Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2 - Rumah

"Aren, tunggu."

Platina memanggil Aren yang sudah berjalan keluar gerbang universitas bersama teman-teman lelakinya. Platina berlari kecil menghampiri Aren seraya menonjok pelan bahu kirinya.

Aren tersenyum menyebalkan, seperti yang sering dikatakan Platina padanya, dan menunggu temannya itu mengatakan sesuatu. Matanya yang cokelat bersembunyi di belakang kacamata berbingkai hitam. Rambutnya hitam dengan model agak berponi membuatnya banyak disukai teman-teman perempuannya. Ia menepuk punggung Platina dengan agak keras dan tertawa.

"Hei, sakit tahu," sahut Platina, "aku mau ikut pulang."

Dua teman Aren menyeringai, melihat kelakuan Platina dan Aren Mereka berempat berjalan keluar gerbang bersama. Matahari sudah mulai memunculkan semburat sinar yang berwarna oranye indah di langit, menandakan sudah berakhirnya jam kuliah dan saatnya murid-murid untuk pulang. Kebanyakan murid akan naik bis universitas yang mengantarkan mereka ke wilayah perumahan tempat mereka tinggal. Kemudian, mereka harus berjalan kerumah masing-masing.

Empat remaja ini menaiki bis bewarna biru metalik karena rumah mereka berada di perumahan yang sama. Celotehan riuh para murid terdengar dari dalam bis. Mereka berempat mencari tempat duduk kosong, yang ternyata berada di bangku paling belakang dengan deretan empat kursi duduk bersebelahan.

Ketika sudah duduk disana, teman lelaki Aren yang berbadan kekar, Ethan namanya, bertanya pada Platina. "Hei, Pat, dimana Chloe? Aku tidak bertemu dengannya hari ini." Ia memandang Platina dengan raut muka penasaran.

Platina tersenyum paham dan menjawab, "Chloe sedang diet, jadi ia tidak makan di kantin. Ia hanya duduk diam di kelas. Mungkin sedang memikirkanmu."

Ethan tertawa gugup, bingung harus bereaksi apa bila digoda seperti itu. Ia memang berbadan kekar yang merupakan hasil dari rutinitas setiap minggu mengunjungi gym dan berlatih disana. Namun, hatinya tidak sekuat yang ia bayangkan kalau berhadapan dengan gadis yang ia suka.

"Jangan bercanda, Pat," ujarnya. Namun, dalam hati, ia merasa senang membayangkan Chloe sedang memikirkannya.

Lelaki di sebelah Ethan meliriknya tanpa melepaskan pandangan dari buku yang sedang ia baca sekarang. Kacamatanya tebal karena ia terlalu sering membaca dalam kondisi apa pun dan dimana pun. Tetapi, ia terlihat santai dan tidak memedulikan pembicaraan orang tentang kacamatanya, bahkan ia sebenarnya cukup keren bila tanpa kacamata. Namun, dunianya tampak kabur ketika ia mencoba berjalan-jalan tanpa menggunakan kacamata. Ia tidak akan pernah melepas kacamatanya lagi dalam kondisi apapun.

"Langsung katakan saja padanya, Eth. Sepertinya Chloe juga suka padamu," kata lelaki ini blak-blakan.

Memang, ia cowok yang selalu langsung mengatakan apa yang ada dipikirannya, sangat berbeda dengan kesan pendiam yang ia tampilkan. Ia juga termasuk anak yang aktif berbicara dan berolahraga.

"Tidak mungkin, Lylod." Ethan menyahut sambil menoleh pada temannya itu dengan pandangan tidak percaya. "Aku bahkan tidak punya keberanian itu."

Lylod menghela napas mendengar temannya berkata seperti itu. "Kalau begitu seumur hidup saja kau sendiri seperti ini." Ia terkekeh tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya. Platina dan Aren ikut tertawa terbahak mendengar sindiran itu.

Ethan merengut dan bergumam. "Tidak lucu ah."

Bis universitas terus meluncur maju dengan mulus di jalan sampai melewati jalan panjang berliku menuju perumahan. Tanda nama perumahan ini tertulis di papan kayu yang besar di sisi kanan jalan. Tak lama kemudian bis berhenti tepat di depan jalan lurus yang kanan kirinya berdiri berjajar rumah-rumah tanpa pagar dengan warna cat yang berbeda.

Sinar matahari sudah semakin redup, merubah warna langit menjadi kebiruan. Murid-murid berebut turun dari bis karena ingin segera menuju rumah mereka untuk beristirahat. Ethan turun lebih dulu dibanding teman-temannya.

"Ayo, kita bermain bola dulu sebentar di lapangan. Sore-sore begini biasanya ada beberapa anak ingusan yang bermain di sana," ajak Ethan sambil meregangkan badan.

Teman-temannya mengangguk setuju lalu berjalan menuju lapangan. Walaupun Platina perempuan, tapi ia sering ikut mereka bertiga bermain bola, meskipun ia tidak bermain dan hanya duduk-duduk di pinggir lapangan sembari mengamati mereka.

Sesampainya di lapangan, sudah ada yang memakai lapangan itu, jadi mereka langsung bergabung dengan tim-tim yang sudah terbentuk. Suara gelak tawa para lelaki, bahkan umpatan, mewarnai suasana sore di lapangan itu. Platina hanya menggelengkan kepala, tanda tidak setuju dengan umpatan yang dilontarkan mereka, lalu ia duduk di salah satu bangku yang ada di sekeliling lapangan. Ia menyilangkan kaki dan mulai membaca buku novel fiksi yang ia bawa. Platina sangat suka membaca novel, terutama novel fiksi, sejak ia berumur enam tahun. Bahkan sampai sekarang, ia masih berharap untuk dapat masuk ke dunia fiksi entah bagaimana caranya. Ia hanya tersenyum membayangkan hal yang tidak mungkin ini dan mulai melanjutkan membaca.

Hari semakin gelap dan permainan pun dihentikan. Para lelaki mulai mengemasi barang-barang mereka dan berjalan pulang sambil bersenda gurau. Platina menutup novel dan melihat teman-temannya berjalan menghampirinya. Keringat membasahi baju yang mereka pakai. Angin senja menyapu rambut mereka yang menempel ke dahi karena keringat. Mereka tertawa-tawa, terlihat lelah namun senang.

Lylod mengambil tasnya di sebelah Platina dan berkata, "ayo pulang, aku sangat lapar." Ia mengusap perut yang sekarang berbunyi keras sampai ke telinga ketiga temannya.

Mereka bertiga tertawa keras mendengar itu.

"Astaga, lebih baik aku berlari pulang sebelum perutku berbunyi lagi lebih keras dan menakuti kucing-kucing di sekitar sini."

Sambil mengatakan hal itu, Lylod melambaikan tangan dan berlari menuju rumahnya. Platina, Aren, dan Ethan membalas lambaian tangannya sambil masih terus tertawa.

"Ayo kita juga segera pulang," ajak Aren.

Ia mengambil tasnya dari atas rerumputan. Tiba-tiba, ia melihat sekelebat bayangan berlari ke arah hutan, di ujung lapangan. Aren membeku. Matanya mengernyit berusaha melihat lebih jelas ke dalam hutan yang gelap. Ia berusaha menangkap bayangan, apapun itu, yang mungkin bersembunyi di balik hutan sekarang. Pohon-pohon di hutan diam tak bergerak. Ranting dan dedaunannya bergerak malas tertiup angin. Ia memiringkan kepalanya tanpa melepaskan pandangan dari hutan.

Mungkin hanya perasaan, batinnya. Ia berbalik dan menyampirkan tas di bahu ketika sebuah benda terjatuh ke tanah.

"Eh, apa ini?" tanya Aren saat melihat benda yang jatuh tadi. Platina dan Ethan mendekatinya dengan pandangan penasaran.

Sebuah figurin berbentuk serigala tergeletak di atas tanah. Serigala itu bewarna hitam dan putih, matanya kekuningan, terlihat hidup dibawah bayang-bayang sinar matahari yang semakin redup. Wajahnya terlihat kuat tapi juga rapuh pada saat yang bersamaan.

Kesan yang aneh, pikir Platina. "Punya siapa ini? Punyamu?" Platina mengambil figurin itu dan menyerahkannya pada Aren.

Aren menggeleng. "Bukan milikku, tapi memang sepertinya tadi ada di atas tasku. Apakah mungkin milik salah satu anak yang tadi bermain bersama kita, Eth?"

Ethan juga menggeleng. "Entahlah, tapi aneh, bila ada yang memilikinya, kenapa ia menaruh figurin ini di atas tasmu?" Ia mengelus figurin itu dengan rasa penasaran.

"Mungkin lebih baik besok kita kembali kesini dan menanyakan pada anak-anak yang bermain tadi," kata Platina.

Kedua temannya mengangguk setuju. Aren meletakkan figurin itu di dalam tasnya untuk dibawa besok kembali ke lapangan.

Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan untuk menerangi jalan perumahan. Sekarang sinar matahari sudah sepenuhnya tersembunyi di kaki langit. Setelah saling mengucapkan selamat tinggal dan sampai jumpa pada Ethan, Platina dan Aren berjalan bersama menuju rumah mereka yang letaknya dekat dengan lapangan.

"Apa yang tadi kau baca?" tanya Aren pada Platina.

"Novel yang tadi? Seperti biasa, novel fiksi."

Platina tersenyum melihat Aren nyengir. Ia tahu Aren juga suka novel fiksi seperti dirinya tetapi tidak akan mengulang-ulang membaca buku yang telah dibacanya.

"Aku penasaran," lanjut Platina. "Figurin itu muncul secara misterius, jangan-jangan ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya."

Aren menjitak kepala Platina sambil tertawa. "Tuh lihat, kau terlalu sering membaca novel fiksi dan misteri. Masih berharap bisa bertualang dalam dunia fiksi, eh?"

Platina mengusap-usap kepalanya yang dijitak. "Aduh, sakit tahu. Padahal kau juga berharap kan? Siapa yang dulu menunggu surat undangan dari Hogwarts ketika berumur sebelas tahun?" tantang Platina.

"Wah wah, itu sih cerita lama, Pat," sahut Aren nyengir, "kita sudah terlalu tua sekarang untuk berimajinasi. Lihat saja, tokoh utama di cerita-cerita semacam itu, mereka adalah anak-anak dibawah tujuh belas tahun, sedangkan kita sembilan belas tahun. Kita sudah terlalu uzur."

Mau tidak mau Platina tertawa mendengarnya. "Memang benar sih, tapi boleh-boleh saja kan aku berharap?" kata Platina sambil memandang Aren sembari menunggu ejekan Aren selanjutnya.

Jauh di lubuk hati mereka berdua, saling sadar satu sama lain bahwa mereka pernah berharap untuk, entah bagaimana caranya, pergi ke dunia fiksi dan menyelamatkan dunia. Terlihat keren di novel-novel yang mereka baca. Tokoh utama tidak pernah mati. Itulah yang menyebabkan mereka sering membayangkan untuk menjadi tokoh utama. Tapi, itu adalah cerita masa lalu mereka disaat sama-sama masih kecil dan menggandrungi setiap cerita fiksi yang mereka baca.

Mata Aren menerawang jauh ke depan lalu berkata. "Mungkin boleh-boleh saja. Harapan selalu menemukan jalannya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro