The Open Door - 3
Nadia memandang jauh keluar jendela. Awal perjalanannya baru akan di mulai. Semua pilihan memiliki risiko termasuk pekerjaan yang di terimanya. Dia menoleh pada Revian yang tengah mengobrol dengan pak Adi di bangku depan. Harus di akuinya, secara fisik Revian mendekati salah satu kriteria laki-laki idaman. Di luar penampilan, berada di dekatnya justru memberi kesan berbeda. Sesuatu yang memintanya untuk tetap waspada dan berhati-hati.
Revian sesekali memperhatikan kaca spion dalam. Ingatan buruk di masa lalu berusaha keras dia redam. Dia tidak ingin Nadia mengetahui siapa dirinya sekarang, belum saatnya. Di sisi lain, perasaannya pada wanita itu yang belum sepenuhnya hilang tiba-tiba bergejolak kembali. Laki-laki itu sudah lama menyadari menjauh dari Nadia tidak serta merta begitu saja mampu membunuh rasa cintanya.
Pak Adi membantu membawakan beberapa kardus dan tas berisi barang-barang milik Nadia setibanya mereka di tujuan. Mbok Imah muncul dan mengantar wanita muda itu menuju paviliun di bagian belakang rumah. Tempatnya cukup nyaman sebenarnya kecuali rimbunnya pepohonan dan letaknya yang agak jauh dari bangunan utama. Di saat malam keadaannya mungkin akan lebih menyeramkan.
"Jangan banyak melamun. Cepat bereskan barang-barangmu lalu temui saya di kamar." Revian melewati Nadia dengan sebuah kardus di tangannya.
"Biar saya saja yang bawa kardusnya Pak eh Rev." Nadia menggerutu dalam hati. Lidahnya masih saja belum terbiasa memanggil nama langsung pada atasannya. Kaki jenjangnya menjajari langkah Revian.
Laki-laki itu terus berjalan menuju paviliun tanpa peduli tawaran Nadia. Dia masih punya empati walau perasaannya luar biasa marah. Revian sudah puas karena wanita itu merasa sudah merepotkannya sejak awal. Dia tidak akan pernah membiarkan keberadaan mantan kekasih yang secara kebetulan kembali dalam hidupnya hidup dengan tenang.
Paviliun yang akan jadi tempat tinggal Nadia tidak terlalu besar tapi setidaknya nyaman ditinggali. Lantai satu terdiri dari ruangan besar yang merangkap ruang tamu dan ruang makan. Dapur dan kamar mandi berada dekat tangga. Dua kamar tidur saling bersebrangan di lantai atas.
Revian menutup pintu kamar yang akan Nadia tempati. Pemandangan dan warna dindingnya lebih menarik di banding kamar yang lain. Perabotannya tertata rapih, bahkan beberapa boneka tersimpan di ranjang.
"Ini kamar tamu, tempat teman atau pacar saya biasa istirahat. Kamar kamu ada di sebelah. Jangan pernah menginjakan kaki ke sini. Saya nggak suka ada yang masuk ke kamar ini tanpa izin." Nadia mengangguk, dia merasa tidak enak sempat langsung memasuki kamar itu tanpa bertanya dulu. Harusnya dia bisa membaca keadaan apalagi kamar itu memang diperuntukan untuk seseorang.
Dia mengedarkan pandangannya kesekeliling kamar yang baru dimasuki. Suasananya berbanding terbalik dengan kamar sebelumnya. Udaranya pengap dan terkesan muram. Beberapa jaring laba-laba terlihat di sudut langit-langit. Dua kardus berukuran besar bertumpuk dekat jendela. Kemungkinan kamar ini tadinya digunakan untuk gudang pikir Nadia.
"Kenapa diam saja. Nggak suka?" Revian masih berdiri di depan pintu. Raut Nadia yang berusaha mengendalikan kekecewaan membuatnya semakin senang.
Nadia menggelengkan kepala. Jika boleh jujur, dia tidak menyukai ruangan ini. Kamar kosnya mungkin jauh lebih kecil tetapi tempat ini terasa dingin. Tapi sekali lagi akal sehatnya mengetuk. Dia datang untuk bekerja bukan berlibur santai di hotel. Sudah bagus bos-nya menawarkan tempat menginap cuma-cuma hingga bisa memangkas anggaran transportasi. Apa bedanya dia dengan pekerja rumah lainnya, bisa saja keadaan kamar mereka tidak lebih baik dari tempat ini.
"Saya suka kok, P... Rev." Ah ini menggelikan, kenapa sih laki-laki itu memaksa minta dipanggil nama. Panggilan bapak untuk orang yang mempekerjakannya di rasa sangat wajar walau mungkin umur keduanya tidak terpaut jauh. Menyebut nama langsung tampa embel-embel sepertinya kurang sopan tapi kalau itu kemauannya, aku bisa apa, keluh Nadia. "Nanti akan saya bersihkan," lanjutnya menghindari omelan sang bos.
"Itu memang sudah kewajibanmu. Ingat, jangan samakan dengan tempat kos-mu yang berantakan. Bersihkan dan rawat seperti tempat tinggalmu sendiri." Tegas Revian sebelum berbalik. Dia harus segera pergi sebelum dirinya mengasihani wanita itu dan membuatnya lemah seperti dulu. Tapi seharusnya kamar itu sudah dirapihkan sejak kemarin. Mbok Imah pasti lupa.
Nadia berjalan menuju jendela, membuka selot besi berwarna emas lalu membuka selebar mungkin. Dihirupnya udara seolah kekurangan oksigen. Kekhawatiran tidak sepenuhnya hilang selepas kepergian Revian. Dia merasa akan butuh waktu lama beradaptasi dengan pekerjaannya. Wanita itu belum menyentuh tugas utamanya tetapi dia sudah cukup direpotkan oleh kelakuan bos-nya.
Warna hijau mendominasi pemandangan yang matanya tangkap. Rimbunnya pohon, rumput atau deretan rapih tanaman hias. Sejenak kelelahannya terlupakan dan mencoba mengembalikan aura positif.
Ketukan di pintu menghentikan gerakan tangannya saat membersihkan sisa debu di tangan. Mbok Imah muncul dengan membawa peralatan untuk membersihkan ruangan. Dia minta maaf seharusnya sudah membersihkan kamar ini sejak kemarin.
"Nggak apa-apa, Mbok." Nadia tersenyum mendengar keluhan Mbok Imah. "Sekalian saya bantu ya, Mbok. Tinggal di sapu sama pel saja."
"Jangan Non, saya pasti diomeli Den Revian lagi. Nanti ada yang bantu saya kok." Desakan wanita paruh baya itu agar tamunya tidak perlu mengotori diri akhirnya berbalas anggukan.
Ada tempat lain yang Nadia harus datangi. Tugasnya telah menanti. Revian, laki-laki menyebalkan dan berstatus atasannya sedang menunggunya di ruangan lain. Dengan gaji lumayan besar kemungkinan pekerjaannya lebih dari sekadar mengumpulkan berkas atau mengetik. Tapi kenapa dia tidak diminta datang ke kantor dan justru ditempatkan satu atap dengan orang yang memperkerjakannya.
Kepala Nadia mengingat-ingat petunjuk dari Mbok Imah mengenai letak kamar Revian. Rumah ini tidak terlalu besar jadi menemukan tempat yang dia cari bukan hal sulit. Seharusnya begitu andai kakinya mendadak semakin berat digerakan. Perasaan khawatir menghantui pikirannya. Ada yang janggal, kenapa dia harus diminta datang ke kamar laki-laki itu? Tugas macam apa yang menunggunya.
Setelah menghabiskan lima belas menit dalam keraguan, Nadia akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu kayu berwarna cokelat. Kamar Revian berada di lantai dua sementara Tante Lyana di lantai bawah.
"Permisi," ucapnya sembari mengetuk pintu.
"Masuk."
Nadia perlahan membuka pintu. Udara sejuk menyambut kedatangannya. Tubuhnya yang agak lengket bersorak sorai ketika dinginnya AC menyentuh kulit. Bola matanya berputar hingga akhirnya mendapati sosok laki-laki tengah duduk di meja kerja. Pandangan Revian tertuju pada layar laptop.
Godaan untuk melihat seluruh ruangan terkurung oleh kecemasan. Nadia tidak ingin mendapat teguran karena dianggap kurang sopan. Bagaimanapun dia sekarang berada di tempat paling pribadi laki-laki itu. Apa di rumah ini tidak memiliki ruangan khusus kerja? Sepengetahuannya sangat jarang ada orang yang menjadikan kamarnya jadi ruangan tempat bekerja apalagi Revian tidak terlihat baru merintis usaha hingga harus mengurangi budget untuk kantor. Benar-benar aneh.
Revian menutup laptop. Dia diam-diam mengamati eskpresi kebingungan wanita di hadapannya. Terlepas dari masalah keduanya di masa lalu, alasan ibunya memperkerjakan Nadia untuk membantu pekerjaannya. Sebenarnya dia mempunyai ruangan khusus untuk bekerja. Letaknya masih satu lantai dengan kamarnya. Dulu dia dan Teddy banyak membahas soal pekerjaan di sana.
Dia tidak bodoh dengan memasukan sembarang orang ke kamarnya bahkan asisten rumah tangga yang boleh membersihkan ruang pribadinya hanya Mbok Imah. Tapi tiba-tiba saja sebuah ide melintas. Dia ingin menguji seberapa besar kesabaran Nadia menghadapi ketidaknyaman seperti hal dulu saat dirinya bertahan karena cinta. Ya, cinta yang begitu besar dan baru pertama kali di rasanya. Wanita itu hanya memanfaatkannya, mempermainkan seolah dia pantas diperlakukan seperti mainan usang.
Revian mengertakan giginya lalu mencoba menenangkan gelombang kemarahan yang hampir membuatnya membuka masa lalu keduanya. Terlalu dini, dia bahkan belum mulai bermain-main dengan asisten barunya. Dari pembicaraan semalam dengan ibunya, dia yakin Nadia sedang kesulitan keuangan. Menurut ibunya, wanita itu mengambil keputusan sangat cepat tanpa menimbang risikonya lebih dulu.
"Kamu akan bekerja di sana." Revian menunjuk dengan dagunya ke arah meja kerja lain di sudut ruangan. Kamarnya sangat luas dan hanya terisi barang yang dibutuhkan. Tambahan satu meja kerja tidak membuat kamarnya jadi sesak. Dia memang sudah gila membiarkan Nadia memasuki ruangannya. "Mengingat kamu sudah menandatangi kontrak saya anggap kamu bersedia di tempatkan di manapun."
Senyum Nadia mengembang. Dia harus ini sebagai risiko dari pekerjaan. Selama Revian bersikap dalam batas wajar, wanita itu tidak perlu berpikir terlalu jauh. Mungkin ruangan yang seharusnya jadi tempatnya bekerja sedang dalam perbaikan hingga sementara waktu pindah ke kamar ini. Tapi membawa benda untuk melindungi diri tidak ada salahnya, seprai merica misalnya.
"Saya lebih banyak berada di lapangan. Untuk urusan kantor biasanya dilakukan oleh Teddy, asisten yang lama. Tapi bukan berarti saya nggak mengawasi pekerjaan di kantor. Kamu harus cekatan, jangan sampai jadwal meeting terlewat dan harus siap kapan saja kalau saya butuhkan. Ini file berisi tugas asisten yang lama. Dia sudah menulis apa saja yang harus kamu kerjakan. Kamu bisa mempelajarinya sambil mulai bekerja. Kamu boleh menelepon Teddy kalau masih bingung. Lakukan apa saja selama nggak menganggu waktu saya."
Nadia mengambil USB dan sebuah kartu nama di meja Revian. Pikirannya masih sepenuhnya sadar dengan keadaan yang baru. Dia bahkan merasa pakaiannya tidak cocok untuk bekerja. Kaus longgar dan jeans belel. Bisa saja dia permisi dan mengganti dengan pakaian lebih pantas namun sepertinya Revian tidak peduli.
Beberapa menit berlalu, Nadia akhirnya mulai menggunakan otaknya. Dia menelepon Teddy yang dengan ramah menjawab serta memberitahu tugas-tugasnya. Pekerjaannya rupanya tidak terlalu rumit. Dia hanya perlu mencatat jadwal Revian dan memeriksa berkas atau file yang akan Teddy kirimkan. Bagian paling berbahaya adalah ketika bersinggungan dengan bos. Teddy mengingatkannya bahwa sikap laki-laki itu sering kali meledak-ledak. Tidak mudah tersinggung dan menganggapnya angin lalu akan sangat berguna.
Keheningan menyelimuti ruangan. Suara detak jam dan bunyi tombol keyboard terdengar bagai alunan lagu. Sesekali Nadia meregangkan otot leher sambil diam-diam mengamati ruangan tempatnya bekerja. Kamar bercat putih ini sangat bersih. Parket menambah kesan hangat. Barang pengisi hanya benda yang biasa terdapat di kamar tidur. Ranjang berukuran king size dengan dua nakas di sisi dan kanan, lemari pakaian dari kayu, televisi layar datar super besar dan sebuah meja panjang tepat di bawahnya. Jam dinding serta foto laki-laki itu dan Tante Lyana terpasang di dekat lemari pakaian.
Salah satu jendela berada di dekat meja tempatnya berada. Angin bertiup dari sela-sela tirai berwarna putih tanpa corak.
"Saya pergi dulu." Revian tiba-tiba berdiri. Dia berjalan ke meja Nadia. "Simpan nomor saya. Kalau ada masalah kantor yang penting segera hubungi saya. Di luar itu jangan ganggu waktu saya kecuali mendesak. Teddy bilang apa? Hari ini ada klien yang harus saya temui nggak?"
Nadia bergegas melihat kertas tempatnya menulis penjelasan dari Teddy. "Hari ini nggak ada, Rev." Tanpa sadar dia menghela napas panjang setelah Revian pergi. Selamat, pikirnya.
Hari ini cukup menegangkan sekaligus melelahkan. Otaknya belum siap menerima perubahan mendadak. Beruntung Revian segera pergi, setidaknya Nadia punya sisa waktu untuk mempelajari apa saja tugasnya dengan lebih saksama.
Mbok Imah sempat memintanya makan siang atas perintah Tante Lyana. Kesan canggung merajai perasaannya ketika berada satu meja makan dengan wanita itu tanpa kehadiran putranya. Tante Lyana tidak banyak bicara. Dia hanya bertanya seperlunya, itu pun bisa dihitung dengan jari. Selesai makan siang, wanita itu pergi ke luar tanpa mengatakan akan ke mana.
Nadia segera ke kamarnya. Dia melirik jam tangan dan masih tersisa lima belas menit untuk memeriksa ruangan yang akan jadi tempatnya beristirahat. Wangi pinus menguar, menusuk hidung ketika membuka pintu.
Mbok Imah dan pembantu yang lain telah selesai membersihkan kamarnya. Seprai telah diganti dengan yang baru. Tas besar berisi barang dan keperluannya di simpan dekat ranjang. Televisi berada di atas meja yang berada depan ranjang. Tirai juga telah berganti walau corak dan warnanya serupa tapi setidaknya lebih bersih.
Dengan semangat, Nadia membawa tas menuju lemari pakaian dekat jendela. Dia memasukan pakaian dan menaruh peralatan make up di meja rias tepat di samping lemari.
Perlahan kakinya menyusuri lantai lalu menghempas sisi ranjang. Pandangannya menyapu langit-langit. Tidak ada hal buruk yang akan terjadi padanya. Dia hanya perlu memahami terkadang beginilah cara dunia bekerja. Proses menuju keberhasilan acap kali di mulai dengan situasi tak menyenangkan. Dia harus bisa bertahan.
Jam menunjukan pukul satu. Setengah terburu-buru Nadia berjalan cepat kembali ke kamar Revian. Dia khawatir laki-laki itu akan murka melihat dirinya tidak berada di tempat. Siapa yang tahu kapan bos-nya akan kembali.
Kekhawatirannya tidak terbukti. Kamar Revian tampak sepi tanpa keberadaan sosok penghuninya. Nadia mengusap dada, dia mungkin terlalu cemas. Tanpa menunggu, konsentrasinya kembali mengurusi pekerjaan. Sesekali menelepon Teddy, memastikan untuk menyusun jadwal untuk esok hari.
Menjelang pukul lima, kepalanya mulai pusing. Antusias dan ketakutan yang sempat menyapa memacu adrenalin. Dia menimbang-nimbang antara segera kembali ke kamarnya atau menunggu Revian kembali. Ada beberapa berkas yang dikirim dari kantor melalui email. Dia harus memberitahu Revian untuk diperiksa tapi belum ada tanda-tanda kapan laki-laki itu akan pulang.
Kakinya menyeret kursi ke belakang. Bangkit dan berjalan sambil meregangkan otot. Beberapa kali Nadia menguap menahan kantuk.
Ranjang besar di hadapannya tampak menggoda untuk dicoba. Nadia nekat duduk di tepi ranjang karena ingin tahu seperti apa rasanya. Kantuk semakin menyerang, membuat tubuhnya menuntut lebih dari sekadar duduk di ranjang empuk. Perlahan dia melirik ponsel yang dibawanya, menekan icon alarm dan men-set agar berbunyi sepuluh menit lagi.
Perlahan tubuhnya dibaringkan dengan kedua kaki menjuntai di lantai. Sepuluh menit cukup untuk mengusir lelah dan sepertinya Revian baru akan pulang malam nanti. Tidak ada perlu dikhawatirkan. Tidur bukan kejahatan, toh semua pekerjaan telah dia selesaikan.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro