Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 13 - Teman

Pisau belati kecil melesat dan menancap tepat dijantung tumpukan jerami berbentuk manusia. Sesaat kemudian tiga pisau belati lain ikut menancap masing-masing dikepala, leher, dan perut jerami itu. Corby tersenyum lebar melihat hasil lemparannya tepat mengenai sasaran yang ditujunya. Ia berlari kearah sasaran jerami yang berjarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri tadi untuk mengambil belatinya. Ia memandang langit yang mulai berubah warna menjadi oranye muda.

Suara ranting dan daun-daun kering yang terinjak membuatnya menoleh kearah pepohonan tempat Lunett tinggal. Platina dan Aren berjalan kearahnya dari rumah Lunett.

"Hebat sekali lemparanmu," seru Aren tertarik.

Mereka mendekati Corby yang sekarang sudah mengambil semua pisaunya. Platina memandang pisau-pisau yang ada ditangan Corby dengan penasaran. Pisau belati itu berukuran sepanjang telapak tangan. Pegangannya terbuat dari kayu berukir yang sangat pendek sehingga Platina tidak dapat membayangkan cara memegangnya.

"Latihan," ujar Corby nyengir lebar. "Tidak ada yang bisa melempar pisau ini seperti yang aku lakukan, mungkin hanya aku satu-satunya."

"Kau tetap saja bermulut besar, Corby," sahut sebuah suara laki-laki yang muncul dari bukit. Ia berjalan kearah mereka dengan seorang perempuan disebelahnya. "Hai, kalian pasti Platina dan Aren," ujarnya dengan nada angkuh yang kurang disukai Platina.

Laki-laki itu mendekati mereka dengan senyum menyebalkan yang menghiasi wajahnya. Ia memiliki rambut berwarna kuning pirang yang berkilau terkena sinar matahari. Bola matanya coklat, hidungnya mancung, wajahnya putih bersih, secara keseluruhan ia cukup tampan.

Tapi, pria ini pasti lebih mengesalkan daripada Aren, batin Platina.

Umur pria itu terlihat sebaya dengan Corby. Ia menyandang sebuah pedang dipinggangnya.

"Namaku Flavian, ini adikku, Grizelda," kata laki-laki berambut pirang itu sambil menunjuk perempuan disebelahnya.

Grizelda bahkan tidak tersenyum ketika diperkenalkan. Sikapnya yang angkuh terlihat cocok dengan kakaknya. Ia memiliki rambut seperti kakaknya namun berwarna lebih tua. Umurnya yang terlihat lebih muda daripada Platina membuat Platina makin kesal melihat perilakunya.

"Sedang apa kalian disini? Si penyihir tidak suka melihat orang lain berada ditanahnya selain orang-orang yang ia izinkan," kata Corby ketus.

"Wah, tapi ini kan masih taman milik Raja, siapapun boleh kesini," jawab Flavian santai sambil menatap Corby yang tingginya sama dengannya. "Kau sendiri sedang apa disini? Tidakkah kamu diperintah untuk mengirimkan pesan lagi?"

Corby melangkah maju mendekati Flavian sehingga jarak mereka sekarang sangat dekat dan hanya bisa memandang mata lawan bicaranya.

"Sudah selesai. Tidak ada yang pernah diberi kepercayaan penuh oleh Raja selain aku tanpa mengecewakannya," jawab Corby sinis sambil mengedikkan kepalanya pada Flavian.

Seakan ada yang menyakitinya, Flavian mengernyit kesal dan menoleh pada Aren. "Aku tahu kalian sudah mendapat latihan pedang tadi pagi," ujarnya mengalihkan pembicaraan sambil melangkah mendekati Aren. Corby mengikuti gerakan Flavian dengan pandangannya yang tajam. "Ayo, kita coba kemampuanmu, Aren. Sebagai pendatang, seharusnya kalian bisa berguna, bukan hanya menumpang di Carmine," lanjutnya sambil menoleh pada Platina dengan pandangan meremehkan.

Grizelda menyerahkan dua pedang kayu yang sedari tadi dibawanya. Flavian menyerahkan pedang aslinya pada Grizelda untuk dijaga. Ia memeluk pedang itu dengan erat seakan ada yang ingin mencurinya.

Aren mengambil pedang kayu yang disodorkan Flavian padanya. Emosinya sudah tersulut sejak awal kemunculan Flavian yang tidak menyenangkan.

Platina ingin menghentikan mereka tapi bahunya ditahan oleh Corby yang menggeleng pelan. "Apabila ada yang menantang duel, tidak ada yang boleh menghentikannya kecuali yang ditantang menolak," kata Corby menjelaskan pada Platina dan Aren.

"Tidak adil," jerit Platina. "Aren baru tadi pagi berlatih pedang."

Flavian makin tersenyum menyebalkan. "Tenang saja, aku tidak akan menyakitinya," ujarnya.

Platina merasa ada maksud tersembunyi dari kata-kata Flavian barusan. Platina tidak percaya Flavian akan begitu baik hati tidak menyakiti Aren setelah dari awal kemunculannya ia berusaha menyakiti mereka secara mental.

"Aku juga akan berusaha lembut padamu," sahut Aren sinis. Ia tidak mau kalah begitu saja dari pemuda menyebalkan didepannya ini. Tapi, disaat yang sama, ia juga merasa tidak percaya diri karena ditantang duel saat ia baru berlatih pedang tadi pagi.

Corby mengajak Platina untuk mundur agar memberikan cukup ruang bagi dua pemuda itu untuk saling melawan. Grizelda sudah mundur jauh dari mereka dengan tetap memandang tajam mereka semua. Flavian dan Aren sudah bersiap dengan pedang kayu ditangan dan mundur beberapa langkah untuk memberikan jarak diantara mereka.

Aren memegang pedangnya dengan tangan kanan. Ia merasa sangat gugup namun menyembunyikannya dengan senyuman yang ia sadari mungkin lebih terlihat seperti meringis. Ia berusaha berkonsentrasi dan mengingat latihan yang baru tadi pagi diberikan oleh Victor. Dalam pertarungan satu lawan satu yang paling penting adalah tidak mengalihkan pandangan dari lawan, batin Aren.

Flavian masih memasang cengirannya yang menyebalkan untuk menganggu konsentrasi Aren. Aren mengacuhkannya dan hanya berkonsentrasi pada gerakan yang akan dilakukan Flavian.

Flavian menggeser sedikit kaki kirinya. Aren memandang kesana dan dalam sekejab menyadari bahwa itu hanyalah gerakan mengecoh. Flavian mengayunkan pedang kayunya kearah bahu kanan Aren. Aren menangkis pedang kayu itu tepat pada detik terakhir sebelum mengenai bahunya. Tekanan pedang Flavian membuat Aren harus menggunakan kedua tangannya untuk menahan pedangnya. Dengan sedikit sentakan, Flavian melepaskan tekanannya. Aren tidak siap dengan tekanan yang tiba-tiba menghilang ini sehingga membuatnya sedikit terhuyung kesamping.

Aren segera menegakkan diri dan melihat Flavian sudah mengayunkan pedang kedepan wajahnya. Ia menunduk menghindari pedang itu lalu berbalik dan melihat Flavian sudah tersenyum memandangnya dengan posisi siap menyerang lagi. Sial, batin Aren, ini tidak sama seperti latihan.

Serangan Flavian berlanjut, sekarang ia menyerang kaki Aren. Aren harus berusaha keras untuk menangkis dengan pedangnya. Flavian menyerang dengan bertubi-tubi seakan tidak memberikan Aren waktu untuk bernafas. Segera saja keringat mulai menetes dari dahi Aren setelah ia menangkis serangan Flavian yang kesekian. Tangannya mulai gemetar kelelahan dan terasa berat. Aren masih belum bisa mengenai satupun bagian tubuh Flavian dengan pedangnya. Ia merasa kesal dan ingin segera melucuti pedang Flavian agar pertarungan ini cepat selesai. Namun, fakta bahwa Flavian juga belum berhasil melukainya membuat semangat Aren terjaga. Aren menyerang bagian pinggul Flavian namun dengan mudah dihindari olehnya. Flavian membalas dengan berusaha memukul pinggang Aren namun ditangkis dengan cepat.

Cengiran diwajah Flavian menghilang karena gagal mengenai Aren. Ia memandang Aren dengan penuh kebencian. Ia membungkukkan badan dan mendadak menyerang Aren. Aren sudah siap dengan serangan ini. Ia menangkis setiap gerakan pedang yang akan melukainya. Tekanan dari Flavian semakin besar sedangkan Aren semakin kelelahan. Flavian merasakan tenaga Aren yang semakin menurun dari tangkisan pedangnya yang lemah. Flavian semakin meningkatkan serangannya pada Aren yang tidak mampu membalas. Ia menekan keras pedang Aren dengan pedangnya lalu ia lepaskan tekanan itu dan dengan mendadak ia menyabetkan pedangnya pada pedang Aren sampai terlepas dari tangan Aren. Aren kehilangan keseimbangan dan terhuyung kebelakang sampai jatuh terduduk. Flavian tersenyum lebar melihat kemenangannya ada didepan mata.

"Mati kau," seru Flavian sambil menyabetkan pedangnya ke leher Aren.

Aren berusaha melindungi lehernya dengan mengangkat kedua tangannya sambil menanti rasa sakit saat pedang kayu mengenai tulangnya. Suara kayu retak di dekatnya membuat Aren menurunkan tangannya untuk melihat asal suara itu. Ia melihat pedang Flavian tergeletak dirumput sejauh dua meter darinya dengan anak panah menancap di atasnya.

"Beraninya kau..," seru Flavian tertahan pada pemanah yang merusak pedang kayunya.

"Beraninya kau mengajak duel Aren yang baru berlatih pedang. Kau tidak punya nyali duel dengan yang lain atau kau hanya ingin mencari musuh?" sahut Ruby yang sekarang berjalan dari bukit mendekati mereka. "Asal kau tahu, seranganmu tadi bisa membuat tulangnya patah. Atau kau sengaja dan perlu aku beritahukan pada Victor?"

"Cih, aku tidak perlu nasehatmu," sahut Flavian marah. "Ayo, kita pergi Grizelda! Tidak ada gunanya berkumpul bersama para pecundang ini." Flavian dan Grizelda berlari menjauhi mereka.

Platina bergegas mendekati Aren dan membantunya berdiri. "Kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

"Aku baik," jawab Aren masih terengah kelelahan. Kaki dan tangannya masih gemetar namun ia memaksakan diri untuk berdiri dibantu oleh Platina. Ia tidak mau terlihat lemah dihadapan teman-temannya apalagi ia sudah kalah dari Flavian sampai harus diselamatkan oleh Ruby. Aren merasa malu karena merasa kemampuannya masih sangat jauh tertinggal dari teman-temannya di Carmine.

"Dasar, Flavian. Takut dengan Victor dan langsung kabur mendengar namanya kau sebut," kata Corby sambil tersenyum pada Ruby. "Sifatnya tidak pernah berubah dari dulu."

"Kenapa dia menantangku?" tanya Aren penasaran.

Corby mengangkat bahu. "Mungkin dia mau membuatmu malu dan segan padanya dengan mengalahkanmu."

Aren menghela nafas. Kalau begitu dia berhasil, batin Aren pedih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro