Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 36 - Kastil Hitam

Platina menapakkan kaki di tanah cokelat tanpa rerumputan. Suasana gelap tanpa cahaya bulan, namun terlihat kobaran api berwarna kuning dari balik pohon. Platina mengikuti Aren yang sudah lebih dulu berjalan ke arah depan. Ia melihat kumpulan tenda tertata rapi, beberapa api unggun dinyalakan, dan kuda-kuda ditambatkan di batang pohon. Di depan sebuah tenda besar berwarna kusam, ia melihat Ruby dan Awra yang menoleh ke arahnya.

"Pat," seru Awra, "akhirnya kau datang." Ia berlari ke arah Platina dan memeluknya.

Platina sedikit terhuyung karena tumbukan yang cukup keras dari anak itu. Aren di sebelahnya tertawa, begitu juga dirinya. Dari balik rambut emas milik Awra, Platina dapat melihat Ruby tersenyum senang.

"Aku tebak kalian sudah berbaikan?" tanya perempuan berambut merah itu pada Aren, yang dijawab dengan anggukkan penuh semangat.

Awra melepas pelukannya pada Platina karena Eryl dan Braz datang untuk menyambut temannya yang baru datang itu. Si kembar dan Flavian keluar dari tenda lalu ikut menghampiri Platina. Mereka saling berbalas sapa dan candaan. Platina tertawa lepas karena merasa sangat lega bisa bertemu kembali dengan teman-temannya di Algaria. Keretak kayu yang terbakar api semakin sering terdengar saat cahayanya mulai redup.

Eryl menghentikan percakapan mereka dan menyuruh untuk segera beristirahat. Semuanya mengangguk sambil berdiri bergantian, mulai menyebar ke tenda masing-masing. Platina menahan lengan Flavian yang akan berdiri. Pria berambut pirang itu mengerutkan dahi untuk meminta penjelasan.

"Flavian," kata Platina pelan, "ia mencarimu."

Platina bisa melihat wajah pria di depannya terkejut. Ia melanjutkan pembicaraannya tentang pesan dari adik Flavian. Hening sesaat diantara mereka berdua.

"Kita harus fokus pada hari esok," kata Flavian dengan nada yang tak bisa dibaca oleh Platina. Ia sama sekali tidak menanggapi pesan dari adiknya yang telah Platina sampaikan. "Istirahatlah."

Mereka berdua berjalan mendekati tenda. Platina masuk ke tenda kusam berwarna cokelat, sedangkan Flavian sudah menghilang di tenda satunya. Platina mengedarkan pandangannya ke seluruh bagian tenda. Ia mendapati Ruby dan Awra sudah berbaring miring saling membelakangi. Tenda itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk mereka bertiga tidur telentang bersama dengan barang-barang bawaan.

Platina merangkak ke ujung tenda lalu membuka sebuah tas berwarna cokelat tanah. Ia tersenyum senang menyadari tasnya terawat rapi. Saat kembali ke dunia nyata yang terakhir kali, ia tidak membawa serta tas itu bersamanya. Platina berguling di sebelah Awra untuk mencari posisi tidur yang nyaman. Perlahan, ia memejamkan mata. Sungguh suatu hal yang besar bagi dirinya untuk memutuskan ikut perang. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika ia membayangkan perang yang harus ia lalui saat fajar menyingsing.

Ia membalikkan badan ke arah sebaliknya. Platina merasa tidak mengantuk. Ia takut menebak apa yang akan terjadi saat ia harus memertahankan diri dengan membunuh banyak prajurit lawan. Tapi, jika mengingat pengalaman pertempuran terakhir yang alami, darahnya berdesir. Rasa semangat yang meluap tiba-tiba muncul dari dalam tubuhnya.

Sampai pagi menjelang, Platina masih belum bisa tidur. Gerakan-gerakan gelisah di sampingnya menandakan Awra dan Ruby juga tidak dapat tidur nyenyak. Akhirnya, mereka bertiga memutuskan untuk bangun dan keluar dari tenda. Di luar, langit masih gelap, tetapi suara aktivitas para prajurit yang bangun mulai terdengar. Platina menuju belakang tenda untuk membasuh wajah dengan air.

Setelah kembali segar, ia kembali dan melihat teman-temannya sudah berkumpul. Mereka menggosok besi yang saling terkait membentuk sebuah rompi tanpa lengan. Platina penasaran dan mendekati mereka.

"Apa itu?"

"Rompi besi," jawab Aren, "ini akan melindungi tubuh dari anak panah dan tombak yang tidak sengaja menyasar bagian badanmu."

"Ini milikmu," ujar Derrick sambil menyerahkan sebuah rompi besi kepada Platina yang menerimanya dengan senang. "Pakailah dibalik baju luarmu."

Platina masuk ke dalam tenda untuk segera memakainya. Rasanya cukup berat saat rompi itu melekat di badan tetapi ia masih bisa dengan bebas berputar, melompat, dan mengayunkan pedangnya. Ia tersenyum puas lalu kembali menghampiri teman-temannya.

Suasana pagi itu sangat sibuk. Para prajurit menyiapkan kuda-kuda perang mereka, meminyaki baju besi, dan mengasah senjata agar lebih tajam. Teriakan-teriakan gelisah terdengar dari sana-sini, membawa kabar burung tentang pasukan Valonia berseragam hitam yang telah bersiap di depan gerbang kota. Tenda-tenda dirubuhkan, api unggun dipadamkan. Semua dikemas rapi dan diikat di atas kuda pembawa barang.

Eryl memberikan sihir perlindungan kepada Platina, Aren, Flavian, Ruby dan Awra, yang walaupun sudah menolak dengan keras, tetap saja dilakukan oleh penyihir itu. Braz berdiskusi dengan Farrar, sesekali berdebat, namun akhirnya setuju untuk mengantarkan kelima remaja itu berhadapan dengan Raja Nero.

Cahaya matahari meninggi sedikit demi sedikit, diikuti persiapan perang yang juga selesai dengan perlahan. Rombongan depan adalah pasukan berkuda dengan tombak, diikuti oleh pasukan berpedang dan panah. Rombongan ini dipimpin oleh Raja Morven dan salah satu panglima perang, yang Platina kenali memimpin pasukan Allbion saat pertempuran dengan Peython di Sadergh.

Rombongan belakang adalah prajurit dan penduduk terlatih yang menggunakan senjata pedang dengan panah. Pasukan ini dipimpin oleh panglima perang yang memiliki kulit berwarna cokelat gelap. Otot-otot tubuhnya terlihat keluar dari balik baju perangnya yang berwarna putih.

Platina dan keempat temannya berada di rombongan tengah yang tidak menunggangi kuda. Di depan mereka ada Eryl dan Braz, sedangkan di belakang, ada Dave dan Derrick yang siap melindungi mereka. Farrar akan memimpin rombongan tengah ini.

"Apakah kalian tidak gugup?" tanya Platina gemetar. Tangannya yang memegang pedang berkeringat, berulang kali ia harus mengusapkan kedua telapak tangan pada celananya.

"Aku tegang setengah mati," kata Aren tercekat.

"Bohong jika di situasi seperti ini, kita masih tetap tenang." Flavian menjawab dengan dingin walaupun ia sendiri sebenarnya juga sangat gugup.

"Perang ini harus segera dimulai," kata Awra sedikit kesal, "aku tidak suka merasakan ketegangan yang muncul di sela waktu menunggu ini."

Mereka berlima berdiri tegak menghadap ke depan. Mereka tidak dapat melihat pasukan Valonia yang sudah berdiri tegap melindungi gerbang depan. Tangan dan kaki Platina terasa dingin di tengah siraman cahaya matahari yang hangat.

"Pasukan Carmine datang," seru salah seorang pembawa pesan yang menunggangi kuda. Ia berderap pergi menyebarkan pesan itu ke seluruh pasukan Allbion.

"Semuanya bersiap!" teriak Farrar sambil mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi. Tubuhnya yang jangkung membuat ia lebih mudah dilihat oleh pasukan di belakangnya. Teriakan semangat rombongannya menyambut perintah Farrar. Platina dan teman-temannya ikut mengeraskan suara. Rombongan depan dan belakang ikut berseru bersamaan dengan suara terompet perang yang mulai dibunyikan.

Jantung Platina terasa melompat keluar. Tubuhnya penuh dengan energi sehingga ia ingin segera mengayunkan senjata. Tangannya yang memegang gagang pedang, perlahan menarik logam panjang berwarna perak itu keluar dari sabuk. Ia bisa merasakan Aren menegang di sebelah kanan. Ia melirik sekilas sahabatnya yang sedang nyengir senang.

"Apakah Amortium tidak ikut mengirimkan pasukannya?" tanya Ruby penasaran.

Eryl menoleh sambil menjawab, "Raja Arlo terpengaruh oleh Nero. Amortium sudah habis."

Suara terompet terus dibunyikan, bersahutan dengan terompet kedua, kemudian terompet ketiga. Suara terompet itu melengking panjang dan memiliki kekuatan untuk meningkatkan ketegangan semua manusia yang akan berperang. Mendadak, suara terompet berhenti. Hening sejenak.

"Pertahankan hidup kalian! Kembalikan kesejahteraan Algaria! Demi keluarga! Demi tanah air kita!" Raja Arlo berseru dari rombongan paling depan sambil mengacungkan pedangnya.

Semua senjata diacungkan ke atas, teriakan-teriakan persetujuan bergemuruh ke udara.

"Hancurkan Valonia! Serang!"

Kuda-kuda di rombongan paling depan berderap maju dengan cepat meninggalkan rombongan manusia di tengah dan belakang yang berlari sambil berteriak.

"Tetap bersama kami, jangan berpisah!" seru Eryl pada kelima remaja di belakangnya, begitu juga dengan si kembar. Mereka semua berlari maju ke depan dengan senjata siap di tempatnya.

Dentang logam saling beradu menjadi suara yang mendominasi pagi hari di tepi Kota Valonia. Pasukan Allbion menyerang maju dari arah timur, dan pasukan Carmine dari arah Barat. Mereka berusaha menghancurkan tembok manusia yang menghalangi gerbang. Pasukan Valonia bergeming di tempatnya ketika ratusan lawan menghajar mereka tanpa ampun. Teriakan kesakitan mulai terdengar dari depan disertai dengan bau anyir darah mulai menguar.

Eryl, Braz, dan Farrar menebas semua prajurit Valonia yang berani mengacungkan senjata kepada mereka. Kelima remaja dan si kembar yang mengikuti mereka bahkan tidak perlu mengayunkan pedang kepada lawan karena lawan akan terlebih dulu mati di tangan tiga penyihir itu. Rombongan ini terus berlari mengikuti Eryl yang memandu jalan menuju gerbang kota.

Teriakan keras terdengar dari samping kiri Platina, membuatnya menoleh dan menghentikan laju kakinya tepat waktu sebelum tombak pria yang berteriak itu mengenai dirinya. Platina langsung mengayunkan pedang ke arah tombak untuk melindungi tubuhnya. Dengan satu gerakan cepat, ia menebas pedangnya masuk menembus leher prajurit itu.

Platina melompati tubuh pria yang tersungkur di depannya lalu terus berlari. Ia mendapatkan acungan jempol dari Aren dan Awra. Platina tersenyum tipis.

Semakin mereka mendekati gerbang, prajurit Valonia mulai terlihat makin banyak. Dave dan Derrick harus memasang mata dari kemungkinan mendapat serangan dari arah belakang karena kawan dan lawan sudah sangat bercampur baur untuk saling memertahankan diri. Puluhan prajurit yang menyerang dari samping sudah gugur terkena tusukan tombak bermata panjang di tangan mereka.

Ketiga penyihir di depan terus mendapatkan perlawanan dari prajurit-prajurit berseragam hitam. Aren sedang menusukkan logam peraknya ke leher prajurit kesembilan yang menyerang dirinya. Awra dengan gesit menggorok leher prajurit yang berani mendekatinya dalam jarak dua meter. Ruby terus membidikkan anak panah ke arah prajurit depan untuk membantu Eryl, Braz, dan Farrar. Platina dan Flavian berdiri di kedua sisi Ruby untuk melindungi gadis itu dari serangan jarak dekat.

Sedikit demi sedikit, pasukan Valonia mulai terdesak mundur ke gerbang. Pasukan berseragam putih terus merangsek maju. Mendadak, tanah terasa bergetar bersamaan dengan suara debum keras timbul dari arah belakang. Platina melihat ke belakang. Sebuah batu besar mendarat di tengah-tengah kumpulan prajurit yang berperang. Kemudian, getaran dan suara yang sama kembali muncul dari sisi lain. Batu-batu besar berbentuk bulat melintasi kepalanya untuk menyasar siapapun yang tidak beruntung ada di bawahnya.

"Ketapel batu," kata Ruby sambil mendongakkan kepala ke atas. Di atas gerbang, berdiri empat susunan kayu dan tali yang membentuk seperti sebuah ketapel otomatis jika talinya dipotong. Ketapel itu sangat besar, mustahil jika manusia yang mengendalikannya.

"Para Troll," kata Awra sambil nyengir, "pertarungan ini jadi semakin seru saja."

"Lewat sini," seru Eryl kepada rombongannya. Mereka mengikuti Eryl masuk melewati gerbang yang telah terbuka. Keadaan di gerbang sangat padat dengan para prajurit yang saling serang. Platina harus berhati-hati agar tidak terkena pedang kawan, dan berusaha untuk menusukkan pedangnya ke tubuh lawan. Akhirnya, mereka bisa mengikuti Eryl ke bagian dalam Kota Valonia.

Kastil hitam besar yang terbuat dari batu langsung menarik perhatian mata rombongan itu. Empat menaranya berbentuk kerucut dengan ukuran yang tidak terlalu tinggi. Kesan suram langsung menguar ketika melihat warnanya yang hitam pekat.

"Apakah Raja Nero ada di dalam sana?" tanya Aren sambil terus berlari.

"Sepertinya begitu," kata Farrar, "jika Nero ikut berperang, keadaan mungkin akan berbalik."

Eryl mengubah arah larinya menuju jalanan yang menurun tajam ke bawah di sebelah kiri. Mereka mengikutinya sambil terus membunuh setiap prajurit yang menghalangi jalan. Jalan yang mereka lalui menjadi semakin sempit dan sepi. Platina tidak melihat satu pun penduduk berkeliaran di jalan. Setiap pintu dan jendela rumah tertutup rapat, sehingga membuat Platina ragu akan keberadaan manusia di dalamnya.

Eryl berbelok ke kanan menuju jalan yang tertutup dinding-dinding tinggi tembok kota. Cahaya matahari tidak dapat menerangi bagian itu sehingga terkesan gelap. Eryl melambatkan laju larinya ketika menemukan jalan bercabang tiga. Ia mengendus udara sejenak lalu kembali berlari ke arah jalan yang lurus.

Platina mengikuti Eryl tanpa protes walaupun napasnya mulai terengah. Bau tidak sedap mendadak menerpa hidungnya. Ia mengernyit mual sambil melihat ekspresi teman-temannya yang ia terjemahkan juga merasakan hal yang sama sepertinya.

"Jalan ini menuju langsung ke dalam kastil," kata Eryl, "kalian akan menyukainya."

Aren menggelengkan kepala sambil membuat gerakan seperti ingin muntah. Tingkah lakunya membuat Platina ingin tertawa.

"Atau mungkin juga tidak," lanjut Eryl. Ia melompat masuk ke sebuah lubang besar panjang berisi sedikit air. Bau tidak enak semakin tercium kuat dari arah sana.

Platina sedikit jijik ketika kakinya menapak di tanah yang lembek karena air dan lumut. Ruby mengerang ketika ia hampir jatuh tergelincir, beruntung langsung ditahan oleh Dave di belakangnya. Flavian berulang kali bergumam tidak setuju dengan jalan yang mereka lewati sekarang. Sebaliknya, Aren dan Awra justru terlihat senang dengan jalan yang mereka lalui. Mereka berdua melangkahkan kaki dengan ringan seakan tidak ada bau atau tanah lembek yang mengganggu.

Jalan panjang itu, Platina sadari, adalah semacam selokan atau gorong-gorong karena itulah baunya sangat campur aduk. Perut Platina bergejolak ketika mereka semakin masuk ke dalam dan jalan menjadi semakin gelap saat selokan itu memiliki atap melengkung. Eryl terus memimpin mereka di depan sampai di dinding berlubang bundar dengan teralis besi. Cahaya kuning pucat muncul dari baliknya.

"Kita harus membuka teralis ini," kata Braz. Ia maju bersama dengan Farrar lalu mereka mengucapkan sebuah kalimat sihir dengan tangan terulur ke depan. Beberapa saat kemudian, teralis itu bergetar, awalnya pelan lalu menjadi semakin cepat. Dengan satu sentakan tangan dari mereka, teralis besi itu lepas dari tempatnya dan jatuh teredam di tanah lembek.

Eryl maju lalu melangkahkan kaki ke dalam dinding itu, diikuti oleh Farrar dan Braz yang napasnya terlihat sedikit tidak teratur akibat menggunakan sihir yang cukup berat. Platina mengangkat kaki dan naik masuk ke dalam setelah Aren dan Ruby. Di belakangnya, Awra melompat dengan ringan padahal jarak dari tanah ke lubang itu cukup tinggi. Flavian dan si kembar mengikuti tanpa berbicara.

Ruangan di balik lubang itu ternyata luas, berbentuk persegi dengan banyak lubang bundar lain di setiap sisinya. Eryl membawa mereka ke salah satu lubang di sebelah kanan, mengendus udara sebentar, lalu meneruskan langkah kakinya.

"Bagaimana Eryl tahu kalau ini jalan yang benar?" tanya Flavian.

"Insting," jawab Braz sambil terus berlari, begitu juga dengan yang lainnya.

Jalan yang mereka lalui semakin menanjak. Platina terengah sambil terus berusaha mengatur napas di setiap langkahnya. Mendadak, jalan itu berbelok tajam ke kiri. Di ujung jalan, ada sebuah lubang yang terletak lebih tinggi. Ketiga penyihir dan Awra melompat masuk dengan ringan. Platina dan Ruby harus sedikit ditarik ke atas oleh Aren dan Flavian, sedangkan si kembar menjadi tumpuan dari bawah.

Ruangan tempat mereka berada sekarang berbentuk persegi. Warna hitam menjadi warna utama dinding batunya. Platina merasa ruangan itu adalah dapur, karena terdapat panci-panci dan juga tungku kayu besar. Ruangan itu kosong, walaupun ada sisa-sisa bahan makanan yang seperti ditinggalkan begitu saja. Entah kenapa, perasaan Platina menjadi tidak enak.

Eryl membuka pintu yang berada di sisi kanan ruangan tetapi dengan cepat ia menutupnya kembali.

"Molk," katanya, "makhluk itu melihatku. Persiapkan diri kalian."

Platina mengeluarkan pedangnya dengan cepat. Ia tidak menyangka akan bertemu Molk di dalam kastil. Teman-temannya sudah dalam posisi siap bertempur saat pintu berdebam terbuka sampai hancur dan menampakkan puluhan Molk di baliknya.

Molk yang berada paling depan meraung. Makhluk itu berlari ke arah Eryl sambil menyabetkan gadanya. Molk-molk di belakangnya menyerang semua manusia yang berada di ruangan itu.

Platina masih mengingat jelas rupa para Molk. Tinggi besar, telanjang, agak berbau, dan hanya mengenakan cawat kecil di pinggang. Kekuatannya sangat besar, sehingga mereka kadang tidak memerlukan senjata untuk membunuh musuh. Platina segera menusuk perut Molk di depannya. Darah segar mengalir deras mewarnai logam perak itu menjadi merah.

Awra dengan cepat membunuh dua Molk, namun gagal pada Molk ketiga karena makhluk itu menyadari keberadaannya. Awra terhempas ke belakang terkena kibasan tangan makhluk buruk rupa itu. Ruby menembakkan panah tepat di antara mata Molk yang memukul Awra. Molk itu meraung lalu jatuh tak bernyawa ke lantai, setelah Awra dengan cepat menusukkan pisau panjang ke bagian belakang lehernya.

Flavian menusuk kedua mata Molk yang melawannya. Gerakan Molk itu menjadi semakin brutal karena kesakitan tetapi Aren segera menebas leher mereka dari belakang. Dave dan Derrick bergantian menusuk dada dan perut Molk-molk itu.

Tumpukan mayat Molk semakin banyak, namun mereka seakan tidak pernah habis. Platina sudah hampir merasa lelah untuk mengayunkan pedang. Peluh menetes dari dahi ke pipinya.

"Tinggalkan kami, kalian harus segera menemukan Nero," seru Dave pada teman-temannya, "aku dan Derrick bisa mengatasi mereka semua."

"Aku juga akan di sini," kata Farrar sambil menggorok leher Molk di depannya dengan kekuatan yang mengejutkan. Ia menarik pedangnya dengan mudah lalu langsung menggorok leher Molk selanjutnya. "Kalian pergilah."

"Kalian harus selamat," seru Eryl yang masih berusaha menghindari gada tebal milik Molk yang melawannya. "Kami akan ada di lantai paling atas kastil ini. Aku menduga Nero ada di sana."

Dengan sekali lompatan, Eryl menusuk dalam tangan Molk yang memegang gada dengan pedang. Gada terjatuh ke lantai bersamaan dengan tendangan Eryl ke wajah si Molk. Ia mengakhiri serangannya dengan tusukan yang mengoyak perut musuhnya.

"Selain Farrar dan si kembar, ikuti aku sekarang!"

Eryl membuka pintu di sebelah kiri dan tetap menahannya agar terbuka. Awra menjadi yang pertama melewati pintu, kemudian Ruby dan Platina. Flavian dan Braz mengikuti jejak mereka. Aren sudah akan berlari melewati pintu ketika kakinya dijegal oleh kaki besar berbonggol milik Molk yang paling besar di ruangan itu. Aren buru-buru berdiri dan mengambil posisi untuk menyerang Molk itu. Ia tidak terima dirinya dijatuhkan dengan tidak adil. Ia mengangkat pedang sejajar dengan wajahnya lalu berlari cepat dengan ujung pedang menghadap ke arah dada Molk itu. Tetapi, Molk di depannya menampilkan wajah berkeriut kesakitan sebelum logam miliki Aren mengenai satu pun bagian tubuh si Molk. Molk itu merosot ke depan dengan tusukan pedang di leher. Flavian mencabut pedangnya yang berlapis warna merah dengan cengiran di wajah.

"Kau mengambil bagian yang bagus," seru Aren kesal karena mangsanya dihabisi oleh orang lain.

"Masih banyak lawan bagus yang lain di luar sana. Ayo cepat!" kata Eryl tak sabar.

Eryl langsung menutup pintu saat Flavian dan Aren sudah melewatinya. Ia memberikan sihir di pintu itu yang berfungsi agar pintu tidak dapat dibuka sehingga para Molk tidak akan bisa mengejar mereka melalui jalan itu.

"Cepat, ke atas," desis Braz. Kali ini, ia yang memimpin jalan menuju tangga batu hitam melengkung yang lebar dan tinggi. Mereka terus menaikinya dengan tergesa-gesa. Nero harus segera ditemukan sebelum ia sendiri turun tangan dalam perang sehingga kekalahan bagi Carmine dan Allbion menjadi hampir pasti.

Sebelum sampai di anak tangga paling atas, mendadak puluhan panah berhamburan menuju ke arah rombongan itu. Platina memekik kaget saat beberapa anak panah meleset hanya semilimeter dari tubuhnya, tergelincir dari pelindung kasat mata. Flavian mengayunkan pedang untuk memotong panah yang menyasar dirinya, begitu juga Aren. Awra berkelit menghindar, sedangkan Ruby menarik busur dan melepaskan anak panah ke arah para prajurit yang menyerang mereka, mengabaikan panah-panah lawan yang melesat melewatinya.

Eryl dan Braz mengucap sebuah kalimat bersamaan. Busur-busur milik lawan langsung terlepas dari tangan pemiliknya dan patah menjadi dua. Para prajurit itu langsung menarik pedang lalu menuruni tangga untuk menyerang mereka.

Pertempuran di tangga tidak dapat dihindari. Mereka harus menjaga keseimbangan di anak tangga yang sempit agar tidak tergelincir. Pedang saling beradu, cairan merah mengotori batu hitam, dan teriakan kesakitan kembali terdengar. Jumlah prajurit yang menyerang tak kunjung habis, mereka tertahan di tangga.

"Kita harus segera menemukan Nero," seru Aren sambil menghindari pedang prajurit di depannya.

"Kalian pergilah," perintah Eryl. Sebuah kata sihir meluncur dari mulutnya, mematahkan tulang kering dua prajurit yang langsung berteriak kesakitan. "Aku dan Braz akan menahan mereka."

Braz mengangkat tangannya sambil mengucapkan serentetan mantra. Sinar putih memancar dari telapak tangannya, sekali kibasan tangan, puluhan prajurit yang menghalangi puncak tangga terlempar ke dinding batu dengan keras.

"Sekarang!" seru Aren. Ia berlari cepat diikuti teman-temannya sebelum para prajurit lain menyadari rencana mereka. Ia sempat menusuk leher salah satu prajurit yang menghalangi. Ruby menembakkan panah tepat ke dahi prajurit di depannya. Platina menebas leher seorang prajurit, sedangkan Flavian menusuk dua lainnya.

Awra berlari merendengi Platina dengan napas sedikit terengah. Platina memandanginya dengan tatapan bertanya. Ia tersenyum puas sambil berkata, "aku dapat lima." Platina berjengit mendengarnya. Awra berhasil membunuh lima orang prajurit dengan cepat.

Mereka terus berlari mengikuti belokan jalan tanpa diikuti oleh satu pun prajurit. Di ujung jalan, mereka menghentikan langkah. Pintu lengkung hitam menjulang tinggi sampai ke langit-langit dengan pegangan berwarna serupa untuk membukanya. Mereka saling berpandangan meminta persetujuan.

"Kalian siap?" bisik Aren pada teman-teman di belakangnya. Ia memandang Platina yang menyiratkan kekhawatiran. Aren sedikit nyengir untuk menenangkan hati sahabatnya itu.

Dengan sekali tarikan napas, mereka mengangguk. Aren mendorong pelan pegangan pintu itu. Dadanya terasa berdebar kencang. Jika Nero ada di ruangan ini, mereka harus mengalahkannya. Pintu itu berat, Flavian harus membantunya untuk membuka. Perlahan, ruangan di balik pintu itu mulai terlihat.

Obor-obor padam menggantung di dinding hitam. Patung prajurit berseragam hitam membawa tombak berjajar rapi di sisi kanan dan kiri ruangan. Jendela-jendela besar melengkung disusupi cahaya matahari yang semakin meninggi. Suara peperangan dari luar sayup-sayup terdengar dari jendela yang terbuka.

Kelima remaja itu masuk ke dalam dengan langkah pelan. Sekilas ruangan itu terlihat kosong. Aren menoleh ke kiri lalu terkejut. Di kursi singgasana hitam dengan sandaran tinggi, duduklah seorang pria yang memakai jubah hitam panjang. Senyuman tipis mengembang di wajahnya yang memiliki bola mata biru dengan rambut putih sebahu.

"Selamat datang anak-anak," ujarnya dingin sambil tetap tersenyum. Wajahnya menampakkan kepuasan yang teramat dalam, menyembunyikan kebengisan yang ada di dalam dirinya.

Kelima remaja di depannya terbelalak, terutama Flavian dan Ruby.

"Raja Devon?" tanya Ruby tak percaya.

Flavian menggertakkan giginya kesal. Matanya menyipit marah. "Jangan katakan kalau kau diculik karena aku tidak akan percaya."

"Tentu saja tidak." Sebuah suara besar dan dalam tiba-tiba terdengar dari balik tirai hitam di belakang singgasana. Seorang pria memakai baju perang berwarna hitam, muncul dari sana. Kulitnya sangat pucat, dengan wajah tirus dan bola mata cekung. Ia menyeringai dingin dan jahat.

Raja Devon bangkit dari duduk. Jubah hitam berkibar di belakangnya. Ia menundukkan kepala pada pria itu. "Raja Nero, semuanya berjalan sesuai rencana."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro