Chapter 32 - Pejuang
Detak jantung Platina terdengar begitu keras di telinganya. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Pertempuran akan dimulai. Manusia melawan manusia. Perlukah ini terjadi?
Langit masih gelap. Satu bola cahaya putih yang melayang di antara dua kubu itu, tidak dapat menerangi mereka semua sepenuhnya. Platina tidak dapat memerkirakan jumlah prajurit yang ada di belakang Peython.
'Corby, ambil peta di gesperku, lalu cepat pergi ke Tebing Allbion. Katakan pada penjaga di sana, kita butuh bantuan segera. Jangan sampai Peython tahu.'
Platina mengernyit mendengar suara Eryl yang tiba-tiba terdengar dalam benaknya. Ia melihat Corby dengan cepat mengambil peta dan melesat pergi ke dalam kegelapan. Platina tidak dapat melihat arah pergi temannya itu.
"Huh, rupanya ada yang kabur karena tidak berani melawanku," kata Peython meremehkan.
Platina menghela napas lega karena Peython tidak mengetahui rencana mereka. Namun, kelegaan itu hanya sesaat, ketika sekelompok prajurit berlari ke arah mereka dengan senjata terangkat tinggi.
Mereka semua menangkis serangan dari para prajurit. Masing-masing memiliki musuh yang harus dikalahkan. Aren menebas tangan satu prajurit dan beralih ke prajurit selanjutnya. Platina menangkis pedang dari lawannya. Ia ragu-ragu untuk membunuh. Mendadak, kakinya terasa perih. Ia menoleh dan melihat satu prajurit berhasil melukainya. Belum sempat pedangnya terangkat, Flavian sudah memenggal kepala prajurit itu.
"Jangan konyol. Bunuh mereka sebelum kau yang mati."
Platina mengernyit melihat kepala menggelinding di depannya. Ia memalingkan muka. Dengan kekuatan hati yang dipaksakan, Platina berusaha membunuh prajurit lain yang menyerangnya. Dua prajurit berhasil ia tusuk dadanya, namun tangannya kembali tersayat pedang prajurit ketiga.
"Gunakan sihir," kata Eryl yang sudah ada di sampingnya. Ia mengayunkan pedang dan menebas kepala dua prajurit sekaligus. "Protege corpus. Hati-hati, sihir ini menyerap tenagamu setiap terkena senjata, namun kau tidak akan terluka."
Platina mengucapkan mantra itu dan merasakan dirinya seperti dilapisi tameng tak kasat mata. Ia mendapati dirinya tak bisa ditusuk oleh pedang ketika seorang prajurit mengayunkan senjata ke perutnya. Platina menjadi bersemangat. Ia menusukkan pedangnya ke leher lawan di depannya. Ia mengernyit sejenak saat darah segar mengaliri pedangnya.
Pertempuran itu terus berlanjut sampai matahari menampakkan semburat cahayanya. Keringat bercucuran membahasahi dahi Platina. Tangannya terasa berat karena terus-menerus mengayunkan pedang. Ia melihat ke arah teman-temannya. Keadaan mereka tak lebih baik darinya, kecuali Eryl dan Braz yang terlihat masih tetap bugar. Platina baru menyadari bahwa Peython tidak turun ke medan perang. Prajuritnya sangat banyak, sangat tidak seimbang. Semakin lama mereka bertarung, Platina semakin merasa akan kalah.
Aren sudah berkali-kali beristirahat mengayunkan pedangnya. Ia dilindungi oleh Dave dan Derrick ketika berhenti. Platina juga melakukan hal yang sama dengan Flavian. Tumpukan mayat prajurit berserakan. Bau darah yang amis menguar ke udara. Namun, prajurit yang lain masih terus berdatangan.
Awra bekerjasama dengan Xavier untuk membunuh lawan. Xavier menyerang dari depan agar lawan melemah, sedangkan Awra diam-diam akan menggorok leher mereka dari belakang. Mereka berdua tidak menggunakan perlindungan sihir. Xavier menolak sihir yang ditawarkan oleh Eryl walaupun Awra memaksanya. Karena itulah, Awra juga tidak menerima perlindungan dari Eryl.
Xavier menghadapi empat prajurit sekaligus, ia menangkis pedang-pedang yang terhunus ke arahnya sendirian. Awra masih berusaha membunuh dua prajurit yang menghalanginya membantu Xavier. Centaur itu dengan susah payah menghalangi logam panjang yang berusaha melukai dirinya.
Satu prajurit mendadak muncul dari belakang Xavier. Ia menyabetkan senjatanya ke punggung Centaur itu. Refleks Xavier terlambat. Logam itu mengoyak punggungnya. Xavier mengerang sambil merapatkan giginya untuk menahan rasa sakit. Sesaat, ia melihat kilatan pedang terayun ke kepalanya. Xavier menghindar, namun tak sempurna. Pedang itu berhasil menusuk cukup dalam pundak kanannya.
Melihat celah itu, prajurit yang lain semakin bersemangat untuk mengalahkan Xavier. Si Centaurus berusaha mengelak dari serangan bertubi-tubi yang ia dapat. Awra tidak dapat membantunya karena dikepung oleh lima prajurit. Xavier berdecak kesal saat kakinya berhasil dilukai. Keseimbangannya goyah. Dalam satu kedipan mata, ia melihat sebuah pedang terhunus ke dadanya.
Tak ada lagi rasa sakit yang dirasakannya. Xavier mengerjapkan mata. Tubuhnya limbung. Hal terakhir yang dapat ia dengar adalah Awra yang meneriakkan namanya.
"Xavier!"
Awra berteriak sekuat yang ia bisa. Lima prajurit di depannya terkejut mendengar kekuatan suaranya. Belum sempat mereka bereaksi, Awra sudah menyayat leher mereka satu per satu. Awra langsung berlari ke arah Xavier. Dua prajurit menghadangnya. Dalam satu ayunan, ia menusuk leher salah satunya. Awra memutar badan, dari belakang, ia menebas kepala prajurit sisanya.
Napas Awra tercekat saat melihat tubuh Xavier tergeletak tak bernyawa di tanah. Debu dan tanah menyelimuti Centaurus itu. Cairan kental mengalir dari luka-luka yang masih terbuka lebar. Air mata mulai menggenangi mata Awra. Pandangannya berubah nanar. Ia mendongak dan melihat tiga prajurit akan menyerangnya.
Awra mengeluarkan pisau kecil dari balik jubahnya. Dengan cepat, ia menancapkan pisau itu ke belakang leher tiga lawannya. Bola mata kuningnya berkilat. Ia membunuh dengan buas semua prajurit yang mendekati mayat Xavier. Rasa sesak di dadanya masih belum bisa terbalaskan. Ia ingin melampiaskan semuanya dengan lebih banyak membunuh.
Matahari mulai terlihat di ufuk timur. Platina dan teman-temannya sudah merasa sangat lelah. Xavier telah tewas. Bukan tidak mungkin setelah ini mereka akan menyusulnya.
Suara derap langkah kuda mendadak terdengar. Mereka semua menghentikan pertempuran untuk melihat asal dari suara itu. Dari sebelah timur, Corby berlari menuju ke arah mereka. Platina bisa melihat senyumannya yang lebar walaupun jaraknya jauh.
Satu orang berkuda muncul dari balik bukit di belakang Corby, diikuti dengan satu orang lain yang membawa bendera berkibar dengan gambar burung membawa pedang di kedua sayapnya. Tak lama, deretan pasukan berkuda lainnya terlihat.
"Corby berhasil," kata Braz. Platina merasa senang mendengarnya. Corby berhasil meminta bantuan dari Allbion. Mereka punya kesempatan menang lebih besar sekarang.
"Dia hebat," seru Aren. "Aku yakin dia pasti berhasil." Aren melambaikan tangannya menyambut kedatangan Corby dan pasukan berkuda di belakangnya.
Corby sangat bangga karena berhasil melaksanakan tugasnya. Ia berlari dengan langkah ringan ke arah teman-temannya walaupun kakinya sangat lelah setelah berlari terus tanpa henti sejak beberapa jam yang lalu. Para prajurit Peython mulai tersadar dengan kehadirannya. Sebelum para prajurit itu menghampirinya, Corby sudah melempar belati kecilnya ke arah tiga prajurit di depannya. Mereka langsung terjatuh karena luka yang mereka terima di leher.
Ia tersenyum lebar hingga rasa sakit menghujam dadanya. Corby menghentikan langkah dan merasakan sesuatu yang hangat merembes ke bajunya. Pemahaman menjalar ke tubuhnya. Ia berusaha tetap tersenyum saat melihat teman-temannya membelalakkan mata. Senyuman paling tulus yang dapat ia berikan di saat-saat terakhir kehidupannya.
"Tidak! Corby!" seru Platina dan Aren bersamaan. Mereka sudah akan berlari menuju temannya itu tetapi dihentikan oleh Dave dan Derrick.
"Hentikan! Berbahaya bagi kalian untuk ke sana. Peython bisa dengan mudah membunuh kalian seperti Corby barusan," kata Derrick.
"Sial, biar aku bunuh Peython," geram Aren.
"Serang mereka," teriak Peython marah. Ia baru saja menyihir anak panah dan membidikkannya kepada Corby. Ia murka saat melihat pasukan Allbion datang. Peython menarik pedangnya dan menyerang gadis berambut emas yang berada paling dekat dengannya.
Awra berkelit saat menyadari Peython menyerangnya. Di waktu yang bersamaan, pasukan Allbion turun dari bukit dan bertempur dengan prajurit Peython. Pertarungan pun berlanjut.
Aren berlari menuju Awra dan Peython yang mulai bertarung. Ia menggantikan Awra untuk membalaskan dendamnya kepada pembunuh Corby. Awra kembali berhadapan dengan para prajurit dan membunuh mereka sebanyak yang ia mampu.
"Kau tidak akan menang, bocah kecil," kata Peython meremehkan.
"Telan saja omongan besarmu," balas Aren, "kami akan menang. Allbion ada di pihak kami. Lebih baik kau menyerah."
Peython meludah ke tanah. "Dasar bocah."
Mereka saling mengangkat pedang dan memukulkannya satu sama lain. Suara denting logam pedang perak dan hitam yang beradu itu terdengar nyaring. Mereka bertarung dengan kecepatan tinggi. Aren harus berkonsentrasi pada pedang hitam lawannya agar tidak salah langkah. Mereka berdekatan selama sedetik kemudian melepaskan diri. Mereka saling memutar lalu kembali menyerang.
Badan Peython yang lebih tinggi membuatnya sedikit unggul di atas Aren. Ia dapat mementahkan serangan Aren dengan mudah. Aren tidak mau kalah, dengan serangan berkelit, ia berusaha melukai bagian tubuh Peython yang tidak terlindungi baju perang. Namun, Peython justru memanfaatkan ini untuk menyerang balik Aren. Tangan kanan Aren tersayat pedangnya. Ia meringis kesakitan. Pedang Peython bisa menembus sihir pelindungnya.
Aren merasakan tangannya perih dan panas. Ia curiga Peython melumuri pedangnya dengan racun. Aren tidak pernah merasakan tersayat pedang sesakit ini. Ia merasa kesal ketika melihat Peython menyunggingkan senyum. Aren mengayunkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Dadanya terasa sesak. Xavier dan Corby telah mati karena pertempuran ini. Aren merasakan amarah memenuhi hatinya.
Peython menangkis serangan Aren dengan tenang. Ia menjegal kaki Aren sampai kehilangan keseimbangan. Aren menggeram kesal. Tak ada waktu untuk mengangkat pedang. Pedang hitam terayun ke wajahnya. Namun, dihentikan oleh pedang lain.
Flavian menyentakkan pedang hitam Peython. Matanya memancarkan amarah. Ia menyerang Peython dengan serangan-serangan rumit. Peython sedikit terkejut dengan serangan yang ia dapatkan. Ia berusaha menghindari serangan dari Flavian.
Aren berusaha berdiri. Kakinya gemetar setelah dijegal Peython. Pelindung besi yang digunakan Peython memukul telak tulang keringnya. Ia melihat Flavian bertarung dengan Peython. Cairan merah mengalir dari kaki kanan Flavian. Beberapa serangan kemudian, pedang hitam kembali menemukan mangsanya. Pedang Flavian terjatuh karena lengan kanannya teriris dalam. Peython menusuk lengan kiri Flavian dengan mudah namun oa menolak untuk berteriak. Ia berusaha untuk mengambil pedangnya, tapi ditendang jatuh oleh Peython.
Luapan emosi kembali muncul di hati Aren. Aren memaksakan kakinya untuk bergerak membantu Flavian saat Peython mengangkat pedangnya. Tangan kanannya yang nyeri tidak diacuhkan. Ia memegang pedangnya dengan kedua tangan. Dengan luapan penuh rasa marah dan keinginan untuk segera menghilangkan rasa sesak di dada, Aren menusukkan pedangnya ke punggung Peython.
Pedangnya terasa membentur baju besi Peython. Sebelum Peython sempat memutar tubuhnya, Aren mengerahkan kekuatan sihirnya. "Firea merea." Aren merasakan panas menjalar dari sabuk gespernya. Pedang perak Aren diselimuti api. Ia berteriak dan menghujamkan pedangnya lebih dalam sampai menembus baju besi.
Peython tidak sempat berteriak. Ia hanya bisa terbelalak melihat pedang mencuat dari dadanya. Flavian memandang Peython dengan tatapan puas. "Mati kau."
Aren mencabut pedangnya sekuat tenaga. Seketika, Peython ambruk ke tanah di sebelah Flavian. Tubuh lelaki itu mengejang sekali kemudian berhenti. Tanah di bawahnya berubah merah. Pemimpin perang itu tewas.
Aren merasa tubuhnya melemah. Ia jatuh terduduk. Tangan kanannya kembali berdenyut menyakitkan.
"Tanganmu?" tanya Aren lemah pada Flavian.
Si rambut pirang hanya menggelengkan kepala lemah. Napasnya terengah. Kaki dan tangannya menolak untuk digerakkan. Pedang Peython rupanya dilapisi racun yang melumpuhkan. Wajah Flavian yang putih berubah menjadi lebih pucat.
"Pemimpin kalian sudah mati," seru salah seorang pasukan berkuda dari Allbion. "Ikutlah bersama kami dengan menjadi tawanan atau kalian mati saat ini juga."
Pasukan Peython seketika hancur. Sebagian bersedia menjadi tawanan, sebagian lagi tetap berjuang untuk melawan, sedangkan yang lainnya kabur entah kemana. Ruby berlari menghampiri Aren dan Flavian. Ia terkejut melihat tubuh tak bernyawa Peython di dekat mereka.
"Kau yang membunuhnya?"
Aren hanya nyengir lemah. "Tidak bila tanpa Flavian. Kami butuh bantuan. Racun dari pedang Peython semakin parah. Ini tidak bisa disembuhkan dengan sihir biasa."
Ruby berdiskusi dengan Dave sejenak, kemudian Dave memanggil bantuan beberapa orang dari Allbion. Mereka menaikkan Aren dan Flavian ke atas kuda.
"Tunggu dulu," kata Flavian lemah, "aku ingin melihat Corby."
Aren kembali merasakan sesuatu mendesak dadanya ketika mendengar nama Corby disebut. Mereka menuju ke arah bukit. Matahari sudah bersinar sepenuhnya. Cahaya matahari memanaskan sisa-sisa pertempuran. Darah, senjata, mayat, tergeletak dimana-mana. Beberapa prajurit bahkan masih mengerang kesakitan, menandakan masih adanya kehidupan.
Sampai di kaki bukit, Aren melihat Platina dan Awra saling berpelukan. Derrick melebarkan sebuah kain panjang. Eryl dan Braz sedang duduk sambil mengucapkan sesuatu di atas dua tubuh tak bernyawa.
"Corby," kata Aren pelan, "Xavier."
Wajah kedua temannya itu masih sama seperti saat mereka hidup. Bahkan, senyuman Corby masih tetap terpancar dari bibirnya. Tubuh Centaurus Xavier terlihat gagah walaupun terdapat beberapa luka di sana. Pandangan Aren seketika memudar. Ia mengusap matanya dengan tangan kiri.
Mereka memenangkan perang. Peython mati. Mereka aman untuk sementara. Tapi, tidak akan ada lagi nasehat menarik dari Xavier. Tidak akan ada lagi senyuman ceria dari Corby. Sungguh besar harga yang harus dibayar demi sebuah pertempuran.
"Perang hanya menimbulkan kesakitan," kata Platina lirih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro