Chapter 25 - Jalan Panjang
"Aren, kita harus kembali." Platina berbisik pada Aren yang sedang duduk di punggung Cervundus, rusa gunung, yang Eryl panggil untuk membantu mereka melewati lembah terjal berbatu.
Saat ini mereka semua sedang menunggangi Cervundus yang berjalan cepat melewati sebuah pengunungan batu. Suara langkah para Cervundus tidak terdengar walaupun kuku-kuku kaki mereka mengenai bebatuan di jalan. Cervundus berbentuk seperti rusa, bulu-bulunya berwarna coklat muda, telinga mereka kecil dan lancip dan hidungnya berwarna hitam. Tinggi dari Cervundus ini sedikit lebih rendah dari kuda dewasa namun kekuatannya sama dengan kuda, bahkan Cervundus mampu berlari tanpa mengeluarkan suara sehingga menguntungkan Platina dan rombongannya dari intaian musuh.
Platina menunggu jawaban dari Aren namun nihil. Merasa kesal, Platina menepuk leher Cervundus yang ditungganginya sebagai tanda agar membawanya maju bersebelahan dengan Aren. Platina menoleh pada Aren, lalu terburu-buru menahan tawa. Aren sedang memandangi rambut merah Ruby, yang menunggangi Cervundus tepat di depan Aren. Ekspresi Aren yang begitu menyanjung, membuat Platina merasa setengah geli setengah kesal padanya.
"Hei, aku berbicara padamu," bisik Platina sambil memukul lengan Aren, "aku akan memberitahu Ruby tentang perasaanmu kepadanya, kalau kau tidak mendengarkanku."
Ancaman Platina membuahkan hasil, Aren langsung gelagapan menyangkal perkataan Platina. "Ap..Apa, hei, maksudmu? Aku tidak melakukan apa-apa, hanya saja-," ujar Aren pelan, "-tidakkah kau berpikir rambutnya indah?"
Platina mendengus geli mendengar perkataan Aren. Ia harus berusaha sangat keras untuk menahan tawa agar tidak terdengar aneh oleh anggota rombongan yang lain. Platina menutup mulutnya untuk menahan tawa sambil mengusap keringat yang menetes di dahinya.
Matahari bersinar sangat terang, dan tepat berada di atas kepala mereka, membuat setiap anggota rombongan menjadi kepanasan sehingga mereka memilih untuk diam tak berbicara dalam perjalanan kali ini. Sudah enam hari berlalu, sejak mereka meninggalkan Amortium, tidak ada perlawanan yang berarti dari prajurit manapun, bahkan sama sekali tidak ada prajurit yang menghadang mereka. Platina merasa ada yang aneh, namun menyimpan kekhawatirannya rapat-rapat agar tidak membuat teman-temannya ikut bingung.
"Jatuh cinta memang menyenangkan, tapi tolonglah kembali ke bumi saat ini juga, ada hal mendesak yang harus kau lakukan," bisik Platina geli, "sudah hampir sepuluh hari kita di sini, kita harus kembali sekarang atau kita bisa terlambat kuliah. Itu bisa membuat bermacam-macam pertanyaan dari teman-teman kita di sana muncul."
Platina melihat Aren sedang menoleh kepadanya sambil nyengir. "Terasa menyenangkan melihatnya, bahkan hanya dengan melihat bagian belakang kepalanya," bisik Aren sambil meregangkan badannya. "Baiklah, ayo, kita pulang. Aku merindukan kasur, badanku sangat kaku."
"Sayangnya, kita harus berangkat ke kampus, bukan berangkat ke alam mimpi di kasurmu yang nyaman." Platina berkata sambil tertawa.
"Apa menyenangkan hidup di kampus?"
Platina memekik kaget mendengar sebuah suara di sebelahnya karena Corby ternyata sudah mengarahkan Cervundusnya, untuk berada di sebelah kanan Platina. Ia melihat wajah Corby memancarkan rasa penasaran.
"Yah, cukup seru, kau akan mendapatkan ilmu-ilmu eksak, seperti matematika, biologi, dan lain-lain. Selain itu, kau bisa mendapatkan banyak teman," jawab Platina bersemangat.
"Tapi kau juga akan mendapatkan banyak tugas yang menyusahkan," sahut Flavian.
Platina menoleh ke belakangnya sambil mengernyit. Flavian terlihat salah tingkah, lalu mengangkat bahu sambil membuang muka.
"Darimana kau tahu?" tanya Aren ketus. Ia masih belum bisa menyembuhkan perasaan kesalnya pada anak-rambut-kuning-menyebalkan di belakangnya itu.
"Kurasa kalian pernah menceritakannya pada kami," jawab Flavian tak kalah ketus, "dasar pelupa."
"Sudahlah," kata Corby, "biarkan saja dia, mungkin dia sebenarnya juga sama penasarannya denganku. Coba kalian ceritakan kehidupan kalian di dunia sana. Oh, tunggu dulu, apa itu matematika?"
Platina dan Aren menceritakan kisah-kisah mereka di dunia nyata, termasuk teman-teman mereka di sana. Masing-masing kisah memiliki bagian seru dan menyenangkan, banyak istilah dan nama-nama tempat yang sangat asing di Algaria, sehingga sekarang bukan hanya Corby yang mendengarkan mereka bercerita, namun juga seluruh anggota rombongan itu.
"Karena itu, kami harus pulang dulu sekarang, maafkan kami," kata Platina setelah mengakhiri ceritanya.
"Kami akan kembali secepat yang kami bisa. Berapa lama lagi kita akan tiba di Allbion?" tanya Aren pada Eryl, yang sedang memejamkan mata sambil duduk bersila di punggung Cervundusnya. Dalam posisi seperti itu, Eryl masih mampu mempertahankan keseimbangannya sehingga tidak jatuh.
Eryl terdiam sejenak. "Sekitar lima belas hari lagi dengan menunggangi Cervundus, empat puluh hari bila berjalan kaki."
Platina dan Aren mengangguk mengerti. Mereka harus kembali sebelum rombongan itu sampai di Allbion karena Lupus tidak akan bisa mengantarkan mereka ke tempat yang belum pernah Lupus datangi sebelumnya.
Anggota rombongan itu berhenti sejenak untuk melepas kepulangan Platina dan Aren. Awra dan Xavier, yang masih belum pernah melihat Platina dan Aren pulang, merasa bersemangat untuk melihat cara mereka kembali ke dunia nyata.
Aren mengambil figurine serigala dari ranselnya, kemudian meletakkannya di atas tumpukan bebatuan yang berkilau terkena sinar matahari. Lupus perlahan-lahan berubah menjadi besar seukuran dengan serigala dewasa dengan bulu berwarna hitam dan putih. Bulu-bulunya diselimuti api yang berkobar. Platina mengerutkan kening memandang serigala sihir di depannya.
"Apakah ini hanya perasaanku, atau memang apimu menjadi semakin redup?" tanya Platina pada Lupus. Ia memandang tepat di mata kuning Lupus, yang Platina rasa, sedikit kehilangan tanda kehidupannya.
Lupus menggeram pelan. "Aku juga tidak mengerti."
"Itu kan-," seru Flavian dari belakang Platina.
Platina memandang Flavian untuk meminta kelanjutan dari kalimatnya yang terpotong. Flavian terlihat ragu-ragu sejenak, kemudian membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, ia menelan ludah, lalu berkata, "Tidak, tidak ada apa-apa."
Platina melihat Aren akan membuka mulut untuk mengatakan sesuatu yang akan mendesak Flavian untuk memberikan penjelasan. Buru-buru Platina menepuk pundak Aren dan memelototinya sambil menggelengkan kepala.
Lupus menggerakkan bulu-bulunya lalu menggeram. "Sudahlah, ini tidak penting. Kalian mau apa?"
"Kami berharap kami bisa pulang ke rumah." Platina dan Aren berkata bersamaan.
Seperti biasa, Lupus menerjang maju dan menyelimuti mereka berdua dengan kobaran api di tubuhnya yang terasa dingin seperti es. Mereka menghilang di balik kobaran api itu dengan tatapan tak percaya dari Awra dan Xavier yang terpesona.
************************************
Platina menghirup nafas dalam-dalam dan merasa bahagia. Bau kertas-kertas memenuhi ruangan serta suasana perpustakaan kota yang hening, membuat Platina merasa hidup kembali. Sejak dari kecil, Platina sangat menyukai perpustakaan, apalagi perpustakaan kota, selain ada buku pelajaran, buku filsafat, novel, bahkan komik, ada juga arsip dokumen berbagai sejarah dan kejadian tentang kota tempat ia tinggal.
Deretan rak-rak buku yang tinggi berjajar rapi di seluruh sisi ruangan persegi empat perpustakaan itu. Cahaya lampu yang terang seakan tidak mampu menerangi bagian terdalam rak kayu tebal yang Platina datangi. Ia berjalan perlahan sambil melihat tulisan yang tertempel di bagian atas rak itu.
"Bagian kriminal," gumam Platina pelan.
Ia menyusuri rak demi rak sambil memperhatikan kertas-kertas tebal yang sudah menguning tersusun rapi. Entah mengapa, Platina merasa tertarik dengan rak bagian ini. Walaupun sudah sering ia ke perpustakaan kota, namun baru kali ini ia melihat ada bagian rak seperti ini. Pada bagian atas rak, terdapat kertas kecil bertuliskan rentang waktu dari tahun 1900-1910, bagian bawahnya terdapat lanjutan rentang waktu itu.
Platina menyusuri rak sampai ke bagian tahun 1990-2000. Hatinya mencelos, ia teringat akan kematian ayahnya dan Ibu Aren. Kematian mereka dianggap wajar oleh polisi karena tidak ada tanda-tanda orang lain yang mampu membunuh mereka seperti itu, selain kekuatan petir. Sebagian hati Platina masih belum bisa menerima keputusan polisi yang terlihat menganggap enteng kematian ayahnya dan Ibu Aren.
"Mereka meninggal karena petir. Tapi, mungkinkah di sini ada-."
"Pat, ayo kemari, kami sudah menemukannya."
Tangan Pat terhenti di depan jajaran kertas berdebu yang berdiri di atas rak. Ia menoleh untuk melihat Lylod yang memanggilnya barusan lalu mengangguk.
"Aku akan ke sana," sahut Platina dengan suara pelan agar tidak diamuk oleh penjaga perpustakaan karena menimbulkan keributan. "Mungkin suatu saat aku akan kembali ke rak ini."
Platina berjalan meninggalkan rak yang membuatnya penasaran menuju ke tempat teman-temannya berkumpul di sebuah meja panjang. Adel dan Debra duduk berhadapan dan sedang berdebat dalam bisikan. Berbeda dengan Chloe dan Ethan yang duduk bersebelahan dan saling diam tersipu. Kedua anak ini membuat Platina gemas ingin segera menyatukan mereka karena sampai sekarang Ethan belum menyatakan perasaannya pada Chloe. Lylod membawa sebuah buku tebal lalu duduk di samping Aren yang tertidur pulas dengan kepala di atas meja.
Platina mendekati Aren, kemudian menepuk pundaknya agar temannya itu bangun. "Hei, tukang tidur, bangun."
Tidak ada reaksi dari Aren. Ia tetap bergeming bahkan sedikit mendengkur. Platina memukul pundak Aren sambil membisikkan sebuah kata di telinganya. "Bangunlah, Ruby sudah mulai marah padamu."
Trik Platina berhasil karena Aren langsung mengangkat kepala dan gelagapan menoleh ke kanan kiri mencari sosok Ruby. Platina terkikik tertahan lalu Aren menoleh padanya sambil merengut kesal.
"Kau bohong, kita masih di sini," bisik Aren, "aku akan kembali tidur." Kepalanya langsung terkulai lemas di atas meja lalu sekejab kemudian ia kembali tertidur nyenyak.
"Kau tidak boleh tidur, Aren. Bagaimana dengan tugasmu? Kita harus menyelesaikannya besok, kau tahu kan akibatnya kalau tidak selesai?" sahut Platina kesal. Teman-temannya mulai memperhatikan dirinya dan Aren yang sedang berdebat.
"Ya ya aku tahu," kata Aren malas, "aku akan mengerjakannya besok pagi-pagi sekali."
Platina mendengus kesal. Besok pagi artinya Aren akan mengerjakan tugasnya di Algaria. "Bagus, ide cemerlang, kau akan membawa pedang di tangan kanan untuk melawan musuh dan pulpen di tangan kiri untuk mengerjakan tugasmu." Platina menekankan kalimat sarkastiknya lambat-lambat.
Aren sedikit membuka matanya untuk melihat ekpresi Platina yang sedang kesal. Dalam hati ia tertawa karena senang membuat temannya itu marah. "Terimakasih atas pujianmu."
"Dengarkan aku," bisik Platina tegas, "akibat dari kau tidak menyelesaikan tugas ini adalah membersihkan ruangan auditorium, yang berarti kau akan tinggal semalaman untuk membersihkannya. Kau sadar kan sebesar apa ruang itu? Kita akan meninggalkan Algaria lebih lama. Bagaimana kalau mereka membutuhkan bantuan kita?"
Aren sedikit mengangkat kepalanya dengan pandangan menerawang seolah berpikir. Setelah beberapa saat, ia berkata, "Aku akan mengerjakannya. Besok pagi." Ia kembali meletakkan kepalanya di atas meja.
"Kenapa sih kau tidak serius menjalankan peran kita di sini? Ingat, ini adalah dunia kita yang asli, dunia yang nyata. Jangan sampai kau merasa terlalu bahagia di Algaria sampai melupakan dimana tempat kita yang sebenarnya," bisik Platina panjang lebar pada Aren. Platina menjaga suaranya tetap pelan supaya tidak terdengar oleh teman-temannya. Ia berharap kata-katanya ini bisa menyadarkan Aren yang makin menyebalkan itu. Namun, terdengar suara dengkuran perlahan sebagai jawaban dari Aren.
Sadar bahwa Aren mengacuhkannya, Platina menggeram kesal, lalu duduk di samping Lylod yang sudah mulai mengerjakan tugas dengan referensi buku tebal di sampingnya.
"Sudahlah, dia akan mengerjakannya. Tidak perlu terlalu kesal," ujar Lylod menenangkan Platina tanpa menghentikan tangannya untuk menulis.
"Tumben sekali dia tertidur begitu nyenyak. Apakah dia kelelahan? Tapi, karena apa?" tanya Ethan pada Platina.
"Err.., itu sih mungkin.., mungkin karena terlalu sering bermain game semalaman." Platina menjawab dengan cengiran yang dipaksakan. Ia belum mengantisipasi pertanyaan dari Ethan. Tidak mungkin Platina harus mengatakan bahwa mereka baru saja menempuh perjalanan tanpa henti selama tiga belas hari.
"Game? Wah, game itu pasti seru sampai dia rela begadang. Aku harus meminta padanya nanti." Ethan berkata dengan bersemangat.
"Kita kerjakan saja tugas ini dulu. Sepertinya ini lebih rumit dari yang kita kira," ujar Adel sambil mengerutkan kening sambil memandang buku tugas di depannya.
Platina buru-buru membaca tugas di bukunya lalu mulai mengerjakan tugas yang sebenarnya tidak sepenuhnya ia mengerti. Selama beberapa jam setelahnya, Platina dan teman-temannya mengerjakan tugas dengan hening sampai Ethan mengangkat tangan tanda menyerah.
"Cukup. Aku lelah," ujar Ethan, "aku akan melanjutkannya di rumah saja." Ia bersandar pada kursinya dengan mata terpejam.
"Sepertinya aku juga, menyerah di awal untuk penyelesaian di akhir," kata Debra puitis.
Chloe memandang teman-temannya yang sudah mulai meletakkan pulpennya masing-masing. Ia mengangkat bahu, lalu ikut-ikutan meletakkan pulpennya. "Baiklah, aku juga menyerah," ujarnya sambil nyengir manis.
Platina mengangguk sambil menggosok kedua matanya yang lelah dengan tangan. Ia menoleh pada Aren yang masih tertidur.
"Bangun," kata Platina sambil memukul lengan Aren sampai ia tersentak dan mengangkat kepalanya. "Ayo, kita pulang."
Aren memahami perkataan Platina, yang artinya mereka harus segera kembali ke Algaria. Aren memandang jam kuno yang terletak di sudut perpustakaan itu. Waktu menunjukkan pukul 16.00, sudah saatnya mereka berdua menjalankan peran sebagai para pendatang.
"Aku siap," ujar Aren bersemangat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro