Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 38 - Keputusan

Beberapa jam setelah perang, Valonia berubah nama, kembali menjadi Aglaia. Kastil hitam akan dirombak sepenuhnya agar kembali menjadi kastil batu yang megah tanpa kesan suram dan mematikan. Para penduduk Carmine yang sebagian besar adalah penduduk asli Aglaia, sangat senang dan bangga karena bisa ikut memperjuangkan tanah kelahiran mereka. Mereka sudah mendapatkan informasi dari Lunette, yang mengetahuinya dari Derrick, bahwa Raja Devon adalah pengkhianat. Kenyataan itu membuat mereka murka. Namun, saat tahu raja itu telah mati ditangan para pendatang, mereka kembali bersuka cita.

Tanah Aglaia dibersihkan dari mayat-mayat prajurit yang telah gugur. Pasukan berseragam putih serta pasukan Carmine akan dikubur di bagian belakang kastil untuk menghormati perjuangan mereka. Sedangkan mayat prajurit Valonia akan dibakar di tanah lapang tepi kota. Tubuh Nero dan Devon, serta kepalanya, tidak lagi terlihat. Saat Platina menanyakan hal ini, Farrar hanya menggelengkan kepala dan berkata, "lebih baik kau tidak tahu."

Platina, Ruby, Awra, dan Flavian sekarang sedang berdiri di atas balkon kastil, dengan luka-luka telah dibalut kain, menghadap ke arah prajurit Allbion dan Carmine yang menyerukan nama-nama mereka dari bawah bawah. Platina bergidik mendengarnya, suara-suara yang memanggil namanya seakan memiliki pengaruh magis untuk meningkatkan harga dirinya. Nama Aren juga diteriakkan dengan lantang, yang membuat Platina tersenyum. Ia menoleh ke belakang untuk melihat tubuh Aren, telentang rapi terbungkus kain putih di atas sebuah meja batu panjang.

Raja Morven sedang berpidato di depan keempat remaja itu. Platina sudah tidak dapat mendengarkan kalimat Raja Allbion itu. Pikirannya melayang entah kemana, lelah benar-benar telah menguasai tubuhnya.

"Bersabarlah," ujar Braz disamping Platina, "sebentar lagi basa-basi ini selesai. Walaupun terlihat tidak penting, tetapi hal ini bermakna bagi para penduduk kota, supaya mereka tahu pengorbanan kalian tidak mudah."

Platina mengangguk kaku. "Apakah ini yang dinamakan kejayaan? Saat kau begitu dihormati semua orang? Aren pasti menyukai ini. Aku bisa membayangkan wajahnya tersenyum lebar melihat semua ini terjadi."

"Kejayaan adalah ketika kau mampu mencapai puncak tertinggi dari hasil kekuatanmu sendiri," kata Farrar, "tidak perlu mencari penghormatan karena rasa hormat akan datang kepadamu dengan sendirinya."

Teriakan-teriakan lantang masih terus terdengar, semangat para penduduk Carmine terbakar untuk mengembalikan Aglaia menjadi kota yang indah seperti dulu. Raja Morven meminta seluruh penyair untuk membuat sajak dan lagu mengenai perjuangan para pendatang dan pengorbanan mereka, termasuk para prajurit dan penduduk yang ikut berperang. Para pembawa berita diminta menuliskan cerita tentang perjuangan mereka semua yang berperang, agar peristiwa yang telah mereka lalui selama ini dapat diketahui oleh generasi mereka di masa yang akan datang.

Langit mulai berubah warna, oranye menggantikan warna biru yang sedari tadi menjadi saksi biru perjuangan rakyat Algaria. Burung-burung beterbangan, berkicau, kembali ke sarang mereka untuk bertemu keluarga. Pertemuan besar itu telah usai. Para penduduk segera kembali menyelesaikan tugas yang telah dibagi. Raja Morven dan Farrar memberikan selamat kepada Platina, Ruby, Awra, dan Flavian, serta mengucapkan duka atas kematian Aren.

"Perang bukanlah jalan yang tepat untuk mencapai kejayaan, tetapi kejayaan akan mengikuti mereka yang berjuang untuk tanah airnya," kata Raja Morven bijak. Wajahnya terlihat tetap bugar walaupun sudah memimpin peperangan sekian lama. Cara jalannya sedikit pincang. Beberapa luka memar di dahi serta tangan kiri yang telah diperban menandakan raja itu telah mengalami pertarungan yang sulit.

"Aku turut berduka atas kematian teman-teman kalian. Aku pun kehilangan prajurit dengan jumlah yang tidak sedikit. Namun, akan aku pastikan, nama-nama mereka akan terukir indah di kastil Elviera sebagai pengingat perjuangannya."

"Kami harus kembali mengatur pasukan Allbion, mengobati yang sakit, dan mengembalikan yang sehat ke keluarga masing-masing," lanjutnya, "terimakasih atas pengorbanan kalian."

Raja Morven berjalan pincang ke luar ruangan diikuti oleh Farrar yang sempat memberikan memberikan sepatah kalimat pada keempat remaja di dekatnya.

"Terimakasih." Mereka melihat langkah Farrar keluar dari balkon mengikuti rajanya.

Platina sudah tidak dapat menangis lagi, begitu juga Ruby. Senyum terakhir Aren, yang meminta mereka untuk tidak bersedih, masih terpatri indah di pikiran. Mereka masuk ke dalam ruangan di belakang balkon. Ruangan itu luas, dengan kursi-kursi batu panjang berjejer di salah satu sisi ruangan. Platina melihat Lunette dan Grizelda duduk di sana.

Flavian berjalan ke arah mereka berdua, diikuti oleh tiga temannya serta Braz dan Derrick. Grizelda langsung berlari memeluk Flavian yang disambut dengan usapan di kepala gadis kecil itu. Flavian membisikkan sesuatu pada Grizelda yang mengangguk, lalu mereka berdua berjalan ke ujung ruangan, meninggalkan Lunette dan yang lainnya saling bertegur sapa.

"Maaf untuk Aren," kata Lunette sedih. Ia menjabat tangan Platina dan bola mata abu-abu miliknya memandang mata hitam Platina. "Ia akan selalu ada di hatimu."

Kemudian, penyihir wanita itu menjabat tangan Derrick. "Relakan Dave pergi, ia memberimu jalan untuk terus hidup."

"Tentu saja, kakak tidak akan melihatku dalam keadaan lemah." Derrick berkata sambil menguatkan hatinya, yang tak dapat ia pungkiri, terasa kosong. Ia berusaha untuk tetap menampakkan wajah tegar.

Lunette tersenyum tipis, guratan di ujung bibirnya sedikit terlihat. Ia memegang tangan Braz seraya berkata, "sebagai sesama penyihir. Sudah pasti kehilangan di antara kita terasa sangat berat. Kita yang hidup dengan umur panjang, tidak mudah untuk dilahirkan. Eryl adalah penyihir pria yang kuat dan cerdas. Kau harus bangga telah diberikan kesempatan untuk melewati perjalanan ini bersamanya."

Braz mengangguk, menyetujui pernyataan Lunette. "Semoga bintang-bintang menjaga jiwanya."

Lunette beranjak ke samping Awra dan Ruby, kemudian memeluk Ruby dengan penuh kasih. Tangis Ruby tidak bisa terbendung lagi, ia terisak pelan di pundak Lunette.

"Kau begitu istimewa, Nak," kata Lunette kepada Awra, "ikutlah denganku menjaga Carmine. Aku berjanji kau tidak akan pernah bosan di sana."

Mata emas Awra berbinar senang. Setelah perang ini usai, ia bingung untuk mencari tempat tinggal karena Xavier, teman hidup satu-satunya, telah tiada. Ia merasa beruntung ketika mendapat kesempatan untuk memulai hidup baru bersama Lunette.

Platina melihat Flavian berjalan mendekati mereka, menggandeng Grizelda yang sedang menangis. "Ada apa?" tanyanya.

"Aku memutuskan untuk tidak berada di sini lagi," kata Flavian, "aku baru saja menjelaskan semuanya kepada Grizelda."

Grizelda terisak. "Aku ingin ikut, kak."

Flavian mengelus kepala anak perempuan itu. "Hidupmu ada di sini, Grizel. Kau harus kuat, bersama Lunette, kau akan menjadi ksatria wanita yang hebat. Kau mau, kan?"

Grizelda memeluk Flavian dengan erat. Platina merasa kasihan melihat anak kecil itu, tetapi tidak mungkin jika membawa anak itu pulang ke dunia tempat dirinya tinggal. Ia baru tahu kalau Grizelda bukan adik Flavian yang sebenarnya. Dulu, Grizelda selalu mengikuti kemana pun Flavian pergi ketika mereka berada di Carmine. Sudah berulang kali anak itu dibentak Flavian agar pergi, tapi ia bergeming. Akhirnya Flavian mengalah dan merawat gadis itu bersama dengan Lunette serta Corby.

"Baiklah, kak. Kau harus menjaga dirimu di sana. Jangan kecewakan aku," kata Grizelda sambil mengusap air mata dengan kedua tangannya. Flavian mengangguk lega mendengar persetujuan Grizelda.

"Aku harus segera pulang," kata Platina lirih kepada teman-temannya, "tubuh Aren harus cepat dimakamkan."

Ruby melepaskan pelukannya dari Lunette kemudian memeluk Platina erat yang juga disambut dengan usapan pada punggungnya. Awra dan Flavian mendekati dua perempuan yang sedang berpelukan itu.

"Apakah kau akan ikut denganku, Ruby?" tanya Platina.

Ruby melepaskan pelukan mereka sambil menggeleng. "Tidak, Pat. Aku menemukan kenyamanan hidup di sini. Aku merasa Algaria adalah tempat yang tepat untukku."

"Terimakasih telah kembali, Pat," kata Awra bergantian memeluk Platina, "terimakasih karena telah membawaku kepada petualangan yang menyenangkan ini."

Platina mengangguk sambil tersenyum. Ia merasa begitu beruntung bisa mengenal sosok Ruby dan Awra, para wanita yang menurutnya sangat tangguh. Ia menoleh pada Flavian, rambut pirang laki-laki itu berantakan, ia tersenyum melihatnya.

"Kau ikut kan, Flav?"

Flavian mengangguk kaku sambil tersenyum, senyum paling tulus yang pernah Platina lihat selama mengenalnya. "Aku ikut."

Mereka berempat saling memeluk dengan erat. Perjalanan panjang mereka telah berakhir, terbayar dengan sebuah kemenangan bagi penduduk Algaria. Satu takdir telah terlewati, saatnya bagi mereka untuk menemukan takdir mereka selanjutnya.

Braz dan Derrick mendekati keempat remaja itu ketika mereka sudah melepas pelukan.

"Aku senang bisa mengenal kalian. Kalian akan menjadi bagian paling penting dalam hidupku. Aku akan pulang ke Esmevere dan mungkin mencari petualangan baru di bagian terdalam hutan Algaria," kata Braz.

"Perjalanan kita benar-benar mengesankan," sambung Derrick, "aku tidak akan melupakan ini seumur hidup dan akan kuceritakan pengalaman ini kepada keluargaku kelak. Aku akan tinggal di Aglaia, berusaha bersama penduduk lainnya untuk mengembalikan kota ini."

Ruby tersenyum. "Terimakasih untuk kalian berdua. Tanpa kalian, mungkin kita sudah mati di awal perjalanan."

Platina mengeluarkan figurin serigala dari gesper pedangnya. Ia mengambil Lupus dari gesper pedang Aren ketika temannya itu dimandikan dan diberi pakaian yang lebih layak. Semua mata memandang serigala di tangan Platina, termasuk Lunette dan Grizelda yang memberikan pandangan bertanya-tanya.

Platina memejamkan mata untuk menguatkan diri menerima perpisahan ini. "Tugas kami sudah selesai. Aku harap, aku bisa pulang."

Figurin itu seketika bercahaya. Platina menjatuhkan Lupus karena tangannya tersengat rasa dingin yang menyakitkan. Gesper Flavian, kantung jubah Ruby dan Awra juga bercahaya. Mereka buru-buru mengeluarkan figurin dari tempatnya karena juga merasakan dingin yang menyengat.

Lupus membesar dengan kobaran api yang menyala, begitu juga Leandra, singa bersurai pirang berselimut api. Burung elang, Avis, mengepakkan sayap yang dilindungi lapisan es, sama seperti Felix yang mengibaskan ekor kucingnya. Keempat figurin itu berjajar dengan bola mata yang menyala-nyala. Platina tidak pernah melihat mereka sehidup ini.

"Tugas kalian telah berakhir, begitu juga kami," kata Avis dengan suaranya yang anggun. Suara para figurin itu terasa bergema dari tempat yang jauh, menimbulkan kesan magis mengagumkan.

"Yang pulang, akan tetap pulang. Yang tinggal, akan tetap tinggal." Felix berbicara sambil menatap tajam wajah mereka semua di ruangan itu.

"Sihir kami akan berakhir setelah mengantarkan yang pulang sekali lagi," sambung Leandra. Riap-riap surai pirangnya terlihat seperti menari mengikuti kobaran api yang ia miliki.

"Kalian siap menempuh jalan masing-masing setelah ini?" tanya Lupus dengan suaranya yang berat dan dalam.

Platina, Ruby, Awra, dan Flavian saling berpandangan. Mereka akan berpisah tak lama lagi. Mereka terbiasa bersama selama ini, sehingga kebiasaan yang tak lagi dilakukan pasti akan menimbulkan kehilangan yang mendalam. Nasib mereka tak lagi sama.

"Saatnya menempuh kehidupan baru," kata Ruby tersenyum, diikuti dengan senyuman dari ketiga temannya.

Braz dan Derrick mengangkat tubuh Aren dengan khidmat. Mereka menyerahkannya ke tangan Flavian dengan hati-hati. Platina ikut memegangi kedua kaki Aren. Ia berjengit ketika menyentuh tubuh dingin sahabatnya.

Flavian menarik napas panjang sekali kemudian berkata, "selamat tinggal Grizelda, Lunette, semoga kalian bahagia. Terimakasih Braz dan Derrick, semoga keinginan kalian tercapai. Sampai jumpa, Ruby dan Awra, mungkin kita tidak bisa lagi bertemu di Algaria, tetapi siapa tahu suatu saat, kita akan bertemu di dunia yang berbeda."

Keempat figurin hidup, dengan kobaran api dan es yang berkeretak, mendekati Flavian dan Platina yang membawa tubuh Aren. Api membumbung tinggi, bersamaan dengan es yang juga meninggi. Kobaran dan keretak menyatu menyelimuti ketiga remaja di tengah mereka.

"Terimakasih semuanya," seru Platina keras-keras. Ia bisa melihat Ruby, Awra, Braz, Derrick, Lunette, dan Grizelda memandangi dirinya sambil tersenyum tulus. "Aku tidak akan melupakan kalian."

Rasa dingin dan panas mengenai tubuh Platina dan Flavian. Udara seperti tersedot keluar dari dada mereka. Mereka menutup mata, menahan rasa nyeri yang datang, sambil memegang tubuh Aren erat. Mendadak, rasa sakit itu hilang. Perlahan, mereka bisa menghirup udara kembali.

Platina membuka mata. Ia melihat sebuah kamar yang sangat dikenalnya. Ia menoleh kepada Flavian, yang terlihat terkesan dengan kamar itu karena sudah berbulan-bulan lamanya tidak pernah pulang ke dunia nyata. Keempat figurin yang tadinya hidup dan membawa mereka pulang, tergeletak di atas lantai, berubah menjadi figurin biasa tanpa kekuatan.

Platina melihat jam digital milik Aren. Hari itu, masih hari yang sama saat Aren menjemputnya untuk kembali ke Algaria. Dada Platina kembali terasa sesak mengingat pertemuan terakhirnya dengan Aren di kamar itu. Ia meneteskan air mata. Baru beberapa jam yang lalu, Platina dan Aren tertawa berdua di tempat yang sama seperti ia berdiri sekarang.

"Lebih baik kita baringkan Aren di kasurnya."

Ajakan Flavian menyadarkan lamunan Platina. Ia mengangguk dan meletakkan tubuh Aren bersama dengan Flavian. Platina membuka kain putih yang menutupi wajah lelaki yang paling dekat dengan dirinya selama hidup. Wajah Aren masih sama seperti yang ia kenal, hanya lebih pucat dan dingin, dengan bibir yang menekuk ke atas membentuk senyuman.

Hantaman rasa rindu memenuhi hatinya. Air mata kembali bergulir turun di pipinya. Ia mengelus rambut Aren sambil mendekatkan bibir di telinga temannya itu.

"Kita pulang, Aren." Platina berkata lirih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro