Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 34 - Berpisah Jalan

Aren berjalan sendirian di lorong, dengan penerangan remang dari obor yang menggantung di dinding. Ia melangkahkan kaki tak tentu arah. Pikirannya masih dikuasai oleh emosi. Aren masih tidak paham alasan Platina meninggalkan Algaria. Ia kesal dengan temannya itu. Namun sebersit penyesalan muncul, Aren sadar kalimat terakhir yang ia ucapkan pada Platina terdengar kejam.

Kakinya berbelok ke lorong di sebelah kiri. Jendela-jendela besar menghiasi tembok. Aren bisa melihat langit gelap dengan bintang-bintang berkedip menemani cahaya bulan. Debur ombak terdengar lebih keras di malam hari. Aren melihat laut yang berubah warna menjadi hitam, gelap, dan pekat, seakan bisa menelan apa pun yang cukup bodoh menghampirinya.

"Mungkin laut bisa menghilangkan pikiranku sekarang," gumamnya.

"Kau memikirkan apa?" tanya sebuah suara di belakang Aren.

Aren berbalik cepat. Tangannya sudah berada di gagang pedang. Ia menghela napas lega saat menyadari pemilik suara itu adalah Awra, yang sedang nyengir melihatnya.

"Kau selalu membuat orang terkejut dengan kehadiranmu," kata Aren. Ia kembali berjalan dengan Awra di sebelahnya.

"Bukan salahku. Pikiranmu sedang tidak berada di sini. Kau membuat dirimu sendiri rentan diserang."

Aren terdiam mendengar perkataan Awra. Pikirannya mengembara kembali ke dunia nyata. Apakah ada cukup waktu baginya untuk kembali tepat waktu? Mulai besok, ia dan teman-temannya akan memersiapkan diri untuk pergi berperang.

Mereka berdua terus berjalan sampai melewati sebuah ruangan besar yang menguarkan bau makanan. Perut Aren berbunyi seketika. Awra tertawa terbahak di sampingnya. Mereka masuk ke ruangan itu dengan rasa lapar yang menyerang.

Ruangan besar itu dipenuhi dengan suara bising peralatan masak yang saling beradu. Aren terkesima memandangnya. Puluhan orang sedang melakukan tugas memasak dengan cepat. Panci-panci besar berada di atas tungku kayu, yang telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga apinya tidak akan terlalu besar atau kecil. Beberapa orang menggunakan pisau dapur yang tajam untuk memotong bongkahan ikan besar menjadi lebih tipis lalu dimasukkan ke dalam wajan besar.

Aren menelan ludah. Rasa laparnya semakin menguat ketika mencium bau makanan dan melihat proses memasak di dapur itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Sir?"

Aren menoleh ke arah suara. Seorang pria paruh baya tersenyum padanya. Ia memakai pakaian hitam yang penuh noda bekas percikan masakan. Perutnya terlihat membuncit dari balik pakaian. Ia terlihat ramah dengan tatapan matanya yang sendu.

"Emm ... " Aren sedikit bingung karena dipanggil Sir, yang membuatnya merasa lebih tua.

"Kami ingin makan malam," sahut Awra, "masakan kalian tampaknya enak."

Pria paruh baya itu tampak senang ketika masakannya dipuji. Ia tersenyum lebar. "Ada tempat di ujung dapur ini untuk makan. Saya rasa teman-teman anda juga ada di sana."

Aren dan Awra menganggukkan kepala sambil mengucapkan terimakasih. Mereka berdua berjalan ke arah yang ditunjukkan pria itu. Setelah berbelok ke kiri, ada sebuah ruangan yang lebih kecil dari dapur. Di sana terdapat dua meja panjang dengan kursi panjang di kedua sisinya. Mereka mendapati Flavian serta Ruby berada di salah satu meja.

"Ah, kalian sudah di sini," kata Awra sambil duduk di samping Flavian. "Masakannya enak?"

Flavian hanya mengangguk sambil menyuapkan daging ikan dari garpu ke mulutnya. Piringnya berisi ikan berbumbu dengan kentang tumbuk dan sayuran rebus.

"Sudah lama kalian di sini?" tanya Aren. Ia duduk di samping Ruby yang juga sedang makan. Semangkuk sup jagung dan ikan terletak di depan Ruby.

"Baru sebentar," jawab Ruby setelah menelan makanan di mulutnya. "Di mana Platina?"

Hati Aren mencelos. Ia tidak siap dengan pertanyaan dari Ruby. Apa yang harus ia katakan? Platina pulang dan meninggalkan mereka semua di Algaria?

Flavian memandang tajam Aren. "Platina pulang, kan?"

"Darimana kau tahu?" sahut Aren sambil mengernyitkan dahi. Seingatnya, ia belum menceritakan hal ini pada siapa pun.

"Sekali melihat, aku langsung tahu. Kau masih belum bisa menyembunyikan benakmu."

Aren teringat Lunette setelah mendengar kata-kata Flavian. Ia memang pernah diminta untuk berlatih menyembunyikan benaknya, tapi sampai sekarang Aren masih belum bisa melakukannya.

"Kenapa Platina pulang?" tanya Ruby, "kau tidak mengatakan sesuatu yang buruk padanya, kan?"

"Apa hal itu juga terlihat padaku?" tanya Aren.

"Berarti itu benar."

Aren mendengus kesal. Ia terlihat bersalah di depan teman-temannya. "Baiklah, akan aku ceritakan." Ia menceritakan seluruh percakapannya bersama Platina siang tadi, termasuk saat Platina pulang dan tidak ingin kembali. Teman-temannya mendengarkan dengan penuh perhatian sambil sesekali berkomentar. Aren menyelesaikan ceritanya tepat saat makanannya diantarkan.

"Nah," kata Aren sambil memutar-mutar piring berisi ikan di depannya, "bagaimana menurut kalian? Siapa yang salah?"

Ruby dan Awra saling berpandangan. Ruby menepuk punggung Aren. "Menurutku, tidak ada yang salah. Kalian berdua hanya memiliki pendapat yang berbeda."

"Tapi, Platina bersikap seperti pengecut, ah maaf, kata-kataku kasar," ujar Aren sambil memijat dahinya, "ia seperti penakut. Ia tidak seperti Platina yang aku kenal."

"Coba kau pikirkan," ujar Flavian serius, "Platina hanya merasa takut. Bukan berarti ia penakut. Wajar saja Platina merasakan itu, kalau kau ingat, pertempuran kemarin adalah pertarungan pertamanya melawan prajurit. Dalam waktu yang singkat, ia dipaksa untuk membunuh orang lain. Dan dalam waktu yang sama, ia melihat dua temannya dibunuh oleh orang lain."

Aren merasa tertohok. Flavian mengatakan hal yang benar. Ia tidak memikirkan perasaan Platina ketika itu. Padahal, ia sungguh tahu, rasa tidak menyenangkan yang mencengkeram ketika membunuh makhluk yang sejenis dengannya. Aren sudah bisa menguasai diri untuk membunuh prajurit karena ia telah melewati pertarungan pertamanya yaitu saat Platina dan Ruby ditawan.

"Aku ... aku lupa," katanya tercekat.

"Selain itu, aku rasa Platina masih belum menemukan tujuannya untuk berperang di sini," ujar Awra dengan tatapan menerawang. "Ia hanya butuh waktu."

Pikiran Aren berkecambuk. Sekarang, ia merasa telah melakukan hal yang bodoh dan jahat pada Platina. Ia menundukkan kepala dan menahannya dengan kedua tangan menutupi wajah. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Haruskah aku meminta maaf padanya?" tanya Aren lambat-lambat dari balik kedua tangannya.

"Tentu saja," jawab Ruby, "tapi nanti. Biarkan Platina menenangkan dirinya dulu."

Aren mengangguk lemah. Rasa bingung dan marah yang tadi menguasainya sekarang berganti dengan penyesalan. Rasanya seperti ada sesuatu yang besar mengganjal di dada.

Dua teman jadi satu

Awra menyenandungkan lagu yang pernah ia nyanyikan dulu, saat mereka didatangi Gotham, hewan tinggi berbulu pemakan manusia.

Lima kawan hilang satu

Aren mengangkat kepalanya. Ia menatap Awra yang bernyanyi sambil memejamkan mata. Lima hilang satu? Platina?

Lembah bayang-bayang kelam

Meneriakkan kegelapan

Aren bergidik. Pikirannya yang kelam telah menimbulkan kegelapan untuk sahabatnya.

------------*****------------

Angin semilir masuk melalui jendela perpustakaan kota, menyapu rambut hitam Platina yang diurai ke belakang. Platina menggosok lehernya yang dingin terkena angin. Ia memandang langit, awan-awan gelap perlahan mulai berjalan menutupi matahari.

"Pat, kenapa kau berbohong?"

Platina menoleh ke kanan dan melihat Ethan serta Lylod duduk di bangku sebelahnya. Ia mengernyit. "Berbohong?"

Ethan menunjukkan handphone-nya pada Platina. "Barusan, Ayah Aren menghubungiku. Katanya, ia mendapat informasi darimu kalau Aren menginap di rumahku semalam. Ia memintaku untuk menitipkan pesan pada Aren bahwa ia akan ke luar kota selama tiga hari."

Platina menelan ludah. Bibirnya terasa kering. "Lalu?"

"Lalu, di mana Aren? Ia tidak ada di rumahku," kata Ethan mendesak, "Aren juga tidak masuk hari ini. Rencana apa yang kalian lakukan berdua?"

Jantung Platina berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tidak pernah suka berbohong karena ia tahu rasanya akan sangat tidak enak bila ketahuan. Seperti saat ini, ketika Ethan dan Lylod menangkap basah dirinya berbohong tentang Aren.

"Emm ... Aren sedang ... pergi," kata Platina ragu-ragu. Cara berbohong yang tidak masuk akal. Ia merasa tidak pintar menyembunyikan sesuatu yang begitu kentara terlihat. Apakah ia harus menceritakan tempat Aren berada sekarang?

"Kalian sedang apa?" Adele bertanya kepada Ethan dan Lylod. Ia membawa sebuah buku tebal di tangannya. Ia duduk di seberang mereka. Chloe dan Debra mengikutinya di belakang dengan pandangan penasaran dan duduk di sebelah Adele.

Ethan menceritakan dengan singkat sementara Platina semakin bingung dengan keputusan yang harus diambil. Ketiga teman perempuan Platina memandangnya dengan tatapan tajam. Platina semakin gugup. Ia merasa tidak nyaman sekaligus bersalah kepada mereka.

"Pat," kata Debra, "ceritakan sekarang atau tidak sama sekali."

Platina membelalakkan mata. "Tentang apa?"

"Sudahlah, Pat, jangan mengelak lagi," kata Lylod kalem. "Kami sudah tahu kau dan Aren menyembunyikan sesuatu. Fisik kalian berubah, menjadi lebih tegap dan terlihat kuat. Apa yang kalian lakukan?"

"Apalagi, kau dan Aren selalu terlihat lelah saat kuliah. Apakah kalian menyembunyikan sesuatu yang bersifat kriminal?" tanya Adele serius.

"Tentu saja tidak," sahut Platina. Ia merasa tidak enak dipandangi oleh kelima temannya. Ia meringis.

"Lalu, kemana Aren?" tanya Chloe lembut. "Kau bisa menceritakannya kepada kami. Aku tahu kau habis menangis semalam, sembab di matamu belum hilang. Apa itu gara-gara Aren?"

"Kau bisa percaya pada kami," sambung Debra, "atau kepercayaanmu sudah berpindah pada orang lain?"

Platina menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ia sudah tidak tahan dicecar berbagai pertanyaan. Ia harus melakukan sesuatu. Aren tidak pulang. Platina tersenyum kecut. Sekarang, ia harus menghadapi segalanya sendirian di sini, menjawab berbagai pertanyaan tentang menghilangnya Aren dan kembali harus berbohong.

"Kau tidak sendirian," kata Lylod. Platina tersentak mendengarnya. "Ada kami di sini. Kami siap mendengarkan semua keluhanmu. Tapi, ceritakan dulu apa yang terjadi."

Rambut Platina berkibar terkena angin yang kembali datang. Cahaya matahari mulai tertutup sepenuhnya oleh awan. Suasana di dalam perpustakaan berubah menjadi lebih gelap. Segera saja, para pegawai perpustakaan menyalakan lampu untuk memberikan penerangan yang nyaman bagi pengunjungnya. Platina mengerjapkan mata untuk menyesuaikan diri dengan cahaya di ruangan itu.

Platina menatap semua teman-temannya. Dadanya kembali terasa sesak. Sudah cukup ia menangis, tak akan ada lagi tangisan yang keluar hari itu. Dengan menguatkan hati, ia berkata, "Siapkan diri kalian. Ini mungkin akan terdengar konyol dan tidak masuk akal. Namun, ini lah yang terjadi."

"Tentu saja kami siap. Kami bahkan sudah menyiapkan camilan," kata Ethan ceria. Ia meletakkan dua bungkus camilan di atas meja.

"Ini perpustakaan," desis Adele, "sembunyikan atau kita diusir dari sini."

Ethan terkekeh kecil. Ia mengembalikan camilan itu ke dalam tas.

Platina memulai ceritanya dari awal, saat dirinya dan Aren menemukan figurin serigala. Kemudian terus berlanjut hingga mereka bisa pergi ke Algaria dan mengetahui takdirnya. Saat Platina menceritakan ayahnya yang merupakan penyihir, ia dapat melihat sekilas ketidakpercayaan dari teman-temannya. Ia terus bercerita dengan lancar sampai pada akhirnya ia ditawan dan disiksa. Chloe menutup mulutnya dan Debra mengernyit, sedangkan yang lain menahan napas sejenak.

Platina tidak berhenti bercerita. Ketika sudah menemukan alurnya, bercerita bukan lah hal yang sulit. Kata-katanya terus mengalir sampai pada kematian Corby dan Xavier. Lidahnya terasa kelu. Menyebut nama mereka bagai menguak kembali luka lama yang telah tertutup. Dengan tersendat-sendat, ia tetap bercerita sampai ke pertengkarannya dengan Aren.

"Kemudian di sini lah aku berada. Sedangkan Aren tetap di Agaria," kata Platina menutup jalan ceritanya.

Langit mulai bergemuruh. Angin kencang masuk ke perpustakaan. Namun tidak ada yang beranjak untuk menutup jendela. Teman-teman Platina masih menatap Platina dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Hmm ... baiklah," kata Debra membuka percakapan. "Aku tidak menyangka kalau masalahnya serumit ini. Aku kira kalian hanya terlibat masalah remaja biasa."

"Jelaskan apa yang disebut biasa," kata Platina terkikik. Entah kenapa, ia merasa lega setelah bercerita. Rasa sesak di dadanya tak lagi menghantui.

"Seandainya bukan kau yang mengatakan ini dan Aren tidak menghilang, aku tidak akan memercayai satu pun kata-katamu," kata Adele sambil menarik-narik rambutnya. "Dunia nyata, dunia fiksi, ah bagaimana bisa," gumamnya.

"Kau kuat sekali, Pat," kata Chloe kagum, "kalau aku menjadi dirimu, aku tidak akan bisa melakukan setangah dari apa yang telah kau lakukan."

"Baiklah, anggap ini semua terjadi," kata Lylod, "yah, ini benar-benar terjadi. Lalu, bagaimana perasaanmu sekarang?"

Platina menatap Lylod sejenak lalu mengangkat bahu. "Entahlah, aku merasa ... merasa takut?"

"Aku tidak pernah merasakan apa yang kau rasakan, tapi menurutku kau pantas merasa takut," kata Ethan, "aku sendiri bergidik membayangkan harus membunuh orang untuk bertahan hidup."

Platina tersenyum pada Ethan. "Aku juga merasa bersalah telah meninggalkan teman-temanku di Algaria." Ia menghela napas. "Tapi, apa yang bisa aku lakukan?"

"Kau bisa kembali, Pat," kata Debra, "walaupun aku takut kalau kau kembali akan terjadi sesuatu padamu. Tapi, aku yakin, ayahmu tidak akan mengirim kalian tanpa perlindungan."

"Ah, ayahku," kata Platina memejamkan mata, "aku masih tidak bisa memahami jalan pikirannya."

Langit kembali bergemuruh. Platina membuka mata lalu menutup jendela di belakangnya. Titik-titik air hujan mulai jatuh ke bumi, sedikit membasahi kaca jendela yang ia tutup.

"Aren tidak serius mengataimu seperti itu," kata Lylod, "aku tahu ia hanya kesal. Tapi, menurutku ia juga berlebihan melampiaskannya padamu."

Platina terdiam. "Aku tidak yakin. Ia terlihat ingin membunuhku saat mengatakannya."

"Tidak mungkin," kata Chloe, "kematianmu adalah hal terakhir yang ingin dia lihat."

Platina kembali tersenyum mendengar dorongan semangat dari teman-temannya. Ia selalu menyangka mereka akan menuduhnya dan Aren melakukan hal yang salah saat bertahan di Algaria. Tapi, mereka justru mendukungnya walaupun ia yakin mereka menyembunyikan rasa khawatir.

"Terimakasih, kalian sudah memberikan semangat untukku."

Teman-temannya mengangguk tulus. Senyum mengembang di wajah mereka semua.

"Lalu, apa keputusanmu sekarang?" tanya Adele.

Platina menatap ujung terjauh perpustakaan. Rak-rak tinggi memenuhi perpustakaan. Meja dan bangku terletak di tengah ruangan untuk pengunjung yang ingin membaca di sana. Pikiran Platina melayang ke Algaria. Apakah ia ingin kembali?

Ia teringat Flavian, Ruby, dan Awra. Membayangkan mereka ada di perpustakaan, membuatnya ingin tertawa. Mereka sangat pantas membawa pedang, pisau, dan busur. Kalau memakai baju biasa, membawa tas dan buku, mungkin saja tidak cocok tapi menarik. Rasa rindu mulai menjalari tubuhnya.

"Aku akan jalan-jalan sebentar untuk berpikir," kata Platina. Ia berdiri disertai persetujuan dari teman-temannya.

Ia berjalan sambil melihat-lihat buku di rak yang tersusun rapi. Ia ingin membaca sesuatu agar pikirannya agak terhibur dari kerumitan yang sedang terjadi. Platina menyusuri rak demi rak, namun masih belum menemukan buku yang pas untuk dibaca.

Kakinya melangkah sampai ke ujung rak yang paling jarang dikunjungi. Ia merasa pernah menjejakkan kaki ke sini. Ia mencari penanda rak buku itu. Di bagian atas, dengan tulisan kertas yang sudah menguning dan sobek, Platina menemukannya.

"Bagian kriminal," gumamnya. Ia teringat pernah ingin membaca sesuatu di sini. Platina menyusuri bagian tengah rak sampai menemukan label bertuliskan 1990-2000.

Tangan Platina menggeser map-map tebal satu per satu ke kanan. Ia merasa harus mencari sesuatu di antara puluhan map di sana. Debu yang beterbangan menggelitik hidung Platina. Ia bersin sekali dan mengusap hidung.

Dengan cepat, ia membaca judul-judul yang tertempel di sampul depan map. Tangan kirinya berhenti di satu map berwarna hitam dengan judul Dokumen Lalu Lintas. Ia mengambil map itu perlahan. Jantungnya berdegup kencang entah karena apa.

Platina membuka map itu, sedikit terbatuk karena debu beterbangan dari dalamnya. Potongan-potongan kertas koran yang menguning terdapat di dalam halaman plastik map, tersusun rapi dan awet. Tulisan-tulisannya masih terbaca jelas. Foto-foto hitam putih juga ada di dalamnya.

Suara tetesan hujan yang semakin keras menandakan air turun dengan deras. Langit kembali bergemuruh lebih keras. Platina membuka halaman demi halaman map. Ia melihat sebuah foto hitam putih tentang jembatan yang ambruk akibat bahan pembuat jembatan dikorupsi oleh pemerintah di masa lalu. Ia kembali membalik halaman plastik itu.

Mendadak, matanya menangkap sesuatu yang sangat ia kenal. Di depan matanya sekarang, pada sebuah potongan kertas koran, ia melihat foto mobil sedan milik ayahnya yang hangus terbakar sebelas tahun yang lalu. Artikel di koran itu tidak terlalu panjang. Platina membaca dengan cepat seakan berpacu bersama detak jantungnya.

Hatinya mencelos ketika mendapatkan satu kata yang tertulis di koran itu. Lututnya lemas. Tangannya gemetar. Ayahnya dan Ibu Aren meninggal di dalam mobil yang hangus, tapi anehnya, ia dan Aren selamat tanpa luka satu pun. Kenapa ia tidak sadar dari awal? Ia dan Aren pasti telah dilindungi sihir dari ayahnya.

Tiba-tiba, petir menyambar kencang dari luar. Suaranya yang keras membuat sebagian pengunjung perpustakaan berteriak. Platina masih menatap nyalang koran di depannya. Polisi tidak dapat menemukan penyebab mobil mereka bisa hangus dengan tidak wajar, tapi tersangka tetap dicari untuk keperluan penyelidikan. Platina menggenggam erat map di tangannya. Tersangka itu bernama Nero.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro