Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Open Door ~ Part 12

Keheningan menemani perjalanan pulang sepasang kekasih yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Revian memacu mobil dengan cepat, menembus jalanan yang semakin lengang. Waktu hampir menunjukan tengah malam bersamaan dengan rintik hujan yang mulai turun.

Nadia melirik untuk kesekian kali karena cemas dan takut. Dia memaksa Revian untuk pergi dari acara sebelum Dimas mengetahui keberadaannya. Bayangan kekasihnya akan kehilangan kendali membuatnya tidak punya banyak pilihan selain meninggalkan tempat itu meskipun harus merengek. Dimas, senior sekaligus teman satu angkatan Revian pernah memberi keduanya banyak kesulitan saat SMA. Nadia masih mengingat dengan jelas ejekan dan ancaman yang di ucapkan Dimas pada keduanya.

Revian membanting pintu mobil cukup keras setiba keduanya di rumah. Kaki panjangnya melangkah lebar, meninggalkan Nadia yang harus setengah berlari untuk menyusulnya. Kemarahan masih begitu kental hingga hanya ada sekumpulan kata-kata kasar dalam kepalanya yang siap meluap.

"Rev, Revi tunggu dulu dong." Pinta Nadia dengan nada memohon. Wanita cantik itu sudah kehilangan cara untuk membujuk.

"Ini sudah malam Nad. Kita bicarakan lagi besok. Sekarang kembalilah ke kamarmu." Ketenangan Revian tidak serta merta menunjukan tanda akan mengalah. Tatapan sedingin es disimpulkan Nadia sebagai bentuk kemarahan.

Tapi menunda sama artinya dengan memperburuk keadaan atau bahkan lebih rumit. Hal itu tidak bisa di biarkan terutama dengan kehadiran orang-orang yang bisa menjauhkan keduanya. Nadia harus berpikir keras, mencari akal agar dirinya bisa tidur tenang malam ini.

"Sayang, tolong sebentar saja. Biar aku jelaskan kesalahpahaman ini," bujuk Nadia. Mulutnya terasa gatal ketika mengucapkan kata yang membuat tubuhnya merinding sendiri.

Revian mengerutkan keningnya mendengar panggilan yang kemungkinannya sangat kecil di ucapkan wanita itu. "Simpan rayuanmu. Aku sangat lelah hari ini," balasnya sambil menutup pintu dan menguncinya. Dia tidak ingin memulai pertengkaran di saat akal sehatnya berada berada berada di ujung tanduk.

Air mata Nadia hampir tumpah. Ketidakpedulian Revian menampar harga dirinya yang mencoba berusaha memperbaiki keadaan. Dia marah pada diri sendiri yang terlanjur menyukai semakin dalam. "Keluarlah pengecut. Berhenti menghindar setiap kita menghadapi kebuntuan. Buktikan kalau kamu memang sudah berubah, bukankah kamu sendiri yang bilang masalah itu bagian dari kehidupan yang harus di syukuri. Brengsek!"

Keheningan semakin membuat Nadia meradang. Entah Revian benar-benar tertidur atau sengaja pura-pura tuli. Dengan tenaga yang tersisa, dia menendang pintu berwarna coklat di hadapannya. Sakit di kaki belum seberapa di banding perasaannya yang bagaikan di tusuk ribuan pisau. "Lihat saja besok. Jangan salahkan diriku jika aku benar-benar pergi dari kehidupanmu !"

Pintu terbuka sebelum Nadia bersiap menendang untuk kedua kali. Revian berdiri dengan menggelengkan kepala. Pakaiannya sudah berganti dengan kaos dan celana piyama. Wajah dan sorot matanya menunjukan kelelahan. "Masuk."

Revian menyentuh jemari kekasihnya yang masih membeku ditempatnya berdiri. Sebenarnya dia membutuhkan waktu untuk sendiri untuk menjaga sikap dan kata yang mungkin bisa menyakiti. Tapi usahanya sia-sia dan mau tidak mau, Revian harus mengalah sebelum sumpah serapah meluncur semakin bebas dari mulut kekasihnya. "Kenapa diam saja? Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang ingin bicara."

Dia melangkah menuju kulkas kecil disudut kamar sementara Nadia duduk di tepi ranjang. Raut sedih dan jejak tangis di wajah wanita yang di sayanginya menghadirkan rasa bersalah. Dadanya terasa sesak luar biasa. Di raihnya sebuah air mineral lalu kembali mendekati Nadia.

"Kamu pasti haus. Minum dulu."

Nadia memperhatikan Revian yang tengah membuka tutup botol. Dia mengutuk dalam hati sikap kekanakannya. Hari ini semua akal sehat dan logika tersisih oleh amarah. "Kita harus bicara," sahutnya memberanikan diri membuka pembicaraan.

"Iya tapi minumlah dulu. Tenangkan dirimu agar bisa berpikir dengan jernih." Revian menyodorkan air mineral dengan senyuman.

Dengan canggung dan malu, Nadia meneguk air mineral pemberian kekasihnya. Haus membuatnya tidak sadar hampir menghabiskan setengah botol. Sejak datang ke acara musik, dia memang belum minum apapun hingga tenggorokannya terasa kering.

Perlahan Revian duduk menghadap ke arah Nadia. Pandangannya tajam namun senyuman lembut tetap menyungging. Dia sendiri heran, betapa mudahnya mengendalikan amarah yang sudah berada di ujung lidah. "Baik. Aku akan mencerita alasan kenapa belakangan ini menjauh darimu dan kaitannya dengan Dimas. Laki-laki sialan itu," gerutunya di akhir kalimat. Penyebab kekacauan keduanya hari ini.

Pandangan Nadia beralih pada sosok disampingnya. Matanya tidak berkedip demi mendengar penjelasan yang sangat dia tunggu. Debaran jantung sekaligus gelenyar diperutnya berusaha di tepis. Ini bukan waktu yang tepat untuk bermesraan.

"Beberapa waktu lalu saat aku bertemu dengan teman-teman. Secara tidak sengaja aku bertemu beberapa teman saat SMA. Ziva mengajak mereka berkenalan dan bergabung dengan kami. Tanpa menyadari perubahan fisikku, mereka terpancing ketika Siera menanyakan tentang dirimu."

"Lalu," potong Nadia, tidak sabar dengan kelanjutannya.

Rahang Revian mengeras, kemarahan terlihat di sorotnya meski tidak begitu kentara. "Mereka bilang kamu berhubungan denganku hanya untuk menuruti permintaan senior agar tidak di bully. Benarkah hubungan kita dulu tidak lebih dari sekedar permainan bagimu?"

Nadia menelan ludah, dia sadar sedalam apapun rahasia yang terkubur pada akhirnya akan terkuak. Terlebih dia tidak sanggup menatap sorot sedih sekaligus kecewa dibalik ketenangan Revian. Matanya terpejam sesaat, mengingat kilasan masa lalu yang kembali berputar.

"Masa SMA bukanlah bagian paling menyenangkan dalam hidupku. Kamu tau bagaimana para senior cewek memberi banyak julukan aneh untukku. Naomi dan teman-temannya memang memintaku untuk menjalin hubungan denganmu jika tidak ingin mendapatkan bully-an lagi. Dia melakukannya hanya karena cemburu pada Dimas yang selalu berusaha mendekatiku." Helaan nafas Nadia terasa berat. Ada ketidaknyamanan saat harus menggali kepedihan yang selama ini tersimpan rapat.

Tangan kokoh Revian menyentuh jemari kekasihnya. Dia menyadari kabut kepedihan yang kini berpedar di bola mata indah itu. Kasih sayang yang di rasanya jauh lebih besar dari keingintauan. Sekalipun Nadia memang membohonginya dulu, dia bisa mewajarkan terlebih sosoknya saat itu begitu lemah.

Di usapnya kepala Nadia dengan lembut. "Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi. Aku anggap semua cerita di masa lalu sudah selesai. Kita bisa memulai dari awal kali ini dengan kejujuran."

Nadia menggeleng pelan. Perasaannya terlanjur tumpah ruah. Dia harus menceritakan yang sebenarnya terjadi meskipun itu sama saja dengan menusuk jantungnya sendiri. "Awalnya aku berpikir untuk menyetujui permintaan mereka tapi ternyata kamu mampu mencuri perhatianku. Kamu ingat saat pertama kali kita bicara?"

"Saat aku menawarimu payung karena tidak tega melihatmu menunggu hujan sendirian padahal hari mulai sore. Sekolah juga sudah sepi, tinggal beberapa anak osis yang kebetulan sedang rapat. Aku tidak berharap banyak akan mendapat perhatianmu. Tapi tidak kuduga, kamu malah mengejar dan memaksa menggunakan payung berdua. Kamu tidak takut mendekat meskipun tau aku suka dikerjai Dimas dan teman-temannya."

"Kamu baik Rev, alasan klise tapi memang begitu kenyataannya. Semakin mengenalmu, semakin dalam pula perasaan ini tapi aku tidak bisa bersikap layaknya kekasih. Dimas dan teman-temannya mengancam akan melakukan hal buruk padamu jika aku tidak mendengar permintaan mereka . Dengan status keluarga mereka, aku tidak punya pilihan selain bersikap angkuh. Ma... af... "Butiran bening lolos dari sudut mata Nadia. Dia meremas jemarinya, menahan sesak yang menyentak disaat isi kepala memutar memori tentang masa lalu.

Revian termenung, sejujurnya dia tidak heran jika Dimas tidak menyukainya. Tapi mengetahui sikap galak Nadia ternyata untuk melindunginya membuatnya marah. Bagaimana tidak, selama ini dia memupuk kebencian pada wanita yang salah. "Kenapa kamu tidak pernah cerita?"

"Bagaimana mungkin aku bisa. Kamu bahkan sulit untuk membela diri sendiri. Terpaksa aku harus mengomel, memarahi hanya agar mereka percaya. Di saat aku menemukan keberanian untuk melawan, kamu justru menghilang." Nadia mengusap air mata yang terus mengalir. Tenaganya terkuras habis oleh emosi.

Revian merengkuh bahu wanita yang masih bergetar hebat. Tidak salah jika Nadia mengatakannya pengecut. Seharusnya dia menyadari sikap Nadia yang kala itu sering melamun, seharusnya dia bisa membaca sorot getir, seharusnya dia mengerti ketakutan kekasihnya bukan pergi dan membiarkannya menghadapi mereka sendirian.

Pelukan tidak meredakan isakan tangis Nadia. Dia meluapkan kesedihan dan ketakutannya yang tertahan selama bertahun-tahun. Revian hanya mampu memberi kehangatan dan perlindungan tanpa kata. Dia sibuk meredam penyesalan atas sikapnya selama ini.

Tidak berapa lama dengkuran halus terdengar samar. Dengan sangat hati-hati, Revian membaringkan kekasihnya di ranjang. Darah mudanya sempat berdesir menatap pemilik tubuh seksi ketika akan menyelimuti. Kepalanya menggeleng, menepis bayangan yang menggoda naluri laki-lakinya. Ini bukan waktu yang tepat.

Revian kembali duduk di tepi ranjang. Sejak pertama kali dia mengenal kata suka, hanya Nadia yang sanggup membuat gairahnya meletup meskipun wanita itu tidak melakukan apa-apa. Secantik atau semenarik apapun lawan jenis yang berusaha menggoda tidak mampu menggantikan posisi Nadia.

Di kecupnya kening sang kekasih sebelum beranjak menuju meja kerja. Apa yang baru saja Nadia ceritakan kembali menganggu pikiran. Dia semakin murka, membayangkan hal buruk yang terjadi pada Nadia sepeninggalnya. Seandainya saja dia tidak menutup pintu hatinya untuk mencari tau tentang Nadia. Sialan!

"Ngg... " Sinar matahari menyelinap dari balik tirai. Biasnya menyilaukan sepasang mata yang baru saja terbuka.

Pandangan Nadia menyapu ke semua penjuru ruangan yang berukuran lebih besar dari kamar yang dia tempati. Tatapannya tiba-tiba terhenti pada seseorang yang tengah duduk di meja kerja. Sontak perut Nadia menegang, menyadari masalah besar yang akan dihadapinya.

"Oh maafkan saya, Bu. Saya... ." Tatapan tajam Tante membuat suara Nadia menghilang. Dengan posisinya sekarang sudah tentu sulit untuk membela diri.

"Bangunlah, bersihkan dirimu dan temui saya di meja makan." Wanita itu beranjak tanpa menoleh, meninggalkan Nadia yang masih membeku. Jemarinya bergetar membayangkan resiko terburuk yang mungkin di hadapi.

Setengah terburu-buru Nadia kembali ke kamarnya, mandi dan berpakaian dengan cepat. Langkahnya semakin terasa berat ketika menyusuri koridor menuju ruang makan. Dia tidak bisa menepis pikiran buruk yang menciutkan nyali.

Gerakan kakinya terhenti, gelisah dan gugup ketika mendengar suara Revian dan Tante Lyana dari ruang makan. Setelah memastikan cukup tenang, dia memaksa memasang seulas senyum lalu berjalan kembali. Debaran jantung memukul dadanya keras ketika mendapati kedua orang yang tengah duduk di meja makan menoleh kepadanya bersamaan.

"Duduklah Nadia." Perintah Tante Lyana menyadari kebingungan wanita cantik yang masih berdiri di ujung ruangan.

Kegugupan menjalari tubuh Nadia. Revian memperhatikannya tanpa kedip ketika dia menyeret langkahnya. Laki-laki itu bahkan tidak terusik dengan pandangan ibundanya.

"Bunda tidak perlu memarahi Nadia. Sudah aku jelaskan bahwa kami tidak melakukan hal 'aneh' semalam. Aku tidur di kamar yang lain."

Tante Lyana menyuap makanan dengan tenang. Pandangannya sesekali melirik Revian dan Nadia bergantian. Siapapun akan berpikir putra tunggalnya bersikap berlebihan pada wanita di sampingnya.

"Bukankah hal itu memang aneh. Kenapa Nadia harus tidur dikamarmu sementara dia mempunyai kamar sendiri. Ada hubungan apa di antara kalian berdua? Terlalu berlebihan jika hanya sebatas atasan dan karyawannya."

Revian mengacuhkan keingintahuan wanita yang melahirkannya. Dia tidak ingin membuat suasana pagi semakin suram. Kedatangan ibundanya sudah cukup mengejutkan meskipun hal itu wajar adanya. Hanya saja keberadaan kekasihnya berada di tempat yang tidak seharusnya memperkeruh suasana.

"Bunda tidak perlu memarahi Nadia. Kami tidak melakukan hal 'aneh' semalam."

Tante Lyanan sesekali melirik, memandangi putra tunggalnya dan Nadia bergantian. Chemistry keduanya terlihat seperti layaknya pasangan kekasih. Revian memasang wajah serius demi melindungi wanita yang dari tadi menundukan kepala.

"Nadia tidur di kamarmu memang sesuatu yang aneh mengingat dia mempunyai kamar sendiri. Bunda tidak ingin terlihat bodoh jadi katakan hubungan apa yang kalian bangun sekarang ini? Kakak adik, teman tapi mesra atau cinta terlarang."

"Cinta lama bersemi kembali." Timpal Revian ketus.

Nadia mengeratkan genggaman kedua tangannya di bawah meja. Berbagai kekhawatiran melintas terutama dengan kesan kurang baik tadi pagi. Seharusnya dia tidak lupa kalau bos besar bisa datang kapan saja.

Suasana mendadak hening. Selama lima menit hanya helaan nafas dan dentingan piring yang terdengar. "Apa alasanmu memilih Revian, Nadia? Uang, harta atau kedekatan fisik semata."

Nadia memberi isyarat agat Revian diam. Dia tidak ingin pembelaan laki-laki itu semakin merendahkan posisinya di mata calon mertuanya. Lagi pula sampai kapan kisah asmara keduanya akan di sembunyikan.

"Revian mempunyai cara tersendiri untuk membuat saya menyukainya. Dan itu dia tidak melibatkan ketiga hal yang Tante sebut." Nadia mengangkat wajahnya. Dia berusaha jujur dengan perasaannya.

"Baiklah. Kalian berdua sepertinya cukup keras kepala jadi kita luruskan hal ini. Jadi kalian berdua sepasang kekasih?" Tanya Tante Lyana kali ini

Revian melirik Nadia sesaat lalu kembali menatap sang ibu. Kebahagiaan terpancar di balik senyumannya. "Ralat Bunda, kami bukan sepasang kekasih tapi calon suami istri."

Nadia tersedak meski belum menyentuh minuman atau makanan di piringnya. Dia tidak mengira Revian akan seberani itu di hadapan ibundanya. Kepalanya mendadak pusing, tidak tau harus mengucapkan pembelaan seperti apa lagi.

"Kamu sedang melucu?" Tante Lyana bergeming. Dia menganggap perkataan putranya tidak lebih dari sekedar angin lalu.

"Tidak, ini serius. Bukankah Bunda selalu memintaku lebih bertanggung jawab pada setiap pilihan. Sebagai laki-laki dewasa, aku ingin menjaganya termasuk dari nafsu diri sendiri." Jawab Revian tegas. Dia mengenal karakter ibundanya yang tidak mudah di bujuk.

"Baik, kalau begitu mulai detik ini Bunda akan tinggal di sini. Ada aturan yang harus kalian patuhi. Sepasang kekasih tinggal dalam satu rumah bisa menimbulkan fitnah dan rumor tidak jelas. Sekalipun kalian tidak melanggar norma, orang lain belum tentu memandang dari sisi yang sama. Satu lagi, jika kamu seyakin itu untuk bersama Nadia. Kembalilah ke kantor dan bekerjalah dengan baik. Nadia tetap bekerja di sini. Kamu sanggup?"

Revian mengangguk sambil menghela nafas lega. Terlepas keenggannya kembali ke kantor setidaknya kekhawatiran ibundanya akan memberi reaksi negatif perlahan memudar. Restu dari wanita yang sangat di sayanginya lebih penting dari apapun.

Nadia mengigit bibir bawah, menenangkan perasaan yang belum sepenuhnya normal. Ketenangan Tante Lyana agak mengherankan. Sekalipun awalnya mempertanyakan tapi dia terkejut mendengar hubungan keduanya.
"Kamu tidak perlu heran. Tante sudah mengetahui hubungan kalian dari . Dia memberitau Tante karena khawatir kalian jadi gunjingan karena tinggal satu rumah. Dia memberi saran agar Revian tinggal terpisah. Tante pikir hal itu justru semakin berbahaya, setidaknya kalau Tante tinggal di sini kalian berdua masih bisa di awasi." Penjelasan Tante Lyana sebenarnya biasa saja tapi mendengar nama Siera disebut sepertinya bukan pertanda bagus.

Siera jauh lebih mengenal Tante Lyana daripada dirinya. Kedatangan wanita yang di hormati Revian tidak lepas dari andil Siera. Nadia belum bisa memperkirakan apalagi yang akan terjadi di kemudian hari tapi satu hal yang jelas, Siera belum menyerah.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro