Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Open Door - 2

Nadia terdiam di tempatnya, matanya masih memperhatikan adegan ibu dan anak yang sedang melepas rindu. Laki-laki bertubuh tinggi besar dengan raut yang mengingatkannya pada salah satu pangeran dari timur tengah itu mengusap air mata wanita dalam dekapannya. Dia tidak sadar ketika tiba-tiba mendesah pelan. Ingatannya berputar membayangkan seseorang yang dikenalnya dulu memiliki seraut wajah mirip seperti laki-laki itu hanya dalam versi kutu buku. Tidak berotot apalagi memiliki tubuh gagah tapi dia mencintai semua kekurangannya.

Lamunan Nadia terhenti. Kenangan itu sulit diabaikan meski telah berlalu beberapa tahun lalu. Wajahnya kembali pada kedua orang itu. Sungguh pemandangan yang mengharukan tapi Nadia hanya bisa meringis. Dia masih belum bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya.

Jantungnya berdegub kencang ketika kedua orang yang di perhatikannya tadi berjalan berangkulan menuju mobil. "Pak Adi, gimana kabarnya? Sehat Pak," tanya Revian yang memilih duduk di bangku depan.

"Baik. Tuan Revi sendiri bagaimana? Sehat?" jawab pak Adi dengan suara rendah.

Revian tersenyum. Tidak ada yang lebih baik daripada menghirup udara bebas. Dia harus berpikir ulang sebelum bertindak sebelum melakukan tindakan bodoh yang membawanya ke terali besi meski cuma perkelahian konyol."Yah, Bapak bisa lihat sendiri keadaan saya." Tawanya lepas tanpa beban.

Tante Lyana melirik ke arah Nadia yang sejak tadi diam saja tanpa melepas pandangan sedikitpun pada putranya. "Kamu baik-baik saja, Nad?" Nadia tersentak, berusaha menyamarkan rasa kikuk sembari mengangguk. Dia masih bingung sekaligus belum mempercayai perubahan dalam hidupnya.

"Mama sedang bicara dengan siapa?" Revian menoleh ke belakang saat menarik seatbelt. Pandangannya terhenti pada sosok wanita cantik yang menatap gugup padanya.

"Ini Nadia. Dia yang akan menjadi asistenmu mulai sekarang." Balasan ibunya membuat Revian terkejut. Ini pertama kali ibunya memberinya asisten seorang wanita, cantik lagi.

"MemangnyabTeddy kemana Ma? Resign." Revian teringat sahabatnya sejak kuliah yang selama beberapa tahun belakangan ini dia percaya menjadi tangan kanannya. Terbersit rasa kecewa dengan keputusan sepihak ibunya yang mengganti posisi Teddy tanpa membicarakannya lebih dulu.

Tante Lyana menghela nafas. Dia sangat hafal dengan sifat keras kepala putra kesayangannya. Keputusannya mengganti asisten yang lama mungkin tidak akan bisa diterima dengan mudah.  "Kamu nggak perlu khawatir. Dia akan bekerja untuk Mama. Itu konsekwensi dari perbuatanmu yang tidak bisa mengendalikan emosi. Sekarang suka tidak suka, Nadia yang akan menggantikan tugas Teddy."

Revian tidak bisa berbuat apa-apa jika sudah berhubungan dengan wanita yang melahirkannya ke dunia. Sebagai anak tunggal, dia sudah cukup menyusahkan selama ini. Kejadian terakhir yang berujung dengan masuknya dia ke penjara semakin membuatnya merasa bersalah.

"Pak, tolong pinggirkan mobilnya sebentar." Pak Adi menuruti permintaan majikannya.

Revian membuka sabuk pengamannya lalu keluar dari mobil yang sudah menepi di sekitar taman kota. Dia memutari mobil dan membuka pintu di samping Nadia. Wanita itu memberi tatapan bingung ketika Revian memberinya isyarat untuk menggeser tubuhnya. Kursinya memang masih bisa dimasuki satu orang lagi tapi tubuh laki-laki itu cukup besar.

"Revi!" seru Tante Lyana tertahan. Dia kesal melihat Revian memaksa ketiganya duduk berdesakan di belakang.

"Jangan protes, Ma. Revi hanya ingin lebih mengenal asisten yang Mama pilih." Nadia merasa terpojok dan serba salah. Nada suara Revian terdengar seakan  meremehkan kemampuannya. Well, dia memang belum tahu tugasnya seperti apa tapi bukan berarti bebas diperlakukan seenaknya.

Kursi yang sebelumnya lapang kini menjadi sempit. Nadia berusaha merapatkan tubuh ke arah Tante Lyana. Sebenarnya dia ingin sekali mengomeli laki-laki yang tidak sadar diri dengan tubuhnya itu. Tapi bagaimanapun sulitnya, dia harus menahan diri, laki-laki di sampingnya adalah putra bosnya. Dan satu hal yang semakin membuat sisa perjalanan tidak nyaman, Revian tanpa malu memperhatikan dirinya dari jarak dekat. Wajah keduanya bisa saja saling menempel kalau tiba-tiba mobil berhenti mendadak.

"Pinjam bahumu. Saya capek dan butuh istirahat," ucap Revian. Dia mendekatkan tubuhnya hingga lengan keduanya bersentuhan.

"Bahu? Ini ada bantal leher Pak, lebih nyaman pakai ini." Nadia menyodorkan bantal berbentuk hurup U yang kebetulan sempat dia lihat saat memasuki mobil.

Revian meraih bantal tadi dan melemparnya ke arah kursi yang sempat di dudukinya. Pak Adi sempat kaget, beruntung dia cukup cekatan dan kembali konsentrasi hingga tidak menabrak mobil di depannya.

"Apa bahasa Indonesia yang saya katakan nggak bisa kamu pahami. Saya minta bahu bukan bantal."

Nadia tidak punya pilihan selain menuruti permintaan laki-laki itu.  Terlebih Tante Lyana tidak terusik pembicaraan keduanya. Wanita itu kembali larut memandangi majalah yang dibacanya tanpa berniat menegur sikap putranya.

Secara fisik maupun status, Revian bukanlah lawan yang sebanding. Nadia terpaksa memberikan bahunya meski setengah hati untuk sandaran kepala laki-laki itu. Semua terpaksa dia lakukan dan menganggapnya sebagai bagian dari pekerjaan. Selama tidak berlaku mesum, Nadia akan mencoba mengabaikan ketidaknyamanannya.

Revian hanya mampu bertahan selama beberapa menit. Tubuhnya lebih tinggi bila dibandingkan bahu wanita itu. Hal itu membuatnya harus memiringkan lehernya lebih ke bawah hingga terasa sangat pegal.

"Kenapa Pak?" Nadia berusaha bersikap sopan meski dalam hati dia menertawakan laki-laki yang sedang mengusap-usap lehernya.

Revian tiba-tiba merangkul bahu Nadia. Senyumnya tampak puas, segudang pengalamannya dengan   wanita membuatnya dengan mudah bisa menebak isi kepala wanita yang bersikap sekaku batu.

"Hentikan Revi. Bisakah kamu bersikap layaknya orang dewasa. Nadia memang Mama tugaskan sebagai asistenmu tapi dia tetap bertanggung jawab penuh pada Mama bukan kamu. Jangan samakan dia dengan sekumpulan wanita bodoh yang mengejarmu seperti layangan putus." Tante Lyana menggelengkan kepala sambil berdecak. Belum ada hitungan jam putranya keluar dari jeruji besi tapi ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu harus menahan sabar.

Revian tidak menggubris ucapan ibunya. Sosok Nadia terlihat menggemaskan, sayang untuk dilewatkan begitu saja. Terlebih sejak tadi wanita bermata bulat itu berusaha untuk menjaga jarak. Sebagai laki-laki, ego dan harga dirinya tertantang mengingat selama ini begitu banyak wanita lebih dulu menawarinya godaan tanpa syarat. Selain itu wajah Nadia juga sepertinya tidak asing namun dia terlalu malas menggali ingatan.

Nadia tidak bisa menggerakan tubuhnya sedikitpun. Suaranya tercekat di tengorokan. Revian ternyata lebih kuat dari dia pikirkan. Beruntung Tante Lyana sempat menegur tingkah laki-laki itu sebelum kembali mengalihkan perhatiannya pada majalah.

Suasana mendadak hening. Nadia akhirnya memberanikan diri menoleh. Laki-laki itu rupanya sudah memejamkan mata sambil bersandar ke belakang. Dengkuran halusnya terdengar samar. Revian mungkin kelelahan setelah sekian lama terkurung dalam sel.

"Nadia tolong bangunkan Revian. Suruh dia menemui saya di ruangan kerja. Oh ya, hari ini kamu pulang saja, biar nanti Pak Adi yang mengantarmu. Siapkan barang-barang selama kamu tinggal di sini. Jangan lupa CV-nya. Besok pagi Pak Adi akan menjemputmu." Perintah Tante Lyana bergaung di udara ketika mobil baru saja berhenti di carport.

Nadia mengehala napas. Dia melirik Revian yang masih terlelap. Tangannya berulang kali urung terangkat hingga akhirnya mengumpulkan segenap  keberanian untuk menepuk bahu laki-laki itu tanpa tenaga. "Pak, Pak Revian bangun. Kita sudah sampai, Pak."

Revian menggeliat pelan dengan mata yang masih setengah tertutup. Dia mengusap wajah lalu menyisir rambutnya dengan jemari kebelakang. Raut lelah ketika kesadarannya terkumpul. Mata merah dan agak pucat.

Tubuh wanita muda itu membeku. Dia tidak bisa turun dari mobil dan membiarkan bos-nya masih berada di sana. Seolah sadar sedang diawasi, laki-laki itu menggerakan tubuhnya sambil membuka pintu mobil. Nadia perlahan mengikuti dengan keluar dari pintu yang sama.

"Terima kasih, Pak Revi. Oh iya, Bu Lyana tadi meminta Bapak menemuinya di ruangan kerja." Nadia mengingatkan laki-laki itu saat Revian menutup pintu mobil tempat keduanya keluar. Dia mungkin tidak terlalu buruk, pikir wanita itu.

Revian bersidekap, mengangkat kedua alis sambil menatap lekat asisten barunya. Keduanya berhadapan dalam jarak dekat. Kemunculan wanita ini menyisakan banyak tanya. Dia masih belum percaya ibunya mau mempekerjakan seorang wanita untuk jadi asistennya hanya karena perkelahian di sebuah klub malam membawanya mendekam dalam penjara meski hanya satu malam. Dia hanya berusaha membela diri ketika seorang laki-laki bertubuh kekar tiba-tiba menantangnya berkelahi karena mengira dia telah menggoda kekasihnya. Wanita yang disebut sebagai kekasih laki-laki itu lebih dulu datang, memberi rayuan dan bersikap seolah tidak memiliki ikatan dengan laki-laki manapun.

Kedatangannya ke tempat sialan itu pun sebatas menerima ajakan teman. Dia hanya ingin bersenang-senang bukannya mencari masalah. Tambahan menegak beberapa sloki membuatnya tidak bisa berpikir jernih.

Kekesalan Revian teralih pada sosok perempuan di sampingnya.  Penampilan Nadia cukup menarik meskipun bukan tergolong tipe kesukaannya. Semakin diperhatikan, ada yang berbeda dengan wanita itu tapi dia bingung di mana letak perbedaannya. 

"Bapak? Apa saya terlihat seperti orang tua? Panggil nama saja dan nggak perlu bersikap formil. Jangan bantah dan lakukan saja perintah saya," gerutunya. Panggilan itu sebenarnya tidak aneh. Dia telah terbiasa mendengar panggilan tadi. Hanya saja rasanya tidak enak ketika diucapkan oleh Nadia.

"Tap... " Nadia mengatupkan bibirnya sebelum selesai bicara. Raut Revian yang berubah tajam membuatnya lebih waspada.

"Kalau begitu saya permisi dulu Pak eh Rev," ucap Nadia kaku. Dia merasa sungkan memanggil nama secara langsung pada orang yang mempekerjakannya.

Revian tiba-tiba menahan langkah Nadia. Dia tidak suka diabaikan apalagi oleh seorang wanita. "Kamu mau kemana? Badan saya pegal gara-gara kamu tadi. Cepat siapkan air panas untuk saya mandi."

"Air panas untuk mandi?" Nadia mengulang kalimat terakhir bos-nya. Seingatnya dia dipekerjakan untuk menjadi asisten bukan babysitter. Lagi pula kenapa dia yang harus di salahkan, Revian sendiri yang memilih bersandar di bahunya meski hanya sebentar.

Seorang pembantu berjalan  menghampiri kami. "Den Revi kenapa masih di sini? Nyonya dari tadi sudah nunggu. Ayo cepat masuk, nanti dimarahi lagi."

"Ya sudah, Mbok Imah sekarang temani Nadia ke kamar saya. Tadi saya suruh dia siapkan air panas."

Mbok Imah menoleh ke arah Nadia. Wanita itu memasang raut memohon, berharap isyarat meminta pertolongan terbaca. "Nyonya tadi nyuruh Non Nadia pulang hari ini. Mbok aja yang siapin air panasnya. Biasanya juga begitu, kan. Nanti biar Mbok bantuin bersihin punggungnya ya kayak dulu pas Den Revian masih kecil."

Nadia mengigit bibirnya kuat. Dia berjuang keras menahan tawa sekaligus memperlihatkan raut sewajar mungkin. Informasi yang baru didengarnya di luar dugaan.

Revian menghela napas pendek tapi tidak sampai mengeluh. Ucapan Mbok Imah bisa membuat image-nya jatuh di mata wanita yang membuatnya dikendalikan oleh rasa penasaran tentang siapa dirinya. "Saya bukan anak kecil lagi. Bilang sama Mama, saya akan menemuinya setelah mengantar Nadia pulang."

Mbok Imah menarik lengan majikannya ke arah pintu. Revian sulit mengelak meski hanya tepisan, Mbok Imah sudah di anggapnya sebagai ibu kedua."Aduh Den Revi pakai malu segala. Dari kecilkan Mbok sudah biasa mandiin Den Revi. Non Nadia pulangnya diantar sama Pak Adi. Nyonya pesan begitu tadi."

Senyum lega menghias wajah Nadia. Dia memiliki waktu menenangkan diri meski hanya satu malam.

Sosok laki-laki itu masih berdebat dengan pembantunya yang tidak juga melepas lengannya. Langkah Nadia sedikit lebih ringan sekarang. Dia ingin mengawali hari dengan berpikir positif. Setiap orang tidak lepas dari kesalahan termasuk Revian. Selama laki-laki itu menunjukan sikap baik, tidak ada alasan baginya untuk membiarkan hal negatif menguasai pikirannya. Tapi memang dia harus menjaga jarak. Tidak boleh membiarkan perasaan pribadi mencampuri pekerjaannya. Revian adalah hal terlarang untuknya. Dia menandatangi kontrak itu untuk bekerja. Titik.

Sepeninggal Pak Adi yang mengantarnya hingga tempat kos, alih-alih membereskan barang untuk dia bawa besok, Nadia lebih memilih berbaring di ranjang. Sifatnya yang suka menunda pekerjaan mungkin tidak bisa di lakukannya setelah tinggal di rumah Tante Lyana. Jadi dia memanfaatkan sebagai kesempatan terakhir berleha-leha.

Nadia mengotak-atik ponselnya. Sibuk berselancar di dunia maya demi mencari informasi tentang Revian. Berita yang di dapatnya tidak terlalu banyak. Hampir sebagian berisi tentang kebiasaan laki-laki itu bergonta-ganti pacar, temperamennya yang mudah meledak atau sikapnya yang sering membuat orang salah paham. Laki-laki itu tak ubahnya seperti buku kelakuan buruk.

Kerutan di dahi Nadia bertambah  ketika menemukan informasi tentang data pribadi Revian. Dia dan laki-laki itu ternyata pernah bersekolah di SMA yang sama. Revian berada dua tingkat di atasnya jika dilihat dari tahun laki-laki itu masuk SMA. Nadia memejamkan matanya, mencoba mengingat sosok yang di rasanya mirip dengan laki-laki itu. Mustahil laki-laki setampan Revian tidak masuk dalam memorinya. Dia cukup populer dan kenal dengan sebagian besar senior saat berseragam putih abu, apalagi dia pernah terpilih menjadi salah satu finalis gadis sampul di sebuah majalah remaja. 

Deringan ponsel memaksa Nadia membuka mata. Dia baru tertidur menjelang tengah malam, menunda pekerjaan membuatnya harus terjaga untuk membereskan barang-barang untuk di bawa selama tinggal di rumah tua itu.

"Halo," sapanya saat mata kembali terpejam.

"Hei asisten baru, cepat bangun! Sampai kapan saya harus menunggumu." Nadia sontak menjauhkan ponsel dari telinga. Suara di seberang terdengar sangat nyaring.

"Ng... ini siapa? Ganggu orang pagi-pagi saja sih." Nada suaranya meninggi. Emosinya ikut terpancing karena merasa istirahatnya terganggu.

"Ganggu pagi-pagi? Hei cepat bangun dan buka pintu kamarmu!"

Nadia mematikan ponselnya dengan gusar tanpa melihat layar. Dia memang mudah marah jika waktu tidurnya terganggu. Dengan masih menggerutu kakinya beranjak menuju pintu, siap memaki orang yang membuatnya terjaga.

Seringai sinis dan tatapan tajam laki-laki yang sedang berdiri di depan pintu menjadi hal yang tidak terduga. Revian bergerak masuk, menangkup wajah wanita yang belum sepenuhnya tersadar itu dan memiringkannya ke arah jam dinding. "Menurutmu sekarang masih pagi?"

Ternyata sudah hampir jam sepuluh, pekik Nadia dalam hati.

"Oh itu sih jamnya memang rusak." Alasan yang bodoh tapi Nadia tidak bisa memikirkan hal lain untuk mencegahnya di marahi. Dia benar-benar lupa hari ini sudah harus mulai bekerja.

Revian menjauhkan diri. Dia lega karena Nadia belum sadar sewaktu dia spontan menyentuh wajah wanita itu. Kepalanya menggelengkan ketika mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Gudang di rumahnya lebih rapih dibanding kamar ini. Penataannya pun asal-asalan. Sampah mulai menggunung di tempat berukuran kecil dekat rak televisi. Setumpuk buku tergeletak di lantai, beberapa bahkan dalam keadaan terbuka.

Sebagai laki-laki pada umumnya, sulit baginya untuk tidak memperhatikan kehadiran Nadia. Penampilannya yang masih berantakan justru memperlihatkan bahwa kecantikan fisiknya memang alami. Anehnya dia merasa nyaman dengan keberadaannya.

"Cepat mandi. Mama sudah menunggumu di rumah. Saya tunggu kamu disini." Nadia tidak bisa menolak perintah laki-laki yang memasuki kamarnya tanpa izin. Setengah terburu-buru dia mengambil handuk dan pakaian lalu bergegas masuk ke kamar mandi.

Revian duduk di kursi kayu, satu-satunya tempat duduk di ruangan ini. Kehidupan yang di pilih wanita itu berbeda dengan apa yang dia pikirkan. Dari informasi yang dia dengar dari ibunya, Nadia pernah bekerja sebagai model. Seharusnya wanita itu bisa tinggal di tempat yang lebih layak.

Matanya kembali berkeliling hingga pandangannya terhenti pada foto berbingkai silver di meja. Di raihnya foto itu dan memperhatikan dua orang gadis berseragam abu-abu dengan latar sebuah gedung sekolah.

Foto itu di letakan kembali di tempatnya semula. Seringai licik menyungging di wajah tampannya. Revian kini mengerti kenapa dia merasa pernah bertemu dengan Nadia. Bagaimana dia bisa tidak sadar bahwa asistennya sekarang adalah orang yang sama dengan wanita yang pernah menghancurkan hatinya.

Kekasih sekaligus cinta pertamanya yang hanya memanfaatkan kekayaannya dan mempermalukannya di depan banyak orang. Dia hanya bisa bersekolah selama tiga bulan di tahun terakhirnya di sma mereka dan pindah karena malu. Bahkan dia sampai memaksa ibunya untuk mengganti nama lahirnya dan melarang siapapun menyebut nama itu.

Dulu penampilannya tidak seperti sekarang. Tubuhnya cukup gemuk, berkaca mata minus, wajah di penuhi jerawat dan terlihat seperti kutu buku. Rasa kurang percaya diri juga kikuk membuatnya tidak mempunyai banyak teman apalagi wanita. Nadia adalah wanita pertama dalam hidupnya. Ironisnya kebencian pada Nadialah yang mengubah cara pandang dalam menjalani hidup hingga terlihat seperti sekarang.

Karma itu ada dan kamu akan mendapatkannya Nadia. Aku akan membuatmu merasakan seperti yang pernah kamu lakukan dulu padaku. Revian menyungging senyum sinis menatap Nadia yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Tbc

Cerita lain nyusul yak, lagi proses tulis ulang soalnya watty eror dan hasil tulisannya nggak ke save jadi agak sedikit menganggu mood. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro