Chapter 22 - Amortium
“Bagaimana kau bisa ada di sini?”
“Apakah ini rumahmu?”
“Sejak kapan kau ada di sini?”
“Kau kabur karena takut?”
Seruan berbagai pertanyaan untuk Awra dari Platina, Ruby, Corby, dan Flavian saling mengaburkan pertanyaan satu sama lain sehingga Aren merasa bingung mendengarnya.
“Cukup!” seru Aren tegas yang membuat suasana di rumah itu menjadi hening. “Lebih baik kita menyapa tuan rumah kita dulu baru mengurus hal yang lainnya.”
Aren menjadi merasa agak salah tingkah karena semua makhluk yang ada di ruangan itu menatapnya, bahkan ikan yang ada di akuarium persegi di atas lemari juga ikut menatap Aren. Namun, Aren tidak merubah ekspresi wajah tegasnya sehingga ia berhasil menyembunyikan rasa gugupnya.
“Aren benar,” ujar Eryl sambil mengangguk. “Duduklah kalian dan akan aku perkenalkan,” lanjutnya, “pemilik rumah ini, Centaurus temanku, Xavier.”
Xavier mengangguk pelan sambil mengamati tamu-tamu manusianya yang sedang sibuk meletakkan barang-barang di lantai dan menghempaskan diri ke kursi ruang tamunya yang terbuat dari batu. Mereka memperkenalkan diri satu per satu dengan suara pelan karena letih.
Awra, yang tadinya menghilang entah kemana, tiba-tiba masuk dari pintu depan sambil membawa dua botol minuman besar yang berlapis kulit cokelat, beberapa bongkah roti dan daging, serta buah anggur.
“Saatnya makan,” seru Awra sambil meletakkan barang bawaannya di meja. Segera saja, semua manusia, penyihir dan Centaurus, mulai berbagi makanan untuk memuaskan rasa lapar perut mereka.
“Bagaimana keadaan di sini?” tanya Eryl setelah ia selesai mengunyah buah anggur.
“Buruk,” jawab Xavier dengan suara yang serak dan dalam. “Raja Arlo bertindak bodoh sejak kedatangan penasehat bermulut ular dari Utara. Berani taruhan, Raja Nero mengirimnya untuk melemahkan Amortium dari dalam.”
Aren menghentikan kunyahan dagingnya dan mendengarkan percakapan mereka berdua dengan seksama. “Siapa itu Raja Arlo?”
“Raja di Kota Amortium, Raja klan batu.” Xavier menjawab singkat sebelum memasukkan potongan daging ke mulutnya. “Hidup di sini tidak setenang dulu lagi, Eryl. Raja Arlo menetapkan pajak yang sangat tinggi. Keluar masuk Amortium saja harus diperiksa dengan alasan agar tidak ada musuh yang menyusup masuk ke kota. Padahal sudah menjadi rahasia umum kalau kastil sudah berhasil disusupi musuh yang berkedudukan strategis. Sekarang Amortium terlihat kuat di luar tapi lemah di dalam.”
Aren dan teman-temannya mendengarkan penjelasan Xavier dengan penuh perhatian.
“Bukan itu saja. Perbudakan kembali dimulai. Jual beli manusia menjadi hal biasa,” sahut Awra dingin, “aku muak dengan para petinggi di sini.”
“Budak? Itu kan melanggar hak asasi manusia,” seru Platina menggelengkan kepala tanda tidak setuju.
“Apa itu hak asasi manusia?” tanya Xavier penasaran.
“Oh, itu adalah hak yang dimiliki seluruh manusia untuk hidup, berkeluarga, mendapatkan pendidikan, memperoleh pekerjaan yang layak, dan masih banyak lagi.” Platina menjelaskan dengan semangat menggebu. Semua mata tertuju padanya. Menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan, Platina terdiam dan tersipu malu.
“Singkatnya, itu adalah hak manusia untuk diperlakukan sebagaimana manusia,” ujar Aren, “di dunia asal kami menganut sistem seperti itu. Apakah di sini tidak?”
Xavier menggeleng pelan. “Tidak.”
“Bisakah kita melihat keadaan di Carmine?” tanya Flavian mendesak, “aku khawatir dengan Grizelda.”
“Kami juga khawatir dengan keluarga kami,” tambah Dave dan Derrick bersamaan.
Eryl mengangguk dan meminta sebuah cermin pada Xavier. Xavier berjalan ke dalam kamar menggunakan kaki kudanya sehingga menimbulkan suara berderap. Tak berapa lama, ia keluar sambil membawa sebuah cermin berbentuk oval dengan bingkai berukir yang terbuat dari batu. Ia menyerahkannya kepada Eryl.
“Longe Aspiciat.” Eryl mengucapkan kata sihir itu sembari meletakkan tangan kanannya di atas cermin. “Untuk Platina dan Aren, ini adalah cara penyihir untuk berkomunikasi dengan penyihir lain di tempat yang jauh menggunakan cermin. Kalian akan membutuhkannya suatu saat nanti.”
Platina dan Aren mengangguk tanda mengerti. Mereka menggumam pelan untuk menghafalkan kata sihir itu.
“Salam, Lunette,” ujar Eryl sambil melihat pada cermin yang dipegangnya. “Bagaimana keadaan di Carmine?” Eryl bertanya sambil menyandarkan cermin itu di atas rak batu sehingga semua orang bisa melihat Lunette yang berada di seberang cermin.
Platina menatap wajah Lunette dari cermin. Wajahnya menunjukkan raut muka kelelahan namun tetap tanpa datar tanpa ekspresi.
“Salam, Eryl. Sejak dua hari yang lalu kami telah bertarung mati-matian melawan prajurit musuh. Mereka seakan tak ada habisnya meskipun banyak yang sudah kita bunuh. Sekarang masih diadakan gencatan senjata. Masing-masing pihak saling bernegosiasi untuk beristirahat sebelum memulai peperangan kembali.” Lunette menjelaskan dengan nada datar. Namun, Platina merasa Carmine sepertinya sudah berada di ujung tanduk.
“Bagaimana keadaan Grizelda?” sahut Flavian dengan wajah cemas.
“Dia aman bersamaku. Berulang kali dia meminta ikut pertempuran tapi aku melarangnya untuk kebaikannya sendiri,” jawab Lunette.
Flavian mengangguk lega mendengar penjelasan Lunette. Ia merasa lebih tenang sekarang setelah mengetahui adiknya baik-baik saja.
“Apakah Carmine masih mampu bertahan?” tanya Derrick. “Apakah perlu kami pulang untuk membantu?”
“Tidak, ini bukan tugas kalian. Serahkan saja pada kami di sini. Lindungi Platina, Ruby, dan Aren, serta kalau aku tidak salah pasti kalian sudah mengenal Awra.”
Perkataan Lunette barusan membuat Platina, Aren, Ruby dan Awra terkejut. Keempat remaja ini saling bertukar pandang.
“Aku tahu tentang apa yang kalian belum tahu,” kata Lunette setelah melihat wajah keheranan keempat remaja di depannya. “Pasukan penyihir sudah bergabung bersama kami. Pasukan kami akan lebih kuat dengan adanya penyihir penyembuh. Kalian tidak perlu khawatir. Sekarang, kalian sedang ada dimana? Apa yang akan kalian lakukan setelah ini?”
“Kami berada di Amortium,” jawab Platina, “apakah ada yang harus kami kerjakan di sini?”
“Amortium?” tanya Lunette dengan nada penasaran.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka dari seberang cermin yang Platina lihat. Lunette menoleh ke arah kanannya melihat orang yang menganggu komunikasinya. “Raja Devon,” kata Lunett lirih sambil mengangguk.
Platina langsung bisa melihat Raja Devon mendekati Lunett dan menolehkan wajahnya pada mereka. “Hai, kawan-kawanku. Aku harap kalian aman di sana. Aku lihat kalian sudah memiliki kawan baru di perjalanan.” Raja Devon tersenyum sambil memandang Eryl, Awra, dan Xavier. “Aku dengar barusan, kalian berada di Amortium? Kawan lamaku, Raja Arlo berada di sana. Aku berharap ia tetap menjadi raja yang bijaksana untuk memimpin kota.”
“Amortium tidak lagi aman sekarang,” ujar Corby, “apa yang harus kami lakukan, Raja?”
Raja Devon mengernyitkan dahinya. “Sudah aku duga. Nero mulai bergerak. Menurutku, tidak ada jalan lain bagi kalian untuk terus kabur.” Raja Devon menjawab dengan nada serius sambil memandang Platina, Aren, dan Ruby. Ia memandang Awra sedikit lebih lama. “Kalian harus melawan Raja Nero secara terang-terangan sekarang. Bersikaplah bangga menjadi para pendatang. Pergilah ke Valonia dan hancurkan kastil hitam terkutuk miliknya.”
Platina langsung merasa mual. Sudah lama ia menanti waktu saat ia dan teman-temannya harus melawan Raja Nero secara langsung. Ketika waktu ini datang, ia berusaha untuk bersikap tegar, namun juga merasa ketakutan mulai mencengkeram seluruh tubuhnya.
Platina memegang lengan kiri Aren. Aren membalas tangan Platina kemudian menggenggam Ruby dengan tangan kanannya. Ruby sedikit kaget oleh sikap Aren tapi merasa berterimakasih karena masih menjadi temannya untuk menghadapi takdir. Entah karena sebab apa, Ruby menggandeng Awra yang berada di sebelah kanannya. Ruby merasa memiliki ikatan yang kuat pada Awra. Awra menatap tangannya yang digandeng Ruby dengan tatapan tajam sebelum ia tersenyum dan menggandeng tangan kiri Platina. Mereka berempat membentuk lingkaran kecil lalu bersama-sama mereka tersenyum bahagia karena merasa saling memiliki.
“Kami membutuhkan bantuan pasukan. Tidak mungkin bila hanya kami saja yang menyerang Valonia,” ujar Eryl pada Raja Devon diseberang cermin.
Raja Devon mengangguk. “Setelah peperangan di Carmine ini selesai dan kami meraih kemenangan. Kita akan bertemu dipinggir kota Valonia.”
“Apakah ada strategi untuk mengalahkan Raja Nero?” tanya Aren.
“Aku tidak tahu, Nak. Kalian harus membantuku untuk memikirkannya,” jawab Raja Devon sambil menggeleng lemah. “Tapi, aku memiliki strategi untuk menyerang kastilnya. Nanti akan kita bicarakan. Peperangan akan kembali dimulai. Aku harus memimpin para pejuang Carmine.”
Mereka semua mengangguk mengerti. Mereka harus menunggu di Amortium sampai pertempuran di Carmine selesai.
“Tolong, jaga adikku,” sahut Flavian.
Platina mengernyit. Baru kali itu Platina mendengar Flavian mengucapkan kata-kata yang sopan. Hanya Raja Devon yang ia hormati, batin Platina.
Raja Devon mengangguk lalu pergi meninggalkan cermin. Lunette maju mendekati cermin dan berbisik. “Hati-hati. Semoga keselamatan menyertai kalian.”
Mereka semua mengangguk. Eryl melepaskan aliran sihirnya sehingga wajah Lunette terlihat perlahan memudar lalu hilang. Bayangan mereka semua terlihat di cermin yang sudah berubah menjadi cermin biasa itu.
“Baiklah, kita sudah tahu keadaan Carmine. Aku ingin melihat keadaan Esmevere sebentar,” kata Eryl, “aku akan menghubungi Seleca untuk bertanya...”
Tiba-tiba, Eryl menghentikan kalimatnya dan menempelkan telunjuk kanannya ke mulut. Platina memandang ke arah pintu depan dengan waspada. Ia merasa semua orang menahan napas karena suasana di ruangan itu menjadi sangat hening bahkan dari helaan napas sekalipun.
“Prajurit,” bisik Awra dan Corby bersamaan. Mereka saling berpandangan heran karena bisa berbicara pada saat yang sama. “Dua puluh, tidak, tiga puluh orang,” lanjut mereka bersamaan lagi.
“Jangan mengangkat senjata sebelum aku memberikan kode,” bisik Eryl sambil memandang pintu depan yang sekarang sudah dihalangi oleh badan Centaurus, Xavier.
“Mereka bersenjata lengkap,” bisik Xavier setelah sedikit mengintip dari balik tirai jendela. “Kita harus berhati-hati. Kedatangan prajurit di rumah biasanya akan berakhir tidak terlalu bagus.”
Platina menelan ludah. Jantungnya mulai berdegup kencang memikirkan kemungkinan ia harus bertarung dengan prajurit bersenjata lengkap. Ia sedikit melonggarkan pedang peraknya dari sarungnya.
Terdengar gedoran keras dari pintu depan diikuti dengan suara pria yang serak dan galak. “Buka pintunya, Xavier! Raja Arlo memerintahkan kami untuk membawamu dan orang-orang yang ada di dalam rumah ini ke kastil. Cepat buka!”
“Bersiaplah,” bisik Xavier pada teman-temannya yang sudah mengambil ancang-ancang untuk melindungi diri jika dibutuhkan. Xavier menarik nafas dalam lalu membuka pintu depan rumahnya.
Tampak tiga orang prajurit berbadan kekar berdiri tegak di depan pintu. Mereka memakai baju besi dan membawa pedang. Prajurit pria yang berada di tengah memiliki perut sangat tambun, sampai membuat Platina heran, ada baju besi yang muat untuk tubuhnya.
“Cepat kalian semua ikut kami!” seru prajurit tambun itu.
“Atas dasar apa kami harus dibawa ke kastil?” Xavier bertanya dengan tenang.
“Sudahlah tidak usah banyak bicara!” serunya, “Kalau tidak bisa dengan cara halus, terpaksa kami menggunakan cara kasar.”
“Maafkan kami, tapi mungkin kami lebih memilih cara yang terakhir jika tidak diberi penjelasan.”
“Cih, dasar manusia setengah hewan,” gerutu prajurit tambun itu sambil mendecakkan lidah.
Urat leher Xavier sedikit berdenyut mendengar dirinya dihina, namun ia masih berusaha tetap tenang. Platina merasa Aren sudah tidak sabar ingin menyerang di sebelahnya. Platina menyenggol kaki Aren agar temannya itu tidak bertindak bodoh yang bisa merugikan keadaan mereka semua.
“Mereka dianggap sebagai penyusup,” ujar prajurit itu sambil menunjuk Eryl dan rombongannya. “Raja Arlo akan mengadili mereka. Hukuman paling berat adalah mereka akan dikirim ke kastil hitam Raja Nero.”
Semua yang ada di dalam rumah itu menegang, mendengar nama Raja Nero disebut.
“Sepertinya kita harus kabur sekarang,” bisik Aren pada Platina.
Wajah Xavier mengeras. Ia meletakkan tangan kirinya ke balik punggungnya kemudian meregangkan kelima jarinya membentuk tanda ‘tahan’.
“Kami menolak.”
“Kalau begitu kami harus bertindak.”
Tiga prajurit di depan pintu menerjang masuk ke rumah. Xavier mengangkat jempol kirinya sebagai kode bahwa teman-temannya harus melawan.
Platina memahami kode itu lalu menarik pedangnya keluar dari sabuknya. Delapan orang prajurit sudah berada di dalam rumah sehingga membuat ruangan itu penuh sesak apalagi dengan senjata saling terangkat.
“Tangkap mereka!” Teriak prajurit bertubuh tambun memerintah anak buahnya. Para prajurit yang lain berteriak menjawab dengan sorakan kemudian mengayunkan senjata mereka.
Platina menangkis ayunan pedang prajurit yang ada di depannya. Platina mendorong pedang itu dengan keras, melepasnya, kemudian menyabetkannya ke bagian paha prajurit itu yang tidak terlindung baju besi. Prajurit itu berteriak ketika sayatan logam berhasil menembus dagingnya. Platina meringis mendengar teriakan kesakitan prajurit itu.
“Ini tidak mudah,” gumam Platina. Pertarungan ini berbeda dengan pertarungannya dengan pasukan Molk di malam sebelumnya. Sekarang, yang Platina hadapi adalah manusia. Melukai, bahkan membunuh manusia bukanlah hal yang mudah.
“Mungkin aku tidak perlu membunuhnya,” gumamnya, “aku hanya perlu menyakitinya hingga ia tidak akan bisa menangkapku.”
Platina mengayunkan pedangnya ke dada prajurit di depannya dengan kuat, namun dengan sia-sia memantul pada baju besinya. Prajurit itu mengernyit kesakitan. Platina tersenyum, ia berhasil membuat memar di dada pria itu.
Dari sudut matanya, Platina dapat melihat teman-temannya juga berusaha melawan para prajurit yang berusaha menawan mereka. Ruangan kecil itu memaksa teman-temannya untuk segera menjatuhkan prajurit di depannya agar tidak terpojok dan bisa memiliki ruang lebih luas untuk mengayunkan senjata.
Platina menusukkan pedangnya ke pinggang prajurit di depannya. Prajurit itu menjerit keras karena gagal menangkis pedang Platina, sehingga kucuran darah dari pinggangnya merembes dari kain bajunya. Platina tidak melepaskan kesempatan ini. Ia sedikit melompat dan berputar lalu memukulkan gagang pedangnya pada leher lawan di depannya. Prajurit itu jatuh menelungkup dan tidak lagi bisa berdiri.
Rasa aneh memenuhi dada Platina. Belum sempat ia mendefinisikan rasa aneh yang baru ia rasakan itu, seorang prajurit lain menerjang maju ke arahnya dengan pedang terhunus. Platina sedikit bergerak ke kiri untuk menghindari pedang itu lalu langsung menusukkan pedangnya ke pinggang lawan. Darah kembali mewarnai pedangnya.
Pertempuran itu terus berlanjut di rumah Xavier yang terasa semakin sempit karena badan prajurit-prajurit yang kalah masih bergelimpangan di lantai. Platina terus menusukkan pedangnya ke prajurit yang berusaha menawannya. Beberapa luka sayatan ia terima di lengan dan dahinya.
‘Kita harus keluar dari rumah ini dan berpencar.’
Platina mendengar suara Eryl dari dalam pikirannya. Ia menoleh pada Aren yang mengerutkan kening keheranan, tanda ia juga mendengar suara Eryl di kepalanya.
‘Kita bertemu di pinggir kota Amortium.’ Suara Eryl kembali terdengar dengan penglihatan sekelebatan jalan di kota Amortium menuju pinggir kota.
Tangan Platina ditarik oleh Aren dan Ruby. Mereka bertiga menuju ke pintu depan dan sempat melukai dua prajurit yang menghalangi jalan. Platina menoleh ke arah kanan dan melihat banyak prajurit berlari menghampiri mereka.
“Lewat sini.” Awra menggandeng lengan Platina ke arah kiri diikuti oleh Aren dan Ruby.
Mereka berempat berlari melewati jalan sempit berkelok bagaikan labirin itu tanpa mengurangi kecepatan. Platina hanya berfokus pada rambut emas panjang Awra yang berlari di depannya. Rumah-rumah penduduk di kanan-kirinya tidak dihiraukan. Jantung Platina terus memompa darah untuk memberikan suplai oksigen pada seluruh bagian tubuhnya. Dadanya terasa berdebar kencang, setengah kelelahan setengah ketakutan. Keempat remaja itu terus berlari dari kematian yang mengejar tepat di belakang mereka.
********************************
Maafkaan paragraf yang berantakan ini yaaa, sepertinya watty saya sedang bermasalah TT
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro