Chapter 24 - Jalan Baru
"Pengkhianat."
Aren terdiam ketika mata semua orang memandang ke arahnya. Ia mengangkat bahu sambil menyeringai. "Aku merasa ada pengkhianat."
Semua orang masih terdiam mendengar kata-kata Aren. Mereka masih melakukan kegiatan masing-masing di tengah kumpulan batu tinggi yang tertutup, sehingga tidak akan terlihat dari luar. Awra menemukan kumpulan batu ini ketika mengamati daerah sekitar saat Platina, Aren, dan Ruby masih tidur.
Sebuah bola cahaya berwana kuning melayang di tengah, menimbulkan bayangan yang diam, tidak seperti nyala api yang menimbulkan bayangan bergerak. Mereka tidak berani menyalakan api karena asapnya dapat membuat orang tak diundang mengetahui keberadaan mereka.
Aren sedang berusaha menyembuhkan luka di kaki Corby dengan sihir, begitu juga Platina yang sedang mengucapkan kata sihir ke dahi Flavian yang terus mengucurkan darah sampai ke mata.
"Cura Vulnera," kata Aren sambil meletakkan tangannya di atas kaki Corby yang terluka. Luka itu berasal dari sabetan pedang prajurit yang mengejar Corby, tidak terlalu dalam namun cukup untuk membuat Corby kesulitan berjalan. Luka itu perlahan menutup bersamaan dengan sedikit cahaya yang muncul dari tangan Aren.
Aren menarik nafas untuk mengumpulkan kekuatan. Sihir untuk menyembuhkan luka ini termasuk sihir yang cukup berat. Sihir ini menguras tenaga perapalnya tergantung dari derajat luka yang ingin disembuhkan. Menyembuhkan luka di kaki Corby, membuat Aren merasa tenaganya perlahan menghilang seakan ia sedang berlari sprint seratus meter.
"Cura Vulnera." Aren mendengar Platina mengucapkan kata sihir yang sama di sebelahnya. Ia melihat Platina mendekatkan tangannya ke dahi Flavian. Cahaya kecil muncul dari tangan Platina dan perlahan luka di dahi Flavian tidak lagi mengeluarkan darah. Platina beralih ke lengan Flavian yang tidak dapat ia gerakkan dengan normal karena sayatan panjang di tengah lengannya.
Aren mengernyit melihat luka Flavian. Pasti rasanya sakit, batin Aren. Dalam hati, ia merasa kasihan terhadap Flavian yang ikut terluka karena pengejaran terhadap mereka, namun ia ingat bahwa Flavian yang memaksa untuk ikut sehingga rasa kasihan itu memudar digantikan dengan rasa kesal. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada Corby yang tergeletak gelisah di hadapannya.
Tangan Aren berpindah ke perut Corby yang tertusuk pedang. Aren merobek baju Corby, yang basah terkena darah, kemudian terkesiap. Luka menganga terlihat di perut Corby, kulitnya benar-benar terbuka sehingga menampakkan daging kemerahan di dalamnya, beruntung organ dalamnya tidak ikut terburai keluar. Corby bernafas dengan tersengal karena berusaha untuk tidak menggunakan otot perutnya agar mengurangi kesakitannya. Aren memandang Corby yang menutup mata dengan peluh menetes dari dahinya.
Dengan mengucapkan kata sihir yang sama, Aren melepaskan kekuatan sihirnya ke luka di perut Corby. Dengan sangat perlahan, darah berhenti dari luka yang terbuka itu, kemudia sedikit demi sedikit jaringan baru mulai muncul menutupi lubang menganga itu, seperti jaring-jaring yang tumbuh. Sesaat kemudian, luka di perut Corby menutup dan hilang tanpa bekas. Aren merasa sedikit pusing setelah proses itu selesai.
Corby membuka mata dan mengelus perut tempat lukanya tadi berada. Ia terkekeh kecil. "Kau hebat, kawan. Terimakasih banyak."
Aren ikut terkekeh sebelum meraih ranselnya untuk mencari sesuap roti agar tenaganya kembali. "Kau mau?" tanya Aren pada Corby. Corby menolak dan memilih untuk tetap berbaring sambil memejamkan mata.
Mata Aren menatap ke kegiatan di sekitarnya, yang terlihat sibuk namun tanpa suara. Platina sudah berhasil menutup luka Flavian dan, kalau Aren tidak salah dengar, mendapatkan ucapan terimakasih yang lirih. Awra, seperti biasa, tidak terlihat karena sedang pergi entah kemana. Eryl masih berusaha menyembuhkan tangan Dave yang patah. Sedangkan Derrick hanya sedikit tersayat namun lukanya tersebar merata di seluruh tubuhnya. Xavier duduk di pojok sambil membebat lengannya sendiri dengan kain. Aren sempat mendengar Xavier menolak lukanya disembuhkan oleh Eryl dengan sihir.
Setelah menelan kunyahan terakhir, Aren bangkit dan berjalan mendekati Xavier lalu duduk di sebelahnya. Xavier sekilas mengerling pada Aren lalu kembali sibuk merawat lukanya dengan tumbukan dedaunan obat.
"Aku setuju denganmu," kata Xavier, "aku juga merasa ada pengkhianat di antara kita. Cukup aneh prajurit bisa tahu keberadaan kalian secepat tadi, kecuali ada yang memberitahu mereka. Apalagi prajurit-prajurit itu terlihat sangat ingin menangkapmu, Platina, Ruby, dan Awra hidup-hidup dibandingkan dengan menangkap kami."
Aren mengangguk bersemangat mendengar kecurigaannya disetujui. "Itukah yang menyebabkan kalian terluka begitu parah? Sedangkan para prajurit yang mengejar kami, mereka tidak melukai kami walaupun aku yakin mereka bisa memanah dengan mudah dari belakang."
"Aku yakin begitu. Saat para prajurit mengepung kami dirumahku, mereka terus menyerang kami tanpa ampun sambil memaksa kami memberitahukan keberadaan kalian. Eryl terpaksa menggunakan sihirnya untuk merobohkan tembok kamar belakang agar kami bisa kabur."
"Merobohkan tembok? Dia bisa mati," pekik Platina. Aren menoleh ke arah suara Platina dan melihatnya sudah berpindah duduk bersama Ruby dan Awra, ke sebelah kanan Xavier.
"Kami tidak punya pilihan lain," ujar Xavier, "setelah berhasil keluar, kami masih disambut dengan prajurit yang sudah berjaga di jalan. Akhirnya, kami berhasil kabur setelah berpencar sehingga membuat para prajurit bingung mencari."
Xavier bercerita sambil sedikit berjengit karena tumbukan dedaunan yang dioleskan ke luka-lukanya membuatnya merasa perih.
"Sini aku bantu." Dengan lembut, Awra membantu Xavier menutup luka-lukanya dengan kain.
Aren masih menerawang sambil memikirkan kemungkinan orang yang menjadi pengkhianat. Ia menggelengkan kepala kuat-kuat karena tidak ada satupun orang di rombongan itu yang ia rasa cocok menjadi pengkhianat, termasuk Flavian yang paling tidak ia sukai.
"Seperti di Carmine, ketika diserang pertama kali, mereka mencariku, Platina, dan Ruby. Sekarang, mereka tetap mencari kami ditambah Awra," kata Aren pelan, "Hanya di Esmevere kita aman, tapi Carmine diserang besar-besaran, sehingga para penyihir Esmevere harus membantu Carmine. Secara tidak langsung, Esmevere akan berkurang pengamanannya. Kalau kita tidak ke Amortium, kita akan ditangkap di sana."
"Tapi, kita pergi ke Amortium," sahut Ruby, "kurasa ini tidak diduga oleh pengkhianat itu. Tapi, sialnya, kita justru bertemu dengan pasukan Molk dan Braz harus mati."
Dada Aren terasa tercekat mendengar nama Braz diucapkan. Baru sehari lebih, Braz tidak lagi menemani mereka, namun banyaknya kejadian membuat Aren hampir melupakan penyihir berani yang gagap itu. Aren merasa kemarahannya mulai muncul.
"Aku ingin tahu siapa pengkhianat di antara kita. Akan aku cabik-cabik tubuhnya dengan tanganku sendiri sampai ia mati." Awra berkata dengan nada dingin khas wanita dewasanya.
Aren merinding mendengar suara Awra. Entah mengapa, Aren merasa sedikit takut dengan gadis bermata kucing itu. Semua terdiam mendengar perkataan Awra.
"Kenapa para prajurit tidak mencari kita?" tanya Flavian memecah keheningan, "ini aneh. Aku kira kita akan dikejar-kejar selama sisa malam ini."
"Mungkin Raja Arlo menyerah mencari kita. Setidaknya, kita aman malam ini. Besok kita sudah harus bergerak dari sini." Eryl menjawab sambil meminum air dari kantung airnya. Ia mengernyit. "Kita kehabisan air, besok kita harus mengisinya di sungai."
"Kemana kita akan pergi?" tanya Corby yang sudah duduk sambil membersihkan pisau-pisau belatinya dari darah. Wajahnya sudah kembali berwarna setelah luka-lukanya disembuhkan oleh Aren.
Eryl berpikir sebentar kemudian merogoh ranselnya. Ia mengeluarkan sekeping kaca kecil tanpa bingkai. "Longe Aspiciat."
Aren merasakan aliran sihir Eryl keluar dari tubuhnya dan menuju ke cermin kecil di tangannya. Aren berdecak kagum karena ketahanan fisik dan mental Eryl, setelah merobohkan tembok, menyembuhkan patah tulang Dave, belum lagi bertarung dengan banyak prajurit, kemudian Eryl masih bisa melakukan sihir untuk berkomunikasi, sangat mengesankan, itu semua bukanlah hal yang mudah. Aren yakin dirinya akan pingsan sebelum bisa melakukan setengah dari yang Eryl lakukan.
"Salam, Seleca," ujar Eryl pada kaca di tangannya. Selain Eryl, yang lain tidak dapat melihat Seleca di ujung kaca karena kaca itu kecil. Namun, suara Seleca masih bisa terdengar normal seperti sedang bercakap-cakap biasa.
"Kami membutuhkan petunjukmu," lanjut Eryl setelah mendapat balasan salam dari Seleca, "apa yang harus kami lakukan sekarang?"
"Hmm, aku turut menyesal dengan kejadian yang terus menimpa kalian selama dua hari ini. Aku sudah mengetahui detail kejadiannya dari Eryl barusan melalui bayangan pikiran yang ia berikan padaku."
Aren teringat suara Eryl serta bayangan pinggir kota, yang tiba-tiba muncul di pikirannya saat melawan prajurit di rumah Xavier, ternyata itu adalah kemampuan penyihir untuk saling mengirimkan pesan melalui benak dan pikiran.
"Sebelumnya, aku harus memberi salam pada kawan lamaku dulu," lanjut Seleca. "Salam, Xavier. Sudah lama aku tidak melihat kaum Centaurus di kota."
"Salam, Seleca. Kaumku sudah lama mengasingkan diri. Hanya beberapa dari kami yang masih berkeliaran karena tidak ingin terkekang aturan ketat yang dibuat oleh kaumku sendiri." Xavier menjawab sambil memandang cermin yang dipegang oleh Eryl, walaupun ia tidak yakin bagaimana cara Seleca dapat melihatnya, sedangkan ia tidak bisa melihat penyihir itu.
"Aku mengerti. Sifatmu berbeda. Semoga jalanmu tidak mengkhianati dirimu."
Xavier mengangguk tapi tidak yakin Seleca bisa melihatnya, maka ia segera menjawab, "Semoga kebijaksanaan membuatmu tetap kuat."
"Terimakasih Xavier. Mengenai jalan yang harus kalian lalui sekarang, aku mengutusmu, Eryl, untuk melatih Platina dan Aren cara berkomunikasi melalui benak, selama kalian berjalan menuju Kastil Elviera di Tebing Allbion," ujar Seleca, "kalian pergilah ke sana. Temui Raja Morven dan penyihir Tauren di kastil. Mereka akan membantu kalian."
"Tapi, bukankah kita diminta Raja Devon untuk menyerang Valonia?" tanya Ruby.
"Turuti saja perintahku dulu, nanti biar aku yang akan berbicara dengan Raja Devon. Kalian dan pejuang-pejuangnya masih belum siap untuk menyerang Valonia."
Aren bertatapan dengan Ruby, yang matanya masih memancarkan keraguan bercampur kelegaan, lalu memberikan anggukkan untuk menguatkan temannya itu.
"Baik, Seleca, kami akan mengikuti saran darimu" kata Eryl, "semoga keberuntungan menyertaimu."
"Semoga keselamatan melindungi kalian." Kata-kata terakhir Seleca perlahan memudar seiring dengan dihentikannya aliran sihir Eryl dari cermin.
Aren dapat melihat wajah Eryl yang tampak lelah walaupun penyihir itu tidak mengeluh. Eryl mengembalikan cerminnya ke ransel sambil berkata, "Kita istirahat dulu malam ini. Harus ada yang berjaga di balik batu ini untuk memperingatkan kita bila ada bahaya."
"Biar kami saja," sahut si kembar.
"Selanjutnya aku," kata Awra.
Eryl mengangguk dan mengucapkan selamat malam pada yang lain kemudian menyusup ke celah batu sempit di dekatnya.
"Hei, Aren," bisik Platina, "kau harus melihat ini."
Aren menoleh lalu melihat Platina, Ruby, dan Awra berdiri berdekatan seperti sedang menutupi sesuatu. Kenapa para perempuan selalu bergerombol? tanya Aren dalam hati sambil melihat ketiga temannya, ia terkekeh pelan.
Platina menunjukkan sebuah batu berbentuk oval yang bersinar perak di tangannya. Aren mengernyit karena merasa mengenali batu itu.
"Hei, apakah itu batu kusam yang kita temukan di rumah- ," Aren terdiam sejenak karena teringat pada Ayah Platina dan ibunya yang membuat rumah itu, "-yang kita temukan di hutan." Aren akhirnya memilih untuk menggunakan kata 'hutan' daripada menyebut 'rumah'.
Platina mengangguk pelan, menyadari kecanggungan di balik kalimat Aren. "Coba kau lihat batu milikmu," kata Platina. "Aku heran, kenapa batu ini bisa bersinar begini? Warnanya berubah menjadi perak."
Aren mengeluarkan batunya dari dalam gesper. Ia terperangah melihat kilatan dari batunya, yang juga berubah warna menjadi perak. "Batuku juga berubah. Sekarang batu ini terlihat seperti milik Ruby, yang merah, dan Awra, yang emas."
Awra mengeluarkan batunya dari balik jubahnya, begitu juga Ruby. Mereka berempat memegang batu itu dan mendekatkannya satu sama lain. Batu milik Ruby dan Awra tiba-tiba ikut bersinar. Sinar keempat batu itu tidak kuat, hanya berupa sinar lemah yang tidak terlalu terlihat.
"Batu merah milik Ruby dan batuku sudah sejak lama memiliki warna," kata Awra, "aku punya dugaan, itu karena kami sudah memiliki tujuan di sini. Sedangkan kalian berdua, awal kalian datang, kalian belum memiliki tujuan. Tapi, sekarang kalian sudah merasakan tujuan itu di hati kalian."
"Aku memang merasa lebih memiliki tujuan sekarang," kata Platina. "Aku merasa lelah menjadi yang dikejar. Aku ingin segera mengejar Raja Nero dan mengakhiri semua ini."
Aren mengangguk, menyetujui alasan Platina. "Aku juga. Tapi, kenapa batuku dan Pat memiliki warna yang sama?"
"Mungkin karena batu itu sepasang?" tebak Ruby.
Aren dan Platina mengangkat bahu tanda tak mengerti. Aren menemukan batu itu di sebuah peti dan dengan asal saja ia mengambilnya karena merasa batu itu akan berguna. Ternyata, batu yang dipegangnya saat ini memiliki rahasia tersembunyi yang lebih dalam.
"Lebih baik kita beristirahat, besok kita harus kembali bergerak," ujar Ruby sambil mengembalikan batunya ke gesper di pinggangnya.
Ketiga temannya mengangguk setuju. Mereka mencari tempat yang nyaman untuk dipakai tidur. Aren melihat Corby dan Flavian sudah menyembunyikan seluruh tubuh mereka di balik selimut masing-masing. Bola cahaya Eryl masih bersinar namun lemah sehingga Aren harus menajamkan matanya untuk mencari ransel miliknya.
Aren menemukannya dan langsung mengeluarkan selimut dan alas tidur miliknya. Ia menepuk ranselnya untuk mencari bagian yang empuk sebelum menggunakannya sebagai bantal. Saat kepalanya menyentuh ransel, alam mimpi langsung menyambutnya.
******************************
Aren terbangun dengan badan terasa pegal. Ia menggeliat di balik selimut menikmati kehangatan yang diberikan kain yang membungkus dirinya. Matanya masih terasa berat untuk membuka, apalagi dengan hembusan angin dingin yang menerpa wajahnya, membuat Aren semakin merapatkan selimut ke badannya. Ia sudah akan kembali terlelap tidur ketika merasakan selimutnya ditarik dari atas.
"Bangunlah tukang tidur," seru Flavian ketus sambil melemparkan selimut Aren ke tanah di samping Aren yang masih terbaring.
"Argh, dingin," sahut Aren sambil memaksa dirinya membuka mata.
"Sial kau, ini masih malam."
"Buka matamu, tukang tidur. Ini sudah pagi, yang lain sedang bersiap." Flavian mendengus kesal lalu meninggalkan Aren yang masih mengusap wajahnya untuk menghilangkan rasa kantuk.
"Aren, cepatlah bersiap. Kita akan segera berangkat," seru Ruby di sampingnya.
Suara Ruby membangunkan dirinya sepenuhnya. Aren mengerjapkan mata beberapa kali kemudian segera membereskan barang-barangnya secepat yang ia bisa. Langit masih gelap namun mulai muncul beberapa semburat warna kuning menandakan matahari akan segera bangun. Angin pagi berhembus pelan, dingin, membuat Aren sedikit bergidik. Ia memakai jubah panjangnya untuk melindungi diri dari hawa dingin khas pagi hari.
"Semuanya, kemari sebentar," seru Eryl. "Kita akan pergi menuju Tebing Allbion seperti saran Seleca semalam. Sayangnya, tebing itu ada di balik gunung tak-tertembus Vallgrief, kita tidak mungkin melewatinya. Karena itu-," Eryl membuka peta yang dibawanya lalu membentangkan peta itu agar yang lain bisa melihatnya. "-kita akan melewati pinggiran Kota Sadergh, kota terkutuk."
"Tapi itu berbahaya," seru Xavier menyuarakan ketidaksetujuannya.
"Memangnya ada apa di sana?" tanya Aren penasaran.
"Kota itu adalah milik panglima perang kepercayaan Raja Nero. Namanya Peython. Dia sama sadisnya dengan Raja Nero. Selama ini, dialah yang melakukan eksekusi pada para pemberontak," jawab Eryl.
"Menurut kabar burung yang kudengar," lanjut Corby, "Kota Sadergh sudah berubah. Dulu kota itu sangat indah, hampir menyerupai Carmine, karena banyaknya pepohonan. Sejak Peython menguasainya, pepohonan di sana di tebang habis untuk membuat peralatan perang. Tanahnya menjadi kering dan gersang. Tidak ada satupun hewan yang bisa hidup di sana. Untuk bisa makan, para prajurit di sana menjarah kota-kota kecil di sekelilingnya. Selain itu, kau bisa melihat ribuan tengkorak manusia, yang ditancapkan dengan besi, mengelilingi kastil milik Peython."
Aren dan Platina berpandangan ngeri mendengar penjelasan Corby.
"Kita harus sangat berhati-hati agar tidak diketahui oleh prajuritnya yang selalu berjaga di gerbang Kota Sadergh. Memang berisiko, tapi hanya ini satu-satunya jalan." Eryl menjelaskan dengan serius.
Semuanya terdiam sehingga suasana pagi itu menjadi hening. Angin masih tetap berhembus dengan perlahan. Semburat warna kuning di langit sudah semakin banyak. Namun, suasana tetap hening. Aren merasa seperti ada yang kurang di pagi hari itu. Kemudian ia sadar, tidak ada suara kicauan burung. Aren memandang ke langit dan memang tidak menemukan satupun burung yang terbang. Tanpa sadar ia kembali bergidik, apakah Kota Sadergh akan sehening ini tanpa kehidupan lain selain manusia?
"Kalau tidak salah," kata Flavian memecah keheningan, "Peython, oleh anak buahnya, dia dipanggil-."
Awra menyelesaikan kalimat Flavian dengan dingin, "-Master."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro