The Open Door ~ part 11
Dunia ini dipenuhi manusia yang pintar bersandiwara. Berbagai alasan terucap demi mencapai tujuan meskipun berisi kebohongan. Pengalaman hidup itulah mengajarkan Nadia untuk bisa membaca karakter orang-orang disekelilingnya. Memandang sesuatu tidak hanya dari satu sisi.
Kali inipun begitu, keceriaan dan keramahan Siera terlihat menyedihkan di matanya. Wanita cantik itu berusaha untuk bersikap sewajar mungkin. Senyuman yang penuh kepura-puraan itu disadari Nadia sebagai bentuk dari ketidakrelaan. Terlebih ketika bola mata Siera hampir keluar melihat sikap santai Revian yang tengah mengancingkan kembali kemejanya yang terbuka.
"Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Kamu belum mentraktirku dan teman-teman yang lain untuk merayakan resminya hubungan kalian." Usul Siera setelah terdiam beberapa detik.
Revian menoleh pada Nadia, mencari tanda persetujuan. " Kamu mau ikut Nad?" Nadanya mengambang dan terkesan ragu.
Siera meraih bahu Nadia, menjauhkannya dari jangkauan Revian. "Ikut ya Nad. Aku dan teman-teman yang lain juga ingin mengenal seperti apa kekasih pilihan Revian." Entah kenapa Nadia merasa ada yang disembunyikan Siera.
Pilihan yang sulit tapi Nadia tidak ingin terlihat menutup diri pada teman-teman Revian. Dia menyadari ada kemungkinan keadaan tidak berpihak padanya bahkan cenderung memojokan jika dia menyanggupi tawaran Siera. Ini adalah resiko menjadi kekasih Revian, bersikap pengecut hanya akan membuat posisinya mengenaskan.
"Kalian pergi saja lebih dulu. Ada pekerjaan yang masih belum selesai. Tidak perlu menunggu kami, kalau memang sempat aku dan Nadia akan datang." Revian kembali ke duduk di kursinya dengan tak acuh.
Ziva menghampiri dan menepuk bahu Siera. Dia khawatir keadaan akan buruk jika membiarkan sahabatnya tetap berada di ruangan ini. "Benar kata Revian, kita masih punya banyak waktu untuk sekedar makan bersama. Ayo pergi, mereka masih ada pekerjaan."
"Tapi... ." Siera masih belum menyerah. Semburat kekesalan terpancar dimatanya melihat Revian begitu sulit dibujuk.
"Kami akan datang setelah pekerjaan selesai nanti." Nadia memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan. Dia tau Siera akan terus memaksa sementara Revian bersikap setengah hati untuk menolak.
Kedua wanita itupun akhirnya berlalu tanpa banyak kata. "Tenang saja mereka akan kukabari kalau kita tidak bisa datang. Kamu tidak perlu membantah, aku tau hatimu sedang bersorak-sorai gembira," ejek Revian.
Nadia berjalan ke arah pintu sambil melirik jam dinding. Dia memang enggan datang tapi jawaban Revian cukup mengesalkan. "Sudah waktunya makan siang Bos," balasnya mengalihkan pembicaraan.
"Aku sedang tidak mood keluar rumah. Kita makan di rumah saja." Keduanya terkadang memang suka makan siang di restoran atau cafe dekat rumah jika sedang bosan.
"Kenapa? Apa kamu malu jika kita tidak sengaja bertemu teman-temanmu?" Pandangan Nadia kini berhenti pada laki-laki tampan yang berubah dingin kembali.
Revian mendongkak lalu menutup map yang sempat dibacanya. Dia menyandarkan tubuhnya dengan kedua tangan bersidekap. Ah kenapa dia bisa menjadi setampan ini sih, desahnya dalam hati. "Kenapa diam saja Rev?" desak Nadia tidak sabar.
"Sebagian besar orang-orang terdekatku saat ini mengetahui apa yang terjadi pada kita dulu. Aku hanya khawatir jika ada perlakuan mereka yang membuatmu sakit hati."
"Tapi kamu bisa menjadi pembelaku atau kamu memang ingin melarikan diri seperti dulu."
"Nadia, jaga kata-katamu. Kita sama-sama tau apa yang terjadi pada waktu itu. Satu hal lagi, berhenti membandingkan aku dengan laki-laki gemuk dan pengecut itu!" Revian tanpa sadar mengebrak meja cukup keras. Tangannya mengepal kuat menahan amarah.
Nadia mendengus kesal, mata indahnya membulat. Kemarahan Revian tidak membuatnya gentar. "Penampilanmu yang jauh berbeda tidak lantas membuatku berpikir kalian sosok yang berbeda. Satu hal yang harus kamu ingat, salah satu alasanku menerima hubungan ini tidak lain ada bagian Raditya yang tersisa pada dirimu!"
Revian menatap tajam wanita yang memasang raut cemberut. Dia hampir berteriak, mengucapkan rentetan kalimat yang akan memperburuk suasana. Sejenak matanya terpejam, mengendalikan emosi yang hampir mengalahkan akal sehat.
"Nad... " Laki-laki itu menadak tertegun ketika memandang ke arah pintu. Dia mengurut keningnya yang tiba-tiba pusing sambil menggelengkan kepala. Ya, kekasihnya sudah pergi saat matanya terbuka.
Wajah Nadia mengomel sendiri di tepi kolam renang. Dia masih sangat kesal dengan pertengkaran tadi. Hubungannya dengan Revian berjalan bak menaiki roller coaster, naik turun dan berputar tanpa akhir. Di sisi lain, Nadia kesal pada diri sendiri yang masih saja membawa nama Raditya. Kekasihnya tidak pernah ingin mengingat masa lalu dan semua itu terjadi karena dirinya.
"Kamu sedang apa disini? Ayo makan." Teguran Revian menyentak lamunan wanita cantik itu.
"Belum lapar. Kamu makan sendiri saja." Nadia memalingkan wajahnya kembali.
Revian menghela nafas panjang. Bukan Nadia jika sehari saja tidak membuatnya jengkel. Dia menggulung celananya hingga lutut lalu merendamnya dalam air kolam. Keinginan untuk mengomel hilang berganti senyum. Ekspresi Nadia yang merengut sambil mengigit bibir terlihat sangat cantik.
"Beri aku waktu untuk menjelaskan hubungan kita pada teman-temanku. Seperti yang sudah aku katakan, mereka mengetahui seperti apa hubungan kita saat sma. Cerita-cerita itu mungkin saja membentuk ketidaksukaan, menggambarkan dirimu seperti wanita licik. Sebagai kekasih, aku tentu akan membelamu tapi bagaimanapun diriku yang membuat keadaan seperti ini. Jadi bisakah sedikit saja kamu mengerti alasan kenapa kita tidak menerima ajakan mereka?"
Nadia mendelik sesaat lalu mengatupkan bibirnya. Tatapan lembut Revian berhasil membuat sifat keras kepalanya sedikit menunak. "Aku tau, mereka tidak bisa disalahkan jika berpikir seperti itu. Siapa juga yang suka melihat sahabatnya disakiti."
"Aku mengatakan hal ini bukan bermaksud menyudutkanmu. Percayalah, cepat atau lambat mereka akan mengerti dan menerima pilihanku. Ralat, harus mengerti tepatnya," ucap Revian sangat percaya diri.
Nadia menarik kakinya dari kolam. Dia kehilangan mood dan kata untuk terus berdebat. "Maaf, sepertinya aku selalu memberimu banyak masalah."
"Masalah adalah ujian dari Tuhan untuk mengingatkan kita tentang arti bersyukur. Aku tidak punya pilihan lain, kehilangan dirimu lebih sulit dihadapi daripada harus membencimu." Revian membantu kekasihnya berdiri. Dia mengucapkannya seolah hal itu terdengar mudah.
Nadia memutuskan untuk tidak memperpanjang perdebatan mereka. Revian bukanlah Raditya yang akan dengan mudah menuruti setiap permintaannya. Sosok pemalu itu sudah bermetafosa menjadi laki-laki tampan nan gagah meskipun sifatnya bertolak belakang dengan sosok yang dia kenal dulu.
Keduanya berjalan beriringan menuju ruang makan. Revian berencana pergi menemui teman-temannya tanpa Nadia. Dia merasa wajib memberi orang-orang disekelilingnya pengertian dengan apa yang menjadi keputusannya. Semua umpatan atau cibiran siap dia terima selama itu tidak ditujukan untuk kekasihnya saat ini.
"Sudah lama aku tidak pulang ke tempat kos. Keadaan kamarku pasti kotor dan banyak debu jadi... " Nadia urung menyeleseikan kalimatnya saat bola matanya bertatapan dengan Revian.
"Aku akan minta pembantu membereskan tempat kosmu. Selesaikan pekerjaanmu, aku akan memeriksanya setelah pulang." Diluar hubungan keduanya yang tidak romantis, Nadia sadar ada kewajiban sebagai bawahan yang harus dia jalani.
Waktu makan siang berlalu begitu saja. Revian sempat mendaratkan kecupan hangat di pipi kekasihnya sebelum pamit. Pesan setengah memaksa tidak lupa dia bisikkan agar Nadia tetap berada di rumah.
Tumpukan kertas berisi angka-angka menjadi pemandangan menjemukan. Detak jam dan suara keyboard seperti lagu pengantar tidur. Dalam kesendirian Nadia membuka mata lebar-lebar demi menahan kantuk. Sesekali diliriknya meja Revian. Ketidakberadaan laki-laki itu menghadirkan rindu, perasaan takut kehilangan yang terkadang menganggu.
Sekitar pukul lima sore, menjelang selesai akhir jam kerja Revian akhirnya muncul. Sikap tak acuh bos sekaligus kekasih membuatnya segan untuk menyapa. Sejak pertemuan kembali keduanya, baru kali ini Revian sedingin ini. Nadia merasa ada sesuatu yang telah terjadi hingga sikap kekasihnya berubah.
Sejak hari itu keduanya semakin jarang bicara. Revian mendadak super sibuk dan menghabiskan sebagian besar waktunya di luar. Terkadang dia tidak pulang sama sekali tanpa kabar dan sulit di hubungi. Sekalipun ada kesempatan untuk bicara, Revian hanya menanggapi dengan jawaban singkat.
Hampir tiga minggu berlalu keadaan tidak juga berubah. Nadia mulai jengah dan jenuh dengan cara Revian menghindarinya. Dia memutuskan untuk pergi setelah selesai jam kerja. Mbak Imah agak ragu mengiyakan ketika Nadia pamit dengan alasan sudah lama tidak menengok tempat kosnya.
Sava tersenyum lebar melihat kemunculan sahabatnya. Keduanya sudah lama tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. Sebelum berangkat, Nadia memang sengaja menelepon Sava. Dia butuh seseorang yang bisa diajak bicara saat ini.
"Sorry Va, lo jadi ikut repot." Nadia melirik sahabatnya yang tengah membersihkan jendela.
"Cih alasan aja, bukannya lo memang sengaja nyuruh gue datang buat bantu bersih-bersih," canda Sava.
Nadia mencibir, hatinya lega dengan kehadiran Sava. Setidaknya hari ini dia tidak sendiri. Sejak dulu Nadia tidak pintar bergaul terutama dengan wanita. Sava termasuk pengecualian, sifatnya yang tidak mudah sakit hati membuatnya nyaman.
Satu jam lebih berkutat dengan debu, keduanya akhirnya bisa beristirahat. Sava mengusap sisa keringat di keningnya. Dia memperhatikan sorot mata Nadia yang tampak layu, seolah ada beban berat yang dihadapinya. "Lo kenapa? Ribut lagi sama Radit eh Revian."
"Ganti topik!"
"Ok deh. Oh ya hari ini lo tidur disinikan?"
Nadia mengangguk tanpa semangat. "Iya, kenapa memangnya? Lo mau tidur disini juga?"
Sava mengeluarkan sebuah kertas dari tas miliknya. Brosur tentang acara live musik yang di adakan nanti malam. "Bagaimana kalau kita datang ke acara ini? Ayolah daripada diam di kamar sempit ini dan berakhir dengan kegalauan tanpa akhir pada si manusia dua kepribadian itu."
Nadia mengulum senyum mendengar sebutan untuk Revian. "Bukan begitu Va. Gue datang kesini saja tanpa mengabari Revian. Bagaimana kalau dia juga datang ke tempat itu. Gue lagi males ribut nih." Nadia mengacak-acak rambutnya. Sebenarnya dia juga ingin pergi, sekedar melepas kepenatan tapi khawatir aksinya ketahuan membuatnya ragu.
"Lo kesana bukan mau selingkuh jadi kenapa juga harus takut. Lagipula tempatnya luas dan acara pasti ramai apalagi ini weekend. Sekalipun bertemu, jelaskan saja dengan baik-baik toh dia juga datang tanpa memberi kabar. Kalian bukan lagi anak sma jadi seharusnya bisa berpikir dengan jernih tanpa emosi."
Setelah berpikir berulang kali, Nadia menyerah pada bujukan sahabatnya. Dia pasrah ketika Sava mengatur pakaian dan makeup yang akan dipakai. Membayangkan akan ada banyak laki-laki membuatnya sedikit risih jika harus memakai mini dress berwarna biru dengan model casual.
"Va, nggak terlalu seksi nih? Kependekan kayaknya." Nadia mematut, menatap bayangannya berkali-kali di cermin. Dia menghela nafas, percuma saja menarik dress agar menutupi kaki jenjangnya.
"Bukannya dulu kamu terbiasa memakai pakaian sependek ini waktu masih jadi model?"
"Itu tuntuntan pekerjaan bukan kebiasaan. Ah kenapa juga harus pakai high hells, lebih nyaman pakai sepatu. Kita mau menikmati acara musik bukan menghadiri pesta," sahut Nadia masih mematut di kaca.
"Baiklah tuan putri, pakai sepatu sepertinya pilihan terbaik. Siapa tau disana kita akan dapat masalah."
Keduanya pergi setelah menghabiskan waktu beberapa menit untuk merapikan penampilan. Nadia perlahan mulai lupa dengan permasalahannya. Dia cukup antusias mengingat belakangan ini dia sulit keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Revian.
Setibanya ditempat acara, suasana sangat ramai oleh pengunjung yang didominasi anak muda. Nadia berusaha mengabaikan perhatian dari pasangan mata yang tertarik. Dia datang untuk menikmati musik bukan tebar pesona dan mencari pelarian.
Sava menarik Nadia, memastikannya tetap berada di barisan paling belakang. Dia tidak ingin tangan-tangan jahil memanfaatkan kesempatan dalam keramaian. Alunan musik sang DJ membuat semua larut dalam kegembiraan. Senyum dan tawa tidak hilang dari wajah kedua sahabat itu seolah tanpa beban.
"Nad, lo haus nggak? Gue beli minum dulu ya," ucap Sava setengah berteriak.
Nadia mengangguk, tenggorokannya memang terasa kering. "Boleh eh tapi jangan lama ya."
"Ok. Lo tunggu disini aja. Jangan pindah tempat, nanti gue pusing nyariin lo." Wanita manis itu bergegas pergi, meninggalkan Nadia yang kembali fokus ke arah panggung.
Sekian lama menunggu, sosok Sava tidak kunjung datang. Nadia mengigit bibir, cemas jika terjadi sesuatu pada sahabatnya. Sava bukanlah seseorang yang tega meninggalkannya di tempat seperti ini.
"Hai nona cantik, sendirian saja." Beberapa laki-laki mendekat dengan senyuman genit.
Nadia melirik sekilas lalu bersikap tak acuh. "Maaf saya sedang menunggu seseorang." Dia berusaha mengelak dan terpaksa pergi untuk menghindar.
Suasana yang cukup ramai menguntungkan hingga ketiga laki-laki itu kehilangan jejaknya. Nadia berjalan cepat menuju pintu masuk, dia harus mencari tempat yang tenang untuk menelepon Sava. Keadaan tidak lagi terasa nyaman.
Langkahnya mendadak tertahan dan reflek bersembunyi diantara kerumunan orang. Revian dan teman-temannya baru saja datang. Mereka berjalan menuju arah berlawanan tetapi tetap saja Nadia belum tenang. Ditambah Siera yang berada disamping Revian semakin membuatnya jengkel. Sosok kekasihnya tiba-tiba menjauh dari teman-temannya, menghilang diantara kerumunan.
"Mau kemana?" Nadia hampir pingsan mendengar teguran dari belakang. Dia tidak menyangka Revian bisa mengetahui tempat persembunyiannya.
"Pu... lang."
Revian melepas jaket dan mengikatnya di pinggang Nadia yang masih membeku. "Pulang? Temanmu bilang kalian baru datang. Sekarang kamu bisa bergerak lebih leluasa tanpa harus khawatir bagian tubuh bawahmu akan terlihat."
"Rev, aku... " Nadia kesulitan mengatur nada bicara yang semakin gugup. Dia bingung harus bersikap seperti apa.
Revian sekilas menatap penampilan Nadia lalu membawa ke tempat yang tidak terlalu ramai. Dia tidak bisa mengalihkan pandangan meskipun malam ini cukup banyak wanita berpenampilan menarik mencoba menggodanya. Hati tidak bisa di bohongi sekalipun hubungan ini menyakitikan.
Kabar yang didengarnya beberapa minggu lalu tentang Nadia sempat membuatnya kecewa. Dia memilih menjauh, tak acuh sebagai pelampiasan. Berkumpul bersama sahabat menjadi obat di saat perasaan tidak tega berbalut rindu muncul.
Sekarang pertahanannya hancur total. Revian tidak bisa menyembunyikan rasa cemburu pada kekasihnya. Kenyataan wanita itu berdandan begitu cantik bukan untuknya membuat dirinya ingin menghajar satu persatu setiap laki-laki yang memandangi dengan tatapan liar. Sekali lagi dia harus menahan diri, tidak ingin Nadia ketakutan melihat sisi kelamnya.
"Aku sudah pamit pada yang lain. Sekarang tugasku hanya menjagamu. Nikmati malam ini, tidak ada seorangpun yang berani menganggumu," ucap Revian sambil mengusap lembut pipi Nadia. Dia memang tidak akan segan memberi pelajaran jika ada yang berani menggoda kekasihnya.
Nadia mengerjap, dia belum sepenuhnya yakin Revian dalam kondisi normal. Dia bahkan sudah berburuk sangka kalau laki-laki itu akan menyeretnya pergi atau memarahinya. Terlebih dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat Siera memberi tatapan tidak suka. "Kamu... kamu tidak marah?"
"Kamu mau aku marah?"
"Bukan begitu. Belakangan ini kamu sering menghindar tanpa alasan. Kita juga tidak punya banyak waktu untuk bicara karena kesibukanmu di luar rumah, jadi... "
"Kita akan bicara soal itu lain waktu. Sekarang nikmatilah acaranya, bukankah kamu tadi bilang kita sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama." Revian menarik Nadia mendekat, memeluk dan memberi kecupan hangat di kening.
Nadia membalas pelukan tidak kalah erat. Berada dalam rengkuhan Revian menjadi hal yang paling dia inginkan saat ini. "Sava mana ya?" gumannya setelah menyadari sahabatnya tidak kunjung datang.
"Kami tadi bertemu di luar. Dia sudah kusuruh pulang. Kalian bisa menghabiskan waktu bersama besok. Jadi malam ini, kamu sepenuhnya milikku." Semburat rona merah menghias wajah Nadia. Dia menyusup malu dalam dekapan kekasihnya.
Revian tertawa kecil melihat Nadia bersikap seperti anak kecil yang menempel pada ibunya. Semua keraguan yang pernah menghampiri perlahan memudar. Seburuk apapun cerita dimasa lalu, dia tidak punya kuasa mengubahnya. Sekalipun harus merasakan sakit, ini sudah menjadi resiko karena pilihannya sendiri.
Keduanya larut dalam kebahagiaan layaknya pasangan yang tengah dimabuk asmara. Genggaman tangan, pelukan bahkan kecupan hangat mengisi kebersamaan tanpa kata-kata. Tidak ada perdebatan, saling adu keras kepala yang sering merusak momen romantis. Revian bersyukur bisa mengendalikan emosi yang sempat meluap saat mengetahui keberadaan kekasihnya di tempat yang sama. Matanya cukup jeli seperti elang jika berhubungan dengan Nadia. Dia hanya bisa menggelengkan kepala melihat kekasihnya bersembunyi seperti pencuri.
Nadia diam-diam mencuri pandang, memperhatikan laki-laki yang tengah memperhatikan ke arah panggung. Debaran jantungnya tidak bisa berdegub dengan normal saat kulit keduanya bersentuhan. Dia sadar bukan lagi anak remaja tetapi perasaannya sulit dikendalikan. Tanpa sadar kedua kakinya berjinjit dengan jemari menarik wajah Revian ke arahnya.
Laki-laki tampan dihadapannya membeku mendapatkan ciuman disudut bibir. Nadia menghela nafas panjang, dia tidak lagi menahan rasa yang sebenarnya. "Revi aku... " Suaranya tercekat ketika tidak sengaja beradu pandang dengan seseorang dari kejauhan.
Revian memutar wajahnya, mengikuti pandangan Nadia yang tiba-tiba menghentikan ucapannya. Kedua tangannya sontak mengepal kuat. Bayangan kelam masa lalu tidak hanya diisi oleh sosok Nadia. Ada seseorang yang tidak pernah absen menganggu dirinya dan Nadia.
"Bagus, kebetulan sekali dia muncul. Aku siap menjadi sparring partner-nya kali ini." Seringai licik Revian mengembang. Nadia menatap ngeri, berharap tidak ada adegan kekerasan yang mungkin terjadi.
Tbc
Halooo semua, ada yang kangen sama pasangan ini nggak?? hehehe
Maaf ya kalau belakangan ini jarang bisa update cepet. Mudah-mudahan cerita lain bisa menyusul update. See you ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro