Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6. Pesta Petaka

“Wah! Keluarga Count Floyd, kami sudah menantikan kedatanganmu.” Si pria dengan tongkat yang menyambut kedatangan Keluarga Floyd itu tersenyum sembari merentangkan tangannya.

Count? Ivana mengerutkan dahinya. Sejauh pengetahuan Ivana, count adalah sebutan bagi penguasa dari sebuah county. Sementara county sendiri biasanya merupakan bagian dari sebuah wilayah kerajaan, berada satu tingkat di bawah Duchy. Hal tersebut membuat Ivana tanpa sadar memicingkan mata karena mengira bahwa orang-orang di depannya ini sedang bermain peran sebagai orang-orang dari ratusan tahun lalu.

Ayah Liliya balas tersenyum pada Tuan Peobi dan merentangkan tangannya. “Terima kasih atas undangan jamuannya, Tuan Peobi. Saya sangat tersanjung untuk bisa hadir,” ucap kepala Keluarga Floyd itu sembari memeluk Tuan Peobi sebagai salam hangat dan tanda ramah tamah.

“Kalau begitu silakan masuk Tuan George Floyd, Nyonya Savina Floyd, serta Nona Liliya,” ucap Tuan Peobi mempersilakan. Kemudian Pria itu berbisik kepada seorang pelayan yang sejak tadi berdiri di belakangnya.

Setelah itu, si pelayan mendampingi Savina dan Ivana untuk masuk ke dalam. Sementara George didampingi sendiri oleh Tuan Peobi. Ivana hanya membuntuti Savina dari belakang saja sembari memperhatikan sekitar. Hanya dengan sekali lihat saja, Ivana bisa melihat bahwa tempat ini dipenuhi dengan orang-orang kaya.

Pembahasan tentang kekayaan dan kekuasaan mengisi ruang pesta tersebut. Termasuk ibu dan ayah Liliya pun sibuk mengobrol dengan “teman-teman” sesama penguasa mereka. Kemudian Ivana menggunakan kesempatan itu untuk sedikit berkeliling. Ivana akan mencari tau di mana sebenarnya dia berada sekarang atau mungkin kapan. Karena Ivana yakin di belahan bumi mana pun, di zaman modern tidak akan ada tempat seperti ini.

Kemudian Ivana melihat sebuah lukisan tergantung pada dinding lorong yang agak sepi, hanya para pelayan yang mondar-mandir melewati lorong tersebut. Tampak wajah seorang lelaki terpampang jelas dalam lukisan tersebut dan Ivana langsung bisa mengenali wajah lelaki itu. Itu adalah wajah orang yang menyambut Keluarga Floyd tadi, Tuan Peobi. Meskipun wajah di dalam lukisan tampak dua puluh tahun lebih muda.

Lalu Ivana menemukan bahwa pada salah satu sudut kanvas tertera sebuah tanggal dan tahun, serta sebuah kata yang Ivana perkirakan sebagai nama tempat. “Ardes, 27 Maret 1784,” gumam Ivana membaca tulisan yang tercetak pada sudut lukisan di depannya.

Untuk sejenak Ivana terdiam karena merasa ada yang aneh. Hingga perempuan itu menyadari bahwa lukisan tersebut dibuat pada tahun seribu tujuh ratus delapan puluhan, padahal objek dalam lukisannya masih hidup. “Seberapa serius orang-orang ini bermain peran?”

Ivana menggeleng-gelengkan kepalanya nyaris tidak percaya, kemudian perempuan itu kembali berjalan untuk menghampiri Savina yang masih sibuk mengobrol dengan teman-teman wanita itu yang tampaknya mereka berasal dari kalangan yang sama. Sayangnya Ivana harus berjalan dengan perlahan karena dia kesulitan berjalan berkat gaun aneh yang dikenakannya. Ivana sungguh tidak sabar dengan gaun yang dikenakannya karena perempuan itu terbiasa berjalan dengan cepat untuk menyelesaikan berbagai urusan. Akan tetapi, berkat jalannya yang lambat itu, Ivana jadi mendengar sebuah percakapan antara dua orang pria yang seumuran dengan George.

“Seharusnya memang pembangunannya dimulai tahun ini, aku tidak percaya kita kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tanah di sana,” ucap seorang pria yang penampilannya cukup mirip dengan george tetapi bedanya pria ini berkumis, sedangkan George tidak berkumis.

“Sudahlah, aku yakin tahun depan kita akan mendapatkan tanah itu,” jawab teman si pria berkumis yang perawakannya lebih pendek.

Si pria berkumis berdecak kesal. “Mungkin aku akan mencoba meminta bantuan Count Floyd, aku sudah tidak bisa sabar lagi karena kita sudah memulainya sejak seribu delapan ratus tujuh belas dan sekarang sudah seribu delapan ratus dua puluh dua, sudah lima tahun. Memang orang-orang jelata itu sangat keras kepala, padahal aku telah menawarkan semua itu dengan begitu murah hati.”

Ivana menutup mulutnya sendiri. Perempuan itu nyaris saja memekik karena terkejut. 1822? “Yang benar saja?” gumam Ivana tanpa melepaskan tangannya dari mulut.

“Apanya yang benar, Nona Liliya?” sebuah suara berhasil membuat Ivana terlonjak kaget, untungnya hal tersebut tidak menimbulkan keributan.

Seorang perempuan yang mungkin lima tahun lebih tua dari Liliya, tiba-tiba saja muncul dan menyapa. Dia adalah putri tertua Tuan Peobi, Nona Miranda. “Sudah lama tidak bertemu denganmu, Nona Liliya. Kapan terakhir kali? Ah, benar. Saat pernikahanku tiga tahun lalu,” ucap Miranda lengkap dengan senyum ramah kepada Ivana–Liliya–saat Ivana sendiri masih berusaha mengenali siapa perempuan di depannya.

“Kenapa diam saja, Nona Liliya? Apa kamu tidak suka dengan pesta yang Ayahku adakan?” tanya Miranda lagi yang membuat Ivana akhirnya mengerti bahwa perempuan di depannya merupakan anak dari Tuan Peobi. Itu artinya, Miranda adalah teman Liliya, atau setidaknya mereka merupakan kenalan.

“Ah, tidak.” Ivana buru-buru balas tersenyum ramah dan mengatur dirinya. “Aku suka dengan pestanya. Hanya saja aku sedikit melupakanmu karena kamu tampak sangat berbeda setelah beberapa tahun menikah.”

Sebenarnya Ivana sendiri juga tidak mengetahui perbedaannya di mana karena Ivana bahkan tidak mengenali perempuan di depannya ini. Sementara itu, Nona Miranda tampak tersipu malu. Ya, wajar saja. Apa yang Ivana katakan terdengar seperti pujian bagi Miranda.

“Ah, bisa saja. Mungkin karena efek menikah … makanya, segeralah menikah agar kamu mengerti rasanya,” ucap Miranda yang hanya bisa membuat Ivana tersenyum kaku karena tidak tau mau merespon apa.

“Bagaimana mau menikah jika kekasihnya saja tidak ada di sini?” batin Ivana.

Ah, iya. Ngomong-ngomong soal kekasih, Ivana jadi teringat dengan Vale. Samar-samar Ivana teringat dengan wajah Vale. Wajah cemas dan panik Vale lebih tepatnya. Akan tetapi Ivana tidak bisa mengingat kenapa Vale berekspresi seperti itu.

Kemudian mendadak kepala belakang Ivana rasanya berdenyut nyeri. “Nona Liliya? Apa yang terjadi?” tanya Miranda dengan cemas saat melihat Ivana tiba-tiba mengernyitkan wajah dan tampak kesakitan sembari memegangi kepala belakangnya.

Kenapa sangat menyakitkan? Ivana bertanya-tanya, padahal rambutnya tidak disanggul dengan aneh seperti rambut ibunya atau rambut perempuan yang berdiri di hadapannya. “Tidak, aku tidak apa-apa,” jawab Ivana.

“Apa Nona yakin?” Ivana menganggukkan kepala.

Kemudian Ivana sedikit mendongakkan kepala dengan harapan rasa nyeri di kepalanya akan sedikit mereda. Akan tetapi, mata Ivana justru menangkap keberadaan sebuah lukisan yang cukup besar terpampang di dinding. Lalu dia teringat dengan kejadian saat dirinya mengecek kerangka pigura. Ivana terjatauh, bahkan tertimpa kerangka pigura.

“Sialan!” maki Ivana tanpa sadar.

Miranda mengerutkan dahi saat mendengar kata makian itu keluar dari mulut Liliya. “Maaf, Nona. Apa yang baru saja Nona Liliya katakan?” tanya Miranda untuk memastikan bahwa apa yang dia dengar tidaklah salah.

Ivana buru-buru tersadar bahwa dia baru saja mengumpat. Kemudian Ivana menggelengkan kepala. “Tidak, tidak ada.” Setelah itu, dengan segala kepanikan yang memenuhi kepala. Ivana buru-buru melangkah pergi meninggalkan Miranda dan melupakan bahwa saat ini dirinya sedang mengenakan gaun yang begitu merepotkan dan siap membuat Ivana terjatuh kapan saja.

Dan benar saja. PRANG!!

_____________

Jangan lupa untuk mendukungku di KaryaKarsa dengan username @mayleailaria. Kalian juga bisa membaca 4 bab (Bab 1-4) lebih cepat di KaryaKarsa.

Oh, iya. Serta jangan lupa untuk mendukung karya teman teman yang lain, ya.

Back to Back oleh sweet-stripes


Am I A Villain?! Oleh SeiongJeans

Doon-Yea The Real Game oleh wanderspace_


Selamat menikmati♡
—May

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro