Bab 3. Tragedi Pigura Lukisan
“Lihat saja nanti. Aku bersumpah bahwa kamu akan merasakan apa yang perempuan dalam lukisan itu rasakan.”
Ivana hanya berdecak sebal setelah mendengar ucapan sang kurir. Setelah itu Ivana meninggalkan sang kurir begitu saja menuju ruang kerjanya. Kemudian saat baru saja duduk dan melanjutkan pekerjaannya, ponsel Ivana kembali berdering. Kali ini sang kekasih yang menelepon.
“Hello, Sugar. Gimana kerjaan hari ini? Is everything good?” tanya Vale dari seberang sana. Lelaki itu baru saja melepaskan helm-nya dan langsung menelepon Ivana.
Ivana menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan Vale. “Vallll … aku bertemu orang yang sangat menyebalkan,” keluh Ivana dengan setengah merengek.
“Kapan magangku selesai, astaga!” lanjut Ivana yang sudah empat bulan magang di museum Kota Ardes sebagai asisten kurator. Jika bukan demi nilai dan cita-cita menjadi seorang kurator, Ivana enggan melakukan semua ini.
“Sabar, ya. Masih satu bulan lagi, kan? Lebih baik sekarang kamu keluar, aku membawakan sesuatu untukmu,” ucap Vale yang membuat Ivana langsung mengerutkan dahi.
“Kamu di depan?” tanya Ivana memastikan.
Akan tetapi, Vale tidak mau memberikan jawaban yang pasti. “Keluar aja dulu.”
Setelah itu Ivana pun keluar. Saat sampai di halaman museum, tanpa sengaja Ivana berpapasan dengan si kurir yang tadi berdebat dengannya. Lelaki yang sedang menutup pintu box itu pun menatap ivana dengan pandangan sinis. Ivana pun melakukan hal yang serupa.
“Dia kira hanya dia yang bisa sinis?” gumam Ivana dengan kesal. Perempuan itu tidak suka orang yang terlalu ikut campur dalam urusannya.
“Sugar!!” terdengar suara teriakan dari luar gerbang museum yang akhirnya membuat Ivana melepaskan tatapan sinisnya dari sang kurir. Ketika menolehkan kepala, Ivana mendapati kekasihnya menunggu di luar sana sembari menenteng sebuah paper bag.
Ivana berlari menghampiri kekasihnya dengan ekspresi yang sudah berubah total. Senyum ceria merekah di wajah perempuan itu. “Vale, kamu bawa apa?” tanya Ivana sembari membuka sedikit gerbang museum agar dia bisa keluar dan mendekat kepada kekasihnya.
“Bawa matcha kesukaan kamu sama makan siang dari Mama,” jelas Vale lalu menyodorkan paper bag yang dia bawa kepada Ivana.
“Padahal udah sore,” celetuk Ivana sembari menerima paper bag yang diberikan Vale. Lelaki itu terkekeh pelan mendengar apa yang diucapkan Ivana.
“Ya udah, makan sore, deh.”
“Mama hari ini masak apa?” tanya Ivana lalu berusaha mengendus bau makanan yang sangat harum tercium dari dalam kotak makanan.
“Udah, dimakan aja. Kesukaan kamu itu.” Vale tersenyum lalu menepuk-nepuk puncak kepala Ivana. Kemudian lelaki berambut hitam seleher itu melanjutkan, “Nanti pulang jam 5 kayak biasanya, kan? Aku tungguin di sini, ya.”
Ivana kembali memasukkan kotak makanan ke dalam paper bag bersama dengan matcha yang masih tersimpan rapi di dalam botol minuman. “Masih satu setengah jam lagi, loh. Memang kamu tidak ada urusan lain lagi? Lebih baik aku yang menunggu dijemput, Vale. Kamu bisa nongkrong terlebih dahulu.”
Vale menggelengkan kepala. “Aku sedang tidak ingin jauh darimu, Sugar. Aku juga tidak tau kenapa.” Mendadak tatapan mata Vale berubah menjadi sendu.
Ivana pun segera memajukan tubuhnya untuk memeluk Vale. “Uhh … pasti ini karena aku sibuk beberapa bulan terakhir, ya? Maafkan aku, Vale.” Ivana mengakhiri kalimatnya dengan sebuah kecupan pada pipi Vale.
Tangan Vale pun bergerak mengelus kepala Ivana. “Tidak, Sugar. Bukan karena itu, aku tidak masalah jika kamu sibuk. Mungkin memang aku yang sedang sedikit … sensitif.” Vale balas memberikan sebuah kecupan pada puncak kepala Ivana.
Namun, tiba-tiba sebuah suara klakson mengagetkan mereka berdua. Spontan Ivana melepaskan pelukannya dari Vale, kemudian menolehkan kepala ke arah asal suara. Ternyata mobil boks yang tadi mengantarkan lukisan sedang menunggu untuk lewat karena Ivana dan vale berdiri di tengah jalan.
“Maaf, Kak. Bisa tolong minggir dulu,” ucap satpam museum yang baru selesai membukakan gerbang.
Ivana dan Vale pun berjalan minggir agar mobil box tersebut bisa lewat. Saat mobil itu akan melewati Ivana, perempuan itu bisa melihat si sopir “menyebalkan” menatapnya dengan tatapan tidak suka. Tentu saja Ivana memberikan tatapan yang serupa.
“Ya udah, sana. Kerja lagi, kerja,” ucap Vale agar kekasihnya kembali masuk ke dalam museum dan melanjutkan pekerjaannya. “Jangan lupa dimakan, ya.”
“Iya, Vaaaal.” Setelah itu Ivana berjalan masuk sembari melambaikan tangan kepada Vale. Sang kekasih pun melakukan hal serupa kepada Ivana.
Kemudian saat sampai di dalam ruang kerjanya dan setelah meletakkan paper bag berisi makanan serta minuman ke atas meja, Ivana mengecek ponselnya. Ternyata Astor dream baru saja mengirimkan pesan bahwa dia dalam perjalanan kembali ke museum. “Aku akan sampai dalam 15 menit.” Begitu isi pesan dari Astor Dream.
“Saat aku sampai, kita langsung pasang lukisannya,” lanjut pesan dari Astor Dream.
Ivana langsung teringat bahwa dirinya belum sempat mengecek kerangka figura yang berada di gudang. Buru-buru Ivana menuju gudang untuk mengecek apa yang dia perlukan. Akan tetapi, ternyata pigura yang seukuran dengan lukisan The Smile You Gave terletak di rak yang agak atas. Ivana sedikit kesulitan untuk menjangkaunya meskipun dia tidak pendek-pendek amat.
Ivana pun berusaha mencari cara untuk dapat menjangkau barang yang ingin diambilnya. Jangan sampai saat Astor Dream tiba, tetapi Ivana belum mempersiapkan apa yang diminta. “Duhh! Mana sudah hampir lima belas menit lagi,” gumam Ivana setelah mengecek jam tangannya.
Setelah itu, Ivana melihat meja dan kursi properti yang tadi ikut diantarkan bersama lukisan The Smile You Gave. Ivana pun terpikirkan untuk memakai mejanya sebagai tumpuan untuk bisa menjangkau pigura yang perempuan itu cari. Meskipun sebenarnya tidak boleh seperti itu, tetapi Ivana pikir tidak ada yang melihat dan tidak akan ada juga yang mengetahui apa yang Ivana lakukan.
“Tidak apa-apa, aku terdesak,” gumam Ivana untuk memberanikan dirinya. Setelah itu, buru-buru Ivana menggeser meja properti berbentuk balok yang biasanya digunakan untuk meletakkan benda seni.
Kemudian Ivana naik ke atas benda tersebut yang membuatnya berhasil menjangkau kerangka pigura yang perempuan itu butuhkan. Sayangnya, ternyata kerangka yang seharusnya terdapat empat potong untuk masing-masing sisi, ternyata yang berhasil dijangkau Ivana hanya tiga potong.
Ivana lalu berusaha melongokkan kepalanya untuk melihat lebih ke dalam. Ternyata satu potong lagi terpisah dan terletak agak sedikit lebih ke dalam. Ivana mengulurkan tangannya untuk menjangkau sisa potongan yang ada.
Namun, karena terburu-buru. Kaki Ivana tanpa sengaja terpeleset dari tempatnya. Tepat saat tangan Ivana berhasil menjangkau sisa potongan kerangka pigura, perempuan itu terpeleset ke belakang. Dia jatuh telentang dengan kepala yang menghantam lantai dengan sakitnya.
Akan tetapi, ternyata tidak sampai situ saja rasa sakit yang harus menghantam tubuh Ivana. Potongan kerangka pigura tadi ikut terjatuh dan menimpa Ivana. BRAKK. Suaranya begitu keras sampai bahkan satpam museum dan Vale pun mendengar suara tersebut. Kedua orang itu tentu saja langsung dengan paniknya menghampiri asal suara.
Selama beberapa saat, Ivana masih berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Akan tetapi pandangannya terus membayang dan semakin tampak tidak jelas. Telinga Ivana berdengung nyeri. Sampai pemandangan terakhir yang berhasil ditangkap oleh indra penglihatan Ivana sebelum kehilangan kesadaran adalah wajah sang kekasih, Vale.
“Ivana, kamu harus menyelesaikan apa yang perlu kamu selesaikan.”
_____________
Jangan lupa untuk mendukungku di KaryaKarsa dengan username @mayleailaria. Kalian juga bisa membaca 4 bab (Bab 1-4) lebih cepat di KaryaKarsa.
Oh, iya. Serta jangan lupa untuk mendukung karya teman teman yang lain, ya.
Menuju Bintang Terbang oleh Broonaw
Lovemeter oleh Dee_ane
The Guardian Story icebreaker20
Moon's Letter oleh kireiskye
Selamat menikmati♡
—May
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro