Chapter 26 - Tekad
Angin kencang meniup poni Platina sehingga membuatnya harus berkali-kali menyibakkan rambut dari matanya. Suara deru angin serasa memenuhi telinganya. Platina menjejakkan kedua kakinya kuat-kuat ke tanah agar tidak terlempar oleh kekuatan angin. Bebatuan kecil terlempar ke segala arah karena hembusan angin. Ia berpegangan tangan dengan Aren sejak kembalinya mereka ke Algaria sekitar sepuluh menit yang lalu.
Mereka berada di sebuah padang luas penuh batu dan sedikit rumput, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Platina berpikir, pastilah teman-temannya telah berjalan jauh untuk mencapai Allbion, sehingga Lupus membawa mereka ke tempat ini. Platina mengedarkan pandangan ke seluruh lapangan, sekuat yang ia bisa karena tamparan angin pada wajahnya, memaksanya untuk terus menundukkan kepala.
Kibasan badai malam itu, membuat Platina dan Aren sulit untuk berbicara. Mereka tidak dapat berkomunikasi bahkan dalam jarak segenggaman tangan. Platina tidak dapat menemukan teman-temannya sejauh ia memandang. Ia berpikir sambil memejamkan mata. Bagaimana cara kami menemukan mereka?
Platina terus berpikir keras sementara Aren tetap menjaganya bisa berdiri tegak dengan menggenggam erat tangannya. Tiba-tiba, sebersit ingatan muncul di pikirannya. Ia tersenyum simpul merayakan keberhasilannya menemukan ide.
Dengan mudah, Platina menjangkau kekuatan sihirnya, lalu membuka benak seluas yang ia bisa. Ia merasakan kumpulan hewan sedang bersembunyi di balik bebatuan, sedangkan sekumpulan lainnya berteriak dengan bahasa hewan karena diterbangkan angin. Platina juga bisa merasakan benak kehidupan setiap tumbuhan yang ada di padang itu, sebagian besar hidup, hanya sedikit yang sekarat karena angin. Hantaman pemahaman yang luas akan banyaknya makhluk hidup di padang, membuat Platina sedikit pusing. Namun, dengan penuh harap, ia tetap bertahan untuk menemukan benak Eryl agar Eryl bisa menolong mereka dari badai yang mengukung ini.
Platina bisa merasakan benak Aren. Ia berkonsentrasi pada pikirannya untuk mengirimkan pesan.
'Aku mencari benak Eryl, bantu aku,' kata Platina dari pikirannya, langsung menuju pikiran Aren tanpa perlu berbicara mengeluarkan suara.
'Wah, hebat, kau bisa melakukan ini,' kata Aren, 'eh, baiklah, aku akan membantumu." Aren buru-buru menambahkan setelah merasakan tekanan pikiran Platina yang membuatnya sedikit kesakitan.
Mereka berdua meluaskan benak secara hati-hati untuk mencari keberadaan Eryl. Sebenarnya, sangat rentan untuk melakukan hal ini di padang terbuka tak dikenal, karena bisa jadi ada lawan sedang bersembunyi di sana. Benak yang terbuka sangat mudah diserang, apalagi oleh penyihir.
Selang beberapa saat, Platina merasakan kehadiran sebuah benak yang aneh, tidak seperti manusia, tapi sama dengan benak yang menyentuh pikirannya saat di rumah Xavier. Dengan bersemangat, Platina mengarahkan pikirannya ke sana dan mempersempit jangkauan benaknya, sehingga hanya berkonsentrasi pada satu benak itu saja.
'Eryl, tolong kami,' seru Platina sambil mengirimkan tekanan pada kalimat itu. Platina merasa benak Eryl sedikit menutup diri, lalu membuka kembali ketika mengetahui dirinya adalah Platina.
'Platina, kalian dimana? Kirimkan padaku gambaran tempat kalian. Aku akan segera ke sana.'
Platina mengirimkan gambaran tempat mereka berada saat itu. Eryl mengiyakan kiriman pikiran itu, kemudian memutuskan kontak dengan Platina.
'Kenapa ia memutuskan hubungan benaknya?' tanya Aren pada Platina, yang sudah mengendurkan kekuatan sihirnya sehingga hanya bisa berkomunikasi dengan Platina.
'Entahlah, mungkin untuk menghemat tenaga. Lagipula Eryl cukup mengerti daerah ini karena ia tidak menanya-,'
Kata-kata dari benak Platina terhenti. Aren memberi kode pada Platina melalui pandangan agar melanjutkan kalimatnya. Namun, Platina tetap bungkam, dengan mata melebar ketakutan.
Platina melihat sesosok hewan berbulu tinggi dan besar, sekitar sepuluh kali besar Aren dan tiga kali tingginya. Hewan itu berjalan perlahan mendekati mereka dari arah belakang Aren, seakan tidak terganggu dengan badai angin yang masih berlanjut. Bahkan, di kegelapan malam, Platina bisa melihat sosok mengerikan itu dengan bantuan cahaya bulan.
Telunjuk Platina menunjuk ke arah belakang Aren sehingga membuat Aren menoleh kebelakang. Tanpa basa-basi, Aren segera menarik tangan Platina untuk berlari menjauhi sosok hewan besar itu. Mata hewan itu hanya berupa garis tipis berwarna merah. Matanya yang merah terlihat bercahaya di tengah kegelapan.
Platina berlari mengikuti Aren di depannya. Ia melihat kebelakang dan menemukan hewan itu mengikuti mereka dengan langkahnya yang lebar. Platina dan Aren harus berlari melawan arah angin. Mereka harus berjuang keras untuk terus maju kedepan dengan cepat.
"Platina, Aren, cepat kemari!"
Aren berlari ke arah kanan menuju arah suara. Platina mengikutinya menuju balik tebing batu tinggi. Di sana mereka menemui sebuah bola cahaya putih melayang sekitar satu setengah meter dari tanah. Dibalik cahaya itu, Platina melihat dua wajah samar yang ia kenal.
"Corby, Flavian," seru Platina terengah. "Mana Eryl? Kami belum bertemu dengannya, yang ada justru hewan besar di belakang kami."
Corby melihat ke balik tebing, terkesiap, lalu kembali menoleh kearah teman-temannya. "Bagus sekali oleh-oleh yang kalian bawa," kata Corby, "tapi tidak dengan penampilan kalian."
Platina dan Aren hanya nyengir. Rambut mereka berdua berantakan terkena angin sehingga membuat wajah mereka terlihat aneh. Platina buru-buru membenarkan rambutnya agar rapi. Angin tidak dapat melewati tebing batu tinggi ini sehingga mereka aman dari amukannya.
"Kita harus bergerak dari sini sebelum hewan itu menemukan kita," ujar Flavian dingin, "Eryl sedang mencari kalian namun sepertinya ia pergi ke arah yang berbeda. Di tempat ini semua bisa terlihat sama."
"Tunggu dulu, dimana yang lain?" tanya Aren. "Ruby? Awra? Xavier? Dave dan Derrick? Eh, hei, tunggu kami!"
Flavian sudah mulai berlari tanpa menunggu pertanyaan Aren selesai. Aren berdecak kesal namun langsung mengikutinya, begitu juga Platina dan Corby. Mereka menyusuri jalan di balik tebing sehingga angin tidak menerpa mereka dengan keras. Bola cahaya yang melayang-layang di depan Flavian cukup untuk menerangi jalanan yang mereka lewati.
"Selama empat belas hari kalian pergi, kami sudah melewati lebih dari setengah jalan menuju Allbion," kata Flavian sambil terus berlari. "Saat ini, kita sudah semakin dekat dengan kota Sadergh. Kalian sudah liat tandanya, tanah yang mulai kering, angin kencang, serta batu dan pepohonan semakin sedikit."
"Kami berpisah jalan dengan yang lain untuk mencari jalan paling aman menuju Allbion. Ternyata kami terjebak oleh angin di sini. Saat Awra memberikan informasi pada Eryl bahwa mereka sudah menemukan jalannya, ternyata kau juga menghubungi Eryl dan meminta bantuan," sambung Corby dari belakang. "Eryl pasti bisa menjaga diri."
Platina mencerna penjelasan dari kedua temannya. Semakin dekat dengan Sadergh, artinya semakin berbahaya, batin Platina. Ia sedikit bergidik mengenai kemungkinan mereka semua akan tertangkap di Sadergh oleh pasukan Master yang disebut sebelumnya oleh Awra. Kematian selalu terasa dekat jika mereka berada di Algaria.
"Baiklah," sahut Platina sambil menoleh kebelakang. Ia melihat dua garis warna merah bercahaya masih mengikuti mereka.
"Hewan itu masih di belakang," kata Platina. "Sebenarnya hewan apa itu?"
"Gotham, hewan penghuni gunung pemakan manusia. Untunglah gerakannya lambat, namun ia sulit dikalahkan," jawab Corby.
"Sial, kita harus menghindarinya. Aku tidak mau membuang banyak tenaga untuk membunuh hewan sebesar itu." Flavian menggerutu kesal.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Platina cemas.
Belum ada yang bisa menjawab pertanyaan dari Platina. Mereka terus berlari menyusuri jalan tebing sambil memikirkan suatu cara untuk lolos dari makhluk karnivora di belakang mereka.
"Kemana kita akan pergi?" tanya Aren.
"Kita akan bergabung dengan Ruby dan yang lainnya di ujung dari tebing ini menurut informasi Eryl sebelum mencari kalian. Yah, walaupun kita membawa peliharaan baru yang menyusahkan di belakang," kekeh Corby.
Platina kembali mencoba menoleh kebelakang untuk memperkirakan jarak mereka dengan Gotham. Hewan berbulu itu masih berada di belakang mereka dengan jarak sekitar tiga puluh meter.
"Gotham semakin mendekati kita," lapor Platina.
"Kerahkan tenaga kalian untuk berlari," ujar Flavian datar sambil mempercepat lajunya diikuti oleh yang lain.
Mereka berempat terus berlari ditemani sebuah bola cahaya yang ikut melayang cepat di depan, seakan tahu bahwa gerakan lambat tidak dibutuhkan sekarang. Platina hanya dapat melihat bagian belakang tubuh Flavian yang berlari. Ia mengikuti arah lari Flavian tanpa bisa melihat jalan di depannya.
"Sedikit lagi sampai," kata Corby sambil terengah dari belakang karena mulai kelelahan. "Sedikit lagi."
Secercah harapan timbul di hati Platina karena kata-kata Corby. Harapan itu membuat Platina terus memerintahkan kakinya untuk terus berlari. Ia berharap di depannya saat ini sudah ada teman-temannya yang menunggu untuk membantu mereka. Namun, seiris rasa malu menyusup ke dadanya. Kenapa ia harus meminta bantuan ketika ia memiliki kemampuan?
Belum sempat Platina memikirkan tindakan yang akan diambilnya, sebuah suara yang sangat ingin ia dengar muncul dari depan.
"Teman-teman, ke arah sini," seru Ruby.
Bola cahaya melayang semakin cepat bersamaan dengan meningkatnya laju lari keempat remaja itu. Mereka berada di ujung tebing yang terbuka ke tengah bukaan tanah yang sepertinya luas. Platina tidak dapat memperkirakan luasnya karena penerangan yang minimal. Angin kencang rupanya sudah berhenti berhembus.
"Hah...hah, ada...Gotham," kata Flavian terengah setelah ia sampai di tempat suara Ruby berasal.
"Kami melihatnya," sahut Xavier.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Eryl yang sudah berdiri di depan rombongan menghadap ke Gotham yang sudah semakin mendekat.
"Selamat," ujar Corby, "tapi peliharaan kecil kita masih belum ingin pulang." Corby sempat terkekeh di antara nafasnya yang masih terengah-engah.
"Kami akan melawannya," kata Dave.
"Kalian bersiaplah di belakang kami sambil mengistirahatkan diri," lanjut Derrick.
Platina menoleh kebelakang dan melihat hewan itu hanya berjarak sepuluh meter dari mereka sekarang. Dengan bantuan bola cahaya, Platina samar-samar melihat seulas garis tipis di wajah Gotham, yang melebar membentuk seringai puas melihat begitu banyak mangsa di depannya.
Semua anggota rombongan, termasuk keempat remaja yang masih terengah sehabis berlari, mengangkat senjata masing-masing. Mereka bersiap menghadapi hewan raksasa yang berukuran sepuluh kali lipat lebih tinggi.
"Tunggu dulu," kata Awra, "biarkan aku mengatasi ini."
"Apa?" tanya Corby tak percaya, "jangan bodoh, Awra. Makhluk ini sangat berbahaya. Ia bisa mencabik tubuhmu hanya dengan sekali tebasan cakarnya."
"Tidak akan, bila kau tahu caranya." Awra menyunggingkan senyum kecil yang percaya diri. Ia berjalan maju perlahan sehingga jaraknya dengan Gotham hanya sekitar lima meter.
Tanpa disangka oleh siapapun, Awra mulai bernyanyi.
Dua teman jadi satu
Lima kawan hilang satu
Lembah bayang-bayang kelam
Meneriakkan kegelapan
Benda hidup mulai mati
Benda mati mulai hidup
Kejujuran, keberanian, kehilangan, pengkhianatan
Bergabung menjadi ilusi yang menciptakan asa
Ketika jalan sudah terlihat buntu
Mungkinkah harapan bisa tetap hidup?
Ketika tangan takdir mulai merengkuh Akankah sang nasib berpihak padaku?
Platina terhanyut dalam nyanyian Awra yang memiliki kesan magis. Entah sengaja atau tidak, sepertinya Awra memberikan sedikit kekuatan sihir pada lagu yang barusan ia nyanyikan. Lagu itu menceritakan tentang kehilangan, kematian, dan juga secercah harapan.
Air mata Platina bergulir di pipinya. Ia teringat Braz, teman penyihirnya yang menyenangkan, harus mati karena melindungi teman-temannya. Kenangannya terangkat ke permukaan akibat lagu yang Awra nyanyikan. Braz adalah korban. Salah satu korban dari kekejaman Raja Nero.
Dada Platina terasa sesak karena menahan gejolak perasaan yang bercampur aduk, antara kemarahan, kesedihan, dan ketakutan. Ia mendapati teman-temannya juga terdiam dengan raut wajah yang sama, sedih dan letih. Namun, ada lagi yang terlihat, walaupun sangat samar, ekspresi wajah yang mengeras, ingin mengejar sebuah harapan. Sangat lucu bagaimana takdir dapat menyatukan mereka, dengan latar belakang berbeda, keinginan awal yang tak sama, hingga sampai ke titik ini, mereka memiliki satu tujuan.
Bukan hanya mereka yang terpengaruh oleh nyanyian Awra. Gotham yang terlihat mengerikan di depan mereka, tiba-tiba melenguh keras. Hewan raksasa itu sedikit terhuyung kebelakang sambil menutupi wajahnya, kemudian berbalik, dan berlari pergi dengan langkah berat meninggalkan mangsanya.
"Bukan hanya kita yang merasa kesakitan," kata Awra, "hewan seperti mereka juga tersiksa. Kehilangan tempat tinggal karena Master membabat habis pepohonan di sekitar sini. Gotham itu merasa rindu dengan keluarganya. Dia pulang kembali pada kawanannya."
"Bagaimana kau bisa mengetahui itu?" tanya Derrick dengan suaranya yang besar dan dalam. "Dan lagi, lagu apa itu?"
Awra mengangkat bahu. "Entahlah, aku hanya tahu ketika melihat ekspresi Gotham itu," jawab Awra. "Ini lagu yang aku ciptakan setelah berbulan-bulan memimpikan hal yang sama. Aku juga tidak tahu bagaimana lagu ini bisa mempengaruhi kalian, padahal seharusnya hanya Gotham yang lemah terhadap nyanyian."
"Jadi, Gotham takut dengan lagu?" tanya Derrick.
Awra mengangguk. "Mereka takut karena menyukainya. Sayang sekali, apa yang menjadi kesukaan mereka justru dapat menjadi kelemahan."
Platina mengusap air mata di pipinya. Ia merasakan pundaknya di sentuh oleh Corby dari belakang.
"Kita harus membunuh Raja Nero," kata Corby.
Platina sedikit takut dengan perubahan nada Corby yang menjadi lebih serius dan, Platina merasa, penuh dendam.
"Aku tidak yakin kita harus membunuhnya," kata Platina, "mungkin kita bisa menangkap lalu menghukumnya seumur hidup."
Corby menggeleng. Sorot matanya menunjukkan tekad kuat. "Jangan terlalu naif. Kita membunuh atau dibunuh."
"Tidak, pasti ada cara lain," seru Platina sedikit keras. Suaranya membuat Aren, Ruby, Awra, dan Flavian mendekat karena rasa penasaran.
"Raja Nero tidak akan memaafkan siapapun yang menghalangi jalannya. Ia pembunuh sadis. Terlalu banyak orang tewas di tangannya termasuk semua keluargaku." Corby tercekat oleh kata-katanya sendiri.
Platina terkejut oleh pernyataan Corby. Ia tidak pernah tahu alasan Corby rela ikut dalam rombongan ini. Ia juga tidak tahu alasan Corby selalu terlihat sendirian ketika di Carmine. Ternyata, seluruh keluarganya telah tewas dibunuh oleh Raja Nero. Walaupun begitu, Corby masih tetap berusaha menjadi teman yang menyenangkan.
Rasa bersalah langsung merasuki dadanya. Seharusnya aku bisa lebih peduli padanya, batin Platina.
"Hei, tenanglah," ujar Ruby sambil menepuk pelan bahu Corby.
"Kita akan mengalahkannya," kata Awra.
Flavian memasang muka masam namun ikut menepuk punggung Corby.
"Semangatlah kawan, ini seperti bukan kau yang biasanya," kekeh Aren sedikit menggoda Corby.
Corby terdiam sejenak, lalu ikut terkekeh bersama Aren. "Haha, kau benar, ini bukan aku. Maafkan aku, Pat, karena telah membuat suasana jadi tidak enak," ujarnya sambil mengulurkan tangan pada Platina.
Platina merasa lega. Ia menjabat tangan Corby sambil tersenyum. "Tidak apa-apa. Kita hanya lelah. Kita bisa membahas hal ini saat mata sudah segar dan perut kenyang." Dan aku berjanji akan lebih peduli pada teman-temanku, batinnya.
"Setuju." Corby dan Aren bersorak bersamaan. Mereka tertawa bersama walaupun tidak ada hal yang lucu.
Ruby dan Awra ikut tertawa karena melihat kedua teman laki-laki mereka yang aneh. Flavian hanya mendengus kesal, namun Platina bisa melihat sorot mata bahagia terpancar dari matanya.
"Kebersamaan ini menyenangkan." Platina sempat memberikan senyuman terakhir, sebelum rasa sakit tak tertahankan melanda bagian belakang kepalanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro