Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 12 - Latihan

Matahari bersinar lemah ditutupi bayang-bayang awan menyebabkan suasana pagi terlihat redup dan suram. Usai peperangan kemarin, para penduduk Carmine tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa. Lapangan latihan terdengar ramai dengan denting logam serta teriakan-teriakan prajurit maupun penduduk yang berlatih. Platina dan Aren berjalan menuju lapangan dengan bersemangat seperti tidak terpengaruh dengan cuaca hari itu.

Seorang pria tinggi besar dengan warna kulit cokelat gelap sudah menunggu mereka di lapangan sebelah timur. Platina dan Aren bergegas mendekatinya setelah diberitahu seorang prajurit bahwa pria itulah yang akan melatih mereka. Pria itu menatap tajam, dengan kedua bola matanya yang berwarna biru, dua remaja yang setengah berlari menuju kearahnya. Ia mengamati mereka berdua dengan seksama.

Platina dan Aren tersenyum gugup pada sosok pria di depan mereka. Pria ini lebih mengintimidasi ketimbang Dave dan Derrick, pikir Platina. Aren mengulurkan tangan pada pria itu sambil memperkenalkan diri. "Namaku Aren dan ini temanku, Platina." Platina mengulurkan tangan mengikuti Aren.

Pria itu menjabat tangan mereka berdua dengan kuat sampai Platina meringis kesakitan. "Aku Victor," ujar pria itu. "Aku yang akan melatih kalian. Aku lihat kalian masih belum terlatih sama sekali."

"Tentu. Aku siap," kata Aren bersemangat. Platina mengangguk setuju.

Victor memimpin mereka untuk melakukan peregangan yang sangat menyakitkan bagi Platina dan sedikit sakit bagi Aren karena Aren lebih sering berolahraga di dunia mereka sebelumnya. Gerakan memutar tangan keatas, kebawah, kesamping, selama beberapa menit setiap gerakannya membuat Platina terengah-engah. Badannya tidak luput dari peregangan yang menyakitkan ini, gerakan-gerakan yang aneh dan belum pernah Platina lakukan di dunianya harus ia lakukan sekarang. Push-up dan sit-up harus mereka lakukan seratus kali setiap gerakan. Platina dengan segera merasa sangat kelelahan dan ingin menangis. Ini tidak mudah, batinnya.

Aren yang sedang melakukan gerakan sit-up nya yang keseratus merasakan otot-ototnya sangat meregang. Ia menjatuhkan diri terlentang di rerumputan sambil terengah-engah. Keringat bercucuran di dahi dan lehernya. Bajunya sudah basah terkena keringat dari badannya. Ia berusaha mengatur nafas dengan susah payah. Aren menoleh pada Platina yang masih berusaha keras menyelesaikan hitungan sit-up nya. "Semangat, Pat," ucapnya lirih karena masih belum punya cukup tenaga bahkan untuk berbicara. Platina mengangguk padanya tanpa berkata-kata.
Sinar matahari mulai tampak dari balik awan menerangi lapangan tempat mereka berlatih. Victor, yang selama ini mengawasi mereka melakukan perintahnya sampai selesai, mengambil tiga pedang kayu yang ada ditumpukan senjata kayu di sebelahnya. "Ambil ini," ujar Victor sambil menyerahkan pedang kayu pada Platina dan Aren yang sudah dapat mengatur nafasnya.

"Kalau kalian sedang berhadapan satu lawan satu dengan lawan, maka kaki kalian harus kuat untuk menopang tubuh kalian. Jangan alihkan pandangan kalian dari lawan," kata Victor sambil memperagakan gerakan yang harus Platina dan Aren lakukan. "Tangan kalian harus cepat menangkis pedang lawan kemanapun ia menyerang. Lindungi bagian terlemah pada tubuh kalian, bila ada luka, karena itu akan menjadi bagian pertama yang diserang. Tapi jangan perlihatkan kalau kalian sedang melindunginya karena lawan bisa memanfaatkan kesempatan itu."

Platina dan Aren mengikuti gerakan-gerakan yang dilakukan Victor. Gerakan menangkis, gerakan mengayun pedang, gerakan menghentikan pedang, bahkan gerak tipu untuk mengecoh musuh. Tangan Platina terasa berat untuk mengangkat pedang kayu. Seluruh ototnya terasa menjerit protes terhadap gerakan-gerakan yang dilakukannya. Ia tidak berani menghentikan gerakannya karena Victor sangat tegas dan disiplin dalam melatih mereka. Aren sudah kena pukul dikakinya karena kehilangan konsentrasi saat menangkis pedang Victor. Mereka terus berlatih sampai matahari mulai tinggi di langit tepat diatas kepala mereka. Keringat terus menetes keluar dari kulit Platina dan Aren hingga membasahi baju mereka. Victor tampak hanya mengeluarkan sedikit keringat selama latihan ini padahal gerakannya sebanyak gerakan yang Platina dan Aren lakukan.
"Cukup, latihan hari ini selesai," kata Victor sambil menurunkan pedangnya. Platina dan Aren langsung terduduk kelelahan. Pedang kayu yang mereka genggam terlepas begitu saja dari tangan mereka. "Lain kali, jangan pernah lepaskan pedang dari tangan kalian dalam keadaan apapun, walaupun ini hanya latihan dengan pedang kayu," tegur Victor tajam. "Musuh bisa mengambil pedang yang kalian lepaskan dan...." Dalam sekejab mata Victor mengambil pedang mereka berdua dan menodongkannya ke leher mereka dengan ketepatan yang mengejutkan. "Mati."

Platina dan Aren membelalak kaget. Keringat mengalir dari dahi kedagu mereka. Victor menurunkan kedua pedang itu dan meletakkannya ditempat senjata bersama pedang kayu yang lain. "Kalian mengerti?" tanya Victor tegas. Platina dan Aren mengangguk pelan. Latihan ini ternyata tidak sesederhana yang mereka pikirkan. Victor meminta mereka berdua untuk bangun dengan isyarat gerakan tangan. Platina mengerang ketika berdiri. Kedua kakinya benar-benar terasa kaku setelah banyak bergerak tadi. Aren berusaha menyembunyikan sakit dikakinya dengan memasang senyum menyebalkan pada wajahnya saat Platina mengerang. Dengan kesal, Platina memukul lengan atas Aren, namun pukulan itu lemah karena tangannya lelah. Aren tertawa melihat kegagalan temannya itu namun dengan segera menahan tawanya karena otot perutnya sakit setelah sit-up terbanyak yang pernah ia lakukan. Platina tersenyum puas melihat Aren kesakitan menahan tawa.

"Besok kalian akan memulai latihan diwaktu yang sama. Lebih baik kalian makan siang dulu sebelum bertemu dengan penyihir disini," kata Victor dengan nada sedikit tidak senang namun tersembunyi dengan baik dibalik ketenangannya. Aren merasa aneh dengan perubahan sikap Victor ketika membicarakan penyihir. "Nanti akan aku minta seseorang untuk mengantarkan kalian."

"Baiklah, terimakasih, Victor," ujar Aren diikuti Platina mengucapkan kalimat yang sama. Victor mengangguk dan berbalik menuju para pria yang masih berlatih.
Platina dan Aren berjalan pelan-pelan menuju rumah pohon mereka. kaki mereka masih terasa kaku dan pegal. Begitu juga dengan lengan mereka yang sekarang sulit diangkat melebihi bahu. "Aku tidak menyangka latihan pertama sudah begitu berat. Berlatih pedang tidak semudah dugaanku," kata Aren sambil menghela nafas.

"Aku sudah menduganya. Kau memang terlalu meremehkan," sahut Platina. "Aku belum pernah berolahraga sekeras ini. Kalau bukan untuk bertahan hidup, aku tidak mau melakukan ini."

Mereka sampai dirumah pohon masing-masing dan langsung mandi lalu mengganti baju. Baju bersih untuk mereka selalu diantarkan secara berkala ketika mereka tidak dirumah sehingga tidak tahu siapa yang membersihkan dan mengantar baju bersih untuk mereka. Platina sedang berdiri di dekat kasurnya dan menimbang batu kusam ditangannya. Selama dua hari terakhir, ia sudah lupa keberadaan batu ini karena banyak hal yang ia pikirkan. Batu itu ia temukan dilaci tempatnya menaruh baju aslinya dari dunia nyata. Lebih baik aku bawa batu ini, batinnya.

Tiba-tiba, Aren menerobos masuk rumahnya tanpa mengetuk pintu dan melihat Platina memegang batu ditangannya. "Aku juga membawa batu itu," sahutnya sambil nyengir. Platina memekik kaget dan memelototi temannya itu.

"Lain kali ketuk pintu dulu, Aren. Dasar," gerutu Platina. Platina menaruh batu itu disaku celananya dan memeriksanya agar tetap aman ditempatnya.

"Bagaimana cara kita ketempat si penyihir?" tanya Aren yang sudah duduk dikursi kayu sambil mengunyah roti isi selai buah anggur dan keju. "Aku belum melihat Ruby hari ini. Apa yang sedang dilakukannya ya?"

Platina mengangkat bahu. "Orang yang akan mengantar kita belum datang. Mungkin sebentar lagi," ujarnya sambil duduk disebelah Aren dan ikut mengunyah makan siangnya. "Aku juga bertanya-tanya dimana Ruby, aku kira dia akan ikut berlatih bersama kita."

"Platina, Aren," seru suara laki-laki dari bawah rumah Platina. Platina dan Aren segera menyelesaikan makan siang mereka lalu bergegas membuka pintu dan melihat kebawah. Seorang pemuda berbadan tinggi kurus, sepertinya lebih tua beberapa tahun dari mereka, berdiri dan melambai pada mereka. "Aku Corby. Aku diminta Victor untuk mengantarkan kalian ketempat si penyihir di Carmine."

Mereka berdua bergegas kebawah dan menyalami pemuda yang baru mereka kenal itu. "Tidak usah khawatir, akan aku antar kalian. Penyihir itu tidak jahat kok, walaupun agak tertutup. Tidak semua orang diizinkan untuk masuk kekediamannya. Setahuku, hanya Raja Devon dan aku yang ia perbolehkan masuk," ujarnya membanggakan diri. "Ayo, ikuti aku."
Mereka berjalan menuju bukit tempat kediaman Raja Devon namun melewatinya begitu saja. Dibelakang bukit itu ternyata ada sebuah taman yang memiliki banyak pepohonan besar. Pepohonan itu tertanam saling membelit sehingga membentuk seperti sebuah dinding pertahanan. Bahkan di siang hari yang terik seperti ini, taman didepan mereka tampak suram karena sinar matahari sulit menembus ranting dan dedaunan yang lebat. Namun, ditaman itu terlihat banyak jenis bunga yang sudah mekar sempurna dengan berbagai bentuk dan warna. Corby memimpin mereka memasuki taman sampai terlihat sebuah pohon sangat besar yang memiliki sebuah pintu. Corby mengetuk pintu itu dengan semangat.

"Mereka sudah datang," seru Corby.

Seorang wanita tua berambut putih panjang berantakan membuka pintu dan menatap mereka bertiga. Bola matanya yang keabuan membuat Platina mengernyit. Apakah memang warnanya seperti itu atau si penyihir katarak? batin Platina bertanya. "Bola mataku memang seperti ini, Nak," kata wanita tua itu dengan suaranya yang serak. Platina bergidik mendengarnya, entah karena suara seraknya yang terdengar mengerikan atau karena si penyihir bisa membaca pikirannya.

"Masuklah kalian semua," ujarnya lagi sambil membuka pintu lebih lebar dan menggeser badannya agar tamunya bisa masuk.

"Aku menunggu diluar saja. Aku mau melatih beberapa trik lemparan baru," kata Corby sambil menepuk sabuk dipinggangnya. Belum sempat Platina bertanya isi dari sabuknya, Corby sudah berlari menuju taman.
Platina dan Aren masuk kedalam rumah si penyihir yang berada dalam pohon. Ruangan itu memiliki dinding kayu yang tidak rata karena mengikuti bentuk batang pohonnya. Dua rak buku terbuat dari kayu berada di pojok ruangan. Disebelahnya ada tempat tidur rendah dan ditengah ada kursi serta meja kayu. Si penyihir berjalan terbungkuk-bungkuk menuju ketel yang ada di atas kayu. Ia meletakkan tangan diatas kayu dan membisikkan suatu kata yang tidak terdengar oleh Platina dan Aren. Api menyala dari kayu yang baru disentuhnya lalu memanaskan ketel diatasnya. Platina menyenggol kaki Aren untuk menarik perhatiannya. "Dia menyalakan api dengan sihir," bisik Platina.

Aren mengangguk dan memperhatikan si penyihir sedang meletakkan daun-daunan kedalam tiga cangkir minuman. Ketel air mulai mengeluarkan asap tanda air sudah mendidih. Ia menuang air panas itu kedalam tiga cangkir yang telah ia siapkan kemudian membawanya kemeja didepan Platina dan Aren duduk.

"Minumlah," kata penyihir itu sambil membagikan gelas yang dibawanya. "Aku sudah mendengar cerita kalian dari Raja Devon. Kisah kalian seperti kisah Ruby."

Platina memandang gelasnya yang berisi air berwarna merah tua dengan potongan daun kering didalamnya. Platina meniup lalu meneguknya sedikit. Rasa asam, pahit, dan aroma daun menyerang lidah Platina sehingga membuatnya hampir tersedak. Cepat-cepat ia letakkan kembali gelasnya diatas meja dan berjanji, dalam hati, tidak akan menyentuhnya lagi. Aren mengeluarkan suara aneh disebelahnya menandakan temannya itu juga sepakat rasa minumannya sangat tidak enak.

Si penyihir meminum bagiannya dengan tenang tanpa menyadari ekspresi tidak suka diwajah dua remaja didepannya. "Namaku Lunett. Aku yang mengajari manusia tentang sihir di Carmine. Hanya yang memiliki bakat yang bisa melakukan sihir."

"Wah tunggu dulu, apa itu maksudnya, anda bukan manusia?" tanya Aren penasaran.

"Aku tidak bilang aku bukan manusia," jawab Lunett sambil memandang Aren yang mendesah lega. "Tapi, aku juga tidak bilang iya."

Platina dan Aren mengerutkan kening mendengar pernyataan terakhir Lunett. Si penyihir tampak seperti wanita tua berumur delapan puluhan dan badannya yang bungkuk membuatnya terlihat lebih pendek daripada Platina. Pakaiannya seperti jubah kebesaran berwarna abu-abu sampai melebihi mata kaki. Jari-jari tangannya yang keriput, Platina sadari, lebih panjang daripada jari tangan siapapun yang pernah ia lihat.
Mari, kita mulai dengan mencari tahu bakat kalian," kata Lunett sambil meletakkan sepotong kayu kecil ditengah meja. "Pindahkan ini keujung meja. Letakkan tangan kalian diatasnya. Katakan owod verome." Platina dan Aren mengucapkan kata-kata aneh itu sampai pelafalannya benar dan disetujui oleh Lunett. Aren diminta lebih dulu untuk mencoba menggerakkan potongan kayu itu.

Aren meletakkan tangan diatas potongan kayu itu sambil berkonsentrasi mengingat kata-kata yang harus diucapkannya. "Owod verome," ucap Aren ragu. Kayu itu bergeming ditempatnya. Aren nyengir malu melihat usahanya gagal. "Mungkin aku tidak berbakat," kata Aren sambil menurunkan tangan.

"Aku akan terkejut kalau kau bisa melakukannya dipercobaan pertama," kata Lunette. "Cobalah lagi, Nak."

"Konsentrasi," bisik Platina pada Aren yang sudah mulai mengangkat tangannya keatas potongan kayu.

Aren mengangguk dan memandang potongan kayu didepannya. Ia mengamati kayu itu dengan seksama dan menemukan serat-serat kayunya yang tersusun halus melingkar. Ia memasukkan gambaran potongan kayu didepannya kedalam pikirannya. Aren mencari kebagian paling dalam pikirannya suatu tempat kosong tersembunyi yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Gambaran potongan kayu itu terus ia bawa dalam pikirannya. Aren merasa ada bagian yang menarik perhatiannya untuk masuk kedalamnya. Ia mengarahkan pikirannya kesana lalu merasakan getaran hangat yang menyelubungi tubuhnya. Ada getaran lain yang terasa lebih kuat dibagian atas kakinya namun ia mengabaikannya. Gambaran potongan kayu yang ia ingat, menari-nari didepannya. Tangannya bergetar sedikit dan dengan keyakinan penuh ia mengucapkan, "owod verome."
Kayu dibawah tangannya ikut bergetar kemudian bergerak perlahan kesamping mengikuti tangan Aren yang sudah bergerak keujung meja. Saat kayu itu mencapai ujung meja, pikiran Aren kembali ketempat biasanya ia berada. Tangannya berhenti bergetar, begitu juga potongan kayu yang sudah berhenti tepat diujung meja. Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat. Keringat keluar dari dahinya. Aren merasa kelelahan seperti sehabis berlari memutari lapangan. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Ia meletakkan kepalanya diatas meja untuk mengembalikan kekuatannya. Platina menatapnya khawatir melihat perubahannya. Aren nyengir lemah. "Aku berhasil," ujarnya lirih.

"Jangan khawatir. Ia akan cepat membaik," ujar Lunett tenang dengan suara seraknya. "Minumlah dulu," lanjutnya. Aren menggelengkan kepala lalu berusaha menegakkan diri agar terlihat sudah membaik dan tidak disuruh meminum cairan yang rasanya aneh tadi.

Lunett memandang Platina tajam. Platina merasa gugup sampai tangannya berkeringat. Ia mengangkat tangannya seperti yang Aren lakukan diatas potongan kayu yang sekarang sudah dikembalikan ketengah oleh Lunett. Platina berkonsentrasi menatap kayu itu lalu merasa bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa menggerakan kayu itu seperti Aren. Platina memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ia mengatur nafas sambil menajamkan pikiran. Ia merasa sulur-sulur pikirannya bergerak perlahan menuju tempat tergelap dalam pikirannya. Tiba-tiba saja, ledakan cahaya timbul dipikirannya. Kekuatannya membuat Platina mengernyit tidak mengerti namun, ia merasa cahaya itu memberinya kekuatan. "Owod verome," ucapnya dengan gemetar. Kayu itu bergerak keujung meja lebih cepat daripada milik Aren tadi. Platina membuka matanya dan kayu itu berhenti. Rasa pusing tiba-tiba menyerang kepalanya. Ia menundukkan kepala sambil mencengkeramnya dengan tangan.

Aren menepuk kepala Platina perlahan. Sihir ini benar-benar mempengaruhi mereka dengan cara yang tidak mereka ketahui.

Platina mengangkat kepalanya lalu tersenyum lemah. "Aku juga berhasil melakukannya," ujarnya pada Aren.

Lunett mengangguk puas dan menyesap minumannya sementara Platina masih memijat kepalanya untuk menghilangkan rasa pusing. "Kalian punya bakat sihir. Tidak ada manusia yang bisa melakukan sihir seperti kalian tadi dalam percobaan pertama atau kedua. Banyak dari mereka yang baru bisa melakukannya setelah kira-kira seminggu," kata Lunett sambil memandang Platina dan Aren yang sekarang sudah memberikan perhatian penuh padanya. "Sihir, bukanlah sesuatu yang mudah dan sederhana. Kalau dipikir-pikir, ini adalah ilmu yang paling rumit karena memiliki banyak aturan. Kalau aku bertanya, darimana asal sihir? Apa yang akan kalian jawab?"
Platina dan Aren saling berpandangan sambil memikirkan jawaban. "Emm, dari kata sihir yang kau ajarkan pada kami tadi?" kata Platina ragu-ragu.

"Bukan," Lunett menggeleng. "Sihir, berasal dari diri kalian sendiri. Aku yakin tadi kalian pasti telah menemukan bagian terdalam pikiran kalian, bukan? Bagian itu tidak akan pernah kalian temukan kalau tidak kalian cari. Karena berasal dari tubuh kalian, maka itulah yang menyebabkan kalian berdua merasa letih dan pusing setelah melakukannya. Tergantung seberapa besar sihir yang akan kalian gunakan. Sihir butuh energi. Tanpa energi, tak ada yang bisa dilakukan oleh sihir. Orang mati tidak dapat melakukan sihir karena tidak punya energi. Karena itu juga, jangan pernah mencoba menghidupkan kembali orang yang telah mati. Kalian tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada kalian bila mencurangi kematian seperti itu. Bisa jadi kalian juga akan mati atau lebih buruk."

Aren terpana mendengar penjelasan Lunett. "Apa yang lebih buruk daripada kematian?"

"Terombang-ambing antara alam fana dan alam baka. Kau tidak bisa hidup dan tidak bisa mati," jawab Lunett. "Jangan pernah mencoba melakukan sihir disaat kalian lemah, kalian tidak akan tahu seberapa banyak sihir itu akan menguras kekuatan kalian. Jangan pernah melakukan sihir untuk main-main, karena bisa jadi sihirlah yang akan mempermainkan kalian. Jangan pernah mencoba menggabungkan kata sihir yang aku ajarkan pada kalian, karena hasilnya bisa sangat buruk bahkan bisa menyebabkan kematian."

Platina mengangguk pelan sambil berusaha mengingat semua aturan yang diucapkan Lunett. "Selain itu," lanjut Lunett. "Kalian harus mencoba belajar menyembunyikan pikiran kalian. Bagi penyihir sepertiku, sangat mudah untuk mengetahui apa yang ada dipikiran kalian saat ini dari raut wajah kalian yang terlalu kentara."

Platina dan Aren langsung membuat wajah mereka tidak berekspresi agar Lunett tidak bisa membaca pikiran mereka. Lunett menggeleng. "Bukan seperti itu caranya menyembunyikan pikiran walaupun kita memang harus berhati-hati dalam menunjukkan eskpresi wajah. Ketika kalian sedang memikirkan sesuatu, cobalah untuk tidak memikirkannya saat itu juga dibagian pikiran kalian saat ini. Tapi, bawalah pikiran itu kedalam sudut pikiran kalian yang paling tersembunyi dan pikirkan disana."

Raut wajah Platina dan Aren seketika bingung mendengarkan penjelasan Lunett. "Raut wajah kalian terlalu jelas terbaca. Aku tahu kalian sedang bingung mendengar penjelasanku barusan."

"Memangnya ada yang tidak bingung?" sahut Aren dengan nada yang kurang sopan. Platina langsung memukul kakinya agar sadar dan kembali bersikap sopan. Sebenarnya, Aren kesal pada dirinya sendiri karena lupa untuk tidak menampilkan pikiran diwajahnya. Namun, rasa kesalnya terucap begitu saja sehingga terdengar tidak sopan.
"Sudah kubilang, sihir adalah ilmu yang rumit," kata Lunett tidak terpengaruh dengan nada bicara Aren tadi. "Benda-benda tertentu disekitar kita, bisa jadi memiliki energi yang dapat kita gunakan untuk melakukan sihir. Bukan sebagai sumber energi, tapi hanya sebagai penyalur agar hasil sihir kita bisa menjadi lebih kuat daripada yang kita mau. Hal ini bisa berguna bila kita sedang menghemat energi kita untuk sesuatu yang lain tapi masih harus melakukan sihir. Aku bisa merasakan ada benda seperti itu didalam saku kalian masing-masing. Boleh aku melihatnya?"

Platina dan Aren mengambil batu yang mereka bawa dan dengan ragu-ragu meletakkannya diatas meja. Lunett mengambil lalu memperhatikan kedua batu yang ada ditangannya. Sambil mengangguk perlahan, ia meletakkannya kembali diatas meja. "Aku tidak akan bertanya darimana kalian mendapatkannya dan memang lebih baik tidak menceritakannya pada orang lain," ujar Lunett. Platina dan Aren mengangguk mngerti. "Batu ini kuat. Keduanya bisa meningkatkan kekuatan sihir kalian kalau kalian bisa menyatukan pikiran dengan energi yang ada dibatu ini. Gunakan dengan bijak. Hasilnya bisa baik atau buruk tergantung pada kalian."

Mereka kembali menyimpan batu itu didalam saku. Mereka berpikir, ada banyak sekali hal baru di Carmine yang membuat mereka terpana, termasuk ilmu sihir ini. Didalam rumah pohon Lunett semakin gelap karena semakin sedikit sinar matahari yang berhasil menembus pepohonan dan masuk kejendela. "Kita lanjutkan latihan besok pada waktu yang sama," ujar Lunett sambil berdiri dan berjalan kepintu yang diikuti Platina dan Aren. "Satu pesan terakhir dariku, aku tahu ada banyak keraguan dalam hati kalian sejak kalian tahu peran kalian di Algaria sebagai pendatang." Platina dan Aren mengangguk setuju. "Percayalah, namun, hati-hati dengan siapa kau percaya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro