Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Open Door ~ 10

Nadia mengerang pelan, kepalanya semakin terasa berat. Dia membuka mata yang perih sedikit demi sedikit. Obat yang dia minum semalam tidak memberi efek seperti yang diharapkan. Suhu tubuh yang semakin tinggi membuatnya ingin berendam di air es.

"Rev, Revi... " Pandangannya berkeliling, mencari laki-laki yang berjanji tidak akan pergi lama. Waktu hampir menunjukan pukul empat pagi dan belum ada tanda Revian telah pulang.

Dengan tenaga yang tersisa Nadia mencoba bangkit. Tangannya berpegangan pada sisi ranjang untuk memastikan dirinya tidak terjatuh. Dia memaksakan diri terus berjalan meskipun kepalanya seperti mau pecah. Tidak ada pilihan lain, tamu bulanan yang datang lebih awal mengharuskan dia kembali ke kamarnya.

Koridor yang temaram dan sunyi menghadirkan kegelisahan. Memacu adrenalin layaknya saat berada di lokasi uji nyali. Nadia heran kenapa Revian betah tinggal seorang diri di rumah sebesar ini. Konsentrasinya terpecah begitu mendengar jam antik yang tiba-tiba berdentang. Suaranya sangat keras dan menggema keseluruh ruangan, membuat bulu roma berdiri. Perasaan takut semakin menjadi hingga dia kurang hati-hati. Pegangan tangannya terlepas ketika akan menuruni tiga anak tangga terakhir.

Nadia mengumpat dalam hati, demam, datang bulan dan sekarang tubuhnya terkulai lemas di lantai. Ini cara paling buruk untuk memulai hari. Dia mengigit bibirnya sangat keras agar tidak menjerit bahkan menangis setiap akan menggerakan pergelangan tangan kanan. Nadia memang terjatuh dengan posisi tubuh menindih tangan kanannya.

Pada waktu yang sama tapi di tempat yang berbeda, Revian baru saja mengantar Siera pulang. Ziva dan ikut menemani meski ketiganya menggunakan kendaraan masing-masing. "Maaf sudah merepotkan kalian. Bagaimana keadaanmu Rev?" Siera menyentuh luka lebam di lengan Revian.

Ziva dan Reza saling pandang. Keadaan membuat pasangan kekasih itu menjadi canggung. Revian tersenyum kecil, menepis pelan jemari sahabatnya. "Kamu tidak perlu mengkhawatirkan keadaanku. Sebaiknya kamu istirahat saja, aku pulang dulu."

"Ini sudah larut malam, apa tidak sebaiknya kamu istirahat disini saja. Kamu bisa pulang pagi nanti. Aku akan menjelaskan pada Nadia agar dia tidak cemburu." Siera tidak tega membiarkan Revian pergi setelah apa yang dilakukan laki-laki ini untuk melindunginya.

"Terima kasih tapi aku harus segera pulang," balas Revian hampir tanpa ekspresi. Isi kepalanya saat ini dipenuhi bayangan Nadia.

Siera mengulum senyum, helaan nafasnya terasa berat. "Nadia," gumannya pelan, mengingat sosok wanita cantik yang kembali muncul dalam kehidupan Revian.

Laki-laki tegap itu hanya tersenyum tapi rautnya sudah cukup memberi jawaban. Di mata Seira, Revian menjadi sosok yang berbeda dan semua karena Nadia. Dia tidak pernah berpikir hari ini akan tiba, hari dimana keberadaannya tidak lagi istimewa.

Ketiganya pamit setelah berbasa-basi sebentar dengan orang tua Siera yang terbangun. Ziva sempat melirik Siera yang masih mematung di depan pintu. Dia merasa kasihan tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sejak awal perasaan Revian memang tertambat pada Nadia, seberapapun keras usahanya untuk melupakan. "Rev, kamu pilih... "

"Jangan bertanya hal yang kamu sudah tau jawabannya." Tegas Revian. Dia tidak menyukai pertanyaan sejenis itu.

Ziva menatap sahabatnya sebelum membuka pintu. "Aku tidak ingin ikut campur dengan siapapun kamu berhubungan tapi berhati-hatilah dalam bersikap. Jangan sampai kebaikanmu disalah artikan orang lain."

"Iya bawel, cepat pulang." Revian bukannya tidak menyadari sikap aneh Siera belakangan ini. Dia hanya sedang berusaha mencari cara terbaik tanpa menyakiti perasaan wanita itu sekaligus tidak mengusik hubungannya dengan Nadia.

Dua jam perjalanan berlalu dengan cepat, Revian memacu kendaraannya seperti pembalap yang punya nyawa cadangan. Beruntung di pagi buta itu jalanan cukup sepi hingga tidak banyak hambatan untuk tiba di rumah. Dia setengah berlari menuju kamarnya, perasaannya campur aduk antara khawatir dan rindu.

"Nadia?" Keningnya berkerut bingung mendapati kamar dalam keadaan kosong. Sosok yang dicarinya tidak ditemukan dimanapun.

Revian bergegas pergi ke paviliun dengan memahan kesal. Kenapa dia harus menyukai wanita yang sulit di atur, gerutunya sambil terus berdecak.

Suara rintihan menahan sakit terdengar dari kamar Nadia di lantai dua. Revian mempercepat langkahnya. "Nadia,"geramnya saat menemukan sosok yang dicarinya tengah meringkuk di ranjang dengan gelisah.

"Rev... " Nadia memaksa membuka mata demi melihat sosok yang tengah berdiri didepan pintu.

"Oh Tuhan, kamu kenapa? Tanganmu bengkak begini. Badanmu juga semakin panas."

"Jatuh dari tangga," balas Nadia terbata-bata. Dia tidak ingin di kasihani tapi kenyataannya tubuhnya membutuhkan bantuan.

Revian menghela nafas panjang. Seharusnya dia mengikuti kata hati untuk pulang lebih cepat. Nadia bukanlah wanita yang akan menurut begitu saja dengan perintahnya. Kemarahannya meluruh, dia tidak tega melihat keadaan Nadia yang jauh dari kata baik-baik saja.

"Rev, kita mau kemana?"

"Kemana lagi kalau bukan ke rumah sakit." Sulit bagi Revian untuk tidak mengomel. Suasana hatinya sangat buruk hingga siapapun terkena getahnya termasuk pembantu yang diperintahnya untuk membangunkan supir.

Nadia tidak bisa membalas seperti biasa, sakit yang dipergelangan tangan membuatnya hanya mampu terdiam dalam pelukan Revian. Dia harus puas mendengar gerutuan sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. "Sudah dong Rev, marah sama orang sakit itu dosa," ucap Nadia asal. Dia tidak perlu diingatkan mengenai kecerobohannya.

Revian memperhatikan pergelangan tangan Nadia. "Bengkak begini, apa beda tangamu dengan sarung tinju."

"Apa katamu!" Nadia mendongkak dengan sisa tenaga. Tangan kanannya yang semakin membengkak reflek meninju dada Revian. Perbuatan bodoh yang seharusnya bisa dihindari jika dia bisa mengendalikan emosi.

Revian tersenyum kecut, dia lupa kalau Nadia akan menjadi sosok super manja dan sangat menyebalkan saat sakit. Dia tidak tau harus merasa kesal atau kasihan melihat wanita yang masih demam ini masih saja mengomel disela-sela isak tangis. "Sakit." Nadia meniup pergelangan tangannya seperti anak kecil.

"Sabar dulu, sebentar lagi kita sampai. Tangannya jangan dilihat terus nanti makin bengkak kayak balon," ejekan Revian semakin membuat Nadia meradang. Alih-alih menenangkan, Revian memilih menciumi kepala dan kening kekasihnya. Dia tidak perduli dengan umpatan yang keluar dari mulut wanita itu.

Suasana tidak lama kembali tenang, Nadia yang kelelahan tertidur pulas. Revian menyandarkan tubuhnya kebelakang, mencari posisi paling nyaman. Lengannya tidak banyak bergerak karena khawatir membuat Nadia terbangun. Dikecupnya kening kekasihnya tanpa terusik perhatian supir yang pura-pura tidak melihat sikap majikannya.

Dengan sangat hati-hati Revian menggangkat pergelangan tangan Nadia dari dada. Dikecupnya dengan penuh perasaan. "Cepat sembuh sayang, biar bengkaknya pergi jauh," bisiknya, bersikap seperti seorang ayah pada putrinya. Nadia meringis pelan lalu kembali tenggelam dalam hangatnya pelukan.

Revian mengusap sudut pipinya yang agak ngilu. Beruntung Nadia tidak terlalu memperhatikan penampilannya yang berantakan. Setelah acara ulang tahun salah satu temannya selesai, Siera mengajaknya pergi ke cafe favorite yang sering keduanya datangi dulu. Dia bercerita tentang laki-laki yang sering menganggunya. Siera meminta tolong Revian supaya mau berpura-pura menjadi kekasihnya agar laki-laki itu tidak lagi mengusik kehidupannya. Tidak tega, Revian mencoba membantu dengan mendatangi laki-laki yang dimaksud.

Dia meminta Ziva dan tunangannya menemani untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Perdebatan tidak bisa dihindari karena laki-laki itu tidak terima dengan keputusan Seira yang tetap menolaknya. Sebagai laki-laki sekaligus sahabat, dia merasa terusik untuk melindungi Seira. Perkelahian tidak bisa dihindari walaupun kemenangan ada dipihaknya tetap saja tubuhnya yang terkena bogem mentah terasa sakit.

Seira memang cantik dan pintar. Dia mempunyai banyak kelebihan yang mampu menarik perhatian laki-laki manapun. Revian mengakui hal itu, setidaknya dulu dia pernah mencoba untuk membuka hati pada wanita itu. Siera menolak dengan halus, dia hanya menganggap dirinya tidak lebih dari sahabat.

Kemunculan Nadia yang tiba-tiba, menghantui setiap langkah. Isi kepalanya hanya dipenuhi Nadia meski banyak wanita cantik di luar sana rela mengorbankan harga diri hanya demi bersamanya. Rasa tidak bisa berbohong sekuat apapun dia mengingkari. Nadia adalah harga mati, tulang rusuk yang tidak pernah bisa terganti.

Setibanya di rumah sakit, Nadia kembali merajuk. Dia tidak ingin di rawat meskipun hanya untuk satu hari. Berada di kamarnya yang dingin jauh lebih nyaman di banding harus mencium bau khas rumah sakit.

"Nadia jangan keras kepala. Semua demi kebaikanmu supaya kamu cepat pulih," bujuk Revian, mengusap rambut kekasihnya yang menunduk.

"Tapi Rev... "

Dokter yang menangani Nadia tersenyum melihat pasangan dihadapannya. Dia menuliskan beberapa resep obat. "Tidak apa, sakitnya tidak berbahaya. Tapi jika demamnya tidak turun selama dua hari kedepan, sebaiknya Nona datang kembali untuk diperiksa. Nona juga sebaiknya tidak banyak bergerak terutama yang menggunakan tangan kanan. Obatnya jangan lupa diminum supaya cepat sembuh."

Revian mengulum senyum meskipun kurang puas. Entah kenapa sejak pertemuannya kembali dengan Nadia, dia perlahan merasa menjadi Raditya. Laki-laki pengecut yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari keegoisan kekasihnya. Sosok menyedihkan yang tidak pernah ingin dia ingat.

"Kalau demammu tidak turun, suka tidak suka kamu harus mau di rawat." Revian tidak tega menghapus rona bahagia di wajah Nadia.

Sepanjang jalan pulang hingga sampai di rumah, Nadia masih tertidur setelah meminum obat. Dia memberi isyarat agar pembantunya tidak berisik ketika keluar dari mobil dengan Nadia berada dalam pangkuan.

"Maaf tuan, ada Non Siera di ruang tamu."

Siera terdiam melihat laki-laki yang baru saja memasuki ruangan. Dia tidak pernah tau kalau Revian bisa bersikap selembut ini selain padanya.

"Hallo Ra. Tunggu sebentar ya." Sapa Revian. Dia tidak bisa menolak meski sebenarnya tubuhnya cukup lelah untuk menerima tamu.

"Aku bantu ya." Tawar Siera.

Revian tidak membalas dan membiarkan Siera menjajari langkahnya. Nadia tertidur cukup pulas ketika tubuhnya di baringkan di ranjang milik Revian. Kecupan hangat diberikan laki-laki itu setelah memastikan Nadia nyaman dalam balutan selimut.

"Aku bukan tidak suka dengan kedatanganmu tapi hari ini aku lelah sekali Ra." Revian kembali mengajak Seira ke ruang tamu. Dia harap sahabatnya dapat menangkap maksud ucapannya.

"Maaf, aku hanya khawatir dengan keadaanmu." Seira menatap laki-laki didepannya. "Apa kamu benar-benar serius dengan Nadia?"

"Kenapa memangnya ? Apa keberadaan Nadia menganggumu?" Revian tetap tenang.

"Oh bukan begitu. Aku hanya bingung betapa mudahnya kamu melupakan sikap buruk yang pernah Nadia lakukan dulu."

Senyuman Revian kembali menyungging, Nadia memang sosok ajaib baginya. Wanita yang dia benci sekaligus cintai dalam satu waktu. "Mungkin karena sejak awal rasa ini miliknya."

"Jadi rasa yang pernah kamu ungkapkan padaku itu bohong? Tidak lebih dari sekedar pelarian?"

Revian menghela nafas panjang. Tubuhnya agak membungkuk dengan kedua lengan bertumpu pada lutut. Tatapannya menajam, membuat risih wanita yang dipandanginya. "Dulu aku pernah berharap lebih padamu. Mencoba memulai awal baru tapi kita berdua sudah tau jawabannya. Hanya kepintaranku yang tidak seberapa yang mendekatkan kita. Aku tidak marah meskipun kamu memilih laki-laki lain."

Siera gelagapan, ingatannya kembali pada saat awal kuliah. Revian masih bertubuh tambun ketika keduanya mulai saling mengenal. Dia tidak bisa mengelak, alasannya mendekati Revian memang demi nilai bagus saat ujian.
Ketenangan Revian menampar kesalahannya masa lalu. Seharusnya dia tidak melihat seseorang hanya dari penampilan fisik semata. Semua memang salahnya tapi apakah dia tidak bisa mendapatkan kesempatan kedua?

"Pulanglah Ra, tidak perlu mempertanyakan hal itu lagi. Masih banyak laki-laki yang lebih pantas mendampingmu."

Siera bangkit, dia tidak ingin lagi mendengar hal yang semakin menyakitkan perasaannya. "Kenapa kamu tidak bisa memberiku kesempatan yang sama seperti pada Nadia. Aku yang membantumu bangkit. Dia yang membuatmu terpuruk!" Serunya tertahan.

"Maaf tapi aku tidak bisa." Tegas Revian. Siera meraih tas miliknya lalu pergi tanpa sepatah kata.

Sepeninggal sahabatnya, Revian mempertanyakan keteguhannya. Dia bersyukur waktu itu Siera menolaknya. Keadaan tentu akan lebih rumit jika keduanya menjalin kasih. Revian berharap, Siera bisa menerima keputusannya dengan baik.

Tiga hari berlalu, kondisi Nadia semakin membaik. Demamnya mulai turun meskipun tangannya masih bengkak. Revian mengizinkannya kembali bekerja dengan berbagai syarat.

"Nadia." Tegur Revian.

"Hm... " Nadia tidak mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Kondisi tangan kanannya membuatnya kesulitan untuk mengerjakan tugas yang diminta Revian.

"Apa alasanmu menerimaku jadi kekasihmu dulu? Padahal banyak laki-laki yang berharap lebih padamu. Mereka jauh lebih tampan dan menarik di banding penampilanku dulu."

Kepala Nadia terangkat, menatap laki-laki yang semakin hari terlihat tampan. Revian bangkit dari tempatnya lalu dengan santai duduk di tepi meja kerja Nadia.

"Karena hanya kamu yang tetap tersenyum tulus, seegois atau sekasar apapun sikapku. Mendengarkan keluh kesahku dengan sabar. Mempercayai tanpa batas disaat semua orang meragukan kemampuanku. Ya, aku mencintaimu yang tembem, kuno dan kikuk meskipun pada akhirnya kamu memilih menyerah dan meninggalkanku. Semua orang mempunyai pilihan, aku tidak menyalahkan keputusanmu jika berada disisiku tidak lagi membuatmu nyaman." Nadia menahan nafas, bukan hal mudah untuk membicarakan perasaannya.

Revian menarik lembut lengan Nadia. Dibawanya wanita yang memasang wajah datar itu dalam pelukannya. Kenyataan bahwa dia meninggalkan Nadia tanpa kabar menghujamnya dengan perasaan bersalah. "Banyak laki-laki yang mampu berbuat serupa untuk menyenangkanmu."

"Tuhan menggerakan hatiku hanya untuk satu orang tapi sayangnya laki-laki itu ternyata jauh lebih baik tanpa kehadiranku disisinya." Suara Nadia berubah lirih. Momen saat dia mengetahui sosok Revian adalah Raditya yang selama ini dicarinya tidak bisa terhapus dalam ingatan.

"Laki-laki itu memang pengecut tapi dia mempunyai alasan sendiri. Semua perubahan yang ada pada dirinya semata-mata untuk membuktikan bahwa dia pantas menjadi pendampingmu. Seorang yang mampu menjaga dan melindungi layaknya seorang kekasih."

Nadia menunduk, sengaja tidak membalas. Setengah hatinya masih meragu. Dia masih membutuhkan waktu untuk percaya. Dengan gelisah, jemarinya bermain-main di kancing kemeja kekasihnya.

"Sayang." Revian mendekatkan wajahnya.

Pandangan Nadia kembali pada laki-laki yang tengah menatap tanpa kedip. Debaran jantungnya berdegub kencang mendengar panggilan yang masih asing di telinga. "Ngg... "

"Kamu mau membuka semua kancing kemejaku?" Pertanyaan bernada menggoda menyentak kesadaran Nadia. Wajah merah padam, ternyata dia sudah membuka tiga kancing kemeja Revian.

"Bukan. Ah sudah bicaranya, aku mau me... " Sentakan dipinggang Nadia menariknya lebih dekat dalam pelukan. Revian menyentuh bibir wanita yang membuatnya tergila-gila tanpa aba-aba. Sikap lembut Revian dibalas Nadia dengan cara yang sama. Kabut asmara berpedar saat keduanya saling berpandangan tanpa melepas ciuman.

"I love you," ucap Revian setelah mengakhiri kemesraan keduanya. Jemarinya mengusap gemas pipi Nadia yang merona.

Ketukan pelan mengejutkan pasangan kekasih yang masih saling berpandangan. Dua wanita cantik tampak berdiri di depan pintu yang memang sengaja tidak dikunci. "Maaf menganggu kalian berdua. Aku dan Seira sengaja datang untuk menjenguk Nadia." Ziva merasa tidak enak hati dengan kedatangannya yang tanpa memberitau lebih dulu.

Kedua tangan Seira tanpa sadar mengepal begitu kuat. Pandangannya tertuju pada lengan Revian yang berada di pinggang Nadia. Ada ketidaksukaan merambat dihati, menyadari laki-laki itu enggan menjauh dari kekasihnya. Dia mendekati pasangan yang masih berdekatan itu tanpa ragu. "Kamu tidak keberatankan Rev? Sebagai sahabat, aku hanya ingin mengenal Nadia lebih dekat. Dulu kamu pernah bilang, kekasihmu adalah sahabatku juga."

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro