Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ARK-EXI

KAMI MELEWATI LORONG dengan beberapa kusen tanpa daun pintu, hanya dihiasi semacam kerang-kerang laut. Ruangan tanpa pintu itu di isi oleh berbagai jenis karyawan yang bekerja di sini. Semakin dalam kau masuk, semakin tidak menyenangkan untuk dilihat lama-lama.

Beberapa orang yang kukenal atau mengenalku melambaikan tangan mereka dengan semangat, menepuk bahuku selagi aku lewat. Kalau saja ruang ganti tak berada jauh di belakang, aku takkan sudi jauh-jauh mengambil langkah melewati lorong ini. Aku tidak berusaha mencari teman di sini, hal itu memang bukan tujuanku. Namun demikian, menurut Naia ketidakacuhan yang membuatku makin menarik. Katanya sosok misterius yang penuh kharisma selalu menarik perhatian manusia manapun.

Peduli amat. Seakan-akan dua hal itu bisa menghasilkan uang di sini. Kalau kaum Wondra, besar kemungkinan bisa. Namun Engine bau sepertiku? Menyedihkan.

Aku memperhatikan Naia saat dia berhenti di depan pintu-satu--satunya pintu yang berisi daun pintu. Aku membelalak, menyadari ruang apa yang berada di balik pintu itu. Kukira Naia hanya mengantarku ke tempat ganti seperti biasa, tapi sepertinya kali ini lain.

Langkahku tersendat, aku mematung di tempat. Terpaku dengan was-was. "Naia, kukira kita sudah sepakat tentang hal ini."

Naia berbalik dengan tangan di pinggangnya yang berlekuk. Dalam keremangan, matanya yang diberi celak membesar. Seakan-akan dia tahu aku pasti bakal berkata seperti itu. "Kalaupun aku ingin menjualmu, Resta. Aku takkan melakukannya di sini atau dengan cara halus," aku memelotot, kemudian wajahnya melembut, dengan hati-hati dia berjalan mendekatiku. Walaupun Naia lebih tua, tapi dia mesti menengadah untuk bisa menatap wajahku. Tangannya terulur untuk memegangi kedua pipiku, jari telunjuknya mengelus dengan lembut. "Tapi kau tahu sendiri, aku takkan pernah melakukannya. Sabrine takkan pernah memaafkan aku."

"Naia ..." erangku jengah. Kalau dia mulai berpidato panjang tentang hal itu untuk kesekian kalinya, aku tak tahu akan menyembunyikan wajahku di mana lagi.

Naia melemaskan dua tungkainya, mengalah. Lalu memberiku kecupan hangat nan singkat pada kedua pipi. "Semoga beruntung, Resta," bisiknya.

Mataku mengikuti kepergian Naia sampai punggungnya yang terbuka tak lagi kelihatan. Aku meneguk ludah dengan susah payah. Aku tak pernah sekalipun punya tamu istimewa atau seseorang yang berniat menyewaku selama sejam ke depan. Aku memang agak dikenal di kalangan karyawan tetapi tidak bagi pelanggan. Aku ini tidak cukup menarik bagi kaum Wondra, lagipula, di atas semua itu aku sudah membuat perjanjian tertulis dengan Naia soal ini.

Kalaupun Naia menawarkan, aku pasti menolak. Mungkin karena itulah Naia tak mengatakan apapun saat membawaku ke sini, juga, bisa jadi Naia tak sempat memperingatiku karena kedatangan 'tamu' ini secara mendadak atau bisa saja--

"Ehem!"

Suara itu menginterupsi segala macam prasangka yang berkelidan dalam benakku. Aku seharusnya tidak terkejut dengan apa yang kulihat, akan tetapi aku tak dapat menahan diri untuk tidak bereaksi semacam itu. Pasalnya sosok yang berdiri menjulang di hadapanku ini paling banter lebih tua setahun dariku atau dua, barangkali? Tidak seharusnya dia berada di tempat seperti ini.

Umur legal untuk bisa menjajaki bar adalah dua puluh satu tahun. Hukum itu berlaku bagi semua kalangan. Wondra, Thora, serta Engine. Namun bukan berarti MidEst serta East tidak bisa disogok. Aku yakin itulah yang dilakukan pemuda ini. Aku penasaran, berapa Hoover yang dia habiskan untuk bisa berada di tempat seperti ini? Pasti cukup untuk menampar kepala botak Abe hingga pingsan.

"Maaf kalau aku mengejutkanmu," sesalnya, tapi karena diiringi oleh senyum geli, aku jadi urung mempercayai kalau dia betul-betul menyesal. Pemuda itu mengambil dua langkah ke belakang untuk memberiku ruang. Cahaya keemasan yang lembut mengintip dari sana. "Lewat sini."

"Kau siapa?" tanyaku masih bergeming, tak bisa mengerem mulut. Dia jelas bukan karyawan baru di sini. Bahan pakaian yang dia kenakan mengatakan banyak hal. Dia bukan dari kalangan Engine. Itu salah satunya. Bukan juga Wondra, jadi aku tidak terlalu khawatir soal pelanggaran prinsip pertama dalam menjalani hidup di kota ini. Sebab setelah aku berpikir ulang sekali lagi, penampilan pemuda ini tidak condong ke arah manapun.

Sebuah kemustahilan.

Pertanyaanku dihadiahi kedipan mata dan cengiran belaka. Saat itulah aku melihat bentuk gigi pemuda itu. Runcing, bergerigi--sudah tentu tajam-seperti gigi hiu. Aku merasa resah. Perasaan yang tak ada hubungannya dengan penampakan gigi runcing atau bahkan si pemuda berpakaian aneh.

"Lewat sini, Non," katanya sekali lagi, mengabaikan pertanyaanku. "Jangan khawatir, kau takkan kekurangan satupun saat keluar dari ruangan ini. Aku berjanji, kawan yang baik."

Dalam hati aku mendengus. Non. Kawan yang baik. Kedengarannya seperti janji muluk-muluk.

Walaupun pikiranku mencemoh, hatiku mengatakan hal lain. Aku terpikat. Adrenalin selalu membuatku terpikat. Mengabaikan mata merah itu, aku mengambil langkah, penasaran sekaligus was-was menghadapi entah manusia macam apa yang sedang menantiku di dalam.

Interior ruangan yang aku masuki biasa-biasa saja, cenderung mengutamakan fungsi dibanding keindahan. Dinding, lantai, furnitur diberi warna netral. Tiga buah sofa putih dengan ukuran berbeda, berada tepat di tengah-tengah ruangan. Yang paling panjang di antara yang lain ditempatkan memunggungi pintu.

Pertama-tama aku mengenali Rexsis-sundal yang segera berdiri dari duduknya begitu melihatku. Dia melakukan rencana lain rupanya, setelah aku menolaknya dengan telak.

Kemudian bahuku menegang begitu melihat sosok yang satunya lagi, yang duduk di sofa panjang--berdiri juga. Pria itu memiliki penampilan alami Wondra.

Di saat aku masih ragu-ragu, pria itu bergerak cepat untuk menghampiriku. Memberiku jabatan tangan nan mantap. Aku mau tak mau terkejut karena tidak menyangka sentuhan dari seorang Wondra ternyata tidak semenjijikkan bayanganku selama ini. Senyumnya yang terlatih berkembang, tidak hilang saat dia berucap, "Amour Clearesta. Senang bisa berjumpa denganmu."

"Halo," balasku, dengan hati-hati berusaha untuk tidak meremas genggaman tangannya terlalu kuat. Kelembutanku menghilang seiring dengan hidup keras yang kujalani.

"Duduk duduk," ajaknya ramah, memposisikan telapak tangannya di pundakku tanpa menyentuhnya.

Aku menurutinya tanpa bisa berkata-kata, bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya. Walaupun aku tidak pernah tahu wujud kerbau secara nyata. Dengan tolol, untuk sepersekian detik aku mengingat-ngingat bentuk kerbau dari dalam kepalaku, sampai aku tak sempat memprotes saat pemuda yang kulihat di depan pintu tadi dengan luwes mengambil tempat duduk tepat di sebelahku.

Aku merasakan kerutan pada dahiku makin dalam saat pria yang menyambut aku, dengan mudah mengangkat sofa single yang tadi bertepat di sebelah sofa yang kududuki, untuk dia pindahkan ke seberang meja. Dia melakukannya sendiri, tanpa bantuan dari Rexsis-sundal atau pemuda gigi hiu.

Sekarang kami duduk berhadap-hadapan. Dengan diapit oleh Rexsis dan pemuda gigi hiu, aku merasa seperti di kelilingi oleh binatang buas. Yang sudah tentu siap menerkamku kapanpun aku lengah. Bulu-bulu di tengkukku seketika meremang. Aku mesti mengerahkan seluruh tenaga untuk tidak melompat melewati sofa, berlari kencang demi menghampiri satu-satunya jalan keluarku. Pintu terkutuk yang ada di belakang sana.

"Bagaimana kabar Anda, Amour Clearesta?"

Bukan urusanmu. Aku hampir-hampir nyelutuk seperti itu, tapi aku cepat sadar sebelum kelepasan. "Begitu-begitu saja."

Kudengar pemuda gigi hiu terbatuk kecil. Yang jelas sekali dibuat-buat demi menyamarkan tawa.

"Yah aku juga," si pria mengangguk menyetujui jawabanku. Semakin lama aku memperhatikan, senyum itu sekarang tampak aneh, tak wajar di mataku. Seakan-akan garis-garis pada bibir itu ditarik dan ditempel sedemikian rupa. "Oh, betapa tidak sopannya aku. Aku tahu namamu tapi kau belum--"

"Saya tahu." Tukasku cepat, malahan aku tak bisa menahan diri. Walaupun pria itu masih menjaga gestur ramahnya, aku menyadari ada perubahan tak kentara di udara. Aku berpura-pura hal itu tidak memengaruhiku. "Jaymes Jackash Te Dier. Anda mantan Ramrod Phili yang bisa hidup di Predawn tanpa bantuan Heatsroke. Sebuah keajaiban. Pengelabuan yang cerdik, Coyote, Jaymes. Senang bisa melihat buronan negara di sini."

Terdengar suara gemerisik, sedetik kemudian aku merasakan ujung Xyrafáki menekan masing-masing bagian sisi leherku. Roxses dan pemuda tak tahu sopan santun itu sama-sama melotot garang padaku. Ya, mau bagaimana lagi pada akhirnya aku kelepasan juga. Namun sayangnya, Jaymes mengangkat satu jarinya di udara, menggeleng. Dengan raut wajah kecewa secara serempak Roxses serta si pemuda bergigi hiu menurunkan senjata.

Terlepas dari situasi yang sebelumnya, Jaymes santai-santai saja menuang isi DeLune ke gelas cantik, berlama-lama memperhatikan cairan memabukkan itu memenuhi gelasnya. Warna minuman itu kontras sekali dengan keadaan di sekeliling kami, akan tetapi sama dengan suasana hatiku. "Apalagi yang kau ketahui tentangku?"

"Tidak ada lagi. Yang tadi itu 'kan informasi umum, jadi siapa saja bisa mengetahuinya." Aku berkata, yang memang seperti itulah kenyataannya. Aku melihat wajah lama itu ada di mana-mana, sudah lama tapi tetap masih segar di ingatanku.

"Tapi wajahku tak sama seperti apa yang holo-holo itu perlihatkan." Tangan Jaymes yang dilindungi sarung tangan kulit mengilap, memutar-mutar gelas dengan gerak lambat penuh antisipasi. Cairan merah mengikuti arah putaran itu. "Bagaimana kau bisa mengenaliku, Amour Clearesta?"

Aku mengembuskan napas, mengamat-ngamati apa yang sekiranya luput dari perhatian orang lain. Menjabarkannya langsung. "Anda punya mata malas yang takkan dimiliki oleh ras Halo, mungkin ada beberapa tapi jarang. Saya juga mengenali kerutan yang sama pada pipi Anda saat tersenyum, dan sepertinya Anda butuh pewarnaan ulang pada rambut putih itu. Jadi apa itu sudah cukup?"

"Wooow!" gumam pemuda gigi hiu. Menganga seperti orang tolol.

"Kau punya mata yang cermat, Amour Clearesta," senyuman Jaymes sudah berubah menjadi seringaian. Dengan tangan yang bebas meraba tempat di mana helai-helai rambut di atas telinga yang berwarna abu-abu. Bukannya merasa dipuji, aku justru merasa makin ditarik ke arah jebakan berbahaya. "Tidak salah aku memilihmu dari sekian banyak calon."

"Pardon?"

Jaymes tak langsung memberi aku jawaban. Seakan-akan dia sengaja membiarkan rasa penasaran mencekikku. Setelah menyesap DeLune sampai tandas, Jaymes menjawab, "Soren melakukan tugasnya dengan baik. Kami tahu banyak tentangmu karena informasi darinya, akan tetapi yang tadi merupakan hal baru. Aku tidak sabar menanti kejutan apalagi yang bisa kau sembunyikan dari kami."

Aku menggeraskan rahang saat melihat raut wajah Soren. Yang kelihatan pongah dengan karena namanya disebut-sebut. Dasar sundal penguntit. Namun aku bisa mengurus wanita itu belakangan. Fokusku saat ini hanya pada satu orang. "Senang rasanya mengetahui bahwa aku punya kelebihan, Coyote Jaymes."

"Daaan bermulut tajam," tambah pemuda di sampingku, kali ini tak repot-repot menyembunyikan kekehan. Kalau saja aku bertemu dengannya tanpa ada orang lain, sudah kujotos wajahnya.

Kuabaikan suara kekehan pemuda bermata merah. "Jadi?"

Jaymes berdehem pelan untuk melancarkan tenggorokan. Mulai terlihat serius. "Kau tentu sudah tahu satu atau dua hal tentang pekerjaan yang kami tawarkan melalui Soren. Kau tertarik karena hal itu, aku pikir Soren juga mengancammu." Aku tersenyum masam. Tentu saja itu adalah taktik mereka, jadi aku takkan terkejut. "Tapi kami serius, Amour Clearesta. Kami serius ingin menjadikanmu bagian dari kami. Jadi jangan anggap ancaman Soren hanya ...,"

Aku tahu setelah segala percobaan yang Jaymes lakukan pada dirinya sendiri, yang sudah pasti membuat sifatnya jumpalitan. Tidak memiliki kekakuan khas Jackash, pun tak selicin Javial. Apa yang ada di pikiran, serta apa yang keluar dari mulutnya berbelit-belit. Sama sekali tak stabil. Aku meremas-remas tanganku, menghindarkan diri dari gerakan refleks untuk memijit kening. Aku sudah tidak tahan mendengar ocehan lebih lama lagi. Ruangan ini, dengan tekanan di sekelilingku, membuat aku geram setengah mati.

"Bisakah Anda langsung ke intinya?"

Hening.

Kemudian pemuda gigi hiu tertawa mengakak sampai-sampai liurnya berloncatan di udara. "Ha ha! Astaga, kawan yang baik. Kau lumayan ..." dia terengah-engah sembari menghapus air mata humornya sebelum melanjutkan, "vokal."

Rupanya bukan aku seorang yang tak senang akan kelakukan pemuda itu. Soren menggeram. "Cukup Midas!"

Pemuda gigi hiu yang seketika punya nama--Midas--menutup mulut, tapi tidak betul-betul berhenti menertawakan entah apa yang lucu dariku.

Anehnya Jaymes terlihat tidak keberatan dengan apa yang terjadi, dia malah makin santai, mengambil waktu yang digunakan Midas tertawa, dengan kembali menuang serta menyesap DeLune hingga tandas tak tersisa. Sekarang dia menyilangkan kaki, ujung sepatunya berayun ke atas dan ke bawah dengan irama ringan. Seperti anak kecil yang sedang menunggu diberikan hadiah atau semacam itu.

Aku menyipitkan mata, menyadari betapa anehnya melihat pria yang hampir seumuran dengan sepupuku yang paling tua melakukan hal itu. Mengayun-ngayunkan kaki seperti itu.

"Pekerjaan ini tidak mudah--tapi seperti yang aku yakini, kau akan mampu melakukannya. Bukan orang yang tepat, tapi kau mampu-maafkan aku. Kau tentu tahu apa yang dilakukan Engine UKA untuk bertahan hidup bukan?"

Tentu saja aku tahu. Aku dulu--saat putus asa menggerogoti pikiranku--hampir-hampir melakukan hal yang sama. Membeli satu kapsul Fay untuk jadi melayang-layang. Lalu menjual gelembung-gelembung mimpi paling menarik yang bisa kuhasilkan selama periode obat Fay bekerja kepada para Anchor.

Para Anchor ini akan menggunakan gelembung ini untuk berbagai macam hal, seperti ide baru game VR, film atau bahkan karya seni nan apik.

Seisi dunia menyebut gelembung mimpi ini dengan Traumblaze.

Akan tetapi akhir-akhir ini berhembus kabar bahwa Anchor tidak hanya berniat untuk menggunakan Traumblaze sebagai gelembung mimpi dengan tujuan yang kusebutkan tadi. Kabar angin itu menyatakan bahwa para Anchor ingin menggunakan Traumblaze untuk tujuan yang lebih besar. Entah hal besar apa, tapi seisi dunia seakan-akan menantikan terobosan ini.

Masalahnya aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan Jaymes. Apa pekerjaan ini ada hubungan dengan cara mendapat beberapa ribu Hoover ala Engine UKA? Apa mereka ingin aku melakukan apa di sana? Meniru cara kerja mereka? Aku tak mau melakukan jenis pekerjaan macam itu. Namun segala bentuk penolakan tak kunjung keluar dari mulutku. Aku masih belum mendapat jawaban, jadi aku masih punya beberapa detik untuk memastikan.

"Kami ingin kau mengambil Traumblaze dari target-target yang telah kami tetapkan."

Uh-oh.

Mengambil--cara yang terlalu halus untuk mensinonimkan kata 'mencuri'. Aku menahan diri untuk tidak memberi celutukan pedas terkait hal itu, lagipula kalau pembicaraan ini mengalir dengan lancar, pekerjaanku akan jauh lebih enteng. Akan kubuktikan bahwa Sabrine salah. Akan kubuat Abe menyesali kata-katanya.

"Untuk segala macam hal seperti senjata, informasi penting target dan, terutama lembar Hoover, kau tak perlu khawatir. Kami punya semuanya. Satu-satunya hal yang harus kau lakukan hanyalah menyelesaikan misi, dan lalu-selesai sudah. Kau mengerti?"

Aku mengangguk. Mudah saja kalau begitu. "Ya."

"Ada pertanyaan?" tanya Midas, menyeriangi seperti orang tolol.

Untuk kali ini, aku merasa tidak terlalu sebal dengan mulut gaung si pemuda gigi hiu. Justru senang dia menanyakannya. "Satu. Kapan aku mulai bekerja?"[]


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro