Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Open Door 14

Semalam aura ketegangan diantara dua karyawan Revian sangat kentara. Damara menyikapi dengan lebih baik meski bahasa tubuhnya mengesankan ketidaknyamanan. Dominasi Priya pada rekan satu kantornya itu seolah menunjukan bahwa keduanya memiliki masalah di masa lalu yang belum selesai. Apapun itu Nadia memilih menahan diri untuk ikut campur. Hubungannya sendiri dengan Revian tidak bisa di katakan berjalan baik.

Bahasan mengenai lamaran berhasil mengalihkan perhatian Nadia seperti saat sarapan pagi ini. Revian sengaja mengabaikan berbagai pertanyaan yang menyangkut dengan kehidupan kedua karyawannya. Bujuk bernada rayuan pun tidak membuatnya tergoda untuk bercerita. Nadia memang agak berani karena Tante sudah pergi jam enam tadi.
"Sebelum kamu nanti pulang, aku akan lebih dulu memberitau orang tuamu soal kedatangan keluargaku nanti. Mereka tidak perlu repot menyiapkan banyak hal, selama acaranya berjalan lancar itu sudah lebih dari cukup."

Nadia mendesah pelan. Perutnya mendadak kenyang setiap membayangkan lamaran nanti. "Apakah kamu sudah benar-benar yakin? Terlepas hubungan kita di masa lalu, ikatan kita berdua baru saja terjalin. Ada jarak dan rentang waktu yang mengubah kebiasaan bahkan sikap kita dulu. Apa kamu merasa kita sudah cukup saling mengenal hingga merasa yakin untuk naik ke tahap pernikahan."

"Berapa lama waktu yang kamu butuhkan hingga merasa cukup mengenalku, setahun, dua tahun atau lima tahun? Aku ingin mengenalmu tanpa terhalang kata dosa."

"Kamu sama sekali tidak memiliki keraguan?"

"Tidak."

"Mm... lalu kamu tidak tertarik menanyakan hal yang sama padaku?

Revian menghabiskan sisa air di gelas. Dia tertawa kecil sambil menyeret kursinya. "Tidak. Aku yakin kamu tidak akan menolak. Sudah dulu ya, aku berangkat kerja dulu." Nadia merengut, sedikit sebal melihat kepercayaan diri laki-laki yang memberinya kecupan lembut di kening sebelum pergi.

"Tunggu."

"Ada apa lagi?"

Nadia mendekat sambil mengigit bibir. Sorot lembut Revian seolah sedang menggodanya. "Aku mau mengantar sampai halaman, belajar sebelum resmi jadi nyonya."

"Coba kamu bersikap manis setiap hari seperti ini bukannya memasang wajah galak setiap kita bicara."

"Sudah ah kamu kebiasaan, dikasih hati minta jantung." Nadia mendorong tubuh Revian. Tentu saja usahanya sia-sia karena kalah tenaga. Revian tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya.

Revian tertawa pelan memperhatikan kegugupan Nadia. Wanita itu sengaja memalingkan wajah untuk menghindari tatapannya. Baginya pernikahan adalah kesiapan dengan tanggung jawab besar. Pembuktian sekaligus ujian yang sebenarnya atas nama cinta. Wajar jika kekhawatiran atau keraguan melintas mengingat banyak ketidakpastian di masa depan.

Sebelum meninggalkan rumah, Revian tidak lupa menyiapkan beberapa laporan di meja kerjanya. Memastikan Nadia mengerjakan tugas seperti biasa. Dia tidak ingin ibundanya berpikir ulang memindahkan kekasihnya ke tempat lain dengan alasan pekerjaannya di rumah kurang efektif.

Kesunyian menemani Nadia yang larut dalam tumpukan laporan. Terkadang dia rasa bosan menghampiri disela-sela kesibukannya. Waktu makan siang menjadi satu-satunya hiburan di saat Revian menyempatkan pulang. Tapi lebih sering dia menghabiskan makan sendirian karena laki-laki itu terlalu sibuk.

Derit kursi memecah suasana sepi. Nadia mengerakan tubuh setelah menyeleseikan laporan terakhirnya. Dia sengaja mempercepat pekerjaannya dan berniat menemui Sava. Keduanya sudah cukup lama tidak berkomunikasi karena kesibukan masing-masing. Jemari lentik Nadia mulai menekan nomor yang dia halal diluar kepala. Berharap sava sedang senggang hingga keduanya bisa bertemu.

"Hallo, Va." Sapa Nadia begitu mendengar nada terangkat.

"Hallo, Nad. Tumben telepon. Lo kemana saja, sibuk kerja apa sibuk pacaran." Canda Sava .

"Bawel. Lo sendiri gimana?"

"Kenapa kangen ya sama gue?"

"Suntuk Va. Lo dimana? Masih di kantor."

"Lagi di rumah. Datang aja, kebetulan ada yang mau gue ceritakan."

"OK, sebentar lagi gue berangkat. Sampai ketemu disana ya." Raut senang Nadia tidak berlangsung lama. Panggilan masuk ke nomor Revian berakhir ke kotak suara. Pesan yang terkirim belum ada satu pun yang dibalas. Dia mencoba berpikir positif kalau kondisi Revian mungkin sedang tidak memungkinkan menerima panggilan atau membalas pesan darinya. Setidaknya panggilan dan pesan yang terkirim menjadi bukti kalau dia pergi setelah berusaha memberi kabar.

Sekitar pukul dua siang, Nadia tiba di kediaman sahabatnya. Sava menyambut dengan senyum lebar sekaligus pelukan hangat. Tidak butuh waktu lama bagi keduanya untuk terlibat dalam obrolan seru. Sava lebih banyak menanyai Nadia. Dia sangat penasaran dengan hubungan Nadia dan Revian. Keduanya memiliki masa lalu yang cenderung pahit. Seiring berlalunya waktu, luka akibat kesalahpahaman bisa saja masih menjadi hambatan bagi keduanya.

"Ceritakan dulu apa yang lo bilang tadi di telepon sebelum banyak bertanya tentang hubungan gue dan Revian." Protes Nadia. Dia agak sebal mendengar berondongan pertanyaan Sava tentang kehidupannya.

Sava terdiam sesaat. Dia menghela nafas panjang sebelum akhirnya membuka mulut. Sahabatnya berhak tau tentang apa yang sebenarnya terjadi. Nadia cukup dewasa untuk mampu berpikir tanpa mendahulukan emosi.

Sejak awal pertemuan Nadia dan Revian sudah di rencanakan oleh Tante Lyana. Selama ini Tante Lyana berpikir negatif pada Nadia, apalagi alasannya kalau bukan depresi yang di alami putra satu-satunya. Kedekatannya dengan keluarga Sava yang tidak lain sahabat Nadia memberinya kabar cukup mengejutkan. Nadia tidak bisa sepenuhnya disalahkan terutama pada saat itu posisinya juga tidak mudah.

Tante Lyana ingin memperbaiki keadaan, mengembalikan kebahagiaan di wajah Revian. Terlebih putranya itu sering bersikap menjengkelkan dan sulit di atur. Revian selalu mempunyai banyak alasan untuk menolak bekerja di kantor sekalipun berada di rumah bukan berarti dia tidak bertanggung jawab dengan tugasnya. Belum lagi temperamennya yang mudah terbakar emosi. Tahun ini sudah dua kali Revian masuk ke terali besi karena perkengkaran konyol dan berakhir dengan perkelahian.

Untuk kali kedua, Tante Lyana sengaja tidak sengera mengeluarkan Revian untuk efek jera. Tapi sepertinya tidak terlalu berpengaruh. Laki-laki itu masih cengengesan tanpa rasa bersalah saat terakhir di jenguk. Membawa kembali dan melibatkan Nadia menjadi salah satu cara untuk mengubah kebiasaan buruk Revian. Sejauh ini semua berjalan baik terutama perubahan yang ditunjukan Revian.

"Jadi selama ini lo sudah tau kalau semua ini bagian dari rencana Tante Lyana?" Nadia tidak berhenti memijat pelipisnya. Penjelasan Sava membuatnya bingung harus marah atau sebaliknya.

"Sorry Nad. Gue nggak bermaksud menutupi hal ini tapi Ibu dan Tante Lyana meminta untuk tutup mulut. Mereka bilang kalau memang dengan mempertemukan kalian berdua, lo dan Revian bisa melanjutkan hidup. Tante Lyana tidak keberatan kalau memang pada akhirnya Revian kembali memilih lo jadi pasangannya. Dia hanya ingin yang terbaik untuk putranya sekaligus memberi lo waktu untuk menjelaskan kesalahpahaman. Sekalipun dia tinggal di rumah yang berbeda, gerak-gerik kalian berdua selalu di pantau. Itu sebabnya Tante Lyana meminta hubungan kalian di resmikan. Dia khawatir hubungan kalian terlalu jauh."

Butuh waktu beberapa saat bagi Nadia untuk mencerna setiap kata yang terucap. Dia salah menilai sikap tak acuh Tante Lyana selama mengenalnya. Pilihan terbaik adalah melihat dari sisi positif. Setidaknya dia tidak lagi ragu dengan restu dari calon ibu mertuanya. Begitupula dengan Sava, sebagai sahabat dia hanya berniat memberiku kesempatan bertemu dengan laki-laki yang kurindukan.

"Ada satu hal lagi yang harus lo tau. Ayah Revian sebenarnya masih hidup. Kedua orangnya bercerai karena terganjal restu keluarga ayahnya Revian. Tante Lyana memilih berpisah dibanding harus dimadu. Revian sangat membenci ayahnya karena merasa kehadiran sang ibu dan dirinya diabaikan sejak dia kecil. Itu sebabnya lo nggak akan melihat satu pun foto keluarga yang melibatkan kehadiran ayahnya di rumah itu. Demi kebaikan lo, sebaiknya hindari membicarakan masalah ini. Tante Lyana bilang Revian seringkali terlalu sensitif jika ada yang membahas soal ayahnya. Revian pernah marah besar saat mencuri dengar beberapa kerabat ibundanya membicarakan soal sang Ayah."

Penjelasan Sava masih terngiang sepanjang jalan pulang. Pertemuan dengan sahabatnya menjadi ajang tanya jawab untuk menuntaskan penasaran. Sava tidak menjelaskan lebih detail tentang keluarga Revian. Dia bersumpah hanya mengetahui garis besar kehidupan Revian dari ibunya selebihnya masih menjadi rahasia.

"Sudah pulang?"

"Ah iya," balas Nadia. Dia terkejut melihat sosok Revian berada di ruang tamu. Laki-laki itu tidak melakukan apa-apa selain duduk diam seolah sedang menunggunya. "Kamu sudah pulang?"

Revian menepuk lututnya lalu berdiri. "Aku tadi pulang untuk makan siang bersamamu tapi ternyata kamu pergi."

Entah kenapa perasaan bersalah menyelimuti dada Nadia. Pembicaraan mengenai ayah kekasihnya membuatnya berempati. "Maaf tadi aku sudah coba menghubungimu tapi tidak di angkat. Apa pesanku tidak masuk?"

Revian berjalan mendekat, menatap dua bola mata indah dihadapannya. "Tadi ada rapat jadi ponsel aku silent. Pesanmu juga sudah kubaca."

"Terus kalau kamu tau aku pergi untuk apa tetap pulang?"

"Untuk apa? Memangnya aku butuh alasan untuk datang ke rumah sendiri." Ah benar juga, dia terlalu ge er berpikir Revian pulang hanya untuk menunggunya datang, keluh Nadia dalam hati.

Kedua tangan Revian terangkat dan merentang lebar. Dia mengedipkan mata sambil tersenyum. "Hei, kemarilah. Rasanya aku pantas mendapat balasan setelah berjam-jam menunggumu pulang."

Debaran jantung berdegub kencang tanpa irama. Gugup dan canggung menggelitik perut. Rasa yang tidak berubah seperti waktu pertama kali menyadari menyukai Revian saat SMA.

Langkah Nadia terasa sangat berat. Momen romantis sangat jarang keduanya alami. Perdebatan, pertengkaran atau sesuatu m yang melibatkan emosi bukan lagi hal baru.

Sekuat tenaga Nadia harus memastikan dirinya bersikap wajar. Memasang raut datar untuk menyembunyikan kebahagiaan yang membuncah. Sesekali berdehem agar tetap tenang andai harus bersuara. Tapi bahasa tubuh yang dibuat-buat membuatnya malah terlihat konyol. Apalagi tangannya gemetaran tanpa bisa dicegah.

Revian menarik lembut bahu Nadia dalam pelukan. Beban hidup seolah terangkat hanya dengan merasakan kekasihnya berada dalam rengkuhanya. Rona merah dan sikap malu-malu membuatnya harus berjuang keras untuk tidak membiarkan pikiran kotor menguasai isi kepalanya.

"Kamu tidak kembali ke kantor?" Nadia mengutuk dirinya karena membiarkan diri terlena.

Revian mengecup puncak kepala Nadia. "Aku sudah bilang sama sekretaris tidak akan kembali ke kantor setelah makan siang." Dengan mudah dia memangku tubuh kekasihnya. "Kenapa? Kamu tidak suka melihatku."

"Rev, turunkan aku. Bagaimana kalau ibumu atau pekerja rumah melihat kita?" Seru Nadia semakin gugup. Dia bahkan tidak berani membalas tatapan laki-laki dihadapannya.

Revian bersorak dalam hati. Dia tidak mengubris keengganan Nadia. Tanpa aba-aba wajahnya semakin dekat lalu memberi ciuman-ciuman singkat di bibir mungil wanita yang dicintainya. Tawa geli mengakhiri sentuhan bibir keduanya. Entah kenapa Nadia ikut tertawa sebelum menyembunyikan wajah di leher kekasihnya. Tangan kokoh Revian memastikan aksi nekatnya tadi tidak membuat Nadia terjatuh.

Keduanya menghabiskan sisa waktu mengobrol sambil menonton DVD. Untuk pertama kali pembicaraan mereka tidak melibatkan emosi. Nadia membiarkan Revian lebih banyak bercerita begitupula sebaliknya.

Keadaan mulai tenang hingga kepulangan Nadia tinggal menghitung hari. Revian bersikeras ingin mengantar sampai tiba di rumah orang tuanya. Tante Lyana membelikan oleh-oleh untuk keluarga Nadia cukup banyak. Sekalipun Nadia belum terlalu dekat tapi berada di dekat calon mertuanya cukup nyaman.

Hari ini Revian akan mengajak pergi ke toko perhiasan untuk membeli cincin dan beberapa barang untuk keperluan lamaran setelah makan siang. Nadia sudah bersiap sebelum jam makan siang tiba. Dia tidak ingin membiarkan waktu berlalu karena sibuk mempersiapkan diri. Membaiknya hubungan dia dan Revian semakin menambah antusias.

Jam menunjukan pukul dua belas tepat saat suara bel terdengar. Nadia bergegas penuh semangat menuju ruang tamu. Sebelum berangkat ke kantor, Revian memang sempat mengatakan akan makan siang di rumah.

"Hallo. Selamat siang." Sapa ramah seorang laki-laki paruh baya ketika pintu terbuka.

Nadia tertegun, memperhatikan dengan seksama sosok tinggi dan tegap dihadapannya. Wajah yang mulai di hiasi garis tipis mengingatkannya pada seseorang. "Selamat siang. Maaf Bapak siapa ya?"

Laki-laki itu tersenyum lalu mengulurkan tangan tanpa ragu. "Saya ayahnya Revian. Kamu Nadia bukan?"

"I... iya tapi Revian masih di kantor."

"Saya tau. Kedatangan saya kemari untuk bertemu denganmu. Bisakah kita bicara di dalam?" Nadia menelan ludah. Perasaannya tiba-tiba memburuk.

Tbc



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro