Chapter 14 - Perjalanan
Selama lima hari setelah duel tidak menyenangkan antara Aren dan Flavian, latihan pedang dan sihir tetap dilakukan oleh Platina dan Aren. Setiap harinya, mereka mendapatkan materi latihan yang berbeda. Mereka sudah dilatih cara bertempur dimedan perang bila berhadapan dengan ratusan bahkan ribuan prajurit musuh. Pada latihan sihir, mereka telah dilatih kata sihir baru seperti untuk mengangkat benda, menyalakan api, menghentikan anak panah yang menarget mereka, melindungi diri dengan perisai sihir, serta cara bertempur dan kegiatan sehari-hari lainnya.
Aren mendapatkan kemajuan yang pesat pada latihan pedangnya. Ia berhasil mengenai Victor dengan pedang kayunya dan mendapatkan pukulan yang sama dibagian pinggangnya hingga menimbulkan memar lebar yang menyakitkan. Namun, Aren puas karena ia berhasil mendaratkan kesakitan yang sama pada Victor. Sedangkan Platina, kemampuan sihirnya lebih kuat dari Aren. Ia bisa melakukan hal yang diminta Lunett hanya dalam sekali percobaan. Kekuatan mereka berdua semakin meningkat. Mereka tidak lagi dengan mudah merasa lelah dan kehabisan nafas pada latihan pedang. Mereka juga tidak merasa lemas dan pusing setelah menggunakan sihir.
Platina senang dengan peningkatan kemampuan mereka. Latihan pedangnya tidak buruk walaupun masih kalah oleh Aren ketika mereka berlatih melawan satu lawan satu. Platina merasa Aren lebih bersemangat menjalankan latihan pedangnya setelah kalah duel. Tekad Aren untuk berlatih dan menyerap semua kemampuan Victor sangat terasa. Dasar laki-laki, batin Platina tidak mengerti saat melihat Aren yang sangat bersemangat melawan Victor padahal tubuhnya sudah terkena beberapa pukulan telak dari pedang Victor. Platina sedang duduk dirumput memperhatikan pertarungan pedang dua lelaki dihadapannya. Matahari berada tepat diatas kepala mereka sehingga membuat suasana makin panas.
Aren dan Victor masih terus berlatih tempur ketika Platina melihat sosok Corby berlari kearah mereka. Rambutnya yang hitam dan tebal berayun mengikuti gerakan larinya. Ia mengedikkan kepala sedikit pada Platina untuk menyapa dan berjalan kearah Victor. "Raja Devon memintaku untuk menjemput Platina dan Aren," ujar Corby.
Victor mengangkat tangan pada Aren sebagai tanda untuk menghentikan latihan sementara. "Ada apa? Latihan kami belum selesai," tanya Victor dengan nada tidak setuju latihannya dihentikan dengan mendadak. Platina mendekati mereka dengan penasaran.
"Aku juga tidak tahu, tapi keadaannya mendesak. Raja Devon terlihat khawatir," jawab Corby.
Victor mengerutkan kening mendengar jawaban itu. "Baiklah, kalau ini penting. Seharusnya, nanti aku juga akan tahu." Victor mengakhiri latihan dengan meletakkan pedang kayunya diikuti oleh Aren dan Platina. Mereka saling mengucapkan salam kemudian Platina dan Aren menyusul Corby yang sudah berlari keujung lapangan. Platina mengernyit bingung, terakhir kali mereka dipanggil Raja Devon, mereka mendapatkan kabar kurang menyenangkan.
Mereka bertiga berlari menuju aula kayu tempat Raja Devon menunggu. Raja Devon sedang berdiri ketika mereka memasuki aula. Wajahnya terlihat tenang dan tersenyum melihat ketiga remaja dihadapannya memberi hormat. "Terimakasih telah datang. Maaf aku mengganggu latihan kalian yang tidak akan pernah aku sela bila tidak ada sesuatu yang penting," ujarnya sambil memandang Platina dan Aren dengan tatapan penuh arti. "Langsung saja kita berbicara tentang inti masalahnya. Para pejuang kami menemukan sebuah tempat ditengah hutan yang diperkirakan menjadi tempat beristirahat para prajurit Nero dilihat dari jejaknya. Sepertinya, Nero mengirim pasukannya lagi untuk menghancurkan Carmine. Ditengah sisa kayu bakar, salah satu pejuang menemukan perkamen ini."
Raja Devon menyerahkan secarik perkamen pada Platina yang sudah menghitam disalah satu ujungnya. Aren mendekatkan diri pada Platina untuk ikut melihat perkamen itu. Diatas perkemen kusam itu tertulis '.... di Carmine. Bawa mereka bertiga hidup-hidup. Bunuh yang lain.....' Hanya beberapa kata itu yang terbaca sedangkan lainnya terputus karena terbakar. Platina mengembalikan perkamen itu pada Raja Devon dengan jantung berdebar. Platina memandang Aren dengan cemas. Temannya itu mengeraskan rahangnya dan memandang tajam Raja Devon.
"Apakah yang dimaksud dalam perkamen itu adalah aku, Platina, dan Ruby?" tanya Aren lambat-lambat.
"Sepertinya begitu," jawab Raja Devon prihatin. "Disini sudah tidak lagi aman bagi kalian. Nero sudah tahu keberadaan kalian. Kita harus berhasil mengecohnya dengan memindahkan kalian ketempat para penyihir yang lebih tersembunyi."
Platina membelalakkan mata. Rasa takut mulai menjalar kepunggungnya. "Bagaimana bisa Raja Nero tahu kami ada disini?"
"Sayangnya, aku tidak tahu," jawab Raja Devon menyesal. "Maafkan aku tidak bisa melindungi kalian seterusnya. Sore ini juga, kalian harus segera berangkat."
Platina dan Aren menggelengkan kepala mendengar ucapan menyesal Rja Devon. "Tidak, Raja Devon. Ini semua bukan salah Raja Devon. Terimakasih karena telah berbaik hati mengizinkan kami tinggal disini," ujar Platina serius diikuti dengan Aren yang mengangguk setuju.
"Terimakasih kembali, Nak," ujar Raja Devon sambil tersenyum. "Corby, berikan surat ini pada penjaga rumah para penyihir. Kau tahu tempatnya," perintah Raja Devon sambil memberikan gulungan perkamen pada Corby.
"Baik, Raja," kata Corby. Gulungan perkamen tadi ia masukkan dalam tunik bajunya yang Platina amati memiliki saku berlapis didalamnya. Corby memandang Platina dan Aren. "Aku pergi dulu. Pembawa pesan, kautahu?" ujarnya bangga sambil menepuk dadanya. "Kalian berhati-hatilah. Semoga keselamatan mengikuti kalian." Setelah mendapatkan lambaian tangan dari Platina dan Aren serta ucapan sampai jumpa, Corby berlari keluar aula dengan langkah ringan seperti tidak terpengaruh beban tubuhnya sendiri.
"Kalian bersiaplah," kata Raja Devon pada Platina dan Aren. "Bawalah barang-barang kalian. Ruby, Dave, dan Derrick akan menemui kalian dirumah."
"Bagaimana cara kami tahu jalan menuju ketempat para penyihir?" tanya Aren.
"Aku sudah memberitahukan pada Dave dan Derrick namun hanya sampai penjaga depan saja. Setelah itu, kalian harus menuruti perintah para penjaga," jawab Raja Devon.
Platina dan Aren mengangguk mengerti lalu memberi hormat dan keluar aula. Mereka berlari menuju rumah mereka sambil berbicara. Hal ini sudah tidak membuat mereka kehabisan nafas karena setiap hari mereka lakukan agar terbiasa.
"Hei, Aren. Menurutmu kenapa Raja Nero menginginkan kita hidup-hidup? Bagaimana dia bisa tau kita ada disini?" tanya Platina sambil terus berlari.
Aren mengernyitkan alis sambil berpikir. "Raja Nero tidak mungkin tahu yang dikatan Seleca, kan? Kalau begitu mungkin dia ingin kita menjadi sekutunya?" jawab Aren sambil balik bertanya. "Mengenai keberadaan kita disini, aku tidak tahu. Apakah ada mata-mata Raja Nero disini? Atau ada pengkhianat diantara penduduk sini?"
"Asumsi ada pengkhianat itu cukup menakutkan," kata Platina.
Mereka berdua sampai dirumah pohon masing-masing dan segera membawa barang-barang yang dibutuhkan. Sebuah tas ransel kulit berwarna coklat sudah ada diatas kasur mereka. Platina penasaran, siapa yang tahu mereka akan pergi dan meletakkan tas itu? Platina masih mencoba menebak jawabannya sambil mengemas baju-bajunya, termasuk baju aslinya dari dunia nyata, serta handphonenya.
"Hai, Pat, kau sudah selesai?" seru Aren sambil membuka pintu penghubung rumah mereka dengan tiba-tiba.
Platina berjengit kaget lalu menatap Aren dengan kesal. "Berapa kali harus aku bilang, Aren? Ketuk pintu dulu, astaga."
Aren hanya nyengir senang melihat kekesalan temannya itu. "Sudahlah, jangan marah begitu. Lagipula ini saat terakhir aku bisa begini."
"Maksudmu?" tanya Platina cepat.
Bola mata coklat Aren menerawang. "Aku punya firasat kita tidak akan kembali kesini," jawab Aren pelan. Ia memandang berkeliling rumah Platina dengan tatapan berat.
Platina menghela nafas. "Aku ingin pulang, kau tahu? Bagaimana keadaan ibu dirumah ya?"
Aren berjalan mendekati Platina dengan ransel tersandang dipunggungnya. "Aku juga," jawab Aren sambil menepuk kepala Platina. "Tetaplah berharap, Pat. Hanya harapan yang membuat kita tetap melakukan peran kita disini."
Platina mengangguk sambil mengencangkan ikatan gesper pada ranselnya. Ia mengangkat ransel itu kebahunya ketika suara Ruby terdengar dari bawah memanggil mereka. Platina dan Aren bergegas turun kebawah dan melihat Ruby, Dave, serta Derrick sudah memakai pakaian kulit dan menyandang senjata serta ransel masing-masing.
"Hai, Ruby. Sudah lama kami tidak melihatmu sejak...," kata-kata Aren terputus mengingat kenangan pahit ia dikalahkan Flavian.
Ruby menepuk lengan Aren untuk menenangkan. "Sejak lima hari yang lalu. Aku berlatih dilapangan yang berbeda lalu melakukan sedikit ini dan sedikit itu."
"Lebih baik kita cepat berangkat agar bisa sampai lebih cepat," ajak Derrick. "Ini pedang untukmu," lanjutnya sambil memberikan pedang pada Aren. "Dan ini untukmu." Ia memberikan pedang yang terakhir pada Platina.
Platina dan Aren menatap pedang yang mereka pegang. Sarung pedang dan gespernya berwarna perak. Ukiran rumit yang menonjol pada sarungnya terasa kasar ditangan Platina. Aren sudah menarik pedangnya dengan mata berbinar. Cahaya matahari memantul pada logamnya, yang berwana perak bersih, dengan sempurna. Pedang Platina sekepal lebih panjang dari pedang milik Aren. Namun, bilah milik Aren lebih tebal daripada milik Platina. Aren dengan bersemangat mencoba mengayunkan pedang barunya itu sambil tertawa. Platina masih merasa aneh diberi pedang. Pedang itu lebih berat daripada pedang kayu yang biasa ia gunakan berlatih. Ia mencoba mengayunkannya sedikit dan rasa senang langsung menjalarinya. Pedang itu ringan ketika diayun dan panjangnya sangat tepat untuk lengan Platina. Rasanya lenganku seperti menyatu dengan pedang ini, batin Platina.
"Baiklah, sarungkan pedang kalian dan kita berangkat," seru Ruby pada mereka berdua yang masih senang mencoba pedang barunya.
Platina dan Aren berpandangan nyengir sambil menyarungkan pedang mereka lalu mengikat gespernya dipinggang. Setelah merasa pedang mereka aman tidak akan jatuh, mereka mengikuti Ruby dan si kembar keluar dari Carmine. Platina memandang kebelakang dan melihat tembok kayu, yang lebih tinggi dan lebar dibandingkan awal ia melihatnya, menutupi Carmine. Pohon-pohon mulai memunculkan bayangannya karena sinar matahari yang sudah semakin turun. Platina bisa mendengar burung-burung berkicau ribut untuk kembali kesarangnya. Ia menoleh lagi kebelakang untuk menatap tembok kayu Carmine yang selama ini telah memberinya perlindungan. Matanya menangkap sesosok laki-laki yang bergegas bersembunyi dibalik pohon. Platina terdiam dan memandang pohon dibelakangnya dengan seksama. Hanya bayangan pohon yang bergoyang yang bisa ditatap matanya. Mungkin perasaanku saja, batinnya. Ia berbalik dan mengejar teman-temannya agar tidak tertinggal.
Mereka terus berjalan masuk kehutan dipimpin oleh si kembar. Suara-suara serangga mulai terdengar keras ketika matahari mulai tenggelam. Dave dan Derrick mulai menyalakan lentera yang mereka bawa untuk menerangi jalan. Platina memandang keatas kearah pepohonan. Sekelebat bayangan melintas dari pohon ke pohon. Platina langsung memalingkan mukanya dan menatap Aren yang ternyata sedang memperhatikan Ruby dengan tatapan aneh. Platina menahan tawanya ketika melihat Aren yang terlihat tertarik pada Ruby. Temanku yang menyebalkan ini suka pada Ruby? batin Platina sambil terkikik. Tawa tertahan Platina membuat Aren menoleh padanya. Platina memandangnya lalu nyengir sambil mengangkat jempol. Aren mengernyit dan dan membuang muka malu karena merasa terpegok sedang memperhatikan Ruby.
Ruby menoleh pada Platina yang masih menahan tawa. "Kau kenapa, Pat?"
"Tidak, tidak apa-apa," jawab Platina sambil berusaha menenangkan diri dari tawanya.
"Hmm, aku kira kalian tadi sedang....," kata-kata Ruby terputus saat menoleh kebelakang. "Siapa disitu? Tunjukkan dirimu," seru Ruby sambil menodongkan anak panahnya pada pepohonan dibelakang Platina. Dave dan Derrick sudah kebelakang dan juga menodongkan tombak mereka. Aren menarik pedangnya diikuti oleh Platina.
"Kalau kau tidak segera keluar, anak panah ini akan menembusmu," ancam Ruby.
Sesosok laki-laki yang tadi Platina lihat keluar dari balik pepohonan. Ia melepas tudungnya dan merentangkan tangan lebar-lebar. "Hei, santai saja. Ini aku."
"Flavian," seru Ruby sambil menurunkan panahnya. "Apa yang kau lakukan disini? Kau mengikuti kami?"
"Woah, tentu saja tidak. Aku sedang berjalan-jalan keluar Carmine dan kehilangan arah lalu aku melihat kalian. Kukira kalian akan kembali ke Carmine, ternyata tidak ya?"
"Jangan bohong," kata Ruby marah sambil berjalan mendekati Flavian. "Semua penduduk Carmine tidak diperbolehkan untuk keluar kehutan. Kau pasti mengikuti kami, kan?"
Flavian memandang Ruby sambil memicingkan mata. "Anggap saja begitu, lalu kalian mau bagaimana? Meninggalkanku disini?"
Ruby menatap tajam Flavian dengan penuh kemarahan. "Kau, awas sampai kita kembali ke Carmine dan Raja Devon mengetahui ini. Akan kupastikan kau dihukum setimpal."
Flavian nyengir menyebalkan. "Akan kutunggu."
Ruby kembali berjalan pada rombongannya dan berbisik pada mereka semua. "Dia mengikuti kita. Sial, harusnya aku sadar lebih cepat. Rumah para penyihir tidak bisa begitu saja dimasuki oleh orang yang tidak diperintah oleh Raja Devon. Rumah mereka sangat tersembunyi dan rahasia."
"Emm, maaf, aku sebenarnya telah menyadari ada sosok yang mengikuti kita. Tapi, aku tidak yakin, jadi aku tidak memberitahukannya pada kalian," ujar Platina lirih. Ia merasa sangat bodoh karena tidak memberitahukan hal sepenting itu pada teman-temannya.
"Bukan salahmu, Pat," ujar Ruby menenangkan. "Flavian saja yang selalu mencampuri urusan orang lain. Kita harus membawanya bersama kita. Terlalu berbahaya untuknya bila ditinggalkan disini. Lagipula ini sudah diluar jangkauan perlindungan Carmine. Dia juga tidak tahu jalan pulang, argh," lanjut Ruby sambil mendengus kesal.
Mereka semua mengangguk menyetujui Ruby walaupun dengan berat hati. Tambahan satu orang yang mendadak dan tidak diinginkan cukup membuat keseimbangan rombongan ini terguncang. Platina memandang Aren yang sedari tadi diam saja. Ia melihat wajah Aren menjadi keras tanpa senyuman yang biasanya menghiasi wajahnya. Platina menyadari Aren masih kesal pada Flavian yang mengalahkannya.
"Aren, aku mengerti perasaanmu," ujar Platina pada Aren. Platina berjalan disebelah Aren sedangkan Flavian berjalan paling belakang pada rombongan itu.
"Tidak, kau tidak mengerti. Kecuali harga dirimu pernah runtuh," jawab Aren lirih. Platina hanya diam mendengar perkataan Aren yang penuh emosi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro