Bab 7. Malaikat Pemburu
Kepala Theresa terantuk dan nyaris berenang di dalam wajan panas berisi sup jika saja sebuah tangan tidak menahan dahinya. Mata Theresa melirik pada tangan tersebut dan mendapati Arzel tengah menatapnya khawatir.
"Kau sepertinya mengantuk?"
Theresa menurunkan lengan Arzel dari keningnya. "Sedikit."
"Sebaiknya kau tidur, biar aku atau Theo yang melanjutkan memasak sup untuk ibu."
"Tidak perlu, biar aku saja. Kau kan tamu di sini sekarang."
Arzel meraih tangan Theresa, memperhatikan telapak tangan gadis itu seolah sedang membaca masa depan. "Ini kenapa?"
Dengan segera Theresa berusaha menarik tangannya, tapi Arzel menahan lebih keras. Tatapan mata lelaki itu tampak meminta penjelasan.
"Ini terkena pisau saat memasak," jawabnya gugup.
"Kau yakin?"
Kali ini Theresa berhasil menyembunyikan lengannya di balik celemek. "Iya."
Namun jawaban itu masih belum membuat tatapan Arzel berubah. Sementara Theresa tidak berniat melanjutkan percakapan ini. Masih dengan nada gugup yang sama, Theresa permisi ke dalam dan menitipkan supnya pada Arzel.
Dari balik pintu, gadis itu mendekap tangannya sendiri di dada yang berdebar karena takut jika Arzel mengendus kebohongannya.
Suara batuk mengalihkan perhatian Theresa. "Ibu," gumamnya.
Dengan sigap ia menghampiri Evlyn yang terbaring lemah. Dia segera meraih ember dan membantu ibunya duduk. Wanita dengan rambut yang telah memutih tesebut memuntahkan darah di ember. Hati Theresa semakin khawatir.
"Theo! Theo!" teriak Theresa panik.
Namun sebisa mungkin ia tetap berada di sisi ibunya untuk mengelus punggung serta memegangi ember. "Theo!"
Adik lelakinya itu baru muncul tak lama kemudian. "Ada ap—"
Theo ikut terkesiap melihat bibir ibunya mengeluarkan darah segar.
"Cepat ambilkan air hangat!" Untuk sesaat Theo seolah terpaku, sampai Theresa kembali meneriakan namanya.
"Theo, Cepat!"
Theo berbalik untuk menuju dapur dan hampir menabrak Arzel yang ikut masuk karena mendengar keributan. Tanpa perlu bertanya Arzel sudah bisa menebak apa yang terjadi. Kondisi Evlyn semakin memburuk. Tanpa canggung, Arzel mengambil kain basah untuk membersihkan wajah serta pakaian Evlyn yang terkena muntahan bercampuh darah.
Sesekali ia melirik pada Theresa yang terus mengeluarkan air mata, tapi tetap berusaha kuat saat melihat kondisi ibunya. Gejala ini sudah menjadi pertanda akhir bahwa waktunya tidak akan lama lagi.
"Ini." Theo datang dengan segelas air hangat yang sudah dicampur beberapa tumbuhan untuk menghilangkan rasa mual dan itu cukup berhasil menghentikan ibunya muntah.
Namun tubuh wanita tua itu sudah terlalu kurus dan juga telah kehilangan banyak tenaga. Theresa kembali membaringkan ibunya. Untuk saat ini ibunya masih bisa bertahan, tapi ia tidak tahu bagaiman dengan besok atau lusa. Tekad Theresa untuk mendapatkan ramuan dari lelaki bermata merah semakid kuat.
Malam ini, setidaknya malam ini ia harus berhasil.
*****
Ini adalah malam ketiga Theresa menunggu dan bersembunyi di hutan sekitar rumah yang sama di mana ia nyris ditangkap. Tujuannya ke sini memang untuk mengintai, tetapi bukan untuk mencuri. Melainkan menemukan orang yang menjual obat pada Lord Pashley. Lelaki bermata merah yang Theresa yakin mempunyai banyak persediaan obat sehingga menjualnya pada orang-orang kaya.
Sayangnya harapan gadis itu tidak sesuai dengan keadaan, karena sepanjang malam yang ia gunakan untuk mengintai itu tidak menunjukan tanda-tanda kedatangan pria bermata merah. Theresa berharap, baik Theo maupun Arzel tidak ada yang menyadari dirinya pergi setiap kali mereka tertidur.
"Ah, nyamuknya banyak sekali," keluh Theresa. "Bagaimana jika dalam sepekan ke depan orang itu tidak muncul juga?"
Dia tidak mungkin terus menerus melarikan diri setiap malam. Tiga hari ini Theresa kurang istirahat. Bahkan Arzel sudah mencurigainya. Theresa tidak tahu sudah berapa lama ia menunggu di sana, tapi ia yakin waktu sudah lewat tengah malam. Gadis itu memutuskan untuk kembali sambil mulai memikirkan cara lain. Hingga kemudian di tengah perjalanan, benaknya mengingat satu hal. Tentang lelaki bermata merah, mata yang sama dengan yang pernah dilihatnya ketika mencuri barang-barang berharga bersama Theo beberapa waktu lalu.
"Mungkinkah dia orang yang sama?" pikirnya.
Jika Theresa tidak bisa menemukan lelaki itu dengan menunggu, maka Theresa akan mendatanginya. Maka, tanpa membuang waktu lagi, Theresa mengambil langkah berbalik dan membatalkan niatnya untuk pulang.
"Kau memang cerdas Theresa," pujinya pada diri sendiri.
Butuh waktu lebih lama dari yang diperkirakan untuk gadis itu tiba di tempat yang dituju. Mungkin karena malam hari yang begitu gelap atau mungkin dirinya tersesat. Entah keberuntungan dari mana,Theresa kemudian menemukan rumah itu. Senyumnya merekah, terlebih mengetahui lampu di teras rumah menyala. Itu cukup menyakinkannya jika rumah tersebutberpenghuni.
Tunggu dulu!
Theresa menahan langkahnya ketika pikirannya bergumam sendiri.
"Jika rumah tersebut memang berpenghuni...." Artinya ia memang mencuri di rumah lelaki bermata merah itu, lanjutnya dalam hati.
Dia memijat kening, merasa frustasi oleh semua kesalahan ini. Mungkin ada baiknya Theresa mengembalikan barang curiannya. Lagipula, ia tidak bisa menjualnya juga. Namun ia menggelengkan kepala tidak setuju dengan ide tersebut. Akan butuh waktu lama untuk kembali ke rumah, mengambil barang curiannya lalu mendatangi rumah ini lagi. Ia yakin saat itu matahari mungkin telah menampakan diri.
"Aku yakin tidak ada yang melihatku mencuri saat itu."
Jika orang tersebut mempertanyakannya, Theresa hanya perlu berbohong dan mengatakan dirinya tidak tahu apa-apa.
Tekadnya sudah bulat, dia pun menginjakan kaki ke teras. Sebelum pintu kayu itu diketuk, Theresa merasakan udara diri yang menerpa wajahnya bertepatan dengan pintu tersebut berderit dan terbuka dengan sendirinya. Gadis itu tidak memungkiri ada rasa takut yang menjalar ke seluruh tubuh. Instingnya mengatakan untuk pergi dari sana, tetapi ia tidak akan melewatkan kesempatan ini. hanya dibutuhkan satu langkah lagi untuknya masuk ketika secara tiba-tiba satu tangan mencekik lehernya.
Theresa terlalu terkejut hingga untuk berteriak pun ia tak mampu, hanya mulut yang menganga berusaha mengeluarkan suara meminta pertolongan.
"To ... long. Tooo—"
"Lihat siapa yang datang?" Dari balik kegelapan, suara tersebut menampakan diri. Namun ada yang berbeda, sosok ini tidak sama dengan yang ia lihat saat bersama Lord Parshley.
Wajah ini lebih pucat, meski memiliki mata merah yang sama yang ia lihat saat mencuri beberapa hari lalu. Senyumnya begitu lebar hingga menampilkan deretan gigi nan runcing serta dua pasang taring tajam.
Vampir! Theresa selama ini tidak percaya pada mahluk tersebut, tapi melihat sosok lelaki di hadapannya saat dia sendiri berada diambang kematian. Tentu saja ia membuatnya ketakutan setengah mati. Ah, tidak. Mungkin sebentar lagi ia akan menuju kematian.
"Pencuri kecil yang kembali." Cengkaraman di leher Theresa kian menguat. Gadis itu mulai meronta untuk mengais udara.
"Apa kau berencana mencuri lagi? Sayang sekali keberuntunganmu sudah habis," desisnya sebelum sedetik kemudian menyeringai.
Kaki Theresa tak lagi berpijak. Menggunakan ibu jari, vampire tersebut mendorong wajah Theresa, memperlihatkan leher gadis itu. Lalu mendekatkan mulutnya. Tamat sudah, nyatanya bukan keberutungan yang Theresa pikir mengantarkannya ke rumah ini melainkan bentuk kesialan. Sedikit lagi ... hanya perlu sedikit lagi untuk taring itu melukai leher Theresa.
Gadis itu tidak tahu dari mana asalnya karena sedetik kemudian secara mendadak tubuhnya jatuh ke tanah, ia terbatuk mengais udara untuk memenuhi paru-parunya. Vampir yang semula mencengkiknya pun entah menghilang ke mana. Dengan sisa tenaga yang ada, Theresa mencoba bangkit dan berjalan meninggalkan rumah tersebut dengan kaki tertatih. Baru beberapa langkah, telinganya mendengar teriakan, suara gaduh layaknya orang yang tengah berkelahi.
Seharusnya Theresa segera pergi dari sana dan tidak memperdulikan apa pun yang ia dengar mau pun ia lihat. Nyatanya mata biru Theresa tetap mengintip di bawah cahaya remang-remang itu. Vampir tersebut berkelahi entah dengan siapa. Hingga tendangan di belakang lututnya membuat dia berlutut. Kepala lelaki itu dipaksa mendongak. Theresa bisa melihat sebuah kilat pisau diangkat tinggi sebelum menancap persis di tenggorokan penjahat tadi dan tubuhnya pun menggelepar di tanah seperti hewan yang baru saja disembelih.
Tentu saja Theresa menjerit ngeri, tapi ia segera membekap mulutnya sendiri hingga sebuah tarikan di belakangnya mendorong keras wanita itu hingga terjerembab menabrak ke pohon. Kejadiannya terlalu cepat, membuat Theresa tidak mampu mencerna keadaan.
"Aauwwh...." Rasa pusing dan nyeri menyerang. Tangan Theresa meraba kepala dan merasakan cairan anyir merembes ke tangannya, ia pun tumbang.
Samar-samar dari tempatnya tergeletak Theresa bisa melihat seseorang berdiri di hadapannya, menatapnya dengan warna mata merah dan wajah yang selama tiga hari ini dicarinya sebelum kemudian pandangan gadis itu menggelap.
*****
"Haruskah kita ikat dia sekarang, Yang Mulia?"
Igno yang tengah berdiri di belakang Lucius akhirnya mengeluarkan suara. Sejak menyelamatkan gadis ini dan membawanya ke istana mereka, tidak ada yang Lucius lakukan selain duduk memperhatikan Theresa.
"Jangan," jawab Lucius.
"Tapi ini kesempatan yang baik untuk membuatnya menjadi sandera kita dan mengancam malaikat itu."
Lucius pun berdiri dan meninggalkan Theresa yang masih terbaring tidak sadarkan diri.
"Kita tidak akan melakukan hal itu, Igno." Setelah menutup pintu kamar tersebut, Lucius menatap tangan kanannya yang sudah lebih dari seratus tahun bersama.
"Arzel sudah pernah berada di posisi tersebut. Dan kau tahu apa yang dia lakukan?"
Igno hanya mengernyit tanda tidak tahu.
"Dibanding memberikan jantungnya, Arzel justru mengorbankan nyawa kekasihnya."
Lucius tersenyum miring mengingat kejadian tersebut. Bukan dirinya yang menyandera kekasih Arzel saat itu. Namun ia secara sengaja berada di antara pertikaian Arzel dengan vampire lain yang juga mengincar jantung malaikat pemburu untuk mencoba keberuntungan. Barangkali ada yang bisa ia curi di sana. Tetapi alih-alih mendapatkan jantung malaikat. Arzel membiarkan kekasihnya meregang nyawa oleh vampir.
"Apa kau pikir karenamereka malaikat, maka mereka akan selalu menjadi sosok baik hati?" ejek Lucius yang kemudian membuka sebuah buku dan duduk di ruangannya.
"Lantas apa gunanya kita menyelamatkan gadis itu?"
Lucius tidak menjawab, tetapi senyum miringnya cukup untuk menunjukan bahwa dia sudah mempunyai rencana yang lebih besar.
*****
Sementara itu di tempat lain, Arzel berjalan sendirian di antara kegelapan. Setelah memastikan tidak ada seorang pun yang mengikutinya, mata hijau lelaki itu seolah bercahaya. Tak lama kemudian angin kencan berhembus. Satu sosok turun dari langit.
"Arzel," panggilnya.
Kilau cahaya putih terpancar dari pria dengan warna rambut dan mata yang sama dengannya, tapi terlihat lebih tua. Sontak Arzel langsung membungkuk sopan.
"Apa misimu sudah selesai?" tanya Pria yang mengenakan pakaian serba putih lengkap dengan jubah serta tongkat sepanjang lengan yang dipegangnya.
"Maafkan saya, Tuan Gabriel."
"Kau harus lebih waspada lagi. Jangan sampai dia lolos."
"Tentu."
Gabriel lalu memperhatikan wajah Arzel seolah bisa membaca ada sesuatu di sana.
"Apa ada lagi yang perlu kau laporkan?"
"Tuanku...." Kalimat Arzel terhenti seakan ragu.
"Katakan lah!"
"Tidak bisakah, kita sebagai malaikat menolong manusia dari kematian oleh karena wabah yang tengah melanda ini?" Arzel teringat bagaimana sedihnya Theresa melihat ibunya menderita. Arzel pun sudah menganggap Evlyn seperti orang tua sendiri.
Gabriel tersenyum kecil menghampiri Arzel serta menepuk pundaknya bak seorang ayah. "Kita memang malaikat, tapi bukan itu tugas kita."
*****
To Be Continue
Aku sangat berterima kasih pada kalian yang masih setia menunggu kelanjutan cerita ini. Terima kasih banyak!
Sebenarnya aku agak ragu untuk melanjutkannya, tapi komen-komen kalian membakar semangatku.
Thank you for reading 😘😘
Don't forget to vote & comment!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro