Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8. Theresa Velaquez

Rasa nyeri menggerogoti kepala Theresa. Wanita itu meringis sebelum membuka mata pelan dan didapatinya sebuah ruangan yang benar-benar asing. Tempat tidur mewah dengan selimut merah yang ia yakin terbuat dari sutera. Di mana setiap sudut ranjang berdiri pilar tinggi keemasan dengan tirai berwarna senada. Mata birunya kemudian mengamati kamar yang luasnya setara dengan rumahnya. Dinding-dinding tersebut tergantung beberapa lukisan, di sudut ruangan ada guci berukiran rumit, kursi serta karpet tebal merah.

Mungkin kah ia telah mati dan Tuhan bermurah hati mengampuni semua dosa-dosanya hingga kini ia berada di surga?

Akan tetapi ketika denyut nyeri dari kepala kembali terasa, Theresa menyadari jika dirinya masih hidup. Tidak ada orang mati yang merasa kesakitan bukan? Entahlah, Theresa belum pernah mengalaminya. Benaknya lalu mulai memutar kejadian terakhir yang ia ingat.

Segera saja wanita bermata biru turun dari ranjang, lalu menghampiri sebuah cermin besar. Tangannya meraba kepala, tapi tidak ditemui darah mau pun luka. Padahal ia ingat sekali aroma anyir dari cairan kental merah itu berasal dari luka akibat benturan. Juga sosok mengerikan dengan gigi bertaring runcing yang membuatnya hampir kelihangan nyawa.

Kereket pintu dibuka, seorang wanita paruh baya dengan pakaian hitam putih khas pelayan memasuki kamar.

"Nona sudah bangun rupanya?" Pertanyaan itu membuat alis Theresa berkerut.

Nona? Seumur hidup gadis itu tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan demikian sopan mengingat derajatnya hanya rakyat jelata.

"Mari ikut saya!"

"Tapi...." Belum juga Theresa menyetujui, wanita tua tadi sudah lebih dulu melangkah. Mau tidak mau ia harus menyusul.

Selama mengikuti wanita tersebut Theresa hanya diam seraya
memperhatikan koridor yang ia lewati. Sepanjang ia berjalan sepanjang itu juga dirinya terkagum dengan barang-barang mewah yang ada di sana dan berpikir jika mencuri beberapa barang itu, mungkin ia akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur untuk satu bulan.

Decak kagum tak henti terucap dalam hati, matanya terus melihat sekeliling tanpa bosan. Kapan lagi ia akan berada di tempat semewah ini, bahkan mungkin kesempatan ini hanya sekali dalam seumur hidupnya.

"Silakan." Pelayan tersebut membuka pintu ganda yang berlapis emas.

Tidak ada perasaan apapun selain hanya decak kekaguman ketika Theresa dengan patuh melangkah masuk ke ruangan tersebut. Seolah dirinya telah terhipnotis pada lampu kristal yang menggantung indah, juga pada langit-langit yang dipenuhi lukisan el fresco.

"Cantik bukan?"

Theresa mengangguk seumpama orang bodoh. Sampai kemudian kepalanya membentur sebuah dada bidang, membawa kesadarannya kembali. Punggungnya seolah dijalari rasa dingin. Seketika Theresa merasa tenggorokannya tercekat, sulit sekali mengeluarkan suara di saat benakmu memutar kejadian mengerikan yang nyaris membuatmu kehilangan nyawa. Namun, secara perlahan ia membalikan badan. Ditatap ragu lelaki tinggi di hadapannya.

Untuk sesaat Theresa merasa kembali terpukau, oleh rahang tegas yang kokoh, oleh bibir yang tersenyum miring, oleh hidung tinggi yang sempurna, juga pada sepasang mata hitam yang menyorotnya.

Tunggu!

Theresa mengambil satu langkah mundur untuk kembali meneliti wajah pria yang masih berdiri tenang. Terakhir kali, yang Theresa ingat adalah mata lelaki ini berwarna merah. Gadis itu mengamati dengan seksama, menyakini jika wajah di hadapannya adalah wajah yang sama yang selama tiga hari ini ia cari, tapi kenapa mata itu ... berbeda.

Apa mungkin dirinya salah lihat?

"Kurang ajar! Apa yang kau pikirkan? Berani sekali kau menatap Yang Mulia dengan pandang seperti itu?"

Ucapan tersebut tidak membuat Theresa menunggu waktu, ia segera menekuk lutut, menundukan kepala. "Ampuni hamba Yang Mulia."

Theresa menggigit bibir. Dalam hati mengutuk kebodohannya. Jika Theo atau Arzel ada di sini, ia akan menjadi bahan olok-olokan kedua lelaki itu.

"Siapa namamu?"

"Theresa, Yang Mulia. Theresa Velaquez."

Tanpa Theresa duga, jemari dingin Yang Mulia meraih wajah gadis itu hingga membuat mata mereka kembali beradu. Jantung Theresa ikut berdesir. Sentuhan tersebut seakan membakar wajahnya hingga terasa panas.

"Aku suka warna matamu."

Theresa hanya mengerjap bingung.

"Besok Igno akan mengantarkanmu ke perbatasan."

"Yang Mulia," kilah lelaki yang Theresa duga bernama Igno, tanpak keberatan. Namun itu hanya sesaat.

"Kembali lah ke kamarmu," titahnya kemudian.

Theresa segera menunduk patuh dan mengundurkan diri. Begitu keluar dari ruangan tersebut ia sedikit kebingungan untuk menemukan arah kembali, beruntung wanita tua tadi rupanya masih berada di sana dan kembali membimbingnya dan mata biru Theresa kembali memperhatikan lebih seksama.

Ada yang aneh di istana ini, kenapa ia tidak melihat satu pun prajurit penjaga? Sungguh berbeda dengan yang biasa Arzel ceritakan. Ketika keduanya telah berada dekat dengan kamar yang sebelumnya Theresa tempati, ia pun mencoba mencegah satu-satunya orang yang bisa menjadi tempatnya menemukan jawaban.

"Permisi."

Wanita tua itu berhenti dan menatap Theresa.

"Ini ... Apakah ini ista—"

"Istana ini bernama Royal Shaddow, terletak di ujung Hutan Benington. Dari mana pun Nona berasal, Yang Mulia Lucius bukan Raja yang Anda pikir berasal dari negara yang sama," jawabnya lancar seolah sudah tahu apa yang akan Theresa tanyakan bahkan sebelum gadis itu menyelesaikan pertanyaan.

Theresa mengangguk paham. Hanya saja dia baru mendengar ada istana di Hutan Benington.

"Dan jangan mencoba untuk keluar dari istana ini sendirian," ucap wanita tua itu lagi sebelum kemudian berlalu. Sementara rasa penasaran Theresa belum tuntas. Bodohnya, ia tidak mempunyai keberanian untuk menahan wanita tersebut agar bisa mengorek informasi lebih jelas.

Theresa berjalan mendekati jendela yang tidak dilapisi penghalang, tapi yang ada hanya kabut putih serta ujung pohon pinus sejauh mata memandang. Ketika matanya melihat ke bawah, ia membekap mulutnya sendiri untuk meredam teriakan. Tempat dirinya berada sekarang amat sangat tinggi. Ini seperti menara. Ia merasa jantungnya berpacu lebih cepat. Theresa tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi ini serupa dengan saat dirinya nyaris mati beberapa waktu lalu.

Ah, benar. Vampir! Dia ingat pemilik mata merah yang hampir membunuhnya adalah vampir. Tapi ia juga tidak terlalu yakin mengingat tidak ada bukti, bahkan luka di kepalanya pun menghilang. Mungkin kah dirinya bermimpi? Mata Yang Mulia Lucius juga tidak seperti yang terakhir diingatnya. Barang kali dirinya memang terlalu lelah karena kekurangan istirahat hingga berhalusinasi. Hanya itu satu-satunya jawaban yang masuk akal. Lantas bagaimana ia bisa berada di sini?

Namun, dibanding ini semua, Theresa lebih mengkhawatirkan bagaimana hari esok ia akan menjelaskan pada ibu alasan dirinya menghilang. Raut bingung Theresa seketika berubah cerah ketika menyadari satu hal.

Ya Tuhan, kenapa otaknya lambat sekali. Rutuk Theresa sambil tersenyum.

*****

Igno masih dengan wajah keheranannya melihat sang Majikan memandangin wanita berambut pirang itu menghilang dari ruangan.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Igno," cetus Lucius sebelum berbalik.

Tentu saja, sudah seabad lebih Igno mengabdikan diri sebagai tangan kanan Lucius. Dia harusnya sudah mati saat perang dunia kedua. Namun, Pangeran menghidupkannya kembali. Menjadikan dirinya vampir yang hanya bisa bertahan dengan darah dari tuannya.

Bagaimana mungkin Igno tidak akan khawatir dengan perubahan mendadak ini. Lucius, pangeran yang dia tahu sangat otoriter dan tidak suka dibantah ini tiba-tiba saja memberikan pilihan untuk seseorang yang sudah seharusnya jadi sandera di Royal Shadow. Belum lagi saat menyelamatkan Theresa dari vampir lain beberapa waktu lalu. Tidak ada dalam rencana mereka sebelumnya untuk menyelamatkan gadis itu. Hanya saja ketika Lucius melompat tanpa ragu, Igno pun tidak bisa mencegahnya.

"Gadis itu tidak akan pergi karena menginginkan sesuatu dariku." Lucius menduduki kembali singgasananya. "Bukan kah kau sendiri yang mengatakan jika sudah tiga hari dia menungguku di rumah Baron."

Perbincangan keduanya terhenti sejenak ketika pintu ruangan tersebut kembali diketuk. Ia melirik pada Igno, memberi sedikit anggukan kecil seolah telah menebak siapa yang berada di balik pintu tersebut dan mengisyaratkan jika rencana mereka akan mulai berjalan.

*****

To Be Continue....

Haloha ...  Apa kabar Lucius Mania?

Masih setia menunggu?

Sejauh ini ada yang mau ditanyakan?

Thank you for reading^^

Dont forget to vote & coment.

Percayalah, komen dan vote kalian yang bikin aku semangat. Senang rasanya ada yang masih menanti vampir psyco ini. 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro