CHAPTER 58: Outcome
Yue's View
"...atau harus kupanggil, Lord Jyo...?"
Ketakutanku benar benar jadi nyata.
Aku tidak pernah berfikir akan jadi seperti ini sebelumnya.
Arsais, adalah Bishop dari Harmonia, dan sekarang, berarti dia adalah orang yang menjadi lawan utamaku dalam peperangan ini.
Sejak aku melihat fotonya saat kasus penyerangan di perbatasan Aronia, aku selalu berdoa agar saat ini tidak pernah terjadi.
Tapi tampaknya memang aku tidak bisa menghindari kenyataan ini.
Aku juga sempat curiga saat melihat dia menggunakan Rune di Forest of Confusion
Mana mungkin orang biasa bisa memiliki rune sekuat itu, bahkan Rune yang bisa menghancurkan tubuh pemiliknya?
Seharusnya aku sadar itu adalah True Rune dan tidak mungkin dia adalah orang biasa.
"Kenapa kau tidak berani menatapku, Lord Yue?"
Deg
Jantungku berdersir, seluruh tubuhku terasa bagai diguyur air es.
Aku merasakan Arsais menyeret langkahnya mendekatiku.
Tubuhku sontak segera melangkah mundur menjauhinya.
"Kenapa kau menjauhiku? Bahkan anak panah itu? Kau yang melepaskannya bukan? Aku mengenalinya. Itu anak panah yang dulu kuhadiahkan padamu. Dan rune ini.... Rune ini yg membuatku sadar kau adalah Cardinal..."
Dia melemparkan sebuah anak panah kepadaku, sebuah anak panah berwarna putih keperakan dengan ukiran indah di sepanjang batangnya.
"Aku tak menyangka panah itu akan kembali ke padaku dengan cara ini. Panah ini tertancap di tubuhku..."
Deg.
Aku hanya memanah untuk memimpin batalyon panahku.
Aku tidak menyangka panah itu akan menancap di tubuhnya.
Sungguh kebetulan yang tidak menyengangkan.
Dari ribuan panah yang terlempar, mengapa harus panahku yang tertancap?
Pikiran pengecut mengisi kepalaku.
Andaikan bukan panahku, apakah dia tidak akan semarah ini?
"Lord Yue, angkat kepalamu..."
Arsais berdiri sekitar 3 meter dari tempatku. Dia berdiri diam.
Dari arahku melihat, ada banyak darah di lantai, dan terus menetes.
Aku yakin dia terluka sangat parah.
"Cardinal, apa anda terluka?"
Lady Kanna bertanya dengan nada kuatir kepadaku, karena aku hanya diam membatu di hadapan Arsais.
Aku menggeleng lembut, kemudian tersenyum kearah wanita di belakangku.
"Tidak apa apa Kanna, aku baik baik saja.."
Kanna dan Keith yang sedari tadi mengikutiku menatap dengan kuatir ke arahku.
Aku tersenyum lembut untuk menenangkan mereka.
Aku menarik nafas beberapa kali, kemudian menguatkan tubuhku untuk menatap ke arahnya.
Aku serasa melorot dari pijakanku saat aku memandang hasil perbuatan pasukanku pada Arsais.
Apa yang aku lihat saat ini benar benar jauh dari apa yang aku sering lihat dulu.
Tubuhnya yang dulu tampak kuat dan lincah, sekarang tampak lemah dan penuh luka.
Bajunya tampak sobek sehingga meninggalkannya hampir bertelanjang dada, dan aku bisa melihat banyak sayatan di berbagai tempat.
Wajah manisnya pun sekarang tampak letih, beberapa luka tampak jelas di wajahnya.
Benar benar pemandangan yang tidak ingin aku lihat.
Inikah yang sudah aku lakukan padanya?
Aku sungguh hina.
"Lord Yue, aku Arsais, Bishop dari Valerie. Kau sudah mengetahuinya kan?"
Aku melebarkan mataku, menatap wajah dinginnya yang sekarang tersenyum sinis ke arahku.
Aku ingin membuka mulutku, tapi wajahnya membuat mulutku terkatup dengan mantap dan menolak untuk berbicara
"Bahkan sejak awal Campaign palsu di North Wall, kau sudah mulai mendekatiku, apa pertemuan di Hutan itu sudah kau atur?"
Dia menatapku dengan senyum dingin, selangkah kakinya bergerak mendekatiku.
"Kau mendekatiku untuk mencari kelemahanku, dan kebetulan.... Ternyata tanpa sengaja kaulah yang menjadi kelemahanku? Semua cuma permainan?"
"Itu semua salah paham.."
"BOHONG!"
Aku menatap ke belakangku, Kanna dan Keith menatapku dengan kening berkerut, mereka tampak tidak memahami apa yang sedang terjadi.
Arsais kembali melangkahkan kakinya maju selangkah.
"Sejak awal semua sudah kau rencanakan. BIAR AKU BERI TAHU HASILNYA!"
Arsais menyeka peluh di dahinya, kemudian dengan lemah berjalan kembali mendekatiku.
Aku kembali mundur, membuatnya terkekeh pelan.
"Aku beritahu, KAU BERHASIL, Jyo, sudah sangat berhasil..."
Setetes cairan bening mengalir dari matanya, dia tetap menatapku dengan wajah dingin tanpa ekspresi.
"Bukan hanya Valerie yang kau rebut, kepercayaanku pun berhasil kau dapatkan, bukan cuma melemahkan Valerie, kau berhasil merusak keteguhanku, dan membuat pikiranku kacau luarbiasa, pintar sekali, menghilang di saat saat terakhir, untuk membuat konsentrasiku terpecah..."
Arsais menatap ke samping, seakan berusaha membuang semua pikiran dari kepalanya, dia tampak sangat letih. Aku heran kekuatan apa yang bisa membuatnya tetap berdiri.
Orang biasa pasti sudah mati bila menerima luka seperti ini.
Keith dan Kanna melebarkan matanya dengan terkejut.
"Cardinal, anda mengenal Alvin...?"
Kanna menatapku tak percaya.
"Yeah, kami cukup dekat, kami bertemu secara tidak sengaja saat aku sedang beristirahat didekat perkemahanku di tengah Hutan..."
Keith dan Kanna tampak berpandangan, tapi kemudian memilih untuk diam dan kembali menyimak keadaan kami.
"Arsais, kumohon, ini salah paham..."
"Begitukah? Memang salah paham, aku salah paham sudah menyukaimu, seharusnya aku tidak pernah menyukaimu!"
Arsais tampak limbung sejenak, kemudian meringis.
Tampaknya lukanya cukup membebaninya.
"Sekali lagi, sekali lagi aku merasa seperti ini, sekali lagi! Kau berjanji tak akan mengkhianatiku, janji tak akan pergi. Tapi sekarang semuanya cuma bohong. KAU TIDAK ADA BEDANYA DENGAN RICHARD! INI SEMUA RENCANAMU KAN...? "
Bulir bulir keperakan kembali mengalir dari tepian matanya, membasahi darah yang sudah mengering di pipinya.
"Dan... Dari yang kuperhatikan, tampaknya kau dan Richard bekerja sama untuk menghabisiku? Taktik gerilyamu, adalah demi mengulur waktu mempersiapkan central melakukan serangan palsu kan? Arsais palsu dari prajurit Aronia dengan menggunakan Circle Rune. Bukankah ini bukti persekongkolam kalian? Apa yang kalian cari? Apakah kalian sebegitu membenciku? Semua perang ini hanya untuk melenyapkanku?! "
Apa....?
Central diserang?
Itukah penyebab tentara Harmonia mundur menyisakan Arsais?
Apakah ini strategi Lady Kanna?
Kupikir rencana gerilya kami hanya untuk membuat pasukan Harmonia kebingungan dan mudah ditundukkan.
Aku menatap ke belakang, Lady Kanna, wanita itu berkernyit dan menaikkam dagunya, mengkonfirmasi kecurigaanku tidaklah nyata.
Arsais tampaknya salah paham, aku harus membuat semuanya jelas.
"Arsais, dengarkan aku..."
Arsais menggeleng pelan.
"Sudahlah..."
Untuk pertama kalinya aku melihat Arsais menunjukkan emosinya.
Raut yang benar benar sedih dan memilukan tampak jelas terpahat di wajahnya.
Dia menarik kedua belatinya, kemudian memasang kuda kudanya.
"Maaf, tapi aku adalah pemimpin dari tempat ini, dan mempertahankannya sampai mati adalah kewajibanku."
Arsais terbatuk pelan, kemudian menatap ke arahku.
"Kenapa, Cardinal Yue? Sekarang hanya ada aku disini, satu satunya musuh. Rune of Valerie ada di tanganku, seperti Rune of Aronia di tanganmu, kau harus membunuhku untuk merebut Valerie dari Harmonia, kau sudah mengetahui peraturan sederhana ini kan?"
Dia menghunuskan sebelah belatinya ke arahku.
"Cardinal! Dia terlalu berbahaya! Izinkan aku memenggal kepalanya sekarang!"
Keith menarik pedang tipis dari dalam tongkat sihirnya, berjalan maju ke arah Arsais yang tampak tidak memedulikannya sama sekali.
"Keith, berhenti..."
Aku memberikan aba aba pada Keith, memerintahkannya untuk kembali ke belakangku.
"Cardinal Yue, mohon bersiaplah, satu lawan satu, sebagaimana pertempuran antar pemimpin lainnya..."
Arsais memasang kuda kudanya di hadapanku.
Aku sungguh tidak mampu menatapnya, apalagi menyakitinya.
Tubuhnya yang sudah benar benar payah tampaknya dipaksakan hingga ke batasnya.
Arsais dengan susah payah memasang kuda kudanya.
"Mohon hormati saya sebagai pemimpin, jadi, tolong jangan meremehkan dengan tidak bersiap bertempur, walaupun aku sudah dalam keadaan seperti ini."
Aku menatap miris ke arahnya. Dengan berat aku mencabut busurku yang memiliki pisau di permukaannya, kemudian memasang kuda kuda bertahan.
Arsais sejenak tersenyum, kemudian segera melesat ke arahku.
TRANG!
Aku menangkis serangannya.
Lambat, dan tanpa kekuatan.
Bila dia orang biasa mungkin aku bisa dengan mudah menebas dan menghabisinya.
Tapi orang yang saat ini menghunjukkan pedangnya ke arahku adalah kekasihku sendiri.
"Kenapa cuma bertahan?"
Arsais kembali melesat dan menebas ke arahku, dengan kecepatan yang semakin melemah.
"Jangan cuma diam. Balas Aku!"
Tebasan dan tikaman berkali kali diarahkannya padaku, tapi aku hanya mampu menangkis serangannya, tanpa mampu memberikan perlawanan.
Berkali kali aku harus menahan serangannya dengan tangan, untuk mencegah senjataku melukainya saat dia menyerang secara serampangan.
Jelas tidak mungkin aku mengayunkan senjataku ke arahnya, apalagi dengan keadaan seperti ini.
Aku tahu ini cuma game, tapi tetap saja, aku tidak bisa melakukannya.
"Kenapa Cardinal? Serang aku..."
Dia kembali mengayunkan pedangnya, kali ini aku membiarkannya menebaskannya melewati bahuku.
"Lengah?"
Arsais tampak terengah engah, dia menggenggam perutnya yang tampak tersayat dengan sebelah tangannya. Sebelah belatinya tampak sudah dilepaskannya agar luka di perutnya dapat ditutupinya.
"Arsais, cukup..."
"Cukup? Lalu? Kamu sudah tahu kan aku adalah sasaran dari perang ini. Jika aku mati semuanya baru bisa selesai...!"
TRANG!
Sebelah pedangnya akhirnya terjatuh, dia menatap sedih ke arahku, sebelum jatuh berlutut di hadapanku.
Nafasnya tampak memburu, tetes demi tetes darah terus menetes dari mulutnya.
"Arsais!"
Aku bergegas berlari dan menangkapnya, saat dia limbung dan akhirnya terjatuh.
Aku membiarkannya terbaring di atas tanganku.
"Sial, aku jatuh tanpa mendapat serangan sama sekali? Aku pasti sudah kecapekan..!"
Untuk pertama kalinya dia tersenyum manis ke arahku, darah masih terus keluar dari mulutnya.
"Arsais, ini semua salah paham..."
Arsais mengangguk lemah, kemudian tersenyum kearahku.
"Salah paham atau tidak, tidak ada yang bisa kita lakukan. Sepertimu, yang harus menyelesaikan perang ini karena kamu adalah kepala negara, aku juga harus melindungi rumahku..."
Aku terdiam mendengar perkataannya.
Jadi dia tetap menganggapku mengkhianatimu?
Arsais kembali terbatuk pelan.
"Kanna, bisakah aku meminta sesuatu...?"
Kanna mendekat kearah kami, kemudian berlutut menatap kearah Arsais yang terbaring di pelukanku.
"Anak bodoh! Kau sudah melanggar ratusan peraturan di buku pelajaran Strategimu!"
Arsais terkekeh pelan.
"Buku yang mana...?"
Kanna tertawa menatapnya.
"Jadi, muridku sekarang sudah bisa menantangku?"
Kana memberikan senyuman teduh, dan mengelus lembut rambut Arsais.
"Kanna, bisakah aku menitipkan muridku, Caesar padamu? Aku yakin dia akan memerlukan nasihatmu nantinya..."
Kana hanya mendengus kesal.
"Kuharap dia tidak keras kepala seperti murid pertamaku!"
Arsais hanya terkekeh pelan.
"Terimakasih. Dan Jyo..."
Arsais menatap dingin ke arahku.
"Aku..... Tidak bisa membencimu..."
Aku menatap dengan lemas ke arahnya.
"Arsais, aku ga pernah menjebakmu atau memanfaatkanmu sama sekali..."
Arsais menutup matanya, kemudian menatap keluar jendela.
"Lihatlah, semua ini, awalnya aku bangun dengan mimpi dan harapan kami semua. Tapi sekarang semuanya hancur, bahkan aku sendiri tampaknya sudah tidak mampu melanjutkan apa yang kami impikan..."
Arsais mengerang lemah, berusaha menahan sakit di tubuhnya.
"Mungkin sudah nasibku, untuk selalu dipermainkan seperti ini..."
Dia merogoh sakunya, mengambil sebuah tiara kemerahan, kemudian meremasnya di dadanya.
"Sudah selesai, Cardinal, Kau sudah mengalahkanku, saat ini semua rakyatmu akan mengelu elukanmu sebagai pahlawan yang berhasil menghabisi seorang penjahat yang menyengsarakan rakyatmu. Sedangkan aku, aku sekarang disini, menyelesaikan tugasku sebagai kepala negara dengan baik..."
"Arsais, dengarkan aku..."
Arsais tersenyum lembut, kemudian membelai pipiku lembut.
"Semoga kita bisa bertemu lagi..."
Arsais menutup matanya, senyuman lembut terpampang di wajahnya.
Aku merasakan nafasnya semakin melambat di telapak tanganku.
"Arsais, Heal! HEAL!"
Kanna menatapku dengan iba, bagitu juga dengan Keith, yang menatap sedih ke arahku.
"Cardinal..."
"Tidak..."
Aku menatap tak rela ke arah Arsais yang membeku di tanganku, perlahan sosoknya mengabur dari pandanganku, berganti menjadi sesosok cahaya.
"Arsais..."
Cahaya itu terpencar pelan, dan terbang ke langit,
"Arsais.... ARSAIS.....!!!!!"
Aku tidak mampu membendung emosiku lagi. Airmata mengalir deras dari kedua sisi mataku.
Aku sudah berjanji akan terus melindungi dan tidak akan mengkhianatinya.
Tapi sekarang aku sendirilah yang membunuhnya.
Aku memandang hampa ke arah telapak tanganku yang tadinya terbaring orang yang kucintai, beberapa berkas cahaya masih melayang layang disekitarku perlahan lahan melayang menjauh dariku.
". . . . . . . . . . . . . . . . . ."
Aku menatap ke kedua belah tanganku, berkas berkas itu telah sepenuhnya menghilang, meninggalkan sebuah tiara berwarna merah di telapak tanganku.
"Arsais......."
================================
Caesar's View
"LEPASKAN AKU! BIARKAN AKU MENYUSULNYA! DIA BISA MATI!"
Aku meronta kuat dari cengkraman Rover dan Clive, berusaha melepaskan diriku, sambil terus menggedor dinding yang telah dibuat oleh Arsais.
"Sir Caesar!"
"AKU SUDAH BERSUMPAH SETIA PADANYA! SEKARANG AKU TIDAK BERADA DI SAMPINGNYA! LEPASKAN AKU! DIA MEMERLUKANKU!"
PLAKK!
Nyeri.
Sebuah tangan menamparku dengan keras.
"Axel, kamu menamparku?"
"Maaf, Sir Caesar, aku hanya mau menyadarkanmu..."
Aku mengelus pipiku, sambil meringis kesakitan.
"Lord Arsais tidak melakukan ini karena dia ingin anda mengkhianatinya, tapi karena dia mempercayai Sir Caesar...."
Aku tertegun menatap ke arah Axel.
"Sir Caesar ingat janjinya dengan Bishop Arsais? Anda sudah berjanji akan memimpin pasukannya bila dia tidak bisa lagi memimpin pasukannya. Karena alasan itulah sekarang Lord Arsais menyelamatkan Sir Caesar..."
Axel menatapku dengan lembut, seluruh rasa marah dan emosiku seakan meleleh saat aku menatap ke arahnya.
"Lord Arsais sudah mempertimbangkan apa yang akan terjadi. Ingat saat dia memintaku berbicara dengannya berdua di kemahnya? Saat itu dia menceritakan semua rencana dan kecurigaannya kepadaku. Awalnya aku juga tidak setuju dengan keputusannya."
Aku tertegun, Axel menarik nafasnya, sebelum melanjutkan kata katanya.
"Waktuku sudah habis, aku harus mencari penggantiku, dan aku memilih Caesar. Aku percaya Caesar bisa memimpin kalian semua, dan aku tenang kalau menyerahkannya pada Caesar. Itu adalah kata kata Lord Arsais saat aku menyatakan ketidak setujuanku. Dia sudah mempertimbangkan semuanya, dan memberikan kepercayaannya padamu. Jadi..."
Axel kembali menarik nafas panjang.
"Apa perintah anda, Lord Caesar...?"
Inikah yang dipertimbangkan Arsais? Sampai seburuk inikah ketakutannya?
Dia ternyata benar benar menagih janjiku untuk memimpin pasukannya.
Aku tersenyum simpul.
Orang bodoh. Memang benar benar bodoh! Dia benar benar mempercayaiku, padahal aku pernah menjadi musuhnya!
Setetes airmata mengalir dari senyumanku.
Aku mengangkat tanganku.
"Kita berangkat, Ke Great Shrine! Mundur ke Great Shrine!"
Seluruh orang di dalam lorong meraung, bersorak meneriakkan namaku.
Arsais, aku akan membawa mereka dengan selamat.
"BERANGKAT!"
Aku memimpin pasukan itu berjalan melewati lorong gelap yang hanya diterangi oleh berbagai mineral mineral bercahaya di dinding lorong itu.
Sekitar setengah jam kami berjalan, sampai akhirnya kami melangkah keluar melewati sebuah pintu gua tersembunyi di Central Distric.
Tinggal selangkah lagi menuju Great Shrine.
"Apa itu...?"
Semua orang menatap ke arah langit, dimana seberkas cahaya melayang pelan ke arah kami.
"Monster kah?"
Tidak, itu bukan monster!
Cahaya itu....
Mungkinkah......
"Caesar, Lord of Valerie, orang yang telah terpilih, kepadamulah diwariskan semua kekuatannya. Matahari lama terbenam, fajar baru akan menjadi tugasmu...... "
Cahaya itu perlahan membungkusku, hanya aku, dan samar suara bersahaja Lady Leknaat terdengar di telingaku.
Semua orang terpana saat cahaya itu perlahan meredup.
Aku menatap ke sekeliling.
"Ada apa..?"
Axel tampak ternganga melihat ke arahku.
Aku menatap kearah tubuhku.
Pakaian ini?
Aku menatap setelan biru yang aku kenakan, kutarik dua bilah belati yang terpatri di pinggangku.
Ini, pakaian Arsais.
Cahaya itu?
Aku menatap ke arah tangan kananku.
"True Earth Rune. Berarti aku Bishop berikutnya. Berarti Arsais..."
Aku tidak melanjutkan kata kataku, karena semua orang tampaknya sudah bisa memahami apa yang terjadi.
Keadaan yang tadinya penuh semangat dan keyakinan segera luntur, berubah menjadi murung dan sarat kesedihan.
"L...Lord Arsais..."
Axel bergetar, tampak sangat terpukul.
Aku hanya bisa membisu.
Aku membelai lembut rambut cokelatnya, membiarkannya menangis dalam pelukanku.
========END OF CHAPTER 1=======
=Distant Stars=
Song by: Konami
Your eyes look straight into my eyes
I would love to say a prayer
Following the beautiful dream
Looking up the stars
Far away from each other
How can I ever forget you
Let me take you to the place
Together we dreamed of
Together we dreamed in those days
I don't need my eyes to see you
Feel the warmth of you next to me
Now you have been gone you became a shooting star
Far away from each other
How can I ever forget you
Let me take you to the place
Together we dreamed of
Promise you I never look back
I know you'll always shine on me
Believing we will meet again...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro