan masalah obat terlarang ini ngga dibicarakan oleh OSIS padahal termasuk perkara yang sangat serius? Gara-gara pihak sekolah menyuruh OSIS tutup mulut?? Sulit dipercaya! Padahal harusnya yang namanya sekolah menghindarkan siswanya dari racun perusak macam ini!"
Urata mengangguk, "OSIS itu organisasi resmi dibawah pengawasan sekolah. Intinya, bisa kita sebut organisasi bentukan sekolah. Kalau ketuanya saja sampai membentuk bayangan seperti kita ini, berarti dari pihak sekolahnya memang sudah tidak beres sampai tidak bisa diandalkan lagi. Apa aku salah?"
Tentu saja tak ada bantahan. Mereka berempat sudah sepakat akan satu hal; sekolah ini gila. Seseorang memang harus membereskan tempat ini. Dan perkara gila semacam ini juga harus ditangani oleh orang-orang yang gila.
Tidak, bahkan harus oleh yang lebih gila.
"Oh!" tiba-tiba saja manik Sakata melebar, "benar... sepertinya, aku tahu apa yang dia minta dari kita..."
Seringai lebar itu sepertinya masih kurang cukup menggambarkan betapa baik suasana hatinya saat ini. Karena itu, tawa kecil turut lolos dari lisan si albino. Soraru yang baru meletakkan buku berkas di lemari jadi menoleh padanya.
"Bagaimana? Cukup, kan?" katanya tenang.
"Aah," netra semerah darah mengalih fokus dari entah kemana, jadi menuju sepasang manik sewarna samudera itu, "Soraru-san memang paling mengerti, deh. Yap, sudah cukup, harusnya."
Urata mendengus. Sudut bibirnya turut terangkat selagi Sakata memperlihatkan mimik puas. "Baguslah kalau begitu," ujar si rakun, "aku juga jadi tahu apa yang harus kita lakukan..."
***
To be Continued...
July 13, 2022
-Sierrakafka-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro