The Open Door 15
Ketegangan menyelimuti kedua manusia yang sejak lima menit yang lalu masih terdiam. Aura mengintimidasi terpancar dari sosok laki-laki yang mengingatkan Nadia pada kekasihnya. Selama ini Revian belum pernah sekalipun membicarakan tentang ayahnya atau keluarga besar baik itu dari pihak ibu maupun ayah. Keluarga Revian yang Nadia tau hanya Tante Lyana.
Mbok Imah tampak sangat gugup saat membawakan minuman. Pembantu rumah tangga yang paling lama bekerja untuk keluarga Revian itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Cangkir yang akan ditaruh bahkan sempat hampir jatuh. Padahal dia selalu tersenyum atau mengeluarkan kalimat candaan ketika berada disekitar Tante Lyana yang tegas.
"Revian dan ibunya pasti belum pernah bercerita tentang Om. Kenalkan nama Om, Danu . Saya ayahnya Revian."
Nadia tetap bergeming menutupi rasa gugup campur penasaran. Terlepas dari masalah dalam keluarga, laki-laki ini tetap ayah kandung Revian. Orang tua Nadia selalu mengingatkan pentingnya hormat pada orang yang lebih tua.
"Om maklum kalau kamu bingung. Tante Lyana atau Revian pasti belum pernah bercerita apa-apa tengang Om padamu. Oh ya Om dengar kamu bekerja sekaligus tinggal disini?"
"Iya, Om. Saya bekerja untuk Tante Lyana dan ditugaskan menjadi asisten Revian. Saya juga diminta tinggal di paviliun," balas Nadia agak ragu.
Om Danu manggut-manggut. Sesekali pandangannya berputar, mengelilingi ruangan berukuran cukup besar. Diantara sekian banyak foto, tidak ada satupun yang memajang gambar dirinya.
"Kalau boleh Om tau, ada hubungan apa antara kamu dan Revian? Sepengetahuan Om, Lyana bukan orang yang mudah menerima kehadiran seseorang apalagi perempuan muda di rumahnya. Tentu keberadaanmu penting hingga diizinkan tinggal disini."
Suara Nadia mendadak tercekat. Dia bingung memposisikan diri mengingat jawabannya mungkin bisa saja membuat orang salah persepsi. "Mm... begini Om. Sebenarnya saya dan Revian pernah berpacaran saat SMA. Kami sempat berpisah lalu dan kembali menjalin hubungan setelah bekerja."
Tatapan Om Danu berubah serius. Ekspresi wajahnya tidak bisa terbaca, entah setuju atau tidak dengan pernyataan Nadia. Dia menelisik Nadia tanpa berkedip hingga wanita cantik itu malu sendiri.
"Om mempunyai banyak harapan untuk Revian tapi semua keputusan ada di tangannya. Anak itu sama keras kepalanya dengan ibunya." Nadia coba menguraikan jawaban Om Danu. Sekalipun tidak ada sepatah kata tentang penolakan akan tetapi dalam setiap kalimat tersirat ada ketidaksetujuan.
Laki-laki bertubuh tinggi dihadapannya melirik jam dinding. "Baiklah kalau begitu, Om pamit dulu." Kelegaan menyeruak, Nadia memang berharap ayah kekasihnya ini tidak berlama-lama bertamu. Capek rasanya tetap bersikap tenang dan wajar sementara perasaannya khawatir Revian atau Tanye Lyana tiba-tiba datang.
Demi alasan kesopanan, Nadia mengantar Om Danu hingga ke carport. "Oh ya, satu pertanyaan terakhir. Apakah kamu tulus mencintai Revian? Bukan karena ada alasan lain, harta misalnya?." tanyanya tanpa basa-basi.
"Sejak awal mengenal Revian, saya hanya melihat kepribadiannya. Jika ternyata Revian berasal dari keluarga berada, saya anggap itu bonus tapi bukan hal paling penting dari hubungan kami. Saya yakin Tante Lyana selama ini mendidik putranya dengan baik untuk bisa menghargai seorang wanita, terlepas dari apapun latar belakang keluarga, harta atau bibit, bebet dan bobotnya. Itulah alasan saya memilihnya."
"Kamu sangat mempercayai Revian sebesar itu? Meskipun pada dasarnya dia hanya laki-laki biasa yang bisa saja melakukan kesalahan."
Nadia tersenyum. "Percayalah Om, Revian lebih dari mampu untuk mempunyai kekasih lebih dari satu. Tapi saya yakin, putra Om bukan laki-laki tanpa hati yang memperlakukan kaum hawa seperti pakaian ganti. Dia memiliki tekad kuat sama seperti ibunya untuk mempertahankan pilihan selama itu baik. Itulah alasan saya masih bersamanya, karena jika hanya demi harta, Revian bukan satu-satunya laki-laki yang memiliki kemampuan itu."
Ketegangan terasa disekitar keduanya. Sikap defensif Nadia tadi mungkin mengusik ketenangan Om Danu. Tapi wanita itu tidak menyesal dengan perkataannya walaupun dia belum sepenuhnya mengenal Revian. Dia bahkan tidak habis pikir bukannya membanggakan, Om Danu malah memberi pertanyaan yang memojokan posisi putranya.
"Bagaimana jika dia menyukai wanita lain? Apakah pendirianmu masih akan tetap sama."
"Saya hanya menjalankan yang terbaik semampunya. Apapun yang terjadi di masa depan, saya serahkan semua pada Tuhan. Revian pun akan sependapat. Tapi dari caranya bersikap pada Tante Lyana, saya pikir dia akan mampu menjaga dan menghargai pasangannya." Om Danu menatap tajam mendengar jawaban Nadia. Dia tidak menduga gadis muda yang mulanya tampak pemalu mampu terlihat sepercaya diri itu.
Sepeninggal Om Danu, Nadia mencari Mbok Imah untuk mencari informasi. Dia sadar belum banyak mengetahui informasi tentang Revian dan keluarganya. Tante Lyana hampir tidak pernah membahas tentang laki-laki yang mengaku sebagai ayah putra tunggalnya. Begitupula dengan Revian, bahasan mengenain sosok ayah tidak pernah terucap bahkan sejak keduanya masih SMA.
Mbok Imah awalnya ragu untuk bercerita. Dia terlihat berat setiap akan membuka mulut. Nadia tidak kehilangan ide, dia memohon dengan suara memelas agar wanita itu memberinya infomasi meski sedikit.
"Ayolah Mbok , aku harus bilang apa sama Ayah Ibu jika ditanya tentang keluarga Revian. Apapun yang terjadi di masa lalu tidak akan mengubah perasaan Nadia jadi tolong cerita, sedikit saja. Please." Pinta Nadia setengah merajuk.
Melihat tekad kuat Nadia akhirnya Mbok Imah menyerah. Keduanya bicara di gazebo yang berada halaman belakang. Mbok Imah bersikap hati-hati seolah khawatir ada yang mendengar.
Pernikahan Tante Lyana dan suaminya yang bernama Danu tidak berjalan lancar. Campur tangan keluarga sekaligus tidak adanya restu jadi bom waktu yang akhirnya menghancurkan kebahagiaan keluarga kecil itu. Selain itu belum munculnya buah hati menambah panjang deretan pertengkaran. Om Danu akhirnya memilih mengikuti permintaan keluarga dengan menikahi wanita lain tanpa mempedulikan posisi istrinya.
Perih dan merasa terhina, Tante Lyana meminta berpisah. Siapa sangka, dua minggu setelah melayangkan gugatan ke pengadilan, kabar kehamilan akhirnya datang. Tapi perasaan yang hancur tidak mungkin bisa diperbaiki tanpa menyisakan retak. Om Danu pasrah melihat kekerasan hati Tante Lyana. Keduanya berpisah setelah Revian lahir.
Tante Lyana memulai usaha dari nol dengan harta gono gini yang tidak seberapa. Kehiduapan keras yang di alami wanita cantik itu mengubah sifat lembutnya menjadi tegas, hampir tanpa senyuman. Tertipu bahkan nyaris bangkrut bukan lagi hal baru hingga akhirnya berbagai pengalaman membawanya pada tangga kesuksesan. Semua dilakukan untuk masa depan Revian. Demi Revian pula Tante Lyana rela mengabaikan kebahagiaan dirinya sendiri.
"Apalah selama ini Om Danu tidak pernah menemui Revian ?"
Mbok Imah menatap sedih ke arah pepohonan. "Pernah tapi hanya bisa dihitung dengan jari. Itupun ketika Den Revi sebelum masuk SD. Mbok Imah tidak terlalu tau apa yang terjadi tapi begitulah keadaannya."
Sungguh Nadia tidak pernah membayangkan Tante Lyana dan Revian pernah mengalami masa sesulit itu. Berbanding terbalik dengan Nadia yang mendapat perhatian dari keluarga lengkap. Rasa bersalah semakin menyusup saat teringat bagaimana buruk sikapnya memperlakukan Revian.
"Apa Tante Lyana tidak punya keluarga besar?"
Mbok Imah kembali menghela nafas. "Ada tapi semuanya menutup pintu saat Nyonya memaksa menikah dengan Tuan. Satu-satunya yang setuju hanya alamarhum ayah Nyonya. Mereka tidak peduli lagi dengan keadaan Nyonya jika terjadi hal buruk di kemudian hari."
Cerita tentang keluarga Revian menganggu sepanjang sisa hari. Sesekali Nadia melamun disela-sela pekerjaannya. Semua orang memang memiliki masalah hidup tetapi yang di alami keluarga Revian ikut menyakitinya.
"Pekerjaanmu belum selesai?" Suara Revian sontak membuyarkan lamunannya. Laki-laki itu tengah berdiri didepan pintu yang terbuka.
"Apa yang sedang kamu lamunkan?" tebak Revian memperhatikan keterkejutan di wajah wanita itu. Dia berjalan untuk memeriksa pekerjaan Nadia.
"Cuma pekerjaan dan sudah selesai kok," ucap Nadia begitu kesadarannya pulih.
Laporan yang disodorkan Nadia memang sudah selesai. Sekelebat rasa cemburu hadir dalam benak Revian. Emosinya selalu mudah tersulut hanya dengan memikirkan ada laki-laki lain dalam pikiran kekasihnya.
Tubuhnya agak membungkuk dengan kedua tangan menumpu pada tepi meja kerja. Tatapannya tepat menuju dua bola mata indah yang tampak malu-malu. "Yakin?"
Kegugupan Nadia semakin menjadi tapi justru membuat laki-laki yang memandanginya menjadi gemas. Semburat rona merah di pipi terlihat alami. Sebelum akal sehat mengambil alih, Revian menghadiahi kecupan lembut dikening Nadia.
"A... apa yang kamu lakukan? Kalau ada yang melihat nanti bisa salah pah... "Seolah tidak peduli, Revian membungkam bibir mungil itu dengan ciuman.
Belum sempat protes, Revian melepas ciumannya dengan senyum puas. "Sejak kapan kamu peduli dengan pendapat orang?"
"Bukan begitu tapi... . Ah sudahlah, aku mau ke kamar dulu," gerutu Nadia. Pertemuan dengan Om Danu dan pertanyaan yang agak menyudutkan posisinya sebagai kekasih Revian cukup menganggu. Dia tidak ingin di cap sebagai wanita nakal.
Langkah Nadia tiba-tiba terhenti saat berniat menutup pintu. Sosok Revian yang membelakanginya membuat irama jantungnya berdegub kencang. Bukan hanya sekedar bentuk kekaguman tetapi kesedihan yang tidak pernah diketahuinya.
"Kamu kenapa? Katanya mau ke kamar." Revian terkejut merasakan ada yang memeluknya dari belakang.
Nadia menggeleng pelan, alih-alih bersuara justru air matanya yang keluar. Hantaman demi hantaman ketika mengingat sosok Revian yang dikenalnya saat SMA menghadirkan rasa bersalah. Diabaikan oleh ayah kandung sudah pasti menyakitkan dan Nadia menambah kepedihan itu dengan bersikap kasar.
Revian melepas pelukan dan membalikan tubuh. Dia kebingungan melihat Nadia menangis tanpa suara. Kepalanya menunduk dengan bahu bergetar. Sungguh bukan pemandangan yang paling dia harapkan.
"Kamu kenapa?" Revian merasa jantungnya diremas kuat ketika menarik lembut dagu Nadia.
Wanita dihadapannya benar-benar menangis. Hidungnya bahkan merah. "Nggak... apa-apa."
"Kalau nggak apa-apa kenapa sampai nangis. Jangan berbohong." Diseka air mata Nadia yang masih saja mengalir. Dia menahan kesal dan geram karena tidak berhasil membuat kekasihnya tersenyum.
Nadia menutup matanya sesaat, mengumpulkan ketenangan setelah melakukan hal diluar kendali. Tatapan teduh yang memancarkan kepanikan masih terlihat saat bola matanya terbuka. "Cuma kangen aja." Hanya kalimat itu yang terpikir.
Kedua alis Revian terangkat, entah harus senang atau kesal dibohongi. Tapi dia tidak ingin memaksa, menunggu waktu yang tepat setelah suasana tenang. Tangan kanannya yang merangkul pinggang Nadia semakin erat. Di usapnya sisa air mata wanita dalam pelukannya dengan tangannya yang bebas dengan perasaan lega.
Tanpa dikomandoi, Nadia berjinjit meski tetap tidak bisa sejajar dengan Revian. Bahagia dan kesedihan bercampur menjadi satu. Revian menundukan wajahnya, diciuminya pipi Nadia hingga kekasihnya tertawa geli.
Keduanya saling berpandangan, merasakan gelora dari setiap sentuhan kulit. Revian mengambil alih, mendominasi sekaligus menunjukan kepemilikannya atas Nadia. Perlahan bibir keduanya saling menempel, mencumbu dengan luapan sayang.
Revian kembali melepas bibirnya setelah bersusah payah mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dikepala. Dia terkekeh pelan mendapati raut Nadia yang terlihat merengut. Diciumnya kembali bibir mungil itu. "Sisanya tunggu setelah kita nikah ya. Nanti ada yang salah paham kalau ada lihat," godanya
Rona merah di wajah Nadia belum menghilang. Dia baru tersadar sudah berbuat konyol. Dilepasnya pelukan Revian, memasang raut pura-pura kesal dan berlalu tanpa pamit. Laki-laki itu segera menyusul, menjajari langkah sambil merangkul bahunya. Nadia tidak bisa menahan senyum. Dia berharap mampu membayar kesedihan yang pernah dia torehkan dalam kehidupan Revian.
Semenjak itu Om Danu tidak menunjukan batang hidungnya. Mbak Imah juga tidak bercerita sesuai permintaan Nadia. Ketenangan di rumah belakangan ini tidak ingin tercoreng karena kabar tidak enak. Setidaknya Om Danu bisa menghubungi atau menemui Tante Lyana dan Revian jika memang perlu dengan keduanya. Tapi bukan berarti Nadia bisa melupakan begitu saja pertemuannya dengan calon mertuanya itu.
Tidak lagi sering berkunjung. Entah apa yang Revian katakan padanya saat kedatangannya terakhir kali ke rumah ini. Selain dia hubungan dengan teman-teman Revian yang lain perlahan membaik seiring semakin dekat waktu kepulangan Nadia.
Suatu siang Tante Lyana mengajak Nadia makan diluar. Dia sengaja mencari waktu demi mendapat kesempatan berdua saja dengan calon menantunya. Revian selalu protes dan khawatir, berpikir ibunya akan meminta Nadia mengurungkan niat untuk menikahinya. Pemikiran yang agak berlebihan mengingat Tante Lyana jarang sekali ikut campur kecuali mengingatkan gaya pacaran keduanya agar tidak melewati batas.
Rupanya kedatangan Om Danu tempo hari sudah diketahuinya. "Dengarkan Tante, Nad. Mungkin kamu belum bisa mengerti tapi sementara waktu cobalah untuk tidak mengusik Revian dengan bertanya tentang ayahnya. Mbak pasti sudah menceritakan semuanya jadi Tante tidak perlu mengulang semua."
"Saya mengerti Tante," balas Nadia canggung.
Tante Lyana tersenyum, senyuman tulus dan tanpa beban yang pertama kali diperlihatkannya. "Syukurlah. Latar belakang keluarga kami cukup rumit. Tapi kamu tidak perlu khawatir, Tante akan datang pada keluarga besar dan meminta kesediaan mereka untuk menghadiri acara lamaran nanti."
Nadia terkesiap, setau dia hubungan Tante Nadia dan keluarganya tidak harmonis. "Maaf Tante... " Dia mendadak kehilangan kata-kata karena bingung.
"Kamu tidak perlu sungkan. Cepat atau lambat Tante memang harus menemui mereka. Lagipula semua ini memang salah Tante yang memaksakan kehendak hingga melukai perasaan keluarga besar. Sebagai orang tua kebahagiaan Revian dan kamu adalah yang terpenting. Tante hanya berharap kamu bisa mengisi kekosongan hatinya."
Pembicaraan berlanjut dengan membahas soal rencana lamaran. Nadia sendiri belum mengabari keluarganya lagi karena malas di cecar banyak pertanyaan tentang Revian dan keluarganya. Orang tuanya tidak pernah menilai karakter seseorang hanya karena berasal dari keluarga broken home akan tetapi hal seperti ini baiknya di bicarakan secara langsung.
Keduanya pulang menjelang sore setelah Tante Lyana mengajak berjalan-jalan untuk membeli beberapa barang unyuk Nadia. Kebahagiaan berubah tegang setibanya di rumah. Mbok Imah tergopoh-gopoh menghampiri Tante Lyana dengan wajah pucat.
"Ada apa Mbok ?"
"Itu Nyonya. Den Revian ngamuk di kamarnya. Kaca jendela kamarnya pecah."
"Memangnya kenapa dia bisa begitu? Apa yang membuatnya semarah itu."
Mbok Imah melirik padaku, ketakutannya terbayang jelas. "Itu Nyonya, soal Tuan... "
"Tante, boleh Nadia bicara sama Revian?" Tante Lyana sempat menahan langkah Nadia. Dia mengenal bagaimana karakter putranya terutama jika dalam kondisi emosi.
Belum sempat membalas, Revian muncul dari ruang tengah. Dia tidak sendiri, Siera berjalan bersamanya. Tatapannya tajam dan terkesan tidak ramah. Aura kemarahan terasa di bahasa tubuhnya. Dalam kondisi normal, memilih menjauh adalah pilihan terbaik.
Nadia mengabaikan pilihan itu. Dia berusaha meredam semua pertanyaan karena cemburu yang menggelitik. Bersama Revian, dia banyak belajar untuk pintar membaca keadaan, kapan harus marah atau sebaliknya. Semua harus dijalaninya jika ingin masa depan pernikahannya kelak jauh dari kata pisah.
"Revi, kendalikan dirimu. Bicarakan baik-baik kalau ada masalah. Jangan selalu pergi dengan alasan ingin sendiri. Bunda tau apa yang kamu lakukan bersama teman-temanmu setiap kamu punya masalah. Tapi kali ini ada Nadia, wanita pilihanmu yang harus dijaga perasaannya," tegur Tante Lyana dengan suara lembut.
Nadia mengikuti langkah Revian dan Siera menuju carport. Wanita itu sempat melirik, memperlihatkan ekspresi kepuasan. Semua bentuk emosi yang ditahan mulai merembes dari celah-celah hati. "Tunggu Rev, berikan aku waktu untuk bicara. Sebentar saja, tidak akan lebih dari satu menit."
Revian menekan kunci mobil, meminta Siera lebih dulu masuk. Langkahnya yang tiba-tiba terhenti menjadi jawaban tersirat kalau dia mengabulkan permintaan Nadia.
Perlahan Nadia mendekat dan berhenti beberapa langkah dari tempat Revian. Dia menghela nafas panjang lalu membuangnya. "Ada seseorang yang pernah bertanya padaku, bagaimana aku akan bersikap jika kamu jatuh cinta pada wanita lain. Aku bilang semua kembali pada takdir Tuhan. Aku percaya kalau dari caramu menyayangi ibumu akan membuatmu mengerti bagaimana cara menyayangi pasangan. Tapi suatu hubungan tidak bisa hanya satu pihak yang berperan. Aku ingin membuktikan apakah kamu akan melakukan seperti yang orang itu katakan, bermain api dibelakangku. Sekarang pergilah, aku mengatakan semua ini bukan untuk melarangmu. Lakukan apa yang kamu anggap benar tapi ingat satu hal, tidak semua kesalahan layak mendapat kesempatan kedua."
Nadia membalikan badan, sesungguhnya perasaan cemburu dan sedih memporak-porandakan pertahanannya. Dia bisa saja menahan kepergiaan Revian dengan tangisan atau kemarahan. Sebagai kekasih, dia mempunyai hak untuk itu. Tapi tidak, dia harus menjaga harga dirinya terutama dihadapan pengganggu yang akan dengan senang hati menertawakan kekalahannya. Nadia bisa melihat sedikit sosok Siera didalam mobil tersenyum puas.
Hanya karena Revian di kelilingi wanita, dia tidak harus mengusir para penggoda dengan sikap atau kalimat kasar. Menggikuti kemanapun laki-laki itu pergi untuk memastikan kesetiaannya bukanlah kebiasaannya. Nadia punya cara sendiri untuk menghadapi Revian. Kali ini, dia akan memastikan Siera melihat dengan mata kepala sendiri siapa yang Revian pilih.
"NADIA!" Geraman Revian memanggil namanya terdengar nyaring. Nadia tetap berjalan, tidak lupa sebelah tangannya terangkat lalu melambai tanpa menoleh. Bye.
Tbc
Maaf kalau komen lama di balas ya, jaringan disini lagi lolita tapi vote dan komennya tetap di tunggu ya. Have a nice saturday ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro