The Open Door - 1
Hujan baru saja berhenti beberapa saat yang lalu. Menyisakan angin dingin yang menyusup dari balik celah jendela. Keheningan menyapa Nadia dalam kamar berukuran sedang. Hari sudah lama berganti tapi matanya tidak juga mampu terpejam.
Pikiran wanita berparas cantik itu terpecah. Masalah demi masalah menghampirinya silih berganti. Pekerjaan yang terlepas karena perusahaan tempatnya bekerja mendadak mengurangi jumlah pegawai. Kekasih yang dia harapkan jadi sandaran dalam keadaan terpuruk memilih berpindah hati. Seolah belum cukup dengan ketidakberuntungan yang menghampiri, angka dalam buku tabungannya semakin lama menyusut seiring berjalannya waktu.
Kembali ke kampung halaman bukanlah pilihan pertama yang akan dia ambil. Orang tuanya tidak akan menolak kembalinya si anak pertama tapi tentu saja hal itu akan menambah beban. Apalagi masih ada dua adiknya yang membutuhkan biaya.
Dia seperti memasuki lorong gelap, berjalan hanya ditemani sinar kecil dari lilin yang hampir menyusut. Putus asa dan kebingungan mencari pintu yang mungkin masih terbuka untuk di masuki. Tapi sayang sejauh kaki melangkah, semua pintu yang terlewati terkunci tanpa meninggalkan celah.
Nadia beranjak dari ranjang menuju meja tua tempat biasa dia mengerjakan tugas kantor. Tangannya meraih ponsel kesayangannya, benda pertama yang dibelinya dengan uang sendiri. Perlahan dia membuka pesan masuk yang sebenarnya sudah dibacanya berulang kali.
"Nad, tawaran tante gue jadi lo terima nggak? Dia mau cari orang lain lagi katanya kalau lo nggak berminat."
Pesan dari Sava, sahabatnya yang selama ini paling dia percaya tak urung membuatnya berpikir keras. Beberapa waktu lalu dia tidak sengaja bertemu dengan Sava dan tantenya di sebuah mal. Pembicaraan yang awalnya hanya sekedar percakapan biasa berubah menjadi serius. Tante Mika, menawari pekerjaan setelah tau Nadia ditolak di wawancara terakhirnya saat melamar kerja.
Pekerjaannya mudah, menjadi asisten pribadi yang tugasnya kurang lebih sama seperti seorang sekretaris. Gaji yang di tawarkan sangat menggiurkan, lebih dari cukup untuk membiayai hidup bahkan masih tersisa banyak untuk dia tabung. Semua biaya makan akan di tanggung orang yang memperkerjakannya. Tapi ada satu hal yang masih membuatnya ragu, Nadia diminta untuk tinggal di paviliun selama bekerja. Dia hanya diperbolehkan keluar pada hari libur.
Selama tinggal disana Nadia harus mematuhi semua aturan yang berlaku seperti jam malam. Dalam hati kecilnya, ada keinginan untuk menolak. Tapi perutnya harus tetap terisi, untuk itu dia tidak punya cara selain menemukan pekerjaan terlebih kali ini iming-iming gajinya mengiurkan. Semuanya membutuhkan pengorbanan dan mungkin sudah saatnya dia harus keluar dari zona nyaman.
"Va, gue ambil tawaran tante lo. Kapan gue bisa ketemu sama Tante Mika?" Tangannya menulis balasan pesan untuk sahabatnya sebelum akhirnya memaksa mata agar terpejam.
"Nad. Nadia bangun dong. Ini sudah siang." Suara memanggil nama wanita yang masih tertidur pulas terdengar bersamaan gedoran di pintu kamarnya.
Nadia menggerakan kepala, matanya setengah menyipit dengan tangan meraba-raba nakas di samping ranjang. Jam di layar ponselnya ternyata sudah menunjukan pukul delapan pagi. Dia segera melempar selimut, bergegas bangkit dengan setengah menyeret kakinya menuju pintu.
Sava berdiri di depannya, berkacak pinggang menatap wanita yang penampilannya masih berantakan. Pipi Nadia menjadi sasaran kegemasannya yang kesal karena dibiarkan menunggu sejak lima menit lalu. "Cepat mandi dan bersiap-siaplah. Tante Lyana tidak suka dengan orang yang suka telat."
"Tante Lyana?" Nadia mengerutkan keningnya saat meraih handuk di lemari. Dia baru mendengar nama itu disebut.
"Loh gue belum ngasih tau ya? Lo nanti akan bekerja untuk Tante Lyana. Tante gue cuma di mintai tolong sama temannya itu." Sava menunjukan raut bersalah. Dia lupa memberitahu sahabatnya mengenai siapa yang akan memperkerjakan wanita yang pernah mencicipi dunia modeling itu.
Nadia menatap Sava sambil mengigit bibir. Sedikit kesal dan ragu. "Lo sudah pernah bertemu dengan siapa tadi, mm... Tante Lyana?"
Wanita mungil berkaca mata di depannya menggangguk pelan. "Pernah ketemu sih beberapa kali. Orangnya tegas tapi baik. Sekarang kamu mandi dulu deh, nggak enak kalau kita sampai telat."
Nadia berbalik ke arah kamar mandi. Dia tidak punya banyak waktu untuk berpikir hakan menolak. Kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali terutama setelah wawancara terakhir di perusahaan yang diminatinya berakhir dengan penolakan. Dia tahu bahwa di dunia ini tidak bisa hanya mengandalkan kecantikan fisik semata.
Motor yang di kendarai Sava melaju melewati jalanan kota. Beberapa kali dia memotong arah memasuki jalan kecil untuk menghindari kemacetan. "Va, rumahnya yang mana? Nomor berapa?" Nadia mengedarkan pandangannya saat keduanya mulai memasuki komplek perumahan mewah. Mereka sempat bertanya pada satpam komplek tapi tetap saja sulit mencari di antara sekian banyak rumah. Pandangan Nadia tidak berhenti memperhatikan deretan bangunan besar yang mengundang takjub sekaligus iri.
Sava menepikan sepeda motornya di dekat pepohonan. Matanya fokus pada kartu nama yang dia pegang. "Hm... nomor 102."
Kepala Nadia kembali berputar, menghitung nomor setiap rumah yang di lewati tadi. "Va, yakin rumahnya nomor 102?" ulangnya ragu.
"Iya, tuh lihat sendiri kalau lo nggak percaya." Kartu nama itu kini beralih dalam genggaman Nadia.
"Kenapa memangnya? Ada yang salah?" Sava kebingungan melihat ekspresi wajah sahabatnya.
Nadia menghela nafas panjang, dia menunjuk sebuah rumah di sisi kanan mereka. Rumah tua dengan model peninggalan Belanda. Taman di halaman depan tampak tidak terawat. Rerumputan dan tanaman liar seperti di biarkan tumbuh. Dedaunan yang berserakan semakin menambah kesan kotor. Sangat sempurna untuk dijadikan syuting film horror.
"Gue kesini bukan mau jadi pekerja rumah hantu, Va," desah Nadia dengan tubuh bergidik ngeri. Hasratnya untuk menerima tawaran pekerjaan perlahan hilang.
Sava menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia juga kebingungan dengan kenyataan di depan matanya. "Sudahlah kita tanya dulu ini rumah Tante Lyana atau bukan. Mungkin saja kita salah alamat."
Keduanya memberanikan diri mendekati rumah yang terkesan menyeramkan. Nyali Nadia semakin menciut, dia sama sekali tidak menyukai hal berbau seram. "Lo mau mundur sekarang?" tanya Sava yang mengenali reaksi sahabatnya jika tidak menyukai sesuatu.
"Nggak tahu." Semua memang serba salah bagi Nadia. Berhenti atau terus melangkah, risikonya sama besar.
Sava menghela nafas. Dia cukup mengerti apa yang sedang Nadia pikirkan. "Singkirkan pikiran negatif, lo. Ketakutan yang ada nggak akan bisa membayar semua pengeluaran yang harus lo keluarkan setiap bulan. Mungkin ini memang bukan pekerjaan yang lo idamkan tapi setidaknya lo nggak menyerah sebelum melangkah."
Nadia tidak bisa mengacuhkan begitu saja perkataan sahabatnya. Ego dan ketakutannya memang tidak bisa membayar semua kebutuhan hidup. Setidaknya dia harus berusaha membuka pikiran, berpikir positif dan berharap ada semua akan berjalan lancar.
Seorang wanita berumur empat puluhan berjalan tergopoh-gopoh ke arah keduanya setelah Sava menekan bel. Dia menatap kedua wanita yang masih berdiri di depan pagar bergantian. "Mm... ini Non Sava sama Nadia ya? Masuk Non. Nyonya sudah menunggu."
Nadia tersenyum masam. Alamat rumahnya seratus persen tepat. Keduanya berjalan kecil memasuki bangunan yang lebih pantas disebut rumah hantu dari luar. Sava menarik tangan Nadia yang sejak tadi hanya memperhatikan keadaan disekeliling dengan kecut. Kesan seram memang semakin terasa ketika keduanya semakin mendekati rumah itu.
"Ugh gimana kalau Tante Lyana itu seorang psyco yang suka membunuh wanita-wanita muda dengan umpan menawari pekerjaan dengan gaji yang besar. Terus tubuh korbannya dijadikan tumbal pesugihan." Imajinasi Nadia mulai tidak sehat.
Sava tersenyum masam, wanita cantik bertubuh tinggi di sampingnya berpikir terlalu jauh. "Ngaco. Lo kebanyakan nonton film pembunuhan sih."
Andai Nadia meneruskan bakatnya di bidang modeling tentu dia tidak perlu bersusah payah seperti sekarang. Pengalaman tidak mengenakan saat sempat tertipu sebuah casting iklan membuat ayahnya marah besar dan melarang keras putri pertamanya melanjutkan bekerja di bidang itu. Nadia tidak bisa berbuat banyak, kondisi kesehatan ayahnya yang kurang bagus memaksanya harus rela mengorbankan hobi yang selama ini menghidupinya. Dia tidak ingin ayahnya tiba-tiba masuk rumah sakit karena dia.
Sejenak keduanya terdiam begitu memasuki ruang tamu. Suasana di dalam rumah ternyata berbanding terbalik dengan keadaan di luar. Kesan hangat dan mewah terlihat dari pemilihan wallpaper hingga perabotan. Kesan menyeramkan itu hilang berganti decak kagum.
"Benarkan kata gue. Jangan menilai terlalu cepat sesuatu yang terlihat buruk dari luar." Sava berbisik pada wanita disampingnya yang tengah memperhatikan sekeliling ruangan.
Nadia mengangguk setuju, selama ini penampilan luar selalu menjadi tolak ukurnya sebelum menilai sesuatu. Keduanya melanjutkan langkah menuju ruangan yang lebih besar. Seorang wanita berumur lima puluhan meletakan majalah yang sedang dibacanya. Kepalanya mendongkak, memperhatikan salah satu dari dua wanita yang tengah berdiri di hadapannya.
"Duduklah," tegur Tante Lyana pada keduanya.
Sava mendelik ke arah sahabatnya yang belum bergerak. Nadia baru menurut setelah tersadar dari lamunan. Penampilan wanita berumur di depannya tampak sangat anggun, menghipnotisnya dalam kekaguman.
"Terima kasih kalian sudah datang. Kita tidak perlu berbasa-basi lagi. Kita bicarakan tujuan saya meminta kamu datang ke sini, Nadia. Ini kontrak kerjanya, kamu bisa baca sebelum memutuskan untuk menandatanginya." Sebuah map berwarna merah disodorkan ke arah Nadia.
Sava mendekatkan kepalanya ke arah Nadia yang sibuk membaca isi kontrak kerja. Keduanya saling pandang ketika melihat jumlah gaji yang akan diterima Nadia setiap bulan. Tanpa pikir panjang wanita muda itu membubuhkan tanda tangan bahkan sebelum selesai membaca semua isi kontrak itu. Resikonya akan dia pikirkan nanti, pikir Nadia dalam hati.
"Bagus kalau begitu. Kamu bisa bekerja mulai sekarang. Saya akan minta supir membantu barang-barangmu untuk pindah ke paviliun. Sekarang kamu ikut dengan saya."
Permintaan Tante Lyana mengharuskan Nadia melangkah tanpa bantuan sahabatnya. Sava sempat memberi pelukan dan ucapan selamat sebelum pergi. Semuanya serba mendadak dan membuatnya kikuk sekaligus takut.
"Lo pasti bisa," ucap Sava sambil melepas pelukannya. Dia tidak tega sebenarnya meninggalkan Nadia sendiri tapi sahabatnya harus belajar untuk menghadapi sesuatu di luar kebiasannya.
Nadia kembali ke dalam rumah menghampiri Tante Lyana yang sedang bersiap-siap untuk pergi sepeninggal Sava. "Kita mau pergi kemana bu?"
"Nanti juga kamu tahu. Ini adalah bagian tugas yang harus kamu lakukan setiap hari." Jawaban wanita paruh baya itu membuatnya kebingungan. Dia merasa seharusnya lebih teliti lagi membaca isi kontrak namun sayangnya sudah terlambat untuk menyesali.
Nadia mengikuti langkah Tante Lyana menuju carport. Dengan agak sungkan, dia duduk di samping wanita yang tampak tenang kembali membaca majalah. Sepanjang perjalanan, isi kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan. Semua perubahan ini tak pernah diduga, entah dia siap atau tidak menghadapinya.
Keningnya tiba-tiba berkerut menyadari mobil berbelok memasuki sebuah lembaga permasyarakatan yang jaraknya tidak jauh dari komplek rumah mewah tadi. "Nadia kamu tunggu di mobil saja sama Pak Adi. Saya akan mengenalkanmu dengan seseorang. Kamu akan bekerja menjadi asistennya."
Nadia tersentak, kaget dengan penjelasan Tante Lyana. Dia tidak berpikir akan menjadi asisten selain pada wanita itu tapi untuk apa dia dibawa ke tempat ini. Perlahan wanita itu mendekatkan tubuhnya ke bangku kemudi.
"Pak, Bu Lyana kesini mau apa ya?"
Pak Adi tersenyum kecut. Sorotnya terkesan mengasihani wanita cantik yang baru pertama kali dilihatnya beberapa jam lalu. "Nyonya mau menjemput putra tunggalnya. Hari ini Tuan Revian keluar dari penjara."
Matanya terbelalak, membulat sempurna. "Pen... penjara? Serius, Pak?" Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Laki-laki itu mengangguk. "Iya, Non. Maaf Bapak nggakbisa bilang apa alasan Tuan Revian masuk penjara. Mungkin nanti Nyonya yang bicara sendiri sama Non."
Nadia menghempaskan tubuhnya ke kursi. Dia masih belum bisa mempercayai ucapan supir tadi. Jadi aku akan bekerja pada laki-laki yang baru keluar dari penjara. Sedetik kemudian pikirannya mulai di penuhi berbagai hal buruk.
Terdorong oleh rasa ingin tahu, dia perlahan mendekat ke arah jendela. Tante Lyana tampak berdiri di dekat pintu bangunan yang didominasi warna abu-abu. Senyumnya tiba-tiba menyungging dengan raut bahagia, seolah sedang melihat putranya yang lama hilang.
"Putranya Bu Lyana yang mana, Pak? Yang badannya agak gemuk bukan? Atau yang rambutnya botak?" Nadia kembali mendekati Pak Adi. Perasaannya tidak enak saat memperhatikan beberapa orang yang keluar dari pintu masuk.
Laki-laki yang seumuran dengan ayahnya hanya mengulum senyum. "Bukan Non, Tuan Revian yang pakai baju hitam. Yang wajahnya seperti orang Arab. Almarhum tuan besar memang masih ada keturunan timur tengah."
Nadia menelan ludah sambil terus membuka matanya lebar-labar. Tubuhnya merinding melihat sosok yang sedang memeluk erat Tante Lyana. Laki-laki yang akan jadi bosnya memiliki penampilan fisik sangat menarik dan sepertinya dia pernah melihat sosok itu tapi entah di mana.
Tbc
Lohha readers. Ini cerita pertama author pakai sudut pandang orang ketiga, masih belajar dan tahap coba-coba jadi harap maklum ya kalau masih ada banyak kekurangan. Cerita ini project sampingan, updaten tiga cerita lainnya lebih di utamakan. Jadi updatenya tidak bisa di pastikan.
Kritik dan sarannya di tunggu. ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro