Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01: First Trash to Begin with

Bunyi gemericik air di wastafel memenuhi ruangan. Pemuda bersurai kuning itu terdiam, menatap pantulan dirinya sendiri pada cermin kamar mandi. Wastafel putih itu mulai memerah, tatkala setetes cairan berbau tembaga basah jatuh kemudian besdirpersi disana.

Ia kemudian beralih menatap gunting di tangan. Merah, bilah besinya telah ternoda merah. Pada titik itu sang pemuda baru sadar akan keberadaan sebuah luka menganga lebar pada telapak tangannya.

"Ah..." gumam dia, "aku menggenggam terlalu erat, kah?" Sejenak setelah ia berkata begitu, bilah gunting diangkat, terhunus tepat di depan mata kirinya. Tak butuh waktu lama darah mengalir menuruni dagu sang pemuda, dan dia hanya terdiam mengamati keadaan mata kirinya yang sekarang.

"Senra, masalah yang terjadi di rumahmu... adalah alasan kenapa sampai sekarang kau menjadikan self-harming sebagai hobi, dan alasan mengapa sekarang kau bermasalah dengan rasa sakit."

Perkataan si merah kembali terngiang. Pemuda bernama Senra itu tertegun, mengabaikan semburat merah yang semakin lama semakin mendominasi wastafel.

"Tidak... sakit..." katanya pada diri sendiri. Benar juga. Kenapa dia baru sadar sekarang ya, kalau semua goresan yang ia buat di tubuhnya setiap hari itu tidak terasa sakit sama sekali?

Tak lama kemudian, ia membersihkan diri. Pemuda itu dengan telaten menutupi seluruh bukti penganiayaan yang ia lakukan pada tubuhnya sendiri. Ia mengurus semua dengan hati-hati, rapi tanpa kesalahan sedkitpun. Dengan memasang eyepatch sebagai sentuhan terakhir, rutinitas paginya kini telah selesai.

Karena sepotong sandwich minimarket sudah cukup sebagai pengisi perut, Senra memutuskan langsung berangkat setelah memastikan seluruh barang yang ia perlukan telah masuk dalam tas. Dilayang pandang, menyapu setiap sudut unit apartemen kecil tempat kini ia tinggal seorang diri.

Rumah... entah kapan terakhir kali ia menginjakkan kaki ke tempat itu. Tak sebersitpun rasa rindu hinggap di hati Senra. Tentu saja, karena tak ada hal bagus yang bisa ia ingat dari bangunan yang konon merupakan 'tempat dimana kau akan selalu ingin kembali' itu.

Sepuluh menit jalan kaki bukanlah jarak yang begitu jauh. Meski demikian, Senra setidaknya selalu sudah tiba di sekolah sekitar satu jam sebelum bel masuk berdering. Rajin? Ah, rasanya bukan itu. Ia hanya tak punya kegiatan lain saja di apartemen.

Selagi meniti langkah menuju kelas, Senra asyik menikmati sunyi suasana sekolah yang masih sepi. Mungkin karena lengangnya koridor, ia jadi punya waktu untuk merenung. Pikirannya kembali melayang pada kejadian tempo hari di ruang OSIS, dimana ia dan tiga pemuda lain mendapatkan sebuah mandat yang menurutnya tidak masuk akal.

Ia ingat betul wajah risih Urata ketika bersitatap dengan wakil ketua OSIS sore lalu. Meski kesan pertama yang Senra dapat darinya ialah karisma luar biasa yang terpancar dari potret seorang murid teladan, tak bisa dipungkiri ia selalu gagal mengenyahkan perasaan janggal dan tidak nyaman setiap kali netranya bertemu pandang dengan biru samudera itu.

Terlebih, alur pembicaraan Urata dan Soraru yang dipenuhi lubang kosong mau tak mau menyulut tanda tanya besar dalam batin Senra mengenai apa sebenarnya hubungan antara kedua seniornya itu. Tetapi, diantara semua kepelikan yang ia dengar, permintaan yang diajukan oleh Sorarulah yang paling aneh menurut dia.

"Aku ingin kalian menerima 'peran' yang diberikan Ketua OSIS pada kalian. Dengan begitu, keseruan yang sebenarnya akan segera dimulai..."

Seketika lamunan Senra terhenti tatkala ia mendengar suara yang sedikit gaduh tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Merasa penasaran, pemuda itu mencoba mengintip apa yang sebenarnya menyebabkan kegaduhan kecil itu. Alangkah terkejut dia mendapati Sakata tengah menjadi samsak tinju beberapa orang yang tertawa senang.

Senra hanya diam, mengamati sampai orang-orang itu bosan menghajar si merah yang tak memberi perlawanan. Setelah dirasa keroyokan itu tidak menarik lagi, mereka langsung pergi meninggalkan Sakata sambil mencemooh. Selepas orang-orang itu raib dari pandangan, barulah Senra menghampiri Sakata.

"Seperti biasa pagi-pagi sudah bonyok saja, ya, kamu," celetuk Senra selagi Sakata mengelap sudut bibirnya yang berdarah. Pemuda bermanik delima itu mendengus, kemudian berdiri sembari menyahut, "Para cecunguk itu beraninya main keroyok saja. Padahal mereka ngga kuat-kuat amat, tapi banyak lagak sekali."

"Yah, lagipula," lanjutnya kemudian, "mereka adalah sampah pertama yang harus kita bereskan."

Perkataan itu membuat Senra tersentak. Rupanya benar mereka berempat telah menerima mandat yang diserahkan pada mereka, memutuskan untuk melakoni peran yang telah diciptakan oleh sang penulis skenario. Dan untuk memulai pertunjukan besar yang mereka tampilkan, mereka memang harus membersihkan diri dari lakon yang lama.

"Jadi, pertama-tama yang harus kita lakukan memang membersihkan sampah yang ada tepat di depan kita," tanpa sadar bibirnya berucap demikian. Hal ini ternyata membuat si surai merah terkesan, "Kau bisa mengatakan hal yang keren juga, ya, Senra."

"Memangnya barusan itu hal yang keren?" pertanyaan terlontar seiring alis si kuning bertaut. "Tentu saja," Sakata tak ambil pusing, "kalau dipikir lagi orang-orang yang selama ini membuli kita kan memang sampah. Sampah besar yang berada tepat di depan kita."

Kemudian mereka berjalan beriringan, masuk ke kelas. Sakata menolak Senra yang membujuk agar mereka singgah dulu ke UKS. Katanya, merepotkan. Sakata tahu Senra selalu membawa kotak obat dalam tas. Jadi, ia lebih memilih Senra yang piawai merawat luka untuk mengurus luka-lukanya.

Tepat ketika plester terakhir telah tersemat di pipi, Sakata segera berujar, "Kita berempat harus menyiapkan panggung debut yang sempurna. Pertunjukan babak pertama yang meriah untuk memulai pentas besar kita."

"Perlu kita diskusikan sekarang? Memangnya kita akan debut hari ini juga?" Senra menukas cepat. Sakata menggoyang jari telunjuk tanda tak setuju. "Tentu tidak. Lebih baik kita bicarakan juga dengan Maashi dan Ura-san. Sepeti kataku tadi, panggung debut kita memang harus meriah."

"Tentu saja ada banyak jalan menuju Roma," pungkas Urata siang itu, saat mereka berempat berkumpul di pojok sekolah untuk santap siang bersama. "Kebetulan aku sudah diambang batas kesabaran. Menghajar mereka sampai mampus dalam waktu dekat adalah pilihan yang tepat," ia menambahkan kemudian.

Jujur saja Sakata lumayan terkejut. Ternyata seniornya punya sisi yang seperti ini. Sebetulnya tidak mengherankan si pemuda rakun punya segudang cara mengingat berbagai hal telah ia lakukan di masa lalu. Namun, tetap saja masih terasa asing lantaran Sakata baru pertama kali menyaksikan Urata yang seperti ini.

"Jadi," Sakata buka suara, "Apa Ura-san punya rencana yang cukup bagus untuk debut mayor kita?"

"Mau yang mana?" tukas Urata membuat Sakata agak terkejut. Sang senior menghabiskan roti melon makan siangnya sekali lahap, kemudian merogoh saku jas seragam untuk mengeluarkan sebuah buku sampul kulit kecil berwarna cokelat gelap. Pemuda itu juga mengeluarkan sebatang pensil dari saku lain.

Buku itu kemudian dibuka, menampilkan lusinan coretan yang menyebabkan banyak lembar kertas buku itu sudah lecek. Entah sudah berapa tahun Urata menyimpan buku itu, Sakata tidak tahu.

"Dari dulu, setiap kali ide melintas di kepalaku, aku selalu menuliskannya dalam buku ini biar ngga kelupaan. Karena dari awal aku memang sudah berencana menghabisi para pembuli itu, setiap ada ide yang bagus sudah kutulis disini," terang si tanuki santai.

"Itu kalau sampai jatuh ke tangan polisi, kelakuan Ura-san waktu SMP bakal kebongkar semua, dong," Sakata berceletuk. Sebuah celetukan yang menyebabkan sebilah cutter hampir mencium leher mulus si pemuda merah. Urata menatapnya tajam.

Keringat dingin menuruni pelipis Sakata. Meski demikian, tiada rasa gentar terpancar dari wajahnya. Sesuatu yang membuat Urata menghela napas, lalu menurunkan lagi benda tajam yang baru saja ia todong.

"Kau ngga berniat diam-diam mengirim benda ini ke kantor polisi, kan?"

"Enggak, lah. Bisa-bisa Ura-san balas membeberkan soal kasusku, lagi. Cuma mau mengingatkan, jangan sampai itu buku jatuh di jalan terus ditemuin orang."

"Tenang. Aman itu mah. Aku rajin mengecek buku ini masih di kantong apa engga soalnya."

Benar juga, mereka sudah tahu betul rahasia masing-masing di ruang OSIS senja itu. Kini mereka berbagi rahasia, saling tahu masa lalu macam apa yang disembunyikan. Jadi, tidak ada gunanya saling tusuk dari belakang saat ini. Lagipula, tak satupun dari mereka berniat melakukannya.

"Tapi keren juga, ya... Urata-san menulisnya detail begini. Mana banyak, lagi. Kok, jadi aku yang merinding..." timpal Shima selagi membolak-balik lembaran buku kecil ukuran A6 itu. Senra ikut mengintip kegiatan si surai ungu, kemudian membenarkan apa yang dilihat Shima.

Urata mengusap hidungnya dengan perasaan bangga. Pemuda rakun itu sedikit membusungkan dada. "Tentu saja harus detail. Kalau tidak, ekor kita akan terendus, dan pastinya itu bukan hal yang bagus."

Pantas saja kasusnya tidak ada yang terbongkar.

Kemudian terdengar Senra berujar, "Tapi, kita, kan, ngga berencana melakukan aksi tersembunyi. Bukankah 'debut' kita harus yang meriah? Sedangkan hampir semua rencana yang diulis Urata-san disini bertujuan untuk menghasilkan kejahatan sempurna yang ngga diketahui orang-orang."

Urata mengangguk, "Ya, tentu saja harus meriah. Itu berarti, kita harus memulai di tempat dan waktu dimana kita bisa disaksikan oleh banyak orang. Terkhususnya para siswa sekolah ini."

"Dan tentu saja, harus terlihat natural," imbuh Shima yang setelahnya sempat membuat bingung tiga pemuda lain. Ia lalu menjelaskan, "bakal lebih bagus kalau pihak sana yang mulai duluan cari gara-gara dengan kita. Dengan begitu, guncangan yang ditimbulkan akan lebih besar."

"Ah, kau benar!" Sakata menyahut, "efek shock yang diterima orang-orang akan lebih berkesan."

"Tapi bagaimana caranya kita membuat mereka beraksi sama-sama? Masing-masing dari kita dibuli oleh kelompok orang yang berbeda, kan?" Senra menukas cepat. Kini mereka berempat kembali diam.

Ya, setidaknya sampai tiba-tiba sebuah ide melintas di kepala Urata. "..Konseling..." gumam dia yang kemudian berubah jadi pekik girang, "konseling! Kenapa kita tidak manfaatkan saja itu?"

-

-

-

Guru BK itu sangat terkejut mendapati empat orang siswa dengan keadaan cukup memprihatinkan datang ke ruangannya pagi-pagi sekali.

Pemuda bermanik emerald kepalanya terlilit perban, begitu pula tangan kiri pemuda merah yang sekujur badan juga dipasangi plester sana-sini. Pemuda rambut ungu tak bisa menutupi sebagian lebam pada wajahnya. Lalu pemuda rambut kuning dengan eyepatch terpasang di mata kirinya. Ketika eyepatch itu dibuka, hampir saja si guru menjerit karena kaget sekaligus merinding.

"Maafkan kami mengganggu Anda pagi-pagi sekali, Sensei..." Urata mengawali sekaligus sebagai juru bicara. "Kami berusaha diam saja selama ini, tapi ternyata kami sudah tidak tahan lagi."

"Teruskan," pinta sang guru.

Akting ragu-ragu Urata itu membuat tiga juniornya terkesan. Seperti seekor tikus yang mencicit takut-takut, ia berbicara lirih dengan sedikit gemetaran, "S-saya sudah mengalami perundungan ini sejak kelas satu. Begitu juga tiga junior saya ini. Tapi, akhir-akhir ini kelakuan mereka semakin parah, jadi kami memutuskan untuk melapor saja."

"Tolonglah, Sensei," tiba-tiba Shima menyerobot, ikut bicara, "kami hanya ingin belajar dengan baik. Kalau begini caranya hidup kami di sekolah jadi tidak tenang..."

"Baiklah, aku mengerti," balas si guru BK, "aku akan mengurus mereka. Kalian tenang saja. Silakan kalian tulis nama-nama murid yang membuli kalian disini."

Pintu BK tertutup. Empat pemuda sudah selesai dengan urusan mereka disana. Mereka lantas berjalan beriringan meninggalakn tempat itu. "Ha!" urata mencibir, "kalau memang BK menangani anak-anak itu dengan baik, aku ngga akan jadi korban selama tiga tahun."

Sakata mengangguk, "Seperti yang Ura-san bilang. Palingan guru BK hanya akan memanggil anak-anak yang kita tulis, lalu mereka diberikan teguran. Pantas saja anak-anak pada males lapor ke BK."

"Tapi untunglah," timpal Senra, "kalau begitu malah bagus. Jadi sesuai dengan rencana yang sudah kita bicarakan di tempatku kemarin sore."

"Yah, semoga lancar, deh," tanggap Shima yang kemudian dibalas mantap oleh Urata, "Pasti lancar. Semua rencana yang aku buat selalu bagus. jadi, yang ini pasti lancar karena kita berempat sudah banyak perhitungan matang juga kemarin"

Tak lama empat orang itu berpisah. Mereka kembali menuju kelas masing-masing. Kebetulan Sakata dan Senra sekelas. Jadi, keduanya kini berjalan bersama menuju kelas mereka.

Ketika dua sejoli ini telah sampai di kelas, keduanya disambut pemandangan yang sangat mengejutkan. Mafumafu, entah sudah sejak kapan menunggu disana, menghampiri mereka dengan sumringah. Lebih tepatnya, menghampiri Sakata.

"Sakatan," panggil si albino seraya menggenggam kedua tangan si merah, "syukurlah kau datang sekarang. Ada yang mau kusampaikan padamu."

Sakata tahu betul, orang ini tidak pernah melakukan tindakan yang random dan tanpa alasan. Setiap kalimat, setiap gestur, meski terlihat aneh, pasti punya maksud terselubung. Jadi, kali ini apa yang dipikirkan si pemuda berambut salju?

"Kamu selama ini selalu diganggu, bukan? Lihatlah lukamu bertambah lagi... pasti rasanya menyakitkan, ya, selama ini mendapat perlakuan seperti itu. Maaf di masa lalu aku ngga bisa berbuat banyak... Tapi kau tenang saja. Sekarang, aku adalah ketua OSIS. Tugasku tentu melindungi para siswa dan aku punya kekuasaan. Jadi, aku akan menjamin tidak ada yang bisa mengganggumu lagi!"

Sakata tersentak. Ah... jadi begitu. Sengaja mengatakannya dengan lantang, di pagi hari depan kelas, dimana teman-teman kelasnya sudah berdatangan dan menyaksikan mereka.

"Kamu ini ingin membuatku benar-benar kelihatan jahat, ya?" desis Sakata lirih. Begitu lirih hingga hanya dia dan Mafu yang bisa mendengar kalimat itu. Lagi-lagi hanya senyum yang ia dapat sebagai tanggapan. Respon yang lebih dari cukup bagi Sakata untuk mengerti jalan pikiran sang sahabat.

Karena itu, si merah memutuskan mengikuti skenario yang telah ada. Senyum balasan tersungging, dan Sakata berkata dengan ceria, "Makasih banyak, Mafu. Aku tahu kamu sudah cukup banyak membantuku sebelum jadi ketua OSIS. Aku benar-benar beruntung punya sahabat sepertimu."

Tak lama setelah konversasi itu berjalan, bel masuk kelas berbunyi. Mafumafu pamit menuju kelasnya sendiri. Melambaikan tangan, Sakata terdiam sejenak sebelum mengajak Senra kembali duduk di bangku mereka yang kebetulan depan-belakangan.

"Mengesankan, ya, Ketua OSIS," komentar Senra saat mereka telah duduk di bangku masing-masing. Sakata tertawa hambar. "Menggiring opini publik, membaca pergerakan target kemudian menyesuaikan diri dengan pergerakan mereka agar berjalan sesuai yang ia mau adalah hal yang biasa buat Mafu. Dari dulu dia memang orang yang seperti itu."

"Eh? Kalau begitu dia orang yang sangat berbahaya, dong?"

"Kalau ada kesalahan terbesar yang bisa dilakukan seseorang, itu adalah menjadi musuhnya Mafu. Jadi, banyak-banyaklah bersyukur dia ngga memandangmu sebagai musuh."

Tak ada hal khusus yang terjadi setelahnya. Pelajaran berlangsung seperti biasa. Pada saat jam makan siang, mereka melihat anak-anak yang biasa mengganggu mereka masuk ke ruang BK bersama beberapa anak lain yang mereka yakini sebagai pelaku perundungan Shima dan Urata.

"Mereka benar-benar dipanggil," gumam Senra yang disambut anggukan Sakata. "Sejauh ini berjalan lancar. Akhirnya, sebentar lagi menuju waktu debut kita berempat."

Jam pelajaran terakhir telah usai. Kini para siswa berhamburan keluar dari kelas. Bukan, mereka bukan pulang ke rumah, melainkan turut mempersiapkan sebuah acara besar yang akan digelar sebentar lagi.

Festival olahraga.

"Kalian sudah sama-sama mendaftarkan diri jadi staff persiapan lapangan, kan?" kata sambutan dari Urata itu terlontar kala Shima, Sakata, dan Senra masuk ke arena lapangan sekolah. Sakata langsung membalas, "kalau ngga begitu, kami ngga bakal hadir disini, Ura-san."

Mereka berempat segera sibuk membantu yang lain membersihkan dan membereskan lapangan yang akan dipakai. Di tengah kegiatan itu, tiba-tiba serombongan pemuda datang masuk ke lapangan.

"Oi, boncel," panggil salah seorang dari mereka pada Urata yang tengah mengangkut beberapa cone, "ikut kami sebentar!"

"Maaf, nih, aku lagi sibuk. Bisa kalian datang lagi nanti?" balas Urata acuh tak acuh. Balasan yang memancing amarah gerombolan itu. Terbukti setelahnya salah seorang dari mereka langsung maju lalu menonjok Urata tepat di pipi.

Pemuda bertubuh kecil itu langsung ambruk. Cone yang tengah ia angkut juga berhamburan. Mendengar kegaduhan itu, orang-orang yang semula tengah bekerja jadi teralihkan. Shima, Sakata, dan Senra yang melihat kejadian itu juga langsung menghampiri Urata.

"Ada apa ini?" Sakata bertanya selagi membantu Urata berdiri. Orang yang tadi memukul Urata tertawa. "Kau masih bertanya kenapa? Kurang ajar!"

"Oii, Sakata," seorang lain menimpali, membuat mereka berempat menoleh ke sumber suara. Tentu saja Sakata mengenali sosok yang memanggilnya itu. Siapa lagi kalau bukan orang yang rajin menjadikan dia sebagai samsak tinju.

Sambil memanaskan persendian tangan, orang itu melanjutkan, "Kita ini teman, kan? Aku jadi sedih kau mengadukanku yang tidak-tidak ke guru BK."

"'Teman' katamu?" senyum miring terpatri di wajah. Mata Sakata menatap tajam, "Hah! Teman macam apa yang rajin membuatku luka-luka tiap hari?"

Seketika raut wajah orang itu berubah. Tanpa bertanya Sakata sudah tahu amarah si pembuli kini telah sampai di ubun-ubun. Semua pembuli tidak akan senang kalau target buliannya sudah berani melawan.

Benar saja, lihat itu tangannya yang terkepal sudah terangkat. Sungguh kontrol diri yang buruk. Bukankah lebih enak kalau kau menahan diri di depan banyak orang begini? Sakata lega orang-orang ini bodoh. Dia tidak perlu pusing-pusing membuat rencana cadangan.

Kembali ke masalah orang tadi, kini ia berteriak selagi melayangkan pukulan, "Dasar tidak tahu diri!"

Akan tetapi para hadirin segera tercengang ketika kepalan itu berhenti, ditangkap oleh satu tangan Sakata. Meski tambahan dorongan diberi untuk menembus pertahanan si merah, usaha itu tampaknya sia-sia karena cengkraman tangan Sakata sama sekali tak goyah.

Apalagi si merah lalu mempertegas, "Oh, satu lagi. Kamu itu... aslinya lemah banget, ya..."

Selepas bicara begitu, Sakata tak memberi waktu bagi lawannya untuk menjawab. Ia langsung memelintir tangan si pembuli, membuat orang itu mengerang kesakitan. Sakata lantas menendang orang itu ke samping.

Belum habis rasa terkejut orang-orang itu, Sakata menoleh, menatap mereka sinis dengan senyum tenang. "Nah, sekarang," kata dia, "akan kami tunjukkan seperti apa kami sebenarnya."

"Agar kita mendapat banyak penonton, kita harus memilih waktu dimana sekolah lagi sibuk-sibuknya menyiapkan acara besar," tandas Urata sore itu, ketika mereka berempat berkumpul di apartemen Senra untuk membuat rencana.

Shima mengangguk setuju. Ia lantas menambahkan, "Kita akan ikut berpartisipasi, seenggaknya jadi panitia."

"Dan apa acara besar sekolah yang bakal diselenggarakan sebentar lagi?" kembali Urata bertanya. Tiga temannya yang lain saling pandang beberapa saat, kemudian secara bersamaan mereka memekik, "Festival olahraga!"

"Benar," seringai muncul di wajah Urata, "semua siswa akan berpartisipasi mempersiapkan acara. Jadi, persiapan festival olahraga adalah panggung yang cocok untuk debut perdana kita"

Kembali ke masa kini, empat pemuda berdiri berjajar. Kedua kubu saling berhadapan, dan hal ini berhasil mengundang perhatian siswa lain yang juga lalu lalang di area lapangan itu.

"Hei, ngga ada yang mau melerai?"

"Kau gila, ya? Mereka main jotos begitu!"

"Gawat, nih, kayaknya mereka beneran mau berantem..."

"Eh, tapi bukannya empat anak itu emang biasa dibuli, ya? Semua juga tahu, kan?"

Desas-desus para siswa mulai terdengar. Urata mengamati sekitar, dan ketika ia merasa akan ada seseorang yang maju untuk menengahi mereka, tentu ia harus mencegah hal itu terjadi. Karenanya, sang pemuda rakun dengan sangat cepat melesat menuju lawan yang berdiri paling depan, kemudian menghantamkan sebuah cone yang tadi ia bawa tepat ke wajah orang itu.

Satu orang tumbang. Suasana semakin riuh. Dan di tengah itu, dengan lantang Urata berteriak, "Jangan kasih ampun, habisi saja mereka semua!" yang tentu dibalas dengan menggebu oleh tiga temannya yang lain.

Baku hantam tak terelakan, tetapi ini bukanlah perkelahian yang bisa dilerai begitu saja. Keadaan terlalu brutal. Siapapun yang melihat langsung di tempat itu pasti paham jika mereka melerai, yang ada mereka akan turut terseret dalam arusnya. Jadi mereka hanya bisa menonton gerombolan itu dihajar tanpa ampun oleh empat orang saja.

Suasana tidak berhenti sebatas riuh perkelahian. Banyak hadirin terutama para siswi termakan histeria. Bagaimana tidak? Berulang kali cipratan merah darah menghambur ke udara. Orang-orang itu tidak hanya sekadar babak belur, tapi benar-benar dihajar sampai mampus.

Seakan-akan, empat orang ini tidak peduli apakah lawan mereka masih hidup atau tidak.

Tak ada yang berani melerai dalam keadaan seperti itu, bukan?

Siulan mengalun dari mulut seorang pemuda raven yang berdiri bersebelahan dengan seorang lagi pemuda albino. Keduanya menonton dari sudut sebuah koridor, dimana pemandangan lapangan masih terlihat meski agak jauh.

"Mereka benar-benar sesuai dengan ekspektasi. Maksudku, anak-anak itu pasti sengaja memanggil Urata-kun ke tempat yang sepi agar bisa dihajar dengan leluasa. Tapi, yah, Urata-kun sengaja menolak agar mereka bisa dihabisi di sana, lapangan yang terletak di tempat yang pasti dilalui para siswa," si raven, Soraru berkomentar.

Mafumafu yang masih berdiri dengan tenang di sampingnya menanggapi, "Benar, kan? Yah, tapi Sakatan dan Senra-kun kelihatannya masih menahan diri. Mereka ternyata tetap grogi, ya?"

"Hee... jadi mereka menahan diri, toh? Seram~ seram~"

Mafumafu mendengus, kemudian mulai melangkah seraya berucap, "Kayaknya sudah saatnya bagianku muncul."

"Ho? Jadi kau mau ambil bagian, Ketua?"

Menoleh ke arah Soraru dengan mimik teduh seakan dirinya pendeta agung berhati suci, Mafumafu kembali menjawab, "Aku ngga bisa membiarkan guru BK yang turun tangan dalam masalah ini, kan?"

Sakata terdiam, mengamati seragamnya kini kucel karena debu dengan hiasan tambahan berupa bercak darah. Ini bukan darahnya, tentu saja. Karena yang masih berdiri di tengah lapangan itu kini hanya dia, Shima, Senra, dan Urata. Suasana sempat hening total, hingga kemudian secara perlahan kembali riuh.

"Ada apa ini, Sakatan?"

Suara yang familier itu membuat si merah menoleh. Sosok tegap dengan rambut seputih salju menatap dia tegas. Sorot matanya menuntut jawaban, memancarkan ketegasan seolah dapat menembus raga lawan bicara.

Ah, jadi sekarang waktunya, kah?

Sakata meludah ke sembarang arah, dilanjutkan dengan menyengih. "Kau baru datang, Mafu? Kau ketinggalan pesta yang sangat meriah, lho."

Si albino melirik sekitar, mengamati belasan siswa yang bergelimpangan bersimbah luka, terbaur rintihan. Terdengar helaan napas dari si putih, sebelum ia berujar, "Sakatan, aku tahu anak-anak ini sering mengganggu kalian, tapi ini bukan pertahanan diri—"

"Lalu apa? Aku hanya membuat mereka membayar apa yang mereka sering perbuat. Seharusnya mereka bersyukur seenggaknya mereka masih hidup!" Sakata memotong sepihak. Mafu tak mau kalah, "Tapi bukan begini caranya. Sudah kubilang, kan, aku yang akan mengurus mereka dan para pembuli yang lain. Tidak dengan cara seperti ini, Sakatan."

Pluk!

Lemparan pita dasi seragam tepat mengenai wajah si putih. Mafu terdiam, menatap sahabatnya kini juga menatap dingin seraya berkata, "Aku ngga butuh."

Kemudian keempatnya balik badan, berjalan menjauhi sang Ketua OSIS yang masih berdiri di tempat. Sebelum kakinya menapak garis batas lapangan, si merah kembali bersuara lantang, "Dengar baik-baik, Mafu. Mulai sekarang, kami akan melakukan apa yang kami inginkan. Persetan dengan aturan, aku ngga akan berada di pihakmu lagi!"

Hingga empat orang itu raib dari pandangan, yang dilakukan si putih hanya berdiri, sendirian dengan raut tercengang. Sekian sekon kemudian bahunya ditepuk sesaat oleh wakil ketua OSIS yang baru datang. Pemuda raven segera mengambil alih keadaan dengan begitu apik.

"Cepat hubungi ambulans! Anak-anak ini pasti terluka parah. Yang anak PMR, tolong cepat berikan pertolongan pertama!"

Keadaan kembali riuh oleh para siswa yang berhamburan. Ada yang membubarkan diri, sebagian bergerak dibawah komando Soraru menolong anak-anak yang terluka. Di tengah keramaian itu, mungkin hanya Soraru yang menyadari seringai puas Mafumafu, yang ia sembunyikan dalam tunduk kepala.

"Hebat,"lirihnya pada diri sendiri, "semua berjalan mulus."

Dengan ini, pertunjukan yang sebenarnya telah resmi dimulai.

***

To be Continued...

July 12, 2022
-Sierrakafka-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro