Chapter 23 - Melarikan Diri
Aren terus berlari tepat di belakang Ruby, yang mengikuti Platina dan Awra di depannya. Mereka berempat terengah melewati jalanan kota, yang sekilas Aren perhatikan adalah pasar. Aren ingat jalan ini termasuk sekilas bayangan yang Eryl perlihatkan di rumah Xavier. Ia merasa diperhatikan oleh orang-orang di pasar itu, bahkan ada seorang ibu yang menanyakan keadaan mereka. Aren menoleh pada ibu itu untuk menjawab namun terlihat olehnya beberapa prajurit masih mengejar di belakang mereka.
"Sial, mereka masih mengejar," desis Aren pada teman-teman di depannya.
Mereka terus berlari menyusuri jalan pasar itu sampai mereka mengikuti Awra yang berbelok ke kiri menuju sebuah jalan kecil. Mereka berbelok beberapa kali mengikuti jalan itu hingga hanya ada jalan buntu.
"Buntu. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Platina cemas sambil menatap jalan di belakang mereka, takut bila prajurit-prajurit yang mengejar mereka berhasil memojokkan buruannya di tempat buntu ini.
"Ikuti aku." Awra membuka pintu rumah di sebelah kanan mereka.
Mereka segera masuk tanpa banyak bicara. Awra menunjuk ke atas dengan tangan kanannya. "Ke atap."
Keempat remaja itu bergegas menaiki tangga lalu keluar menuju atap melalui jendela lebar di loteng rumah itu. Aren berusaha membantu Platina dan Ruby keluar dari jendela, sedangkan Awra sudah berjongkok ringan di bagian atap paling atas rumah itu sambil melihat ke bawah.
"Para prajurit masih mencari kita. Tapi, kita berhasil mengecohnya," kata Awra, "waktu kita sedikit."
"Bagaimana cara kita keluar dari kota ini?" tanya Aren terengah setelah berhasil membantu mengangkat Platina ke atap.
Awra tersenyum kecil. "Pertama, kita harus menuju gerbang batu di depan. Hanya itu satu-satunya jalan keluar dan masuk. Ayo, ikuti caraku."
Aren mengikuti Awra yang sekarang sudah berjalan di atas atap batu kemudian melompat ke atap rumah di sebelahnya. Rumah-rumah di Amortium dibangun saling berdempetan sehingga atapnya saling berhubungan. Mudah saja bagi mereka untuk berlari di atas atap-atap itu.
Awra berhenti di ujung atap rumah terakhir lalu berjongkok. Ia memberi isyarat pada teman-temannya untuk melakukan hal yang sama dengannya. "Gerbang sudah terlihat dan masih terbuka, untung bagi kita."
Aren sedikit mendongakkan kepalanya untuk melihat pintu gerbang di bawahnya. Ia melihat puluhan prajurit berjaga di samping pintu itu sama seperti saat awal mereka masuk Kota Amortium.
"Bagaimana cara kita melewati prajurit-prajurit di bawah?" tanya Ruby sambil berpikir dengan dahi berkerut.
Awra memandang teman-temannya. "Aku bisa menyelinap tanpa diketahui satupun prajurit di bawah sana. Tapi, aku tidak yakin aku bisa membawa kalian bersamaku tanpa terpegok oleh mereka."
Mereka berempat terdiam untuk berpikir. Kicauan burung-burung yang ingin pulang ke sarangnya terdengar dari atas kepala mereka. Matahari mulai bersembunyi di balik awan dengan cahayanya yang berwarna oranye tua bercampur biru menghiasi langit.
"Aku punya rencana," bisik Platina, "prajurit-prajurit di bawah sana berbeda dengan prajurit yang mengejar kita kan?"
Mereka berempat sedikit melongok ke bawah untuk mencari tahu. Para prajurit penjaga gerbang memiliki senjata namun tidak memakai baju besi seperti prajurit yang mengejar mereka. Platina nyengir senang.
"Berarti mereka tidak mengenali kita. Kita baru beberapa jam di sini dan tidak berinteraksi dengan siapapun kecuali Xavier. Kecil kemungkinan mereka akan mengetahui kita adalah incaran Raja Arlo jika kita bergabung dengan rombongan lain untuk keluar dari gerbang."
Ruby mengangguk mendengar rencana temannya. "Bisa jadi. Tapi, itu berisiko."
"Semua pencapaian pasti memiliki risiko. Aku yakin kita bisa mengelabuhi para prajurit itu."
"Baiklah, aku setuju," kata Aren mengangguk, "aku suka rencanamu, Pat. Membuatku gugup dan tidak sabar ingin melakukannya."
Platina tersenyum senang mendengar teman-temannya menyetujui ide berisikonya. "Nah, ini belum selesai. Awra, kau bisa menyelinap terlebih dahulu lalu buatlah sedikit keributan di antara para prajurit itu. Berhati-hatilah jangan sampai ketahuan. Saat keributan itu terjadi, kita bisa keluar dengan lebih mudah."
"Jenius," ujar Aren nyengir sambil menepuk pundak Platina dengan keras. Racauan kesal dari Platina selanjutnya tidak ia hiraukan.
Mereka berempat turun dari atap dengan bergantian dan perlahan. Atap rumah paling ujung ini sudah tidak memiliki tempat persembunyian yang cukup untuk mereka berempat sehingga sedikit gerakan berlebihan akan dapat menarik perhatian prajurit di bawah.
Setelah Ruby sudah menginjakkan kakinya di lantai loteng, mereka segera turun ke ruangan bawah dengan perlahan. Mereka menajamkan telinga untuk berjaga-jaga bila ada orang di rumah itu. Namun, keadaan hening dan sepi, mereka langsung bergegas keluar dari pintu depan lalu menyelipkan diri di celah antar rumah yang tertutup bayang-bayang untuk memulai rencana mereka.
Awra keluar dari celah itu terlebih dulu untuk menyelinap. Ia memakai tudung jubahnya untuk menutupi rambut emasnya yang mencolok. Sesaat kemudian, Aren sudah tidak dapat melihat arah pergi Awra.
"Ayo, giliran kita."
Aren mendengar Ruby berbisik di telinganya. Rasa senang yang aneh menggelanyar menuju dadanya. Entah kenapa ia menjadi sangat percaya diri dan optimis setelah mendengar suara Ruby sedekat itu.
Mereka bertiga memakai tudung jubah, menutupi pedang dan busur dengan jubah, serta berusaha bersikap ceria dan senormal mungkin, lalu keluar dari celah itu satu per satu. Mereka akan berpisah untuk mencari rombongan yang sesuai dengan mereka sehingga tidak akan dicurigai oleh penjaga gerbang.
Aren berjalan menuju rombongan remaja lelaki di depannya. Ia memperkirakan rombongan lelaki sebanyak lima orang itu berumur lebih muda darinya. Rombongan itu membawa pedang, yang membuat Aren lega, sehingga ia bisa lebih santai membawa pedangnya sendiri. Ia berjalan di belakang rombongan remaja itu yang sedang saling tertawa dan mengucapkan kata-kata kotor. Tidak berpendidikan, batin Aren, namun langsung teringat pada dirinya sendiri dan teman-temannya ketika mengobrol pasti akan sama seperti remaja di depannya sekarang. Aren merasa malu.
Rombongan itu sudah bergerak semakin dekat menuju penjaga gerbang yang sedang mencatat. Aren melihat para prajurit penjaga berkumpul dengan senjata di samping badan sambil mengobrol seru dan tertawa keras. Rombongan Aren sudah di depan prajurit-prajurit itu sekarang.
"Nama dan keperluan," kata prajurit pencatat dengan nada ketus.
Salah satu remaja lelaki itu menyebutkan nama-nama dan keperluan mereka untuk keluar dari kota, ternyata mereka ingin mencari hewan buruan sekaligus mengasah kemampuan bertahan hidup di gunung. Aren berdecak kagum. Sejauh yang Aren lihat, kelima remaja di depannya tidak membawa perbekalan sama sekali kecuali pedang dan sabuk gesper mereka yang menggembung.
Aren mengamati prajurit pencatat itu menulis penjelasan yang diucapkan remaja di depannya. Prajurit itu mengerutkan kening lalu memandang Aren yang berada di belakang rombongan itu. Jantung Aren seakan berhenti berdetak. Pria itu menatapnya tajam seakan mengenalinya. Aren berusaha menampilkan ekspresi wajah senormal mungkin untuk menyembunyikan kegugupannya.
Prajurit itu menunjuk Aren dengan pena bulunya. "Siapa anak ini? Apa dia..."
Kalimatnya tidak pernah selesai karena pada saat yang sama terdengar suara teriakan keras dari para prajurit yang tadinya sedang mengobrol. Prajurit pencatat itu menoleh dan bergegas menghampiri teman-temannya untuk mencari tahu penyebab teriakan keras barusan. Mereka saling berebut bercerita, mendebat, lalu berteriak-teriak kesal.
"Sepertinya Awra berhasil," gumam Aren bersemangat. Ia melihat gerbang tidak ada penjagaan sekarang karena prajurit-prajurit berkumpul untuk mencari tahu penyebab keributan. Aren sudah akan berlari keluar gerbang namun teringat bahwa ia akan memancing kecurigaan jika keluar saat itu juga, tidak sampai pinggir kota ia akan ditangkap. Aren menarik nafas panjang untuk menahan dirinya yang sudah gatal ingin keluar.
Keributan para prajurit akhirnya selesai setelah mereka menganggap tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Prajurit pencatat kembali ke tempatnya sambil menggelengkan kepala dan bergumam kesal.
"Keluarlah kalian," ujarnya ketus tanpa melihat rombongan remaja lelaki di depannya. "Selanjutnya!"
Aren merasa jantungnya melonjak kegirangan. Prajurit itu tidak lagi memperhatikan dirinya karena masih sibuk bergumam kesal. Aren berjalan keluar bersama rombongan remaja di depannya. Saat sudah di luar gerbang, ia sedikit melambatkan jalannya untuk memberikan jarak dengan rombongan. Rombongan remaja itu tidak menyadari keberadaan Aren karena terus mengobrol seru dan saling membanggakan diri.
Serombongan pria dan wanita berumur berjalan melewati Aren. "Jangan menoleh, teruslah berjalan," bisik sebuah suara di belakangnya.
Aren mengikuti perintah suara itu tanpa menoleh, ia terus berjalan perlahan sampai serombongan keluarga, tebak Aren, melewatinya.
"Aku gugup sekali," seru suara di belakang Aren namun berbeda dari suara yang pertama, "ayo, cepat jalan."
Aren mempercepat jalannya, ia masih belum berani menoleh kebelakang karena masih ada beberapa rombongan yang kembali melewatinya. Jalanan yang Aren lewati memiliki tekstur bebatuan kusam. Tidak ada satupun pohon yang menaunginya, sangat berbeda dengan jalan yang ada di Esmevere. Di ujung jalan ini memiliki tiga cabang, jalan yang lurus menuju ke gunung batu, jalan di kanan Aren merupakan jalan yang membawa mereka ke Amortium, sedangkan jalan di kiri Aren tidak ada jalan setapak, hanya ada bebatuan.
"Ke kiri," kata suara di belakang Aren.
Aren mengernyit, "kita harus melewati itu?" Aren merasa punggungnya didorong, tanda ia memang harus melewati bebatuan tinggi di depannya. Aren mendekati batu pertama. Ia mencari ceruk yang cukup besar untuk menyelipkan kaki dan tangannya.
Aren menemukan ceruk di bagian kanan batu itu. Ia mulai menapakkan kaki kanannya ke ceruk itu dan mendaki sedikit demi sedikit sampai ia berada di puncak dan berusaha untuk melewati batu yang kedua, ketiga, dan seterusnya.
Langit semakin berwarna biru gelap. Suara-suara hewan mulai terdengar dari balik gunung. Keringat mulai menetes dari dahi Aren. Napasnya mulai sedikit terengah karena begitu sering menarik nafas untuk mengangkat tubuhnya ke atas batu. Kakinya sudah hampir gemetar karena terlalu lama menyeimbangkan diri agar tidak jatuh dari batu-batu yang telah ia lewati.
Akhirnya, Aren sampai pada batu terakhir dan meluncur turun dari sana. Ia bersandar pada batu itu untuk melepaskan rasa lelah. Dihadapannya terbentang jalanan berpasir luas yang tidak ia ketahui tujuannya. Samar-samar Aren ingat ia pernah melihat jalan ini tapi terlalu letih untuk berusaha mencari di pikirannya.
"Ini tempatnya," kata sebuah suara yang pemiliknya baru saja duduk di sebelah kiri Aren.
"Hai, Ruby," sapa Aren lemah sambil tersenyum. "Akhirnya, aku bisa menoleh pada kalian berdua."
Platina merebahkan diri di samping kanan Aren sambil bersandar pada ransel yang telah dilepasnya. "Begitu saja capek, dasar lemah." Platina terkekeh kecil. Ia merasa lengan dan kakinya sudah terlepas dari badannya karena ia sudah tidak dapat merasakan anggota badannya, yang sedari tadi ia kerahkan tenaganya.
"Jangan berpura-pura kuat, Pat," kata Aren sambil memukul lengan Platina. Ia tertawa ketika Platina mendesis marah padanya.
"Yang lain belum datang, mungkin kita bisa beristirahat sebentar." Ruby bergumam. Ia meletakkan busur dan anak panah disampingnya, tapi ia tetap memegang pedang kecil di tangan kirinya.
"Kalian tidurlah, aku akan berjaga."
"Awra?" sahut Aren, "Aku kira kau masih di belakang kami." Aren melihat Awra muncul dari balik batu di tebing sebelah kanan Platina. Rambut emasnya di ikat kebelakang dengan ranting dan daun-daun yang dibelit menjadi satu lingkaran.
Awra nyengir meremehkan pernyataan Aren. "Tidak mungkin aku tertinggal," katanya sambil memandang langit, "aku bahkan sudah sampai di sini lebih dulu untuk memastikan tempat ini aman. Kalian terlalu lama memanjat batu-batu kecil ini. Begini saja sih mudah untukku. Lain kali aku harus melatih kalian untuk meringankan badan. Ini sangat berguna apalagi untuk...."
Awra menghentikan celoteh panjangnya saat menyadari suara dengkuran dari ketiga temannya yang sudah tertidur pulas. Ia menggeram kesal karena tidak diperhatikan, namun ia tetap membiarkan teman-temannya tertidur saat matahari sepenuhnya tersembunyi di balik langit.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro