
ARK-DVA
AKU SUDAH PERNAH menghadapi manusia-manusia brengsek semacam Rexsus sialan, tetapi tidak pernah sampai membuatku jengkel setengah mati seperti ini.
Bukan jengkel, lebih tepatnya aku murka.
Tak pernah ada yang tahu seperti apa aku selama ini. Aku selalu berhati-hati dalam berucap dan bertindak. Menurutku lebih jarang aku membuka diri, lebih enteng hidup yang kujalani. Namun nyatanya wanita yang tidak kutahu rimbanya datang, menggembar-gemborkan apa yang kusembunyikan selama ini tanpa tedeng aling. Bahkan mengancamku dengan informasi itu. Dan bisa-bisanya aku kehilangan kesempatan untuk mencekik leher mulus itu, memberinya bekas luka kemerahan--
Di saat aku masih bingung dengan pilihan pelampiasan kemarahan antara membalikkan meja atau menendangnya. Pokoknya yang mana yang tidak menimbulkan kerusakan dan bunyi yang paling keras. Suara bip terdengar sekali dan saat aku siap memaki, suara Sabrine yang memanggil namaku dari InterHolo terdengar.
"Clearesta! Resta!"
Aku mesti menyeret langkah untuk membuka akses. Butuh beberapa kali tarikan napas supaya jantungku kembali berdetak normal. Aku melirik bayanganku pada lantai sekali lagi, demi memastikan bahwa aku kelihatan normal. Aku mengembuskan napas untuk kali terakhir, menekan antar muka HoloScan pada layar.
Sabrine, tanpa menunggu pintu benar-benar terbuka, sudah menyelinap masuk, menghadiahiku pelukan yang meremukkan tulang. Sabrine selalu melupakan fakta bahwa aku tak suka disentuh-sentuh tanpa izin. Tapi untuk kali ini aku menahan diri, kuistirahatkan saja daguku di atas puncak kepala Sabrine. Mengeryit. Bau itu lagi. Aku selalu mencium bau yang sama dari Sabrine. Bau tajam yang menyesakkan dada, wewangian murahan beraroma terlalu manis, hingga kesannya palsu sekali, dan sesuatu yang menjijikkan--yang tidak pantas.
Namun aku tak sudi menolak pelukan Sabrine, terutama saat mengingat bahwa dialah satu-satunya orang baik hati pertama yang kukenal dari dunia kejam ini. Sabrine bisa dibilang membantuku di saat-saat aku dalam keadaan terpuruk.
Tak peduli seburuk apa perlakuanku selama ini padanya. Dia tak pernah meninggalkanku seorang diri.
Dan apa yang sudah kuberikan pada Sabrine untuk membalas kebaikannya? Tidak ada satupun. Belum ada.
Menyedihkan. Memalukan.
Aku mengatur baik-baik roman mukaku. Yah, tidak apa-apa. Banyak penguntit di kota ini. Rexsus itu bilang aku punya tekad. Dia takkan bisa macam-macam denganku. Coba saja kalau dia bisa.
Dia bisa, Resta.
Sabrine pada akhirnya membebaskan aku. Mengangkat tas kain yang dia bawa tepat di depan hidungku. Baunya sedap. "Makan malam," katanya cerah ceria.
Aku mengikutinya untuk duduk bersila dekat meja yang beberapa detik lalu berniat kuhancurkan. Bersyukur aku tidak melakukannya. Sabrine mana mau makan beralaskan lantai.
Aku membuka kotak-kotak makanan, menjajarkannya di atas meja sementara Sabrine sibuk memeriksa dan membawa apapun yang tersisa dari Freezer bututku ke atas meja. Sabrine menyingkirkan tumpukan baju yang ada di sampingku, hingga menyisakan ruang untuk duduk di sana.
"Sabrine dapat ini gratis dari Abe." Sabrine berkata bahkan sebelum aku bertanya. Abe. Satu lagi orang malang yang kukenal, tetapi tidak semalang aku ataupun Sabrine.
"Oh, kelihatannya enak," hanya itu yang mampu kukatakan. Aku tak pernah menyukai teman-teman Sabrine. Sesungguhnya aku tak menyukai siapapun kecuali Sabrine.
Sabrine duduk di sampingku, menyandarkan punggungnya pada kerangka kasur, sedang meniup-niup mi hangat dengan semangat, lalu menyodorkannya padaku. Aku mau tak mau membuka mulut, membiarkan dia menyuapiku. Sabrine selalu begitu. Mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri.
"Resta dapat libur hari ini?"
Aku meliburkan diri sendiri karena sedari kemarin aku merasa tidak enak badan. Aku ingin mengatakannya keras-keras pada Sabrine, tapi kutelan kembali kata-kata itu bersama dengan mie udang ke dalam tenggorokanku. Karena bisa-bisa Sabrine khawatir, mulai mengoceh tentang betapa pentingnya menjaga diri dan kesehatan, malah bisa kubayangkan Sabrine akan menyeretku ke tempat kenalannya yang seorang Esther baik hati. Namun seberapa keraspun Sabrine berusaha, orang yang sakit tidak diperbolehkan bekerja karena bisa saja menularkan penyakitnya pada pelanggan. Tak peduli kalau kau hanya sakit kepala atau flu ringan.
"Aku dapat cuti sehari. Kau tahu kan aku ini pekerja terbaik selama berbulan-bulan. Jadi itulah hadiah yang kudapat."
Sabrine tentu saja melahap kebohonganku dengan serta merta. Sabrine tak pernah mempermasalahkan tentang peraturan yang tiba-tiba berubah. "Bahkan BiVost?" tanya Sabrine dengan pipi gembung penuh makanan.
Aku mengangguk membenarkan. "Terutama BiVost."
Wajahnya jadi berseri-seri. "Kalau begitu apa rencana Resta malam ini?"
Aku mengusap noda saos di ujung bibir Sabrine, tanpa jijik menjilati jempolku, lalu mengendikkan bahu. Aku sebenarnya sudah punya rencana, untuk keluar--bukan sekedar jalan tanpa tujuan--aku berniat mencari plakat Holo yang menyiarkan bahwa tempat itu membutuhkan karyawan baru. Akan tetapi kunjungan tak terduga dari Rexsus membuatku kehilangan minat. "Aku mau malas-malasan."
Sabrine memutar bola mata. "Dasar payah," ejeknya setengah hati, tersenyum sedih. Barangkali dia ingat kembali akan hari-hariku saat masa tergelap. Dengan malu aku mengakui kalau saja Sabrine tidak menyelinap paksa ke dalam kehidupanku, aku pasti sudah mati lama. Hari yang buruk itu serta senyuman Sabrine, akan terus mencambukku supaya tidak menyerah akan keadaan.
Aku mengabaikan ejekan Sabrine. Menyuapkan mi banyak-banyak ke dalam mulut. Walaupun pada akhirnya rasa pedas terasa membakar langit-langit serta tenggorokanku, aku merasa lebih baik begitu daripada harus membiarkan rasa bersalah merasuk lebih jauh lagi. "Bagaimana denganmu?"
"Akhir-akhir ini tak banyak pelanggan yang datang," keluhnya pelan. Kunyahan Sabrine memelan, kepalanya yang munggil dia sandarkan pada lenganku.
Bagus, pikirku. Aku sendiri bisa dibilang muak dengan pekerjaan yang dipilih Sabrine, dengan keteguhan hatinya untuk mempertahankan, bagaimana di saat-saat yang tidak terduga--dia seakan-akan menyukai dan menikmati pekerjaannya dengan sepenuh hati. Kurasa seperti sebagian orang di kompleks ini, Sabrine sudah terlalu terjerumus dalam perannya. Dan, disadarinya atau tidak, aku merasa gagal untuk yang kesekian kali. Bisa dibilang mungkin memang inilah aku yang sesungguhnya. Tidak bisa melindungi orang-orang yang kusayangi.
Tiba-tiba saja pertanyaan yang kutahan sedari tadi terbersit begitu saja. Sulit menahan diri di hadapan Sabrine. "Sabrine, bagaimana kalau aku punya pekerjaan dengan upah 20 juta Hoover?"
Pertanyaanku sontak saja membuat Sabrine tersedak, dia terbatuk-batuk hebat. Praktis membuatku panik, geragapan aku mengambil gelas terdekat, menuangkan air ke dalam gelas, dan, sembari menepuk-nepuk punggung ringkih Sabrine, aku membantunya minum. Selama itu aku terus berpikir--berharap semoga pembicaraan kali ini berakhir dengan baik.
Akhirnya setelah beberapa tegukan cepat, batuk Sabrine telah reda, akan tetapi matanya masih berair-kulihat hidungnya juga.
Aku membuka kaos yang kukenakan, menggunakannya untuk membersihkan kekacauan pada wajahnya. Kaosku jadi bernoda berkat riasan wajah Sabrine yang luntur. "20 juta Hoover? Clearesta, apa Sabrine salah dengar?" Gumam Sabrine serak.
Aku tidak mengatakan apapun. Masih terus berkutat dengan wajah Sabrine. Sayangnya, makin keras aku mencoba, makin berantakan riasan Sabrine.
Sabrine menepis tanganku. "Hentikan! Kau menghancurkan wajahku!" dalam keadaan normal aku mungkin saja menertawakan keadaan wajah Sabrine saat ini, tapi tidak, aku hanya merasakan ganjalan pada tenggorokanku makin membesar. "Pekerjaan macam apa, Clearesta?" geram Sabrine, mengeluarkan suara melalui mulut yang terkatup rapat. Dia menggapai tanganku, mencengkarmnya erat sekali. Seakan-akan dialah yang membutuhkan pegangan, bukan aku.
Sabrine tentu tahu kalau pekerjaan apapun dengan gaji sebesar itu- terutama saat orang yang ditawarinya tidak memiliki keahlian khusus apalagi tidak pernah menamatkan sekolahnya di Institut--pasti bukan sekedar pekerjaan biasa.
Akan tetapi tidak ada pilihan lain selain mengatakan ya, sundal itu sudah tahu terlalu banyak. Aku tak takut kalau dia berniat melukaiku, yang tidak aku inginkan, yang aku takutkan bahwa Sabrine sendirilah yang akan menanggung akibat dari tindakanku yang salah.
Aku sama sekali tidak menginginkan hal itu menjadi nyata.
Jadi kupikir inilah saat yang tepat untuk membicarakannya dengan Sabrine. Hanya membicarakan, bukan meminta izin Sabrine.
"Coba bayangkan apa saja yang bakal bisa berubah dengan Hoover sebanyak itu, Sabrine," suaraku tercekat. Belum apa-apa, tapi aku sudah tergiur akan masa depan yang menanti.
"Tapi pekerjaan macam apa, Clearesta?" tanya Sabrine lagi--masih bersikukuh akan jawaban yang sebenarnya--kali ini bersuara lebih lembut.
Aku menghela napas untuk yang kesekian kali, melempar kaosku yang penuh noda bedak ke atas teman-temannya yang lain. Percuma saja berusaha menggelak dari pengorek rahasia paling ahli. "Aku tak tahu," rasa panas seketika menjalari leherku, suaraku makin mengecil seiring kalimat. "Katanya aku hanya perlu bekerja untuknya, menyelesaikan pekerjaan yang diberikan padaku dan aku, pada saat itu juga akan diupah 20 juta Hoover."
Cengkraman Sabrine seketika berubah menjadi genggaman, matanya yang seperti kaca cair menatapku dalam-dalam. Dia kelihatan lebih tua dariku saat berkata, "Jangan bertaruh untuk 20 juta Hoover. Resta akan kehilangan banyak hal."
Aku balas mengenggam tangan Sabrine, menariknya makin dekat denganku. Aku berharap dia merasakan apa yang kurasakan. Harapan. Walaupun kecil, tapi hal itulah yang selama ini membuat kami berdua mampu bertahan dari banyaknya gempuran. "Tapi banyak yang bisa kita perbaiki dengan Hoover sebanyak itu," kataku, balas menatap Sabrine lekat-lekat.
"Sabrine tak pernah meminta Resta untuk merubah apapun," sergah Sabrine, menggeser tatapannya sedikit saja dariku. Aku tak luput memperhatikan bagaimana dia menggigit bibir setelah menyatakan kalimat barusan, yang membuatku berpikir bahwa bisa saja Sabrine sebenarnya tergiur dengan jumlah Hoover yang kukatakan, atau bisa saja Sabrine berharap dia tidak pernah mengatakan apapun.
Namun sudah terlambat. Aku terlanjur membuat keputusan.
"Dan aku tak pernah memintamu untuk berpendapat." Aku tahu, aku telah memilih kata-kata yang salah, sebab kemudian Sabrine menyentak tanganku, menampar pipi--bukan hanya satu--tapi kedua pipiku dengan amat sangat keras sampai kulitku kebas. Aku juga lupa akan senjata paling mengerikan yang bisa Sabrine timpakan padaku.
Selain cengkraman dan cakaran, Sabrine lumayan menyadari bahwa tamparannya bisa membuat telinga siapapun nyeri mendengar suara yang dihasilkan antara tubrukan kulit tangannya dengan kulit orang yang ditampar. Pun orang yang ditampar akan merasa kebas sampai ke akar-akar.
Aku masih dalam posisi yang sama saat mendengar Sabrine bergegas-gegas. Aku tak mampu menatap Sabrine sekarang. Tidak saat kutahu dia akan menangis. "Sabrine tahu Resta muak dengan Sabrine, dengan pekerjaan Sabrine, tetapi bukan seperti ini caranya, Clearesta. Bukan ini yang Sabrine inginkan." Dengan buru-buru dia memasukkan semua makanan kembali ke tasnya.
"Kau tidak pantas mendapat makanan hangat ini." Ketusnya dengan suara gemetar.
Dia terluka gara-gara aku.
Walaupun tak ingin, aku sekilas melihat air mata, kelebatan sweater hijau, langkah kaki dan pintu yang lagi-lagi mendesis tertutup. Begitu saja, bahkan sebelum memulai apapun aku sudah melukai Sabrine dan aku takkan terkejut kalau ternyata aku sudah kehilangan dirinya.
Kau pantas mendapatkannya. Kau membuatku sakit.[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro