Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Open Door ~ 7

Hampir satu jam Revian mendiamkan Nadia. Dia tidak ingin mempercayai kalau wanita ini pernah disentuh oleh laki-laki lain. Matanya terpejam sesaat, meredam kemarahan yang semakin memuncak. Teriakan akal sehat yang memaksanya tetap tenang tidak digubris.

"Ayo pulang." Revian menaruh beberapa enam lembar uang kertas dimeja. Cukup besar untuk dua porsi makanan dan minuman yang jumlahnya hanya setengah dari jumlah uang tadi.

Nadia sendiri bersusah payah menyembunyikan kekecewaan di balik ketenangan yang dia tunjukan. Revian bukanlah Radytia yang dulu pernah memujanya. Sosok Revian adalah seorang laki-laki dengan magnet yang mampu menarik wanita untuk mendekat. Dia menghela nafas dalam-dalam, tidak sanggup membayangkan Raditya bersama wanita lain dalam adegan dewasa.

Keduanya keluar dari restoran dengan sikap seperti musuh. Nadia memilih berjalan dibelakang, memandangi punggung Revian yang tegap. Dadanya terasa sakit bagai dihantam batu, membayangkan tahun demi tahun yang berlalu semenjak perpisahan keduanya. Ada kekosongan yang dia tinggalkan dan sepertinya sudah terisi oleh hati yang lain.

Revian menjalankan mobil layaknya seorang pembalap di arena F1. Sumpah serapah terdengar disaat menghadapi jalanan macet. Dia memang butuh pelampiasan, obat penenang atau apapun yang bisa membawanya lupa dengan keadaan saat ini.

"Turun. Cepat!" Bentakan Revian tidak membuat Nadia bergeming. Wanita itu memandang kesekeliling dengan pandangan ngeri.

"Yang benar saja. Apa tidak ada tempat lain!" balasnya tidak mau kalah.

"Kamu... " Geraman memaksa Nadia mengalah, menyerah pada pemilik tatapan tajam. Dia keluar dari mobil dengan keraguan.

Dia hanya bisa memandangi mobil Revian yang semakin menjauh. Perasaannya semakin kacau, tidak menentu menyadari jalanan terlalu sangat sepi. Nadia mulai melangkah, menyusuri trotoar yang di tumbuhi pepohonan besar. Sesuatu yang berhubungan dengan supernatural sudah membuatnya bergidik, tambahan maraknya aksi begal belakangan ini semakin menakutkannya.

Dia merapatkan cardigan tipis yang tidak mampu mengusir dinginnya angin. Bola matanya berputar, tetap waspada di jalan yang namanya saja dia tidak tau. Sesekali disekanya air mata yang mengalir tanpa izin. Terlalu banyak hal menyedihkan yang dia sendiri tidak yakin mampu menghadapinya.

Sebuah mobil berhenti disampingnya, berdecit cukup keras seolah terburu-buru. Nadia terdiam, menatap sosok yang baru saja keluar dari pintu depan. Revian memutari mobil, menghampiri wanita yang masih terpaku di tempatnya.

Dia menyumpahi dirinya sendiri yang tidak bisa menahan emosi. Beruntung akal sehat dengan cepat mengambil alih pikiran. Membuatnya seperti orang gila yang memacu kecepatan kembali ke tempat Nadia turun. Revian tidak akan pernah bisa menerima jika sesuatu terjadi pada Nadia karena kelalaiannya.

"Masuklah, aku tidak ingin pekerjaan besok terganggu karena kamu telat pulang."

Nadia memandang takjub pada Revian. Raditya tidak pernah ragu mengatakan maaf lebih dulu meski kesalahan bukan padanya. Lelaki yang berada di hadapannya lebih rumit dari permainan kubik. Nadia menaiki mobil tanpa menjawab, dia tidak ingin berdebat di tempat sepi itu.

"Kenapa kembali lagi." Tuntut Nadia.

"Kamu tidak dengar penjelasanku tadi, apalagi kalau bukan pekerjaan."

Nadia mengalihkan pandangan keluar jendela. "Sepertinya aku harus mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan lain."

Mobil kembali menepi. Revian memejamkan mata sesaat sebelum akhirnya menatap pemilik sepasang mata indah yang membuatnya merasakan cinta untuk pertama kali. "Aku minta maaf bukan maksudku menurunkanmu disembarang tempat. Hanya saja isi kepalaku tidak sejalan dengan akal sehat. Aku tidak ingin lebih melukaimu dengan kata-kata atau perbuatan kasar jadi menjauhkanmu dariku adalah pilihan terbaik."

Keduanya berpandangan cukup lama. Nadia menilai kesungguhan dibalik ucapan Revian, setidaknya dia bisa melihat kejujuran di bola matanya. "Apa ucapanku di restoran tadi menganggumu?"

"Sekalipun terganggu aku tidak berhak protes. Kita tidak punya hubungan saat itu."

Nadia menyentuh dadanya yang terasa sakit. "Ya, dengan penampilanmu sekarang tentunya tidak mudah bagimu untuk mendapatkan wanita manapun."

"Kamu menyindirku?" Revian mulai menjalankan mobil.

"Tidak, kenyataannya memang seperti itu bukan. Kamu melakukannya pertama kali dengan pacarmu?" Suara Nadia tetap tenang. Dia tidak ingin terlihat cemburu di waktu yang salah.

Pandangan Revian masih tertuju ke arah jalanan. "Bukan pacar, dia lebih berharga dari itu. Dia yang menyelamatkanku dari keterpurukan, menjadikan sosokku seperti sekarang. Hal itu terjadi karena suasana yang... "

"Kenapa berhenti? Seperti yang kamu bilang aku tidak berhak marah, kita tidak ada hubungan saat itu." Susah payah Nadia menghalau bulir yang mulai membayang di pelupuk matanya.

"Aku tidak lupa dengan caramu memojokanku. Kamu sendiri tidak sudah melakukannya bukan?"

Nadia tersenyum kecut, pandangannya kembali menatap kemacetan di luar jendela. "Aku hanya mengatakan ada laki-laki lain yang mengambil harta berhargaku bukan kesucianku. Hanya karena jauh dari orang tua dan pekerjaan sebagai model, bukan berarti aku mudah tidur dengan setiap laki-laki, Tuan Revian."

Keduanya terdiam dalam keheningan. Nadia menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata dengan perih yang menghujam dada. Dia tidak ingin terlihat lemah untuk saat ini.

Setibanya di rumah Revian memilih pergi ke kamarnya tanpa menunggu Nadia. Wanita itu mengejarnya, ada sesuatu yang harus dikatakannya. "Tunggu Rev, beri aku waktu lima menit saja untuk bicara."

Revian menghentikan langkahnya tanpa membalikan badan. "Ada apa? Aku ingin istirahat."

Nadia mengigit bibirnya cukup keras lelu menghela nafas dalam-dalam. Dipejamkan matanya sesaat mencari ketegaran di antara puing-puing hatinya yang telah hancur. "Aku tidak marah sekalipun kamu melakukannya setelah pertemuan kita. Aku... tidak punya alasan untuk membencimu setelah semua hal buruk yang pernah kulakukan padamu dulu. Semua kuanggap... sebagai karma yang pantas kudapatkan. Hanya itu saja, maaf sudah menganggu waktumu."

"Bagus kalau kamu menyadarinya." Laki-laki itu melanjutkan langkahnya, meninggalkan Nadia yang masih berdiri ditempatnya.

Semenjak kejadian itu, hubungan keduanya menjadi kaku dan berjarak. Nadia memilih menghindari pembicaraan di luar pekerjaan. Revian bukannya tidak menyadari perubahan wanita itu. Dia menyadari pembicaraan mereka terakhir kali melukai wanita yang masih mempunyai tempat di hatinya.

Awalnya dia puas misi balas dendamnya berhasil telak. Setelah bertahun-tahun membayangkan kejadian ini akan tiba, akhirnya dia bisa membuat Nadia merasakan sakit hatinya. Tapi melihat tatapan kosong wanita itu saat menatapnya membuatnya tersiksa. Dia tidak bisa mengacuhkan, meskipun lebih sering menampakan wajah tidak peduli saat Nadia muncul dengan mata sembab.

Pada akhirnya sikapnya justru berbuah luka baru di hatinya. Kekhawatiran suatu saat Nadia akan meninggalkannya tidak bisa dihilangkan begitu saja dari pikirannya. Satu hal yang baru saja sadarinya, lebih mudah bagi Revian untuk menerima sakit hati daripada harus melihat Nadia terluka karena dirinya.

"Nad, makan dulu." Revian menaruh plastik berisi makanan di meja tempat Nadia biasa mengerjakan tugasnya. Dia sengaja keluar, berkeliling kota mencari makanan yang sekiranya disukai wanita itu.

"Terima kasih. Aku akan memakanannya setelah mengerjakan laporan." Nadia mendongkak sebentar lalu kembali menatap lembaran demi lembaran kertas di hadapannya.

Revian mendesah pelan lalu dengan cepat membawa tumpukan kertas itu ke mejanya. "Apa kamu tidak mengerti bahasa yang kuucapkan?"

"Kamu tidak makan?" Nadia mencoba berbasa-basi. Pandangan Revian yang sejak tadi tidak beralih darinya membuat risih.

"Sudah makan tadi," balas Revian sambil menyeret kursi mendekati Nadia. Kedua tangannya bersidekap, menatap lekat sosok yang tengah menyuap.

"Aku minta maaf soal pembicaraan terakhir kita tempo hari. Aku tidak bermaksud bangga sudah melakukan hal terlarang itu."

Nadia menghentikan suapannya. Dia membalikan kursinya hingga berhadapan dengan Revian. Sejujurnya dia belum sanggup tapi menahan sesak di dada semakin menyakitkan. "Apa kamu menyesalinya?"

Revian menatap sosok didepannya tanpa ekspresi. "Aku tau yang kulakukan itu dosa besar."

Pertahanan Nadia seketika hancur, air matanya tidak bisa dihentikan. Jawaban Revian secara tidak langsung mengisyaratkan tidak ada penyesalan. Wanita yang mendapatkan Revian sepertinya mempunyai tempat tersendiri, sosok yang lebih berarti dari dirinya.

Dia menyeka air mata yang terus mengalir tanpa isakan. Bagaimanapun semua memang salahnya. Revian bersama wanita lainpun tidak lepas dari perbuatannya dulu. Seharusnya dia tidak perlu bersikap seperti ini tapi hatinya tidak bisa menyangkal kalau rasa cinta itu masih begitu besar.

Revian terpaku beberapa detik lalu bangkit. Tatapannya tetap datar seolah Nadia memang pantas merasakan sakit hati seperti dirinya dulu. "Hentikan air matamu. Aku tidak butuh drama. Selesaikan makanmu, sebentar lagi kita pergi."

Nadia menghela nafas saat menyeka sisa air matanya. Menatap nanar pintu yang baru saja tertutup. Radityanya telah pergi, menghilang dan tidak mungkin kembali.

Sava menggeram, kesal mendengar cerita sahabatnya saat dia kebetulan menelepon. Nadia tidak bisa menyembunyikan masalahnya, Sava terlalu mengenalnya untuk tidak curiga. "Gue sudah merasa ada yang aneh sama sikap lo belakangan ini. Gila, si Raditya operasi plastik ya sampai berubah gitu. Semua hanya karena dendam sama lo?"

"Sudahlah. Gue nggak mau membahasnya lagi."

"Tidak bisa begitu Nad. Kenapa lo nggak jelaskan alasan lo dulu sama dia. Revian tidak berhak menghakimi lo tanpa mendengar posisi lo yang sebenarnya saat itu."

Nadia memijit kepalanya, pusing dengan permasalahannya dengan Revian. "Biar saja Va, posisi gue serba salah sekarang. Berhenti kerjapun nggak mungkin, keuangan gue mulai menipis."

"Tenang saja, nanti gue kabari kalau ada lowongan kerja di kantor. Tapi baiknya lo punya rencana cadangan. Gue nggak rela dia ngerendahin lo kayak gini."

"Ya, gue juga lagi cari cara lain. Sudah dulu ya, nanti kita cerita lagi kalau ketemu. Bye." Nadia menutup telepon, dia tidak emosi sahabatnya mengulang bayangan kelam yang di alaminya saat sma.

Semua semakin memusingkan, Nadia berpikir ada secercah harapan untuk hubungannya dengan Revian saat laki-laki itu berniat memperbaiki keadaan. Dirinya bagai menghantam tembok besar, keras yang sulit dihancurkan. Terkadang dia ingin mundur saja tapi keluarganya terlanjur banyak berharap pada Revian. Belum lagi kondisi Ayah yang tidak terlalu sehat.

"Kamu sudah siap?" Revian muncul dari balik pintu.

Nadia mengangguk pelan, makanannya masih banyak tersisa. Selera makannya menguap entah kenapa meski sejak pagi perutnya belum terisi. Dia berdiri, meraih tasnya lalu berjalan tanpa semangat.

Siang itu jalanan tidak terlalu macet meskipun cuaca cukup terik. Nadia tidak terlalu memperhatikan keadaan sekitar, dia terlalu sibuk untuk memikirkan rencananya kedepan. Begitu pula dengan Revian yang tetap fokus pada jalanan.

Nadia mengamati sebuah ruko saat mobil yang di tumpanginya menepi. "Kita mau ketemu klien disini?"

Revian terus berjalan memasuki ruko yang didominasi warna merah dan hitam. Sekali melihat Nadia tau toko apa yang baru saja dimasukinya. Tapi suaranya berakhir di tenggorokan, dia ingin tau apa yang sebenarnya Revian lakukan.

Dia menurut saat Revian memintanya duduk. Matanya mengawasi keakraban antara Revian dan seorang laki-laki bertubuh besar yang dia tebak sebagai pemilik toko.

"Rev kamu... "

Laki-laki bertubuh besar itu menoleh padaku dengan senyuman. "Pacarnya cakep ya Rev."

"Berisik Dri," gerutu Revian masam.

Laki-laki itu terkekeh, kembali fokus pada apa yang dia lakukan pada Revian. Tanpa sadar Nadia berdiri, menghampiri keduanya yang tampak serius. Dia mengigit bibir, menyipitkan matanya saat pemandangan didepannya membuat ngilu.

"Sakit ya Rev?" tanyanya penasaran.

"Lebih sakit patah hati mba," seloroh Andri, laki-laki berperawakan besar itu.

Revian hanya tersenyum simpul, dia meraih jemari Nadia yang tidak sengaja menyentuh pahanya. Keduanya berpandangan sebelum akhirnya Revian memejamkan mata. Nadia memilih diam, menemani Revian tanpa banyak bertanya saat jemari keduanya tidak terlepas.

"Sip sudah selesai. Di cek dulu Rev." Selang beberapa jam menunggu, akhirnya keduanya selesai juga.

"Bagus Dri, mirip aslinya," balas Revian saat berkaca di cermin. Memperhatiakn sebuah wajah yang baru saja terlukis di dadanya. Sebuah untaian kata bertuliskan nama wanita itu terlihat sangat jelas.

Nadia menghampiri Revian yang memberi isyarat padanya untuk mendekat. Jantungnya belum bisa berdegub dengan normal sejak Revian menggenggam jemarinya tadi. Sekarang dia dikejutkan dengan tatto bergambar wajahnya didada Revian. Ukurannya cukup besar dan mirip dengannya.

Revian memakai kembali kemejanya setelah Andri menempelkan plastik di tatto bergambar wajahnya. Nadia sempat memalingkan wajah, menyadari kalau tubuh Revian cukup menggoda imajinasinya.

"Semenyesal atau menangis darah sekalipun, aku tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi aku mampu membangun rencana masa depan dengan wanita yang gambarnya akan tetap ada di dada ini sampai saat menutup mata."

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro