Bab 3.2 Awal dari Akhir
Buat kalian semua yang masih setia nungguin My Baby Luc. Terima Kasih 😘😘
*****
Membunuh Vanessa?
Lucius melangkah mundur. Pelan dan teratur, agar tidak menimbulkan suara. Setelah keluar dari ruangan itu, dia segera berlari.
Lucius tidak tahu, dari mana ayahnya bisa mendapatkan informasi ini. Namun, yang harus ia lakukan sekarang adalah menyelamatkan Vanessa. Dia memang ada niat menghukum gadis itu atas kebohongannya, tapi tidak sekarang juga.
Biar bagaimana pun sudah banyak waktu yang mereka lewati bersama. Ia juga mengakui masih ada sedikit perasaan pada makhluk terkutuk itu meski sebagian besar sudah berubah menjadi benci. Namun, untuk kehilangan kekasihnya saat ini juga Lucius merasa belum rela.
Pria itu ingat bahwa Vanessa tidak bisa melindungi diri sendiri. Sang Pangeran pun memacu kudanya secepat mungkin, membelah malam serta mengabaikan udara dingin yang menerpanya sepanjang jalan.
Ketika tiba di kediaman Vanessa, api sudah terlihat menjilat-jilat mengerikan, dan gadis itu pasti ada di dalam. Tanpa berfikir panjang Lucius menerobos kobaran api. Suhu udara panas menyambut. Namun, pria itu tetap mencari sosok Vanessa diantara kepulan asap.
"Vanessa! Vanessa!"
Sesak kian mencekik paru-paru Lucius, pria itu mulai terbatuk-batuk. Bangunan sudah mulai runtuh, mata birunya berusaha memindai sejeli mungkin. Ujung jubahnya tersambar api, pemuda itu langsung melepas dan melemparnya begitu saja.
Berlari lebih dalam akhirnya sang Pangeran menemukan Vanessa delam keadaan tak sadarkan diri dengan tali yang mengikatnya pada sebuah kursi. Entah apa yang sudah dilakukan Racther serta para ahli sehingga gadis ini tampak tak berdaya. Wajah kekasihnya bahkan tampak pucat di antara cahaya panas api.
"Vanessa! Vanessa bangun! Vanessa!" Lucius menepuk pipi Vanessa beberapa kali dan berhasil. Kekasihnya membuka mata.
"Luc...," gumamnya lemah.
Dengan susah payah, Lucius melepaskan tali kemudian memapah Vanessa. Setelah semua ini berlalu, Lucius pastikan Vanessa harus ia siksa lebih dari sekedar memakai torture shoes. Mahluk ini sungguh merepotkan.
Sebuah balok kayu yang lumayan besar terbakar, lalu jatuh menimpah punggung Lucius. Pria itu tersungkur.
Untungnya Vanessa mampu membantu mengangkat balok tersebut. Rumah Vanessa memang cukup luas. Sekali pun sudah lama gadis itu tinggal di sana, tapi berada di tangah kobaran api begini akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mencapai pintu keluar.
Vanessa kini berjalan di depan, gadis itu terlihat sudah tidak selemah tadi. Di saat keduanya nyaris mencapai pintu, satu balok kembali jatuh. Kali ini laki-laki itu mampu menghindar, ia mendorong Vanessa lebih dulu keluar sedangkan dirinya terjerembab ke belakang. Saat ia hendak kembali berdiri, pria itu tidak menyadari ada kayu lain yang meluncur tepat ke arahnya.
Sang Pangerang mengerang ketika kayu itu menusuk di dada kirinya, persis di dekat jantung, dan menembus ke paru-paru. Namun, dia tetap mencoba kembali berdiri dan menggapai pintu keluar.
Pada akhirnya mereka berhasil lolos. Lucius mengalami beberapa luka bakar, yang terparah adalah kayu yang menusuk tadi.
Keduanya duduk di salah satu pohon. Vanessa bergerak sigap. Ia mencabut kayu yang masih menancap di dada kekasihnya. Darah segar menyembur diiringi erangan yang keluar dari mulut Lucius.
Sang Pangeran merasa napasnya tersumbat, begitu berat, dan sesak. Luka di bagian paru-paru tadi tampaknya sangat parah. Mungkin saja berlubang atau sobek di dalam.
"Bertahanlah, Pangeran."
Vanessa mengeluarkan cakarnya, lalu menusuk tangannya sendiri hingga mengeluarkan darah berwarna hitam pekat. Gadis itu kemudian mengucurkan darahnya pada luka di dada Lucius.
Perlahan tapi pasti, darah milik Vanessa membantu memulihkan luka kekasihnya. Dia mengalirkan lebih banyak darah lagi sampai wajah putih itu semakin terlihat pucat.
"Mahluk Terkutuk! Berani sekali kau mencampurkan darah iblismu pada Yang Mulia." Sebuah suara membuat Vanessa berjengit dan menghentikan pergerakannya.
Beberapa pria menghampiri mereka, mungkin sekitar lima orang. Lucius tidak bisa melihat terlalu jelas akibat matanya yang masih kabur karena terlalu lama berada dikelilingi kobaran api. Lelaki itu menduga orang-orang ini adalah para ahli yang diperintahkan ayahnya.
Napas Lucius sudah tidak seberat tadi, tapi ia tahu tubuhnya masih belum pulih benar.
"Menjauh darinya Pangeran! Dia bukan manusia!" seru salah satu di antara mereka.
Tentu saja Lucius menolak, berani sekali orang itu memerintahnya.
Namun, dengan kondisi keduanya yang sama-sama lemah. Mereka tidak bisa melawan banyak, terlebih ketika orang-orang itu menjauhkan Vanessa dari Lucius.
Ada dua orang yang menahan Lucius agar tetap duduk di tempatnya. Dua orang lain juga memegangi Vanessa, menopangnya untuk berdiri. Sedang satu orang lain sedang menimang-nimang pisau ke hadapan gadis itu.
Lucius berusaha memberontak, tapi kondisi yang belum pulih bahkan membuatnya tidak mampu melepaskan diri.
Berteriak pun percuma, tidak ada yang mampu membantu terlebih keberadaan rumah Vanessa yang jauh dari keramaian.
"Seorang vampir yang jatuh cinta hm?" ujar pria di hadapan Vanessa, pria berkulit hitam dengan luka codet di pipi kiri itu tertawa mengejek. Mengangkat dagu Vanessa dengan ujung pisaunya.
"Mahluk terkutuk sepertimu tidak seharusnya merasakan perasaan semu semacam itu. Kau tahu kenapa? Karena vampir yang jatuh dalam kubangan cinta akan lebih mudah dimusnahkan. Apa kau tidak tahu? Jantungmu yang semula tidak berdetak ini." Pria itu memindahkan ujung pisaunya di dada Vanessa kemudian berbisik pelan. "Aku bisa mendengarnya mulai berdebum ketakutan."
Vanessa masih diam, sorot matanya berubah merah. Ia berusaha berontak, tapi tetap tidak mampu melepas cekalan di kedua tangannya.
"Ah, perkenalkan aku Racther. Kuharap kau pernah mendengar namaku," tuturnya congkak, sementara Vanessa tidak berniat mengucapkan apa pun. Gadis itu mengacuhkannya.
"Lepaskan dia!" Perintah Lucius dari arah belakang, suaranya masih terdengar lemah. Namun, Racther hanya menoleh sejenak untuk melihat sang Pangeran masih dipegangi oleh kedua anak buahnya. Ketua para ahli itu tidak peduli, toh yang membayarnya adalah Gaves bukan Lucius.
Pria bercodet itu kembali menatap wajah Vanessa. "Kau pasti tahu bukan Nona Vanessa." Racther mulai mencengkram rahang Vanessa dengan tangan kirinya. Memastikan gadis pucat itu mendengarnya. "Meski organ tubuh vampir sudah mati, tapi ketika dia menemukan belahan jiwanya jantung itu mulai kembali berdetak. Ya, meski detakannya sangat perlahan."
Pria berkukit hitam tersebut mendekatkan bibirnya ke telinga Vanessa. "Namun, di situlah kelemahannya. Vampire biasanya tidak akan mati ditusuk pisau buatan manusia. Apalagi bila vampire tersebut golongan origin. Lain dengan vampir yang jantungnya berdetak. Sekali terhunus senjata ...." Racther kembali menatap gadis itu kemudian memberi isyarat menggorok leher. "Kau akan benar-benar mati."
Ya ... tidak banyak orang yang tahu tentang rahasia ini. Itulah kenapa Racther dan kawanan ahlinya menjadi pembasmi vampir terbaik. Karena mereka mengetahui kelemahan yang seharusnya para Vampir saja yang tahu.
"Vampir dan kutukkannya. Seolah merasa ingin kembali menggapai kehidupan? Cih." Racther membuang ludah seakan jijik.
Vanessa menggeram, menunjukan dua taring tajamnya saat Racther sudah melepas cengkraman di rahang gadis itu.
"Aku bilang, lepaskan dia!" Lucius kembali tak digubris. Justru Racther terlihat lebih bersemangat untuk segera menghabisi Vanessa.
"Sangat disayangkan, kau menyia-nyiakan karunia dari iblis hanya untuk mencintai manusia. Sampai salamku pada kaummu yang sudah kukirim ke neraka," pesan Racther sebelum menikamkan pisaunya tepat di jantung gadis itu.
Sedetik kemudian Lucius mendengar teriakan terakhir Vanessa. Ia juga melihat dengan jelas bagaimana tubuh gadis itu jatuh terkapar.
"Tidaaakkk!!" Jerit Lucius tak terima.
Tidak cukup sampai di sana, dua pria yang semula memegangi Vanessa mengambil salah satu kayu hasil reruntuhan kemudian membakar gadis itu.
Lucius berteriak dan meronta. Namun, tubuhnya yang masih belum pulih benar tidak cukup untuk melawan. Terlebih bukan hanya dua, kini ada empat orang yang memegangi Lucius kemudian mengikatnya.
Mereka juga menyeret paksa Lucius ke atas kuda dan membawanya kembali ke istana. Tubuh sang Pangeran yang masih dalam proses pemulihan itu tetap tak berdaya dan hanya bisa melihat sosok Vanessa yang terbakar semakin jauh dan berganti kegelapan.
*****
To be continue...
Sebenarnya part ini sudah jadi sejak beberapa hari yang lalu, tapi aku merasa gak pede. Belum pernah bikin adegan tegang soalnya. Sampe aku harus bulak-balik edit berulang kali dan yang ada malah jumlah word nya semakin byk wkwkwk...
Semoga feelnya masih berasa.
Btw, Lucius jomblo nih! Ada yang berminat gantiin Vanessa? 😆😆
Thank You for reading.
Don't forget to vote & coment ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro