Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 33 - Tebing Allbion

Suara debur ombak membentur karang terdengar bersahutan dengan burung-burung yang memekik di atas lautan. Laut memantulkan warna biru cerah milik langit. Secercah sinar matahari melingkupi seluruh air laut yang bergoyang perlahan. Sesekali, ombak besar datang dan berakhir di tebing karang berwarna putih, dimana Platina sedang berdiri di atasnya.

Platina tidak pernah terlalu suka dengan laut. Aroma asin yang menguar, selalu membuatnya mual. Namun, di Tebing Allbion, Platina mulai menyukainya. Ia bisa melihat hamparan luas air biru yang bebas menggenang dan menari mengikuti angin. Angin menyentuh lembut rambut hitam Platina. Pakaiannya yang lusuh dan penuh darah, telah digantikan dengan atasan putih dan celana cokelat serta sepatu kulit yang diberikan oleh Raja Morven.

"Pat, sudah waktunya."

Platina menoleh ke arah Ruby yang mengenakan pakaian serupa dengannya. Rambut merah Ruby tetap terikat rapi ke belakang. Platina berjalan ke arah Ruby yang menatap langit sambil menyipitkan mata.

"Langit sedang cerah. Ini kesukaannya," kata Ruby sambil tersenyum sedih.

Platina mengangguk menyetujui. Siang itu, akan diadakan upacara pemakaman Corby dan Xavier. Sebenarnya Platina tidak ingin ikut, tapi si kembar memberitahunya bahwa alangkah tidak sopan bila tidak mendatangi pemakaman seorang teman.

"Seandainya Corby bisa melihat ini."

Ruby memegang tangan Platina. "Aku yakin ia sedang melihat. Dari atas langit."

Mereka berjalan bersama menuju halaman belakang Kastil Elviera. Di sana, sudah berkumpul teman-teman mereka, semuanya berpakaian sama. Platina melihat Aren dan Flavian sedang berbincang. Sungguh pemandangan yang aneh. Kedua remaja itu tidak pernah akur sejak awal. Selalu ada Corby yang menengahi mereka.

Dada Platina masih saja terasa sesak ketika mengingat Corby. Ia masih menganggap kematian Corby sangat tidak pantas. Hidup Corby masih bisa lebih berguna dibandingkan mati di tangan Peython secepat itu. Pelupuk matanya terasa berat. Ia buru-buru mengusap mata dengan lengan bajunya.

"Bagaimana keadaanmu, Pat?" tanya Braz ketika ia dan Ruby sudah berada diantara teman-temannya.

Platina mengangkat bahu. "Aku tidak yakin aku baik."

Braz memandangnya prihatin. "Jangan terlalu lama menyimpan kesedihan di dalam hati. Rasa sedih bisa menjadi racun."

Sebuah tepukan keras di punggung membuat Platina menoleh. Ia melihat Aren sedang nyengir lebar. "Corby dan Xavier pasti tidak ingin melihatmu murung."

"Mengingat Corby tersenyum dan nasehat bijak dari Xavier, bukan berarti harus membuat kita bersedih. Kita seharusnya senang, bisa mendapatkan kesempatan hidup bersama mereka," kata Flavian.

Platina terpana mendengar kalimat panjang yang terucap dari mulut Flavian. Kalimat terpanjang yang pernah rambut pirang itu ucapkan biasanya merupakan sebuah ejekan.

"Flav, kata-katamu membuat perasaanku sedikit lebih baik," kata Platina sambil tersenyum.

"Bagaimana dengan kata-kataku?" tuntut Aren.

Platina mengernyit. "Mungkin lebih baik kau mengatakan sesuatu pada Ruby." Ia terkekeh pelan saat melihat Aren kelabakan menghadapi ucapannya.

"Di mana Awra?" tanya Flavian. Ia mendapatkan tatapan terimakasih dari Aren yang telah menyelamatkannya dari situasi canggung bersama Ruby.

"Aku di sini."

Rambut emas Awra berkibar tertiup angin. Ia mengenakan baju terusan selutut berwarna putih. Wajahnya terlihat kesal. "Pelayan di kastil tidak punya baju seperti kalian yang seukuran denganku. Aku terpaksa harus memakai kain berumbai seperti ini."

Aren terkekeh. "Hei, itu cocok untukmu. Kau terlihat manis."

"Jangan sebut aku manis," gerutu Awra. "Untung saja Xavier sudah tidak bisa melihatku. Dia bisa mati karena tertawa."

"Xavier mengawasimu dari langit," kata Aren.

"Tutup matamu, Centaurus." Awra berseru ke langit sambil menudingkan jari telunjuk.

Mereka semua tertawa melihat perilaku Awra yang tidak biasa. Kedewasaannya menghilang saat ia sedang kesal. Platina heran dengan sikap anak itu. Betapa cepat ia berubah menjadi ceria setelah Xavier tiada.

Bunyi terompet membuat mereka semua terdiam. Upacara akan segera dimulai. Dari balik pintu lengkung besar di kastil, keluarlah delapan prajurit berpakaian putih. Di tangan mereka yang terbuka ke atas, terdapat dua tubuh berbeda bentuk, terbaring kaku diselimuti kain putih.

Para prajurit itu maju perlahan diikuti oleh seorang pria berbadan ramping dan tegap. Warna kulitnya sangat putih dengan rambut berwarna biru cerah seperti langit. Ia memakai jubah panjang berwarna putih yang diikat di pinggang dengan gesper pedang berwarna cokelat. Di belakangnya, tampak seorang lelaki bertubuh besar dengan mahkota perak tersemat di kepala. Ia adalah Raja Morven.

Suara terompet berhenti ketika para prajurit telah sampai di depan dua galian tanah. Tanpa aba-aba, mereka memasukkan dua tubuh itu perlahan-lahan ke dalam lubang. Mereka melakukannya dengan serempak, tanpa cacat sedikit pun. Suasana hening dan khidmat melingkupi seluruh prosesi itu.

"Tidak kah kau sedih?" bisik Platina pada Awra di sampingnya.

Awra memiringkan kepalanya. "Aku akan lebih sedih kalau mengetahui Xavier sedih karena aku bersedih."

Platina mengangkat alisnya. Kalimat rumit milik Awra kembali terdengar. Ia mengerti alasan Awra bisa kembali ceria. Tapi, rasa sesak di dada Platina masih belum bisa hilang sepenuhnya.

Ia melihat para prajurit menutup lubang dengan gundukan tanah bekas galian. Mereka bekerja secara metodis dan akurat. Tak lama, kedua lubang sudah tertutup sempurna tanpa bekas. Raja Morven berdiri di depan dua makam itu dan menatap rombongan tamunya.

"Kedua teman kalian, tidak akan pernah mati jika kalian mengingatnya. Mereka hidup di dalam hati kalian masing-masing. Aku yakin, mereka telah bahagia di alam yang berbeda dengan kita. Saat ini, tugas kita adalah membahagiakan alam tempat kita hidup," kata Raja Morven.

"Para tamuku, silakan kembali ke dalam kastil. Kita akan berbincang di sana. Ada beberapa hal penting yang harus aku sampaikan," lanjutnya. Ia berjalan masuk ke kastil diikuti oleh pria berambut biru.

Platina dan teman-temannya mengikuti mereka. Platina menoleh ke belakang, ke arah makam Corby dan Xavier. Ia menarik napas panjang. Tubuh mereka sudah diterima tanah. Pembatas antara hidup dan mati terasa begitu besar. Sekarang, ia benar-benar terpisah dari mereka.

"Selamat tinggal kawan," gumamnya. Ia berjalan masuk ke kastil dengan langkah gontai.

Kastil Elviera terbuat dari bebatuan berwarna putih tulang. Pintu dan jendelanya menjulang tinggi berbentuk lengkungan sempurna. Lorong-lorong panjang menjadi jalan utama kastil. Semua lorong ini, akan berakhir di tengah kastil. Di sana, terdapat ruangan bundar besar yang terdapat singgasana raja, tempat Sang Raja menerima tamu dan mendiskusikan berbagai hal dengan para menterinya.

Platina duduk di bangku besi, yang berwarna putih, diantara Aren dan Flavian. Yang lainnya, duduk setengah melingkar, dengan Raja Morven berada di kursi kerajaan. Menurut Platina, Raja Morven adalah raja yang baik. Sang Raja menerima kedatangan mereka semua tadi pagi, dengan raut muka cemas.

Raja sudah mendapatkan cerita lengkap tentang keadaan mereka dari Corby, sehingga ia sangat terkejut ketika mendapat kabar bahwa Corby telah gugur. Raja dengan besar hati mengirimkan prajurit terbaiknya untuk membantu mereka melawan Peython. Raja juga lah yang memberikan saran agar menguburkan Corby dan Xavier di tempat yang pantas, yaitu halaman kastil, tempat para pemimpin dan tokoh berpengaruh dimakamkan.

Selain itu, mereka juga diberi pakaian yang layak untuk menggantikan baju mereka yang telah lusuh dan kotor karena pertarungan. Makanan diberikan dengan sangat cukup, sebelum upacara pemakaman dilaksanakan. Karena itu, Platina tidak heran bila penduduk Tebing Allbion, terlihat sangat berbahagia dan makmur. Raja Morven tampak sangat memahami kebutuhan warganya.

"Terimakasih kalian telah datang memenuhi undanganku," kata Raja Morven, "seharusnya tamu-tamu akan disambut dengan pesta yang meriah di kastil ini. Namun sayang, ada hal lain yang lebih mendesak untuk kita pikirkan bersama. Perkenalkan, ini Farrar. Pimpinan perang yang paling aku percaya. Ia telah mela—"

Pria berambut biru di sebelah raja, tersenyum sambil sedikit menundukkan kepala.

"Farrar tampan bukan?" goda Aren pada Platina sehingga temannya itu tidak memerhatikan ucapan raja.

Platina mengerjapkan mata. Farrar memang terlihat tampan. Jika diperhatikan, usianya tampak seperti berumur tiga puluhan. Tapi, penampilan bisa menipu. Platina memerhatikan jari-jari Farrar yang panjang.

"Tapi, ia seorang penyihir. Umurnya pasti lebih tua dari penampilannya," bisik Platina.

"Darimana kau tahu?"

"—Farrar adalah seorang penyihir," lanjut Raja Morven.

Platina terkikik melihat Aren memutar mata kesal. Raja Morven menyelesaikan beberapa kalimat pembukanya lalu menutup dengan memersilakan Farrar mengatakan sesuatu.

"Semoga keberuntungan selalu menyertai kalian," ujar Farrar dengan suaranya yang lembut, indah, hampir seperti bernyanyi. Platina langsung teringat Esmevere. Para penyihir di sana memiliki suara yang mirip seperti Farrar.

"Seperti yang kita ketahui," lanjutnya, "Peython telah tewas. Aku tidak menyangka bahwa yang membunuhnya adalah dua remaja yang sedang duduk di depanku sekarang."

Aren tersenyum lebar sedangkan Flavian tetap memasang wajah tanpa ekspresi ketika Farrar melambaikan tangan ke arah mereka.

"Masalah dimulai. Raja Nero tidak akan tinggal diam melihat tangan kanannya dibunuh oleh lawan. Aku yakin, saat kita sedang berbicara di sini, Raja Nero sedang merencanakan sesuatu yang berbahaya."

"Apa kita juga akan mendiskusikan suatu rencana?" tanya Aren.

Farrar tersenyum kecil. "Tentu saja. Keadaannya sekarang adalah kita berada dalam posisi bertahan setelah memenangkan pertarungan. Giliran Raja Nero yang akan menyerang. Ini adalah titik balik yang menegangkan bagi pihak kita."

Suasana di ruangan itu hening. Tidak ada yang berbicara. Sayup-sayup suara debur ombak terdengar dari kejauhan.

"Menurutku, daripada kita hanya diam dan menunggu, lebih baik kita menyerang Valonia," lanjut Farrar.

"Aku setuju," seru Aren keras, "oh, maafkan aku." Buru-buru ia menambahkan, ketika semua pandangan tertuju padanya. Termasuk tatapan mencela dari Platina.

"Semangat yang bagus," kata Farrar menghargai, "pasukan Carmine telah menuju Valonia melalui barat. Kita akan membantu mereka dari sebelah Timur. Dengan begini, kita bisa mengepung Valonia dari kedua arah. Tidak perlu khawatir dengan bagian utara karena di sana hanya ada gurun pasir tak berpenghuni. Sedangkan di selatan, ada sungai besar yang tidak mungkin dilewati tanpa kapal. Valonia terkepung."

Raja Morven berdiri. "Ini adalah rencana kami. Saat ini juga, pasukan kami sedang bersiap untuk menyerang Valonia. Jika kalian ikut, akan segera aku perintahkan pelayan untuk memersiapkan kebutuhan kalian. Sudah bertahun-tahun aku menunggu situasi seperti ini. Aku ingin segera mengalahkan Raja Nero sebelum ia mengalahkan kami. Kalian telah membuka jalan untuk kami. Kematian Peython adalah kesempatan. Raja Nero sedang tidak berada di kekuatan penuhnya."

"Aku ikut," kata Awra. Suaranya kembali terdengar seperti wanita dewasa. "Aku ingin meneruskan perjuangan Xavier."

"Kami juga," sahut si kembar. "Kami harus ikut berjuang mengembalikan tanah kelahiran kami, Valonia, menjadi Aglaia," jelas Dave.

"Aku akan bersama kalian," kata Ruby, "bukan karena takdirku sebagai pendatang, tapi keinginan untuk membantu teman-temanku di Carmine, mengembalikan hak mereka."

Eryl dan Braz berpandangan sambil mengangguk. "Kami akan berjuang di sisi kalian, bukan waktunya bagi para penyihir untuk berdiam diri," kata Braz.

"Aku juga," kata Flavian singkat. Semua mata memandang dirinya. Ia mengerutkan dahi. "Apa?" tanyanya bingung, "perlukah alasan untuk ikut membela kalian? Aku hanya ingin kalian mendapat bantuan yang pantas."

Aren tertawa. "Itu alasan yang bagus," katanya sambil menepuk pundak Flavian, "aku juga ikut. Aku ingin melindungi rumah tempat kelahiran ibuku."

Farrar tersenyum. "Baiklah. Lalu, bagaimana denganmu, nona?"

Platina bergidik geli karena dipanggil seperti itu. "Namaku Platina, panggil saja Pat."

Aren terkikik. "Nah, pasti kau juga ikut, kan?"

Platina terdiam. Semua orang menanti jawaban yang akan keluar dari mulutnya. Jauh di lubuk hati Platina, ia ingin berjuang bersama mereka. Namun, ia takut. Platina tidak ingin kehilangan teman lagi. Atau lebih buruk, kehilangan semuanya. Ia tidak ingin ada peperangan. Tapi, ia juga tidak tahu cara menghentikan Raja Nero tanpa berperang.

Jika ia pulang ke dunianya, semua akan berjalan normal seperti biasa. Tidak akan ada lagi kematian. Tidak akan ada lagi rasa sesak yang menyakitkan. Mungkin dulu ia ingin merasakan petualangan yang dialami tokoh-tokoh dalam novel. Namun, ia lupa, kematian akan selalu menghantui setiap jalan. Menjadi remaja biasa adalah hal yang terlihat menyenangkan saat ini. Alasan kuat apa yang harus membuatnya ikut perang?

"Aku butuh waktu," kata Platina lirih, "mungkin aku akan memikirkannya di kamar."

"Silakan," kata Raja Morven ramah. Farrar mengangguk setuju.

Platina berdiri dan berjalan keluar dari ruangan itu. Ia berusaha mengabaikan tatapan yang tertuju padanya. Lorong panjang dan lebar ia susuri pelan-pelan. Pikirannya masih terus berkecambuk.

"Pat, kau kenapa?" tanya Aren. Ia mengikuti Platina karena cemas dengan keadaan temannya.

Platina tetap berjalan tanpa menoleh. "Entahlah, aku pun bingung."

Mereka terus berjalan dalam diam sampai ke depan sebuah kamar. Platina membuka pintu. Kamar itu luas dengan dua tempat tidur di tengah ruangan dan beberapa jendela di sekelilingnya. Cahaya matahari yang hangat masuk ke kamar melalui kaca jendela.

Platina menuju salah satu kasur dan duduk di sana. Ia memandang Aren yang sedang menutup pintu. Apakah Aren bisa mengerti perasaannya?

"Aku ingin pulang," kata Platina.

Aren mendekatinya dengan tatapan tak percaya. "Tidak bisa. Kita harus tetap di sini sampai perang berakhir."

Platina menatap mata cokelat milik Aren. "Aku tidak ingin berperang. Aku tidak mampu jika harus menanggung rasa kehilangan seperti ini lagi."

"Pat. Siapa pun yang mati dalam pertarungan, sama sekali bukan tanggung jawabmu."

"Kau tidak mengerti," kata Platina, "lihat Corby dan Xavier. Mereka harusnya tidak mati jika saja aku tidak tertangkap di Sadergh dan kita harus memulai pertempuran."

Aren menggelengkan kepala. "Itu bukan salahmu. Keadaan yang membuatnya seperti itu."

Platina terkekeh sinis. "Ayahku yang membuatnya seperti ini. Aku tidak ingin berada di sini lagi. Memangnya kau tidak merasa sedih Corby dan Xavier meninggal?"

"Tentu saja aku sedih, Pat. Tapi, kita masih hidup. Artinya, kita harus tetap menjalani takdir kita."

Platina menatap tajam lelaki di depannya. "Aren. Kau tidak tahu betapa sakitnya kehilangan yang aku rasakan. Sudah cukup satu orang dalam hidupku menghilang. Aku tidak ingin yang lainnya juga pergi."

"Pat, ibuku juga mati. Kita sama. Aku bisa menghadapi ini, seharusnya kau juga bisa."

Platina terdiam. Ia menarik napas panjang. "Aku ingin hidupku kembali normal. Aku tidak sanggup lagi, Aren. Biarkan aku pulang."

"Dan meninggalkanku di sini?"

"Kau juga ikut. Sudah waktunya kita kembali ke dunia nyata. Sudah berhari-hari kita di sini."

Aren duduk di depan Platina. Ia menatap perempuan yang paling dekat dengannya selama hidup. "Persiapan perang pasti akan lama."

"Kau bahkan belum menyelesaikan tugas kuliahmu."

"Ada hal yang lebih penting di sini. Bisa-bisanya kau mengingat tugas kuliah," kata Aren dengan nada tinggi.

"Bisa-bisanya kau melupakannya," balas Platina, "hidup kita bukan hanya di sini. Bahkan dunia nyata adalah hidup yang sebenarnya."

"Pat, dengarkan aku. Ikut lah bersama kami dan aku janji kita akan pulang. Aku juga tidak bisa memerkirakan berapa lama persiapan dan perang ini akan berlangsung."

Rasa sesak kembali menusuk dada Platina. Kenapa lelaki yang bersamanya sekarang tidak bisa mengerti dirinya?

"Aku tetap ingin pulang. Di mana Lupus?"

Aren mengangkat bahu. "Tidak akan aku serahkan padamu."

Platina mulai merasa kesal. "Serahkan Lupus sekarang, Aren."

"Kau tega meninggalkan teman-temanmu di sini? Sedangkan kau pulang dan menjalani kehidupan yang normal?"

"Itu memang hidupku yang sesungguhnya," seru Platina. Air mata terasa mulai memenuhi matanya. "Lupus, aku harap aku bisa pulang." Platina berteriak, setengah berharap Lupus bisa mendengar suaranya.

Aren berdecak kesal. Ia merasakan saku celananya berubah dingin menyengat. Ia mengeluarkan figurin serigala dari saku dan melihat Lupus berubah hidup. Api berkobar masih menyelimuti tubuh Lupus.

"Lupus, antarkan aku pulang," kata Platina yang berusaha menahan isak tangis. Ia berjalan mendekat ke tubuh serigala itu. Api langsung menyelimutinya dengan rasa dingin yang menusuk tulang.

"Tunggu!" Aren ikut ke dalam kobaran api yang melilit Platina. Mereka berdua berada dalam keadaan dingin yang biasa mereka rasakan. Sekejab kemudian, rasa dingin itu menghilang.

Platina membuka mata. Suara binatang malam menghiasi malam hari di kamar Aren. Rasanya sudah sangat lama ia tidak kembali ke sini. Ia melihat barang-barang di ruangan itu dengan perasaan ganjil. Perang membuat segalanya tampak berbeda. Lupus masih belum berubah menjadi figurin. Tiba-tiba, Aren memegang tangan Platina.

"Kita harus kembali. Masih ada waktu beberapa hari di Algaria sebelum kita pulang."

"Tidak, Aren. Aku tetap tidak ingin ikut perang. Tidak ada alasan bagiku untuk ikut."

Aren meremas lengan Platina dengan kuat sampai Platina memekik kesakitan.

"Kau yakin, Pat?" tanya Aren, "kau jahat."

Hati Platina tertohok. Tapi, ia tetap pada pendiriannya. "Terserah kau saja."

"Aku tahu kenapa kau tidak ingin ikut. Kau takut kan, Pat? Sebenarnya bukan kematian orang lain yang membuatmu cemas. Tapi, kematianmu sendiri," kata Aren sinis, "kau egois."

Bagai dihantam batu, mendadak Platina merasa pusing. Amarah mulai masuk ke pikirannya. "Apa? Kau berani menuduhku begitu? Bagaimana dengan dirimu sendiri? Kau ikut perang hanya karena ingin terlihat keren di depan Ruby."

"Telan omong kosongmu. Aku tidak pengecut seperti dirimu."

"Kalau kau mati, bagaimana dengan ayahmu? Kau tidak memikirkan satu pun orang di dunia nyata. Ini duniamu," seru Platina. Air mata kembali menggenangi pelupuk matanya.

Aren melepaskan genggaman tangannya. Ia mendekati Lupus dengan tetap memandang Platina. Wajahnya mengeras menahan emosi.

"Aku akan pergi ke tempat yang menurutku penting."

"Kau bodoh. Banyak orang yang membutuhkanmu di sini."

"Banyak orang yang membutuhkanmu di Algaria, Pat."

Platina menggeleng. "Tak ada aku pun, Algaria akan tetap sama." Setetes air mata mengalir ke pipinya.

"Aku baru tahu kalau kau pecundang. Kau akan mati di sini tanpa kejayaan." Aren berkata sinis sambil mendekatkan tubuhnya kepada Lupus.

Dalam sekejab, mereka berdua menghilang. Platina hanya bisa memandang nanar tempat kosong dimana Aren sebelumnya berada. Tetes demi tetes air mata jatuh dari pelupuk mata. Pikirannya kosong. Ia tidak bisa berpikir lagi.

Malam itu, di kamar Aren, yang bisa Platina lakukan hanya menangis. Berharap rasa sakit di hati segera hilang dan sesak tak lagi menetap di dadanya. Seandainya ini semua hanya mimpi, apakah ia akan lebih bahagia?








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro