Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ARK-DB

☀️

BUTUH BEBERAPA DETIK untuk menyadari di mana aku berada dan kenapa. Perlahan-lahan aku duduk, mengeratkan selimut, menengok ke balik jendela. Lega menyadari bahwa hujan di Predawn sudah berhenti. Akan tetapi hal itu tidak berlaku untuk badai pasir berpetir di Phili. Awan-awan merah perunggu masih bergulung-gulung dengan kilat di angkasa, bagaikan laut berikut dengan ombaknya. Sayang sekali bahwa aku tak lagi mampu mendengar suara guntur dari kilat itu.

Aku meregangkan tubuh, memalingkan wajah dari jendela, hanya untuk menyadari jikalau bagian sisi ranjangku yang lain kosong. Telapak tanganku menyapu permukaannya yang kusut, dingin. Mengindikasikan Coyote Pramudva sudah lama pergi. Aku mengerjap beberapa kali untuk mengusir rasa kecewa, menguap selagi membatin. Coyote Pramudva sudah pergi, sudah jelas takkan kembali dalam waktu dekat.

Tiada yang tersisa dari dirinya selain sebuah pesan singkat pada holo di atas meja nakas. Berpendar, berputar-putar dengan warna menyakitkan mata.

Phobos dan Deimos menyukaimu. Sudah tentu Io juga.
-Pram

Aku menghela napas, menyembunyikan wajah di antara lekukan lengan, terkekeh. Ungkapan aneh yang tidak cantik, yang artinya hanya dimengerti oleh Coyote Pramudva seorang. Tetapi, mungkin karena itulah aku menyukai pemuda itu. Coyote Pramudva berbeda dengan laki-laki Wondra yang lain. Bukan hanya tentang satu hal, tapi banyak.

Namun semua itu segera saja lenyap seiring ingatan akan wajah Clearesta yang memberenggut jijik di balik rasa sayangnya padaku.

Clearesta tak pernah berkomentar secara terang-terangan soal pekerjaanku, tapi aku tak bodoh. Aku melihat rasa muak itu setiap kali aku pulang, setiap kali aku datang padanya dengan bilur-bilur samar di leher, berikut dengan bau parfum yang lain daripada yang biasa aku kenakan. Aku tahu pasti apabila aku menceritakan soal Coyote Pramudva padanya--bukan berarti aku mau mencoba--Clearesta sudah tentu akan mengatakan hal serupa, seperti saat dia dulu memprasangkai Abe.

"Dia bersikap begitu semata-mata karena kau cantik!" wajah Clearesta mengkerut, dipenuhi kebencian yang ditujukan pada Abe, pada pria yang coba-coba dekat denganku. Ada juga secuil rasa iba di sana. Rasa yang ditujukan padaku, pada kebodohanku. Menjadikan kata-kata yang keluar dari bibir Clearesta kian menusuk, menohok--menyakitiku.

Itu adalah sumber pertengkaran kami yang pertama. Aku marah karena tahu pasti Clearesta iri denganku. Sementara Clearesta berang karena aku tersinggung akan ucapannya. Perseteruan kami bertahan kira-kira selama satu minggu lamanya, sebelum kemudian aku--walaupun agak terlambat--pada akhirnya mengerti bahwa bukan itu yang ingin Clearesta katakan padaku. Ucapannya memiliki lebih dari satu maksud. Salah satunya, Clearesta ingin aku berhati-hati, dia tidak mau aku bernasib serupa dengan Morillia atau gadis-gadis Engine malang lainnya.

Gadis-gadis yang berakhir patah dengan harapan palsu sepanjang hidup mereka.

Sekarang hal yang demikian terjadi lagi. Prasangka lainnya. Kali ini bukan karena seorang pemuda, melainkan karena jalan yang berniat Clearesta tempuh. Dia melakukan hal itu katanya demi masa depan yang lebih baik. Clearesta mungkin saja lihai menyembunyikan suara hatinya di hadapan orang lain, tapi tidak di depanku. Hanya dengan melihat mata serta gelagatnya yang sengaja dibuat-buat supaya kaku saja, aku segera tahu bahwasannya ada alasan lain di balik kata-kata itu. Dia mengira aku takkan menyadari hal tersebut.

Si dungu itu berniat membebaskan aku dari pekerjaan yang saat ini aku jalani.

Aku menggertakkan gigi. Coyote Pramudva berbeda. Soal itu aku yakin sekali. Aku tidak bodoh. Aku bisa menjaga diri. Satu-satunya orang yang mesti dipertanyakan nurani serta pemikirannya hanyalah Clearesta seorang.

Sesudah memperkirakan pekerjaan macam apa yang akan memberi Clearesta 20 juta Hoover sebagai imbalan dalam sekali beraksi, Abe segera memperingati aku soal pekerjaan yang Clearesta inginkan. Kesempatan untuk bertahan hidup di sana paling-paling hanya sebesar kotoran di bawah kukuku.

"Dasar gadis dungu," erangku dengan pedih. Sesudah aku menghadiahi Clearesta tamparan, jujur saja aku menyesali banyak hal. Penyesalan itu membawaku kembali berandai-andai. Andai saja aku tak mengulurkan tangan pada musim panas yang kelewat panas itu. Andai saja aku pura-pura tak melihat. Clearesta setidaknya akan melakukan apa saja bukan karena aku. Dia akan melakukan semuanya untuk dirinya sendiri, bukan karena merasa berkewajiban untuk membalas budi padaku--penyelamatnya.

Andai saja aku rela.

Pada kenyataannya aku memang tidak setega itu.

Clearesta juga pantang membiarkan orang lain ikut campur akan urusan pribadinya, dia juga bukan seorang yang pandai bergaul atau berusaha untuk itu.

Akan tetapi kalau tak dicoba aku takkan tahu.

Aku tidak pernah malu saat meminta bantuan, terutama apabila aku meminta demi Clearesta. Demi orang yang aku sayangi, yang menyayangiku.

Aku tak berhasil menghubungi Naia atau East, tapi aku masih sempat berbicara dengan rekan kerja Clearesta di NerD. Rekan kerja yang setahuku kadang-kadang dibicarakan Clearesta, walaupun dia ketus dan suka mengintimidasi orang lain dengan roman mukanya yang selalu cemberut, aku tahu pasti Clearesta takkan setega itu pada orang yang sudah dia lihat selama bertahun-tahun. Setidaknya tidak di belakang mereka.

Aku pertama menemui Lia, aku mengenal gadis itu dan segera mengatakan apa saja yang perlu kutekankan soal Clearesta. Lia gadis yang baik, suka tersenyum, tipe yang akan mau menolong jika orang lain membutuhkan.

Namun nyatanya Lia menggeleng, meminta maaf melalui kata-kata dan gestur. Dia tidak bisa menolongku. Bukan karena tidak mau, tetapi karena dia tahu Clearesta takkan menggubrisnya.

Di saat aku sudah putus asa, sedih akan kemungkinan yang ada, seorang pemuda Zolar ras Asia yang sedari tadi hanya diam terpaku di belakang, berkata bahwa dia barangkali mampu.

Aku terlalu kegirangan sampai-sampai lupa menanyakan namanya, tetapi lebih daripada itu aku sangat berharap dia berhasil.

Aku tahu pasti Clearesta akan marah besar begitu mengetahui apa yang coba aku lakukan. Tapi apakah itu penting? Lebih baik marah-marah daripada tidak sama sekali.

Aku masih punya banyak waktu. Kalau pemuda Zolar itu juga tak berhasil, aku--dengan terpaksa-- bertindak sendiri. Aku maklum, sebab percobaan pertama memang selalu gagal.

Setelah meremas-remas rambutku yang bagai sarang burung beberapa kali--berbuat demikian demi menghilangkan rasa jengkel karena memikirkan kekeraskepalaan Clearesta--aku beringsut pelan-pelan untuk turun dari kasur, bergidik saat kakiku yang telanjang menyentuh lantai. Selimut yang kulilitkan untuk melindungi tubuhku dari pendingin ruangan berombak di belakang bagai jubah ketika aku dengan tertatih-tatih melangkah ke arah pintu yang menguarkan wangi menyenangkan dari dalamnya.

Tidak terkejut mendapati bak mandi sudah terisi penuh oleh air hangat, berikut dengan busa aromanya.

Pikiranku mendengkur puas. Andaikata Clearesta di sini, aku akan menyergahnya, "Lihat 'kan, Resta. Coyote Pramudva itu lebih baik dari pemuda Wondra manapun."

Namun aku tak bisa untuk tidak menggigit bibir demi menahan kesiap kaget dari mulutku begitu melihat keberadaan sebuah kubus di pinggiran bak mandi. Holo yang berpendar di atasnya mengedip-ngedip dengan warna biru kesukaanku.

Mí Sabrine.

Dengan hati-hati aku mengambil kubus itu, menggenggamnya seakan-akan itu adalah sebuah bom bukannya kubus biasa. Untuk beberapa lama aku hanya bisa berdiri, terbengong-bengong.

Coyote Pramudva tak pernah memberi aku teka-teki, hadiah yang kuterima darinya biasanya hanya buku-buku dengan kisah mustahil soal sihir, naga dan terutama Merchant dari buku soal konfilk manusia super dengan perempuan remaja malang bernama Aurellion Dearth. Coyote Pramudva tahu benar, betapa aku menggemari trilogi itu.

Kupandangi kembali kubus di tanganku. Seingatku Merchant Ellie Dearth tidak ada yang memiliki desain seperti ini.

Masih sambil memegang kubus yang keras, aku melepas pegangan tangan pada selimut, cepat-cepat aku masuk ke dalam bak mandi, mendesah pelan begitu merasakan belaian air hangat di kulitku.

Coyote Pramudva tak mudah ditebak. Terkadang kalau soal seperti ini, dia tak mau memberi aku kemudahan, tega membiarkan aku memikirkan jawabannya sendiri.

Bukan berarti aku keberatan.

Aku menunduk, menimang-nimang kotak itu. Memperkirakan apa yang sesungguhnya ada di dalam kubus. Hampa. Tidak ada bunyi apapun. Aku tak merasakan apapun.

Semenit setelah menekuri kubus itu, aku baru menyadari benda ini tak bisa dibuka dengan cara manual, apalagi dengan sidik jari. Aku mengetahuinya sesudah mencari tempat yang sekiranya dimaksudkan untuk menaruh sidik jariku. Akan tetapi tak ada apapun, aku hanya meraba-raba, memencet sembarangan permukaan kubus itu dengan sia-sia.

Walupun jengkel dan malas, aku tak menyerah, mataku tak satu kalipun memindahkan pengamatan dari kubus yang sekarang berputar-putar di udara. Roda-roda di kepalaku bergerak. Memikirkan segala kemungkinan konyol, sementara holo pesan itu masih berpendar. Mengejek aku dengan kalimat tak kumengerti dari Coyote Pramudva.

Apa yang bisa kuketahui memang dari kalimat yang berbunyi, Mí Sabrine?

Kerutan di alisku memudar, barangkali kubus ini sama seperti pesan di atas meja nakas, mungkin Coyote Pramudva hanya mencoba sisi romantisnya yang aneh.

Tidak. Tunggu. Kalimat itu tak asing bagiku. Aku sudah membaca ribuan buku yang hampir kesemuanya dihadiahi oleh Coyote Pramudva. Terkadang kami bertemu hanya demi membahas buku-buku itu. Mengobrol hingga larut malam. Jadi mustahil aku tidak mengingat kalimat ini dari mulut Coyote Pramudva sendiri, atau pada geletar suaranya saat menyatakan hal itu.

Aku takkan tahu kalau tidak mencoba.

Ragu tapi pasti aku meluruskan punggung, membuka mulut untuk membisikkan suatu kata sederhana. "Are we green?"

Kubus terbuka dengan bunyi klik pelan satu kali, berpindah permolekul, memuntahkan apa yang ada di dalamnya.

Liontin.

Aku menggapainya tepat sebelum kalung itu terjatuh ke air di bawahku. Liontin emas dari tanah Bumi dengan harga jutaan Hoover. Aku menyadari hal itu dengan takjub sekaligus ngeri.

Sejauh ini, apa yang ada di kotak merupakan hadiah termahal yang pernah diberikan seseorang padaku. Bandulnya merupakan konstalansi tata surya. Pada permukaan matahari terdapat huruf S.

S untuk Sabrine, S untuk Sun. S untuk Surya. Matahari. Oh indah sekali ...

Kemudian tiba-tiba aku terlonjak begitu permukaan kubus beriak, membentuk semacam HoloID. Aku memperhatikan, menunggu dengan jantung berdebar selagi kubus menyelesaikan transformasinya.

Huruf per huruf perlahan muncul, membentuk kata, hingga pada akhirnya sebuah kalimat lengkap.

|_ᴘᴇʀɪɴɢᴀᴛᴀɴ : ᴘᴇꜱᴀɴ ɪɴɪ ᴀᴋᴀɴ ʜᴀɴᴄᴜʀ ᴅᴇɴɢᴀɴ ꜱᴇɴᴅɪʀɪɴʏᴀ ʙᴇɢɪᴛᴜ ᴋᴀᴜ ᴍᴇᴍᴀʟɪɴɢᴋᴀɴ ᴘᴀɴᴅᴀɴɢᴀɴ․_|

Tulisan di bawah terlihat jelas diketik terburu-buru, menggunakan bantuan tangan robot Pramudva yang bergetar, dan, sudah tentu dia tak memiliki waktu untuk merubahnya. Format hurufnya menggeletar seperti perahu rawan di atas air. Siap tenggelam kapan saja.

ₛₐᵦᵣᵢₙₑ, ₐₖᵤ ₘₑₘᵢₖᵢᵣₖₐₙ ᵢₙᵢ ₛₑₗₐₘₐ ᵦₑᵣₜₐₕᵤₙ₋ₜₐₕᵤₙ ₗₐₘₐₙyₐ․ ₐₖᵤ ₛₑₒᵣₐₙg ᵣₐₘᵣₒd, ₛₑᵦₑₙₜₐᵣ ₗₐgᵢ ₐₖᵤ ₐₖₐₙ ᵦₑᵣₐₙgₖₐₜ ᵤₙₜᵤₖ ᵦₑᵣₚₑᵣₐₙg․ ₖᵤₖᵢᵣₐ ₐₖᵤ ₘₑₘₐₙg ₜₐₖ dᵢₜₐₖdᵢᵣₖₐₙ ᵤₙₜᵤₖ ₕᵢdᵤₚ ₗₐₘₐ․ ₐₖᵤ ₜᵢdₐₖ ₘₑₙyₑₛₐₗᵢₙyₐ, ₛᵤₙggᵤₕ․

ₙₐₘᵤₙ ₗₑᵦᵢₕ dₐᵣᵢₚₐdₐ ᵢₜᵤ, ₐₖᵤ ₜₐₕᵤ ᵦₐₕwₐₛₐₙₙyₐ ₐₖᵤ ₜₐₖₖₐₙ ᵦᵢₛₐ ₖₑₘᵦₐₗᵢ ₖₑ ₚᵣₑdₐwₙ ₕᵢdᵤₚ₋ₕᵢdᵤₚ․ ₛₑᵦₐᵦ ₐₖᵤ ₜₑₗₐₕ ₜₐₙₚₐ ₛₑₙgₐⱼₐ ₘₑₙgₑₜₐₕᵤᵢ ₛₐₜᵤ ₕₐₗ yₐₙg ₘₐₖᵢₙ ₘₑₘₚₑᵣₛₑₘₚᵢₜ ₖₑₛₑₘₚₐₜₐₙₖᵤ ᵤₙₜᵤₖ ₚᵤₗₐₙg ₖₑ ₘₐᵣₛ, ₖₑₘᵦₐₗᵢ ᵦₑᵣₛₐₘₐₘᵤ․

ₘₐₐ𝆑ₖₐₙ ₐₖᵤ․

ₛₐᵦᵣᵢₙₑ, ₐₖᵤ ₚᵤₙyₐ ₛₐᵤdₐᵣₐ ₖₑₘᵦₐᵣ ₚₑᵣₑₘₚᵤₐₙ yₐₙg ₖₐᵦᵤᵣ dₐᵣᵢ ᵣᵤₘₐₕ ₜᵢgₐ ₜₐₕᵤₙ yₐₙg ₗₐₗᵤ․ ₛₑₖₐᵣₐₙg, dᵢₐ ₛᵤdₐₕ ₛₑₘᵦᵢₗₐₙ ᵦₑₗₐₛ ₜₐₕᵤₙ․ Dₐᵣᵢ ᵦₑᵦₑᵣₐₚₐ ₛᵤₘᵦₑᵣ, ₐₖᵤ ₚₑᵣ𝄴ₐyₐ ᵦₐₕwₐ dᵢₐ ₛₑdₐₙg ₘₑₙyₐᵣᵤ ₘₑₙⱼₐdᵢ ₛₑₒᵣₐₙg ₑₙgᵢₙₑ․

ₙₐₘₐₙyₐ 𝄴ₗₑₐᵣₑₛₜₐ ⱼₐᵥᵢₐₗ ₑₙdₑₐᵥₒᵣ․ ₐₖᵤ ₛᵤdₐₕ ₘₑₙgᵢᵣᵢₘ 𝆑ₒₜₒₙyₐ ₖₑ ₕₒₗₒᵢD ₘᵢₗᵢₖₘᵤ--ᵦₑᵣⱼₐgₐ₋ⱼₐgₐ ₐₙdₐᵢₖₐₜₐ ₖₐᵤ ᵦᵢₙgᵤₙg․ ₜₑₜₐₚᵢ ᵢₜᵤ ₘᵤₛₜₐₕᵢₗ, ₖₐᵣₑₙₐ ₖₐᵤ ₖₑₙₐₗ ᵦₐₙyₐₖ ₒᵣₐₙg ₛₐᵦᵣᵢₙₑ, ₖₒₙₑₖₛᵢₘᵤ dᵢ ₖₐᵤₘ ₑₙgᵢₙₑ ₛₑₗᵤₐₛ ₖₒₙₑₖₛᵢₖᵤ dᵢ ₐₙₜₐᵣₐ ₖₐᵤₘ Wₒₙdᵣₐ․ ₐₖᵤ ᵦₑᵣₕₐᵣₐₚ ₖₐᵤ ᵦᵢₛₐ ₘₑₙₑₘᵤₖₐₙₙyₐ, dₐₙ ⱼᵢₖₐₗₐᵤ ᵦₑᵣₜₑₘᵤ, ₛₐₘₚₐᵢₖₐₙ ₚₑₛₐₙₖᵤ ᵢₙᵢ ₚₐdₐₙyₐ․

ₚₑₘₑᵣᵢₙₜₐₕ ᵦₑᵣₛₐₘₐ dₑₙgₐₙ Dₐₜₐᵢₙ𝄴 ₛₑdₐₙg ₘₑᵣₑₙ𝄴ₐₙₐₖₐₙ ₛₑₛᵤₐₜᵤ ₘₑₙggᵤₙₐₖₐₙ ₜᵣₐᵤₘᵦₗₐ𝆎ₑ․ ᵦᵤₖₐₙ ₛₑₛᵤₐₜᵤ yₐₙg ᵦₐᵢₖ․ ₖₑₗᵤₐᵣgₐ ₖᵢₜₐ dₐₗₐₘ ᵦₐₕₐyₐ․ ₚₑₙdᵤdᵤₖ ₘₐᵣₛ dₐₗₐₘ ᵦₐₕₐyₐ․ ᵣₑₛₜₐ, ₖₐᵤₗₐₕ ₛₐₜᵤ₋ₛₐₜᵤₙyₐ ₕₐᵣₐₚₐₙₖᵤ ₛᵤₚₐyₐ ₕₐₗ ᵢₜᵤ ₜᵢdₐₖ ₜₑᵣⱼₐdᵢ․

ᵢₙₜᵢₙyₐ ₛₐᵦᵣᵢₙₑₖᵤ ₛₐyₐₙg, ₐₖᵤ ᵦᵤₜᵤₕ ᵦₐₙₜᵤₐₙ 𝄴ₗₐₛₛy, ᵦᵤⱼᵤₖ ₛᵤₚₐyₐ dᵢₐ ₖₑₘᵦₐₗᵢ ₖₑ ᵣᵤₘₐₕ․ Dᵢ ₛₐₙₐ--ₐᵣₜₑₘᵢₐ--ₛₐᵤdₐᵣₐ ₖₐₘᵢ yₐₙg ₗₐᵢₙ ₛᵤdₐₕ ₛᵢₐₚ ₘₑₘᵦₐₙₜᵤ ₐₙdₐᵢₖₐₜₐ ₖₑₐdₐₐₙ ₜᵢdₐₖ ᵦₑᵣⱼₐₗₐₙ ₛₑₚₑᵣₜᵢ ₛₑₕₐᵣᵤₛₙyₐ․

ₐₖᵤ ₘₑₙ--

Aku sudah berdiri sebelum menyelesaikan membaca kata-kata terakhir. Otomatis menghancurleburkan pesan itu. Aku tak peduli. Sudah cukup aku mengetahui inti dari pesan itu. Sudah cukup bagiku untuk membaca.

Aku keluar dari bak mandi dengan tubuh yang masih penuh busa, geragapan menekan salah satu tools dekat wastafel. Selagi lengan-lengan mekanik membantuku membersihkan sisa busa, mengeringkan tubuhku, merapikan rambutku, serta berpakaian. Aku terpaku pada satu titik. Tak kunjung mengalihkan pandangan saking tegangnya.

Gigiku gemelutuk bukan karena dingin.

Di sana, pada cermin wastafel aku melihat bayanganku balas menatap dengan mata melebar penuh teror, rambut hitam ikal bercorak abu-abu yang lepek, wajah pucat kelabu.

Aku berantakan, tak siap, takut.

Cepat-cepat kupalingkan wajah tapi justru gerakan itu malah memberi aku pemandangan yang lebih buruk lagi.

Di pinggiran wastafel, tanganku sendiri yang mengenggam liontin pemberian Coyote Pramudva bergetar hebat. Bagiku benda itu tak ubahnya permintaan maaf dari teror Coyote Pramudva karena sudah menyampaikan berita mengerikan ini padaku.

Kukatupkan rahang, bingung antara ingin menjerit atau menangis. Alangkah terkejutnya aku saat yang keluar dari dalam bibirku adalah makian kasar. "Resta, kau benar-benar gadis dungu-gegabah-sialan."[]



☀️Word Count | 2010 Words

☀️Jangan lupa pencet bintang!
☀️Sudah?☀️
☀️Terima kasih!☀️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro