Chapter 28 - Bayang-Bayang
Sesosok pria berjubah putih berdiri di tengah padang rumput hijau yang sangat rindang. Kabut tipis memenuhi padang rumput sehingga matahari tak tampak. Platina memandang sosok di depannya dengan heran. Ia merasa mengenal pria itu namun ia tak yakin. Semilir angin berhembus menerpa mereka, tapi anehnya, rambut hitam pendek pria itu tetap rapi seakan tak terpengaruh oleh angin. Platina berjalan perlahan mendekati pria itu yang wajahnya tidak terlihat karena membelakanginya.
Platina terkesiap ketika pria itu menoleh. Rasa rindu dan bahagia memenuhi hatinya. Ia ingin memanggil nama pria itu namun suaranya tertahan di tenggorokkan. Ia tidak bisa bicara walau sekeras apapun ia berusaha. Mulutnya hanya membuka dan menutup dengan bisu.
'Pat,' panggil pria itu tanpa suara, hanya lewat pikiran.
Platina bergidik ketika benak pria itu menyentuh benaknya. Rasanya seperti badannya diguyur satu ember penuh air es. Benak pria itu terasa dingin namun menenangkan.
'Ayah?' tanya Platina melalui pikirannya. 'Benarkah itu kau?'
Pria itu tersenyum sedih. 'Pat, sayang. Maafkan ayah. Aku telah menjerumuskanmu ke dalam konflik duniaku. Seharusnya aku bisa mencegah semua ini terjadi, tapi aku gagal. Kini, aku hanya bisa berusaha menyelesaikan apa yang telah aku mulai.'
Platina yang ingin berlari memeluk ayahnya tiba-tiba berhenti setelah mendengar perkataan ayahnya.
'Apa maksud ayah? Aku tidak mengerti. Bukankah ayah sudah mati?' tanya Platina, 'aku punya segudang pertanyaan untukmu, apakah kita bisa bersama lagi seperti dulu?'
'Tidak, Pat,' jawab pria itu sambil menggeleng sedih, 'waktuku hanya sedikit. Walau aku sangat ingin tinggal bersama denganmu dan ibumu lagi, tapi tangan takdir telah memisahkan kita.'
Air mata mulai menggenangi mata Platina. 'Aku benci takdirku ini. Ayah tidak memberitahuku asal ayah. Dunia Algaria? Kenapa ayah mengirimku dan Aren ke sini? Lalu, Ruby? Awra? Untuk apa? Bagaimana bisa Algaria memberikan harapannya pada keempat remaja seperti kami? Apakah ini semua adalah rencanamu?'
Platina terengah saat air mata mengalir di kedua pipinya. Ia mengirimkan gambaran kekesalan dan kesedihan dari pikirannya pada pria itu. Tangannya gemetar menahan luapan emosi yang begitu tiba-tiba.
'Tenanglah,' kata pria itu tenang, 'aku tidak akan melepaskan kalian tanpa perlindungan. Gunakan baik-baik kelima batu yang kutitipkan pada kalian.'
Pria itu membuka telapak tangannya dan memperlihatkan bayangan lima buah batu yang berbeda warna.
'Dua perak, satu merah, satu emas, dan satu biru,' lanjutnya sambil menutup telapak tangannya sehingga bayangan kelima batu itu menghilang. 'satukan semuanya dan kembalikan kesejahteraan Algaria. Maafkan aku yang terdengar sangat egois. Tapi, hanya kalian yang aku percaya untuk menyelamatkan Algaria."
Dahi Platina berkerut. 'Tunggu, Ayah. Lima? Sejauh ini aku baru tahu hanya ada empat batu. Aku belum menemukan pemilik batu biru.'
Kabut tipis perlahan menyelimuti mereka berdua sehingga tak terlihat lagi lapangan rumput tempat mereka berada.
'Kau hanya perlu membuka matamu untuk melihatnya, Pat,' kata pria itu sambil tersenyum, 'waktuku tinggal sedikit lagi. Dengarkan aku, sayang.'
Kabut mulai berputar-putar menyelubungi badan mereka.
'Musuh terbesar adalah kekuatan pikiran,' lanjutnya, 'perangkap waktu datang dari masa lalu.'
Platina mengernyit bingung. 'Apa maksudmu, Ayah?'
Pria itu menggelengkan kepala. 'Bukalah mata kalian.'
Platina semakin sulit melihat wajah ayahnya karena kabut sudah hampir sepenuhnya menutupi tubuh mereka. Ia merasa tidak mengerti dengan perkataan ayahnya. Sangat banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan. Namun, hanya satu kalimat yang bisa ia utarakan dari pikirannya.
'Ayah, jangan pergi.'
'Aku tidak akan pernah pergi selama kau masih mengingatku,' kata pria itu. Suaranya makin terdengar samar di telinga Platina.
'Ayah,' isak Platina.
Wajah pria itu semakin tidak terlihat. Seulas senyum sempat terlihat dari balik kabut yang menutupinya.
'Percayalah, namun hati-hati dengan siapa kau percaya.'
"Ayah!" teriak Platina.
Akhirnya, ia bisa mengeluarkan suaranya. Namun, hal yang pertama dapat dilihatnya adalah kegelapan.
"Pat, kau tidak apa-apa?"
Platina menoleh dan melihat samar-samar wajah Ruby yang diterangi oleh cahaya lilin di pojok ruangan.
"Aku tidak apa-apa," jawab Platina sambil mengusap air mata yang masih tertinggal di pelupuk matanya. Hatinya terasa kosong setelah menyadari pertemuan dengan ayahnya hanya mimpi. "Kita ada dimana?"
Platina baru bisa melihat dengan jelas tempatnya berada sekarang. Platina dan Ruby ada di sebuah ruangan batu berbentuk persegi. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh satu cahaya lilin. Ada sebuah pintu besar terbuat dari besi yang tebal dengan celah sempit di bagian paling atas. Cahaya remang-remang terlihat dari sana. Ruangan itu sempit, tapi setidaknya mereka berdua bisa bediri dan merentangkan kedua tangan lebar-lebar tanpa saling menyentuh.
"Kastil Sang Master di Sadergh," kata Ruby lirih, "kita tertangkap."
"Apa? Bagaimana bi-Aduh." Platina mengangkat kepalanya dari posisi tidur dan merasakan bagian belakang kepalanya terasa berdenyut menyakitkan.
Ruby memandanginya dengan khawatir. "Kau dipukul dari belakang oleh prajurit yang menyerang kita bersama pasukannya. Aku berusaha menyelamatkanmu tapi aku lengah. Ketika aku sadar, kita sudah ada di sini. Aku sempat mendengar dua orang prajurit membicarakan kita dari luar pintu itu jadi aku tahu kita ada di Sadergh. Kita tidak punya senjata untuk melawan mereka, senjata kita dirampas."
Platina mendengarkan penjelasan Ruby sambil mengusap bagian belakang kepalanya dengan rambut untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakannya. Ia merasa tubuhnya tak terlindungi karena pedangnya tidak ada disampingnya. Bagaimana kita bisa keluar dari sini tanpa senjata, batinnya putus asa.
"Sudah berapa lama kita di sini?" tanya Platina.
Ruby terdiam sejenak. "Sepertinya satu hari, tadi aku sempat merasakan panas cahaya matahari masuk mengenaiku dari jendela kecil di atas tembok batu ini. Aku berusaha untuk meraihnya untuk melihat keadaan diluar, namun jendela itu terlalu tinggi."
Platina mengangguk perlahan. "Bagaimana keadaan teman-teman kita?"
"Aku berharap mereka semua selamat," jawab Ruby sambil menghela nafas berat. "Begitu juga Aren," tambahnya lirih.
"Aren?" tanya Platina tiba-tiba.
Ruby tergagap. "Eh, ya..emm..semuanya selamat termasuk Aren, begitu maksudku." Ia memalingkan muka dari Platina.
Platina memiringkan kepala sambil berpikir. Lalu, ia tersenyum mengerti dan duduk di samping Ruby. "Aku tahu kalau kau tertarik pada Aren."
Ruby menoleh pada Platina. Wajahnya yang terlihat lucu karena cemas, membuat Platina ingin tertawa. Tidak biasanya Ruby dapat menampakkan ekspresi wajahnya. Dasar cinta, kau dapat merubah segalanya, batin Platina.
"Tapi, tapi kau-?" tanya Ruby salah tingkah, "kau bukan kekasihnya?"
Platina tertawa mendengar pertanyaan Ruby. "Aku paham kenapa kau bisa berpikir begitu," jawab Platina, "tapi bukan, aku bukan kekasihnya. Aku dan dia memang sudah bersama sejak kecil. Tidak ada apa-apa diantara kita selain perasaan sebagai sahabat. Aku juga tidak ingin Aren menjadi kekasihku atau sebaliknya. Tipe kita berbeda." Platina terkekeh.
Pandangan Ruby menyiratkan kelegaan. Platina menggenggam tangan Ruby. "Aku tahu kau masih belum percaya sepenuhnya, tapi yakinlah, Aren juga menyukaimu."
Dalam kegelapan sekalipun, Platina dapat melihat wajah Ruby yang bersemu merah. "Kau yakin?" tanyanya lirih. Ruby terdiam sejenak. "Tapi, ini tidak mungkin terjadi."
Ruby melepaskan pegangan tangan Platina dan merengkuh kedua kakinya. Pandangannya menerawang.
"Kenapa?" tanya Platina bingung. "Bukankah kalian berdua saling menyukai?"
Ruby semakin mendekatkan kakinya ke dadanya. "Entahlah, ini rumit."
Platina ingin menanyakan hal yang membuat Ruby bingung. Namun, suara langkah berderap yang terdengar dari kejauhan, memaksa Platina untuk menahan rasa penasarannya. Ia berdiri dan mendekat ke pintu, begitu juga Ruby.
Mereka berdua menempelkan telinga ke pintu untuk mencari tahu apa yang terjadi. Suara langkah berderap itu semakin mendekat.
"Kau yakin membawa sasaran yang benar?" tanya sebuah suara dari balik pintu.
Platina mengernyit mendengar suara itu. Suaranya sangat besar dan dalam namun menghanyutkan. Akan sangat berbahaya berbicara dengan orang ini, batin Platina.
"Tentu saja, Master Peython. Kali ini kami yakin."
Platina dan Ruby berpandangan panik. Peython, tangan kanan Raja Nero yang paling sadis dan kuat, ada di balik pintu itu.
"Aku ingin melihat mereka," kata Peython dingin.
Platina mendengar suara gembok dibuka dan rantai ditarik. Ia buru-buru menggamit lengan Ruby agar menjauhi pintu dan menariknya duduk.
"Kita harus berpura-pura tidak tahu apa-apa. Kalau dia belum tahu nama kita, jangan sebutkan," bisik Platina cepat.
Ruby sempat mengangguk sebelum pintu besi itu ditarik membuka dan menampakkan lima prajurit serta seorang pria bertubuh tegap yang memakai jubah hitam panjang menjuntai. Obor-obor yang menyala di luar ruangan itu, membuat wajah mereka menjadi terlihat semakin kejam.
Platina menelan ludah. Ia menahan diri agar tidak gemetar. Platina merasakan Ruby tetap tenang disebelahnya sehingga ia berusaha untuk menirunya.
Pria berbadan tegap itu bergerak masuk diikuti oleh seorang prajurit yang membawa obor untuk menerangi ruangan. Platina melihat pria itu bertubuh tinggi dan tegap. Diluar dugaan, badannya tidak besar ataupun terlihat berotot namun sangat proporsional dan terlihat kuat. Rahangnya berbentuk persegi, mulutnya tipis, alisnya meruncing tajam, dan tatapan bola matanya yang berwarna biru tua, menusuk siapapun yang berani memandangnya. Pakaiannya yang hitam sempurna menambahkan kesan kuat.
"Aku adalah Master Peython." Pria itu memperkenalkan diri sambil memandang Platina dan Ruby dengan tatapan yang tak bisa ditebak.
Platina dan Ruby tidak membalas perkataan Peython. Mereka menutup mulut rapat-rapat sambil membalas pandangan Peython, sekejam yang mereka bisa. Namun, sepertinya sia-sia, karena mata Platina terasa panas ketika memandang lurus tepat di bola mata biru milik Sang Master.
"Platina dan Ruby," lanjutnya dengan seringai penuh kemenangan, "waktu kalian sudah habis."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro