
ARK-LIMA
CUMAN JANJI PALSU.
Itulah yang persisnya dulu aku katakan pada Ibu atau siapapun yang selalu--teramat sering--menagihku untuk hal-hal yang kutahu takkan pernah mampu kulakukan. Sekedar supaya mereka tutup mulut. Satu dari sekian banyak hal yang lihai kulakukan. Namun aku tak bisa menggunakan kebiasaan yang sama pada Rexsis.
Aku tak punya pilihan. Pilihan. Kaum Wondra selalu mengandrungi kata-kata itu, sementara Engine karat sepertiku bahkan tak punya kesempatan untuk memikirkan setiap kemungkinan untuk bisa lepas dari pilihan yang disodorkan hidup padaku.
Aku menghela napas, sambil lalu membalikkan koran, melihat berita yang selalu melingkar pada seputar topik yang sama. Pembunuhan, percobaan penjarahan, detail game VR terbaru, dan tentu saja skandal Colour papan atas. Aku baru saja berniat untuk membalikkan halaman selanjutnya saat mataku terpaku pada satu judul berita yang tidak dicetak dengan huruf yang bergaya, akan tetapi aku tentu tak salah mengenali nama yang tertera di antara selingan kalimat itu.
🇵🇷🇪🇩🇦🇼🇳 🇩🇮🇧🇪🇷🇰🇦🇹🇮 🇷🇦🇲🇷🇴🇩 🇵🇦🇱🇮🇳🇬 🇸🇪🇲🇵🇺🇷🇳🇦 🇹🇦🇭🇺🇳 🇮🇳🇮!
Bola mataku bergerak dari kiri ke kanan dengan cepat. Paragraf demi paragraf. Singkat saja, tak perlu sampai akhir, aku sudah tahu pasti apa inti dari semua itu. Berita itu menyatakan--dengan isi perut yang melilit-lilit--aku membacanya kembali.
𝙿𝚛𝚊𝚖𝚞𝚍𝚟𝚊 𝙹𝚊𝚟𝚒𝚊𝚕 𝙴𝚗𝚍𝚎𝚊𝚟𝚘𝚛. 𝚂𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚝𝚒𝚐𝚊 𝚊𝚗𝚊𝚔 𝚂𝚊𝚗𝚋𝚘𝚞𝚛𝚗𝚎 𝙹𝚊𝚟𝚒𝚊𝚕 𝙴𝚗𝚍𝚎𝚊𝚟𝚘𝚛--𝙿𝚛𝚘𝚜𝚏𝚘𝚛 𝚋𝚒𝚍𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚗𝚒 𝚍𝚒 𝙸𝚗𝚜𝚝𝚒𝚝𝚞𝚝 𝚄𝚍𝚊𝚢𝚊𝚗𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚜𝚘𝚜𝚒𝚊𝚕𝚒𝚝𝚊 𝚆𝚘𝚗𝚍𝚛𝚊 𝚙𝚊𝚕𝚒𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚛𝚙𝚎𝚗𝚐𝚊𝚛𝚞𝚑 𝚝𝚊𝚑𝚞𝚗 𝟺𝟶𝟺𝟿--𝙷𝚎𝚜𝚝𝚒𝚊 𝙹𝚊𝚌𝚔𝚊𝚜𝚑 𝙲𝚎𝚛𝚗𝚘𝚋𝚢𝚕, 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚕𝚞𝚕𝚞𝚜𝚊𝚗 𝚁𝚊𝚖𝚛𝚘𝚍 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚗𝚒𝚕𝚊𝚒 𝚍𝚒 𝚊𝚝𝚊𝚜 𝚛𝚊𝚝𝚊-𝚛𝚊𝚝𝚊. 𝚄𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚕𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝟸𝟶𝟶 𝚝𝚊𝚑𝚞𝚗 𝙿𝚛𝚎𝚍𝚊𝚠𝚗 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚗𝚐𝚔𝚒𝚝 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚔𝚎𝚝𝚎𝚛𝚙𝚞𝚛𝚞𝚔𝚊𝚗. 𝙳𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚖𝚊𝚓𝚞𝚊𝚗 𝚒𝚗𝚒 𝙿𝚛𝚎𝚍𝚊𝚠𝚗 𝚍𝚒𝚑𝚊𝚛𝚊𝚙𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚊𝚖𝚙𝚞 𝚖𝚎𝚖𝚎𝚗𝚊𝚗𝚐𝚒 𝚙𝚕𝚊𝚗𝚎𝚝-𝚙𝚕𝚊𝚗𝚎𝚝 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚛𝚊𝚗𝚌𝚊𝚖 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚞𝚑 𝚔𝚎 𝚝𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚁𝚊𝚖𝚛𝚘𝚍 𝙿𝚑𝚒𝚕𝚒. 𝚂𝚎𝚙𝚎𝚛𝚝𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚒𝚔𝚞𝚝𝚒𝚙 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝙹𝚎𝚗𝚍𝚎𝚛𝚊𝚕 𝙱𝚛𝚒𝚐𝚑𝚝, "𝚂𝚝𝚛𝚊𝚝𝚒𝚘́𝚝𝚒𝚜 𝙴𝚗𝚍𝚎𝚊𝚟𝚘𝚛 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚔𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚝𝚞𝚐𝚊𝚜-𝚝𝚞𝚐𝚊𝚜 𝚋𝚎𝚝𝚊 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚊𝚖𝚊𝚝 𝚜𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚋𝚊𝚒𝚔. 𝚂𝚎𝚖𝚙𝚞𝚛𝚗𝚊. 𝙿𝚘𝚝𝚎𝚗𝚜𝚒 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚠𝚊𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚔𝚎𝚋𝚊𝚗𝚐𝚔𝚒𝚝𝚊𝚗 𝙿𝚛𝚎𝚍𝚊𝚠𝚗."
Cairan asam bergumul dalam perut, mengancam hendak naik ke kerongkongan. Aku ingin berhenti, tapi ternyata egoku tidak mengizinkan.
Gambar penuh warna, baju-baju licin gemerlap seperti yang dikenakan Rexsus sialan mengipasi kegetiran yang kurasakan. Pemuda rupawan dengan tubuh tinggi tegap, berotot--lebih mencolok ketimbang subyek yang lain. Terlihat gagah dalam balutan seragan Ramrod ungu-emas, medali-medali yang dia dapatkan sudah sebanyak itu, meski statusnya masih seorang Stratiótis. Baret pasangan seragamnya dia lepas, dipegang di samping tubuh dengan gaya khas. Sang Ibu dan Ayah mengapitnya di sisi kiri, sementara Jenderal Bright di sisi kanan. Mereka sama-sama menyunggingkan senyum riang nan menyilaukan. Terlalu familier sekaligus terlalu memuakkan.
Kemudian di bawah gambar itu ada kata-kata yang sengaja dipertebal, dicetak miring, lengkap dengan penggunaan jenis huruf yang berbeda dari kalimat-kalimat yang lain. Highlight bintang, Sabrine selalu menyebutnya seperti itu.
"𝙺𝚎𝚛𝚓𝚊 𝚔𝚎𝚛𝚊𝚜 𝚜𝚊𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚔𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚍𝚊 𝚊𝚙𝚊-𝚊𝚙𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚗𝚙𝚊 𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐-𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚍𝚎𝚔𝚊𝚝." Bohong, makiku. "𝙺𝚎𝚜𝚎𝚖𝚙𝚊𝚝𝚊𝚗 𝚒𝚗𝚒 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚢𝚊 𝚜𝚒𝚊-𝚜𝚒𝚊𝚔𝚊𝚗." Dusta!! "𝚂𝚊𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚋𝚎𝚛𝚝𝚎𝚛𝚒𝚖𝚊𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚔𝚎𝚙𝚊𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚛𝚎𝚔𝚊--𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐𝚝𝚞𝚊𝚔𝚞, 𝚜𝚊𝚞𝚍𝚊𝚛𝚊-𝚜𝚊𝚞𝚍𝚊𝚛𝚊𝚔𝚞, 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚛𝚎𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚒 𝚁𝚊𝚖𝚛𝚘𝚍, 𝙹𝚎𝚗𝚍𝚎𝚛𝚕𝚊 𝙱𝚛𝚒𝚐𝚑𝚝 𝚋𝚎𝚜𝚎𝚛𝚝𝚊 𝚓𝚊𝚓𝚊𝚛𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊--𝚝𝚎𝚛𝚞𝚝𝚊𝚖𝚊 ..."
Aku mengatupkan lembaran halaman koran dengan keras. Ingin sekali aku merobek lembar demi lembar halaman laknat ini. Dengan begitu aku berharap mereka juga merasakan denyut sakit yang kurasakan. Denyut pengkhianatan. Masalahnya, aku saat ini tak membawa pisau. Akan lebih memuaskan menggunakan pisau.
Bukan salahmu, sama sekali bukan salah siapapun.
"Kau baik-baik saja?"
Aku tidak ingin mengalihkan pandang untuk bisa melihat siapa yang menanyaiku. Justru aku melipat halaman koran dengan telaten dan hati-hati, seakan-akan kertas itu adalah bom. Suaraku agak parau ketika menjawab. "Ya."
"Oh, bagus kalau begitu. Boleh aku membaca koran punyamu? Maksudku, aku tak tahu ada berita tentang idol StarDust di--"
Aku menjejalkan benda itu ke pangkuan si peminta. "Ambil saja." Aku tak peduli sekalian, lebih bagus lagi, buang saja.
Gadis itu terkesiap tak percaya tapi dengan cepat dia menguasai diri. "Oh-uh! Terima kasih!"
Aku tidak menjawab. Memang tidak perlu. Mataku sudah terpaku pada hal lain. Pada lampu kereta di atas kepala yang berkeredep beberapa kali, kemudian perlahan-lahan aku bisa melihat pemandangan di luar yang semula kabur makin menjelas. Diikuti suara pemberitahuan pemberhentian stasiun selanjutnya. Aku mengambil tas, menyampirkannya di bahu. Aku sudah berada di luar kereta sebelum penumpang lainnya masuk. Sudah berjalan menaiki anak tangga sebelum yang lainnya menyusul.
Sepatuku yang butut dan kotor menginjak aspal yang basah, aku menggapai tudung sweater, memakainya ketika merasakan tetes air hujan, sembari berlari-lari kecil, menyebrang jalan. BiVost ada di seberang jalan, beberapa blok saja dari toko pakaian terkenal di seantero negara.
Aku berhasil menghindari mendapat lebih banyak tetesan air hujan dengan berjalan di bawah pohon-pohon rimbun yang berjajar di sepanjang trotoar. Dengan kaki-kakiku yang panjang, tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di BiVost. Dibandingkan jajaran butik dan toko di sisi kiri dan kanan, BiVost merupakan gedung dengan eksterior yang cenderung sendu-romantis. Namun tetap menjadi yang paling mencolok, karena banyaknya orang di luar, ditambah dengan adanya penjagaan super ketat yang melibatkan MidEst berpangkat menengah. Lengkap sudah citra BiVost yang kukenal.
Pemilik BiVost mulai menggunakan MidEst setelah tahun lalu BiVost ini hampir saja menjadi tempat perkara kejadian pembunuhan. Aku baru bekerja di sana selama dua bulan saat hal mengerikan itu terjadi. Pelaku dengan wajah marah setengah mabuk, satu lagi tersedak oleh darahnya sendiri. Begitu banyak darah ...
Salah satu dari penjaga MidEst mengenaliku, dia mengangguk pelan. Aku balas mengangguk, walaupun begitu sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dengan kaum Wondra yang hilir mudik keluar masuk BiVost melalui pintu depan. BiVost tidak pernah sepi. Tidak akan pernah aku rasa.
Aku menyelinap ke gang kecil yang memisahkan BiVost dengan flat mewah yang sudah pasti dihuni anak-anak manja kaum Wondra atau Thora yang masih kaya. Sekali dua kali kalau sedang sial aku akan melihat salah satu atau gerombolan dari mereka duduk di balkon flat, tertawa-tawa karena kegembiraan, semaput karena Phrodite.
Dulu saat masih kecil, aku hidup dan tubuh besar dengan diiming-imingi kehidupan semacam itu. Hidup aman, nyaman, menyadari kesuksesan sudah menanti di masa depan nanti. Semua hal bisa didapat, semudah membalikkan telapak tangan. Kalau bukan berkat kecerdasan sendiri, kemungkinan kedua pasti karena pengaruh orang dalam.
Menghamburkan berjuta-juta Hoover demi menopang gaya hidup seperti itu bukan masalah bagi kaum Wondra, malah kalau mereka tak melakukannya. Sudah tentu mereka bakal dianggap Wondra gagal.
Kekhawatiranmu yang paling meresahkan saat itu mungkin hanya masalah kekasih yang rentan akan pengkhianatan, orangtua yang terlalu mengekang atau bahkan dekorasi apa yang akan kau gunakan untuk pesta ulang tahun selanjutnya. Antara bulu-bulu atau kostum minim kain.
Konyol sekali.
Aku lega sudah terlepas dari kehidupan sesak semacam itu. Memang menyenangkan tapi takkan pernah membawa kebahagiaan untukku.
Aku berhenti tepat di depan pintu baja yang bergaris-garis neon, tanpa ragu-ragu mengklik layar InterHolo di permukaan pintu. Menggertakkan gigi saat air hujan dari kanopi membasahi punggungku. Sensor menyala, memunculkan wajah dengan cengiran nakal nan menggoda. Untukku, nakal dan terlalu dibuat-buat.
"Amigos Sassy! Kata sandi?"
Aku menjawab dengan satu tarikan napas, yakin aku akan benar. "Jilat pantatku."
Cengirannya bertambah lebar sampai-sampai gigi kuning jorok itu kelihatan. "Tentu saja, Sassy. Mau kamar privat?"
Aku menggeramkan kalimat tak sabaran. "Kau bisa kalau kau setahun lebih tua dibanding aku, East. Maksudku Pak Tua."
Yang dibalas East dengan semburan tawa berkepanjangan, bersamaan dengan cahaya merah membutakan keluar dari sensor, bergerak untuk mengidentifikasi tubuh. Soal kata sandi tadi, itu sebenarnya tidak perlu, hanya akal-akalan East untuk menggodaku. Namun percuma saja berdebat dengan East. Takkan menghasilkan apa-apa selain punggung yang makin basah kuyup.
East merupakan orang yang berada di balik segala hal yang ada di BiVost. Dia terlalu baik hati dan menyenangkan, kadang tak bisa membedakan mana kiri dan kanan. Namun dia tahu segala hal, wawasannya akan seluruh negeri yang berada dalam lingkup Predawn maupun Phili--negara tetangga--cukup luas dan mumpuni.
Kalau aku terpaksa bekerja di sini sampai dini hari menjelang, aku takkan pernah bosan. East membagikan pengetahuannya yang berharga padaku dengan percuma. Walaupun dia agak terlalu berlebihan, sampai lupa diri bahwa aku tak suka dijadikan lelucon.
Udara hangat dari dalam BiVost menyembur ke wajahku saat aku menginjakkan kaki ke ruangan penuh cahaya redup lampu neon. Ruang karyawan atau menurut East--panggung sandiwara. Baunya di sini berbeda dengan bau BiVost yang elegan dan penuh kemewahan. Bau ini mau tak mau mengingatkan aku pada Sabrine, rokok, parfum, serta Phrodite--kesemuanya serba murahan. Namun saking seringnya aku menghirup udara semacam ini, aku jadi terbiasa. Tubuhku membiasakan.
"Aku masih punya jiwa muda, Sassy!" Seru East dari balik meja berpanel tahan peluru, melambai padaku, masih mempertahankan seringaian tololnya.
Aku menggubrisnya, dengan cepat menghampiri Naia. Dulu aku sering menganggap sikap East itu melecehkan, dan aku sebisa mungkin menjauh darinya, tapi seiring berjalannya waktu, aku mengerti jika East tidaklah bermaksud demikian. Tak banyak penghiburan yang bisa didapat East selama berada di balik server. Hal itu sudah menjadi sifatnya. East bukan Wondra, jadi aku tahu apa saja yang telah dia lakukan sampai bisa hidup berkecukupan seperti ini.
Bayaran yang teramat mahal.
"Ini dia bintang kita malam ini," kata sambutan yang mejengkelkan. Khas Naia, khas BiVost. "Ikuti aku." Aku menekuk bawah bibir, berjalan malas-malasan mengikuti lenggak-lenggok bokong wanita yang lebih tua sepuluh tahun dariku itu. Naia veteran di sini, disegani oleh semua karyawan. Tak terkecuali aku. Dia bisa melihat potensi orang lain dan menghargai kerja keras mereka dengan imbalan yang pantas. Aku menyukainya karena dua hal itu. "Kau datang lebih awal. Itu bagus."
Aku menjawab dengan gumaman.[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro