Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 44: Rune's Sacrifice

Arsais's View

Jleb!
Aku melemparkan pisau lemparku tepat pada waktunya. Yue tampak kewalahan mencabut panah saat seekor leopard tiba tiba menerjang saat dia membungkuk.

Dia tampak terkejut, tapi kemudian menolehkan tubuhnya ke belakang. Panah dan busurnya masih tersimpan mantap di kedua tangannya, siap untuk ditembakkan.

"Alvin! Sudah datang ya!"
Yue tersenyum saat dia melihatku, kemudian segera menyarungkan anak panah yang barusaja diambilnya dan meletakkan busurnya di punggungnya.

"Yeah, maaf telat..."
Yue mengangguk sambil terus terseyum ke arahku. Aku beranjak ke arah Leopard yang masih terbaring di tanah. Suara rintihan pelan terdengar saat aku mencabut pisauku dari tubuhnya dan dengan segera sosoknyanya menghilang dari pandanganku.

"Ga! Kamu ga telat kok!"
Yue menyeka peluhnya, Ia berjalan mendatangiku, kemudian mendekapku lembut.

"Aku kangen...."
Aku sejenak terpaku. Kurasakan dadaku mulai berdegup dengan kencang.

Sial!

Padahal dia sudah sering melakukan hal ini, tapi entah kenapa setiap dia melakukannya rasanya dadaku selalu berdegup kencang! Aku kayaknya ga akan pernah terbiasa dengan hal ini!

Yue melepaskan pelukannya, kemudian tersenyum penuh arti ke arahku.

"Gugup karena melihatku?"
Dia memandangku tanpa berhenti menyungginkan senyuman yang terus membuat dadaku terasa begitu bersemangat berdetak. Kata katanya seakan tepat menembak ke dalam pertahananku.

Aku membuang wajahku, kemudian segera mengambil tempat duduk di batuan yang berada tak jauh dari kami.

Yue hanya meringis, kemudian mendekatiku dan menjulurkan sebelah tangannya.

"Ayo! Kita pergi ke kota terdekat, daripada harus disini! Berbahaya!"

Aku menggeleng pelan, kemudian menatap ke arahnya. Apa dia lupa, kalau tempat ini adalah tempat dimana aku pertama kali bertemu dengannya?

"Aku tahu, kamu ingin disini karena disini adalah tempat kita pertama bertemu kan, Alvin?"

Aku terkejut sejenak, kemudian menganggukkan kepalaku sambil menatap ke arah danau di kejauhan.

"Yeah, kita memang bertemu disini, tapi, bukan disini tepatnya, ya kan?"
Ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata kemudian kembali menjulurkan tangannya ke arahku.

"Ayo..!"

Aku mengamit tangannya, dan membiarkannya membawaku ke pinggiran danau yang tadi kupandangi dari kejauhan.

"Disinilah, kita pertama ketemu. Sudah cukup lama ya?"

Yue berjalan ke arah air sambil menengadahkan tangannya ke atas. Samar sinar yang menerobos ke dalam hutan menyentuh rambutnya yang berwarna keperakan, membuatnya seakan berkilau di dalam kegelapan hutan.

Aku memandanginya, menikmati setiap gerakan yang dilakukannya. Entah keberuntungan apa yang dulu datang padaku, sampai aku bisa bertemu dengannya.
Takdir?

Aku meringis pelan, menertawakan pikiranku sendiri yang begitu bodoh mempertanyakan pertanyaan yang mungkin bahkan tidak perlu dipikirkan sama sekali.

"Kemari!"
Aku berdiri, bagai disihir, aku berjalan perlahan ke arahnya. Saat ini aku bagaikan menatap pemandangan yang begitu indah. Pakaian putihnya berumbai panjang dengan aksen biru kehijauan terasa begitu sepadan dengan rambut perak panjangnya.

"Ayo dong! Kamu ga asyik sama sekali sih!"
Yue melemparkan seberkas air dari danau yang memercik membasahi pipiku. Aku menyekanya lembut, Yue terus mencoba memancingku untuk ikut bermain, tapi aku masih terus berjalan ke arahnya tanpa menghiraukannya sama sekali.

"Alv..."
Perkataannya terhenti saat aku memeluknya dari belakang. Dia tampak terkejut, tapi kemudian segera memegang kedua tanganku lembut dan mengusapnya.

"Aku juga kangen kamu..."
Dia terkekeh pelan, kemudian membalik tubuhnya, sehingga wajah kami berdekatan. Dia menatapku lekat.

"Priest dan Necromancer?"
Aku mengerutkan dahiku, mencoba memahami tapi gagal untuk mencerna pertanyaannya barusan.
Yue membimbingku ke tepian danau, kemudian mengajakku duduk di sebatang kayu di tepi danau.

"Kamu, Priest, yang biasanya terkenal dengan kesan sucinya sementara aku, Necromancer yang sudah jelas adalah penyihir dan penuh kegelapan. Kalau dilihat lihat kita kayak siang dan malam ya? Elemenmu light, elemenku Dark.... "

Aku terkekeh pelan. Tumben banget Yue mengucapkan kata kata bodoh seperti itu?

"Yeah, Siang dan Malam, ditakdirkan untuk saling melengkapi, ya kan?"
Aku mengeluarkan perkataan pertama yang berhasil aku susun di dalam kepalaku. Yue tersenyum lembut, kemudian dia menutup matanya dan membaringkan diri di batang kayu.

"Yeah, saling melengkapi, tapi juga ditakdirkan untuk tidak pernah bisa bertemu!"
Aku sejenak terperanjat, kehilangan kata kata yang akan aku katakan.

"Yeah..." jawabku getir.
Yue tertawa lepas, kemudian dia membelai pelan rambutku.

"Sudahlah, cuma perumpamaan! kenapa kamu pikirkan sih??"
Aku ikut membaringkan tubuhku di samping tubuhku.
Yue menghela nafas perlahan, kemudian segera membuka pembicaraan baru.

"Kau tahu, namamu mirip dengan seseorang yang sangat kuhormati! Orang yang membawa kedamaian bagi negara kami! Aku sangat ingin bertemu dengannya sampai sekarang, tapi kurasa aku tidak akan pernah bisa menemuinya. Kupikir pikir, namamu itu mirip salah satu given character di suikoworld, apa karena kamu suka dengan karakter "Arsais?"

Aku menatap ke arahnya, apa dia menyukaiku karena itu?
"Apa kamu menyukaiku karena namaku mirip dengannya?"
Tanyaku dengan polosnya, pertanyaan yang terlontar begitu saja, dan terlambat bagiku untuk menyesalinya. Yue hanya tersenyum lembut sambil menatap ke arah langit.

Slep.

Aku merasakan jari jari tangannya perlahan mengamit jari tanganku.

"Ahh...."

"Stt...!"
Panas terasa menjalar dari tangan kananku yang dipegangnya, saat ini jari jari kami bertautan dengan kuat, saat tubuh kami terbaring menatap ke langit yang samar samar meneroboskan cahayanya ke dalam rimbunnya tumbuhan di danau.

Aku merasakan wajahku mulai memanas, dan aku yakin pasti wajahku sudah merah sekarang!
"Kamu terlihat manis kalau wajahmu merah!"

Aku merasakan wajahku semakin memanas, Yue menegakkan tubuhnya dan melipat tangannya, menegakkan dirinya dalam posisi setengah duduk dengan tubuh ditopang siku, dan menatap lekat seakan mengawasi gerak gerik wajahku.

Sial!
Mukaku pasti sudah merah semerah udang rebus sekarang!
Aku menutup wajahku dengan sebelah tanganku, tapi Yue segera melepaskannya dari wajahku.

"Kenapa kamu tutupi? Aku suka melihatmu begini, melihat sisi lain dari dirimu yang selalu dingin..."
Nafasnya terasa semakin memberat. Aku menyadarinya karena sedaritadi nafasnya menyapu pelan pipiku, membuat pikiranku tersapu dalam kabut.

Dia menatapku lekat, aku merasakan sebelah tangannya yang lain mengamit kepalaku perlahan, mendorongku ke arah wajahnya.
Sial! Aku tidak bisa berkutik!
Aku menutup mataku, merasakan sentuhan basah dan hangat di bibirku. Aku merasakan pikiranku mulai samar, aku mulai tidak bisa menguasai diriku.

Sial!

"HRAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"
Aku dan Yue melompat berdiri dari posisi kami, kemudian menatap ke arah danau. Air danau yang tadinya tenang mendadak mencembung dan seakan meledak, menampilkan seekor naga raksasa yang meraung dan mengamuk tiba tiba.

"Oh damn!"
Yue mengumpat pelan, sementara wajahnya memandang ngeri ke arah danau, seekor naga besar berwarna hijau menatap garang ke arah kami.

"Leviathan? Di tempat seperti ini?"
Aku segera mencabut kedua belatiku, sementara Yue berlari menyusuri sisi danau sambil menembakkan panahnya ke arah Leviathan.
Monster itu tampaknya merasa terusik, dan segera mengalihkan pandangannya dariku.

"Jyo! Bahaya! Jangan!"
Terlambat.
Dengan sekali sabetan monster itu berhasil melambungkan Yue ke sisi danau. Tubuhnya menabrak batu dengan sangat kuat.

"SIAL!"
Aku menggeram marah dan segera berlari menyusuri danau. Monster itu membuka mulutnya dan berkas sinar segera terbentuk di sekitar mulutnya.

"SIAL! Jyo, lari!"
Yue tampak tak bergerak, Pingsan kah? Sial!

"Earth, Give me your Shelter! Canopy Defense!"
Tepat waktu, sebuah tameng tanah menyeruak muncul dan mengeras membentuk dinding batu padat tepat di depannya, dan menahan semburan dari Leviathan.

"Sial..."
AKu merasakan desiran dari tangan kananku, disambut perasaan perih dan hangat dari darah yang mengucur keluar. Tangan kananku terasa semakin banyak mengeluarkan darah segar karena Rune itu terus menggerogotiku, tapi aku tidak memperdulikannya.

"Earth, listen to your master, summon yourself and follow my order! Clay Guardian!"

"Aaarkh! "

Aku meraung untuk mengalihkan rasa sakit yang muncul sari segurat sobekan yang mendadak muncul dan memuntahkan darah segar dari tanganku.
Aku terus berusaha mencapai Yue yang berada di sisi lain danau, sementara beberapa boneka tanah yang ku munculkan dengan mudah ditebas oleh monster itu. Boneka itu terhambur, tapi kembali menyatu dan maju mencoba menahan monster itu dari menyerang Yue. Rasa sakit di dadaku sudah menjalar, aku merasakan dada kananku mulai bergurat perih, aku merasakan rasa basah yang hangat di pakaianku.

"STOP!"
Aku hanya beberapa langkah lagi di depan monster itu, tapi tampaknya boneka tanah yang kupanggil gagal menahannya karena saat ini dia sudah lebih dahulu mencapai Yue.
Monster itu meraung menang, dan mengayunkan telapak kakinya ke tubuh Yue.

"Doom from the center of the earth! Bring the sinner to your wrath! QUICKSAND!"
Tanah temoat monster itu berdiri meletup, dan berubah menjadi pasir berwarna keemasan yang seakan hidup dan naik membalut tubuh besarnya. Monster itu masih mencoba melepaskan diri saat pasir itu memadatkan dirinya membungkus dan mulai menyusut. Lenguhan kuat tampak masih jelas terdengar saat pasir itu memampat dengan kuat, menghancurkan isinya, kemudian menyeret sisa tubuh hancurnya ke dalam tanah.
Aku menoleh ke arah Yue.

Deg!

Dia ternyata sudah siuman dan menatap dengan takjub ke arahku, Yue melebarkan matanya, kemudian menunjuk ke arahku.

"Itu, Elemen Tanah? Rune apa yang sebenarnya ada di tangan kananmu?"

"Emhh..."
Rasa sakit yang luarbiasa terasa merobek dadaku, aku merasakan darah mengucur deras. Aku berusaha keras berjalan ke arahnya.

"ARSAIS!"
Yue berlari dengan histeris ke arahku. Aku tersenyum, kemudian terus berjalan ke arahnya.

Sebelah kakiku tampaknya sudah terlalu lemah untuk menopangku, aku terseok, kemudian terjatuh dari tumpuanku, dan dengan sukses menghantam tanah.

"Arsais! Heal! Heal! Grand Heal!"
Yue menopangku dengan tangannya.
Necromancer bisa pakai heal ya...?
Otakku tampaknya sudah menolak untuk mengaktifkan dirinya lagi, aku merasakan titik basah di wajahku.

Airmata?
Aku menutup mataku perlahan, tertidur dalam pelukannya. Luka lukaku terasa begitu sakit hingga membuatku mati rasa.

"ARSAIS! SANCTUARY! "
=======================================

Caesar's View

"Axel..."
Aku menatapnya perlahan, dia tampak sedang sibuk membereskan berbagai perlengkapan perang.

"Ya Sir Caesar?"
Aku tersenyum, dia membalas senyumanku dengan cengiran kecil.

"Lagi apa?"
Aku menanyakan pertanyaan yang tidak perlu aku tanyakan. Sekedar untuk berbasa basi.

"Lagi beres beres! Habis latihan perang dan mereka gamau membereskannya! Keterlaluan!"
Aku tertawa mendengar jawabannya. Axel! Padahal baru kemarin dia bilang untuk tidak mendekatinya, tapi sekarang semuanya seakan sudah kembali seperti biasa.

Aku mendudukan diriku pada sebuah kereta yang berisi pedang dan tameng yang berkilat. Aku memfokuskan pandanganku untuk menatap Axel yang tampak tergopoh gopoh mengangkat dan menumpuk puluhan baju besi kembali ke dalam kereta.

Axel memang menjadi orang yang paling sibuk karena siaga perang yang terjadi akhir akhir ini. Dia jadi hampir tiap hari tidak ada di kastil. Lama kelamaan aku jadi merindukan sosoknya di Kastil.

"Axel, AWAS!"
tumpukan baju besi terlihat bergoyang saat dia menumpukkan tumpukan lain di bawahnya, sesaat kemudian aku melihat beberapa tumpukan teratas berguling dan terjatuh tepat ke atas Axel.

"AXEL!"
Aku berlari ke arahnya dan dengan sigap mendekap dan menutupi kepalanya.
BRUAK!
Aku merasakan nyeri di sekujur tubuhku. Tampaknya baju baju besi tadi jatuh tepat di atasku.

"mmm...."
Aku merasakan sentuhan lembut di bibirku. Hangat dan lembut.
Aku membuka mataku perlahan.

AXEL!
Dia tepat berada di bawahku, dan bibirnya....
beradu tepat dengan bibirku!
Aku segera menegakkan tubuhku dan mengelap bibirku, sedangkan Axel tampaknya masih belum bisa menguasai dirinya. Dia hanya megap megap sambil memegangi bibirnya.

"Axel..."
Aku menatapnya tajam. Dia menatapku sejenak, tapi kemudian segera menundukkan kepalanya.

"Soal kemarin, maafkan aku..."
Dia masih menundukkan kepalanya perlahan, tanpa ada gerakan atau suara apapun.

"Aku cemburu dengan Arsais, maafkan aku..."
Aku menarik nafas panjang, mengumpulkan segenap kekuatan yang kupunya untuk membuka mulutku kembali.

"Kemarin aku hanya gamau kamu disakiti lagi, makanya aku memperingatkanmu..."
Aku menarik nafas kembali, kemudian memegang dagunya, dan menegakkannya ke arahku.

"Aku menyukaimu...."
Axel melebarkan matanya, tak sepatah katapun terucap walau dia berusaha mengucapkannya. Aku membelai rambutnya perlahan, kemudian mendekapnya di dalam pelukanku.

"Maaf, maukah kamu menerimaku, sekali lagi...?"
Baru kali ini aku merasakan perasaan takut sehebat ini. Dadaku terasa berdebar begitu kencang, begitu juga dengan dadanya. Aku terus mendekapnya, seperti dia terus memasrahkan dirinya di dalam dekapanku.

Aku takut

Aku takut dia menolakku.

Penolakanlah

Ketakutanku saat ini

"Aku suka Sir Caesar..."
Dia membuka mulutnya, mengucapkan sepatah kalimat yang terasa begitu manis di telingaku.
Dia menerimaku?

Aku segera berdiri, memegang kedua bahunya dengan kencang, dan sekali lagi mendekapnya sambil berdiri. Axel tampak kewalahan mempertahankan dirinya dari seranganku.
Aku tertawa lepas. Terlalu bahagia untuk mengontrol diriku. Aku meremasnya di dalam dekapanku.

"Auh!"
Aku melepaskan pelukanku, dan memegangi pundakku.

"Sir Caesar! Anda kenapa?"
Aku menggeleng pelan, kemudian memberikannya senyuman lembut.

"Hanya damage kecil karena kejatuhan tadi. Aku yakin Arsais bisa mengobatinya!"
Arsais! Oh iya! Bukannya dia berjanji akan sampai disini satu jam yang lalu?
Untunglah dia terlambat!
Aku tak sabar untuk memberitahunya berita yang mungkin bakal membuat jantungnya berhenti.

"Axel, Kamu lihat Bishop?"
Axel menggeleng bingung. Dia mengernyitkan keningnya dan mengangkat bahunya.
Ahh! Anak ini imut banget!
Aku mengacak acak rambutnya perlahan, dan mengirimkan surat Attention ke Arsais.
Compose message:

To : Arsais
#ATTENTION!!!#
Alvin! Dimana? Cepat kesini!

Aku menunggu.

Semenit.

Dua menit.

Aku menggaruk rambutku.
Kemana Arsais ya?
Aku kembali mengirim surat yang sama lima kali berturut turut, tapi tidak satupun dibalas oleh Arsais.

Hmm...
Ada apa dengan Arsais? Coba aku sms aja deh! Siapa tau udah off!

"Axel, aku off dulu, mungkin Arsais udah off!"

"Off sekarang?"

Axel menggembungkan pipinya dengan sebal, kemudian membuang mukanya.
Aduh, ngambek deh
>,<

"Aduh, jangan ngambek gitu, kirim aja email ke aku oke! Aku pasti balas! Oke? Dadah sayang~!"
Aku mencuri cium pipinya lembut.
Axel segera menoleh ke arahku sambil melotot. wajahnya terlihat memerah dan raut mukanya benar benar terkejut.

Aku hanya mengedipkan sebelah mataku, kemudian segera melakukan Log Out.

"SIR CAESAAARR!!!!!"
Itulah kata kata yang terakhir yang aku dengar dari mulutnya saat aku mematikan komputerku.
=======================================

Kevin's View

"Hmmm Hmm..."
Aku masih senyum senyum sendiri kalau mengingat kejadian 10 menit yang lalu. Axel! Astaga! Dia memang benar benar cowok termanis sedunia!
Aku meremas wajahku pelan, menghilangkan perasaan panas yang menjalari mukaku, kemudian mengecek HPku.

Aneh.

Tidak ada balasan dari Alvin.

Hmm...
Sebersit firasat buruk terlintas di benakku.
Aku langsung menggoncangkan kepalaku untuk menghilangkannya, kemudian segera mencari nomor Alvin di kontakku.
Aku segera memilih kontak Alvin, dan menekan tombol panggilan.

tuuut....
tuuut....
tuuut....
tidak ada jawaban...

Perasaanku semakin resah. Entah kenapa, tapi firasatku mengatakan aku harus segera pergi ke rumah Alvin.

Ada apa sebenarnya? Kemana dia?
Aku mengganti pakaianku, dan bergegas mengambil motorku.

"Maa! Kevin jalan!"

"Iya sayang jangan ngebut!"
Perkataan terakhir dari mama barusan tak aku indahkan. Aku segera menggeber motorku dan bergegas ke rumah Alvin.

***

Lagi lagi sepi.
Aku memboyong motorku masuk ke dalam pekarangan rumah Alvin. Tidak ada motor apapun kecuali motor Alvin yang terparkir tepat di bawah kanopi rumahnya.

Aku bergegas memarkirkan motorku disamping motor Alvin, dan masuk tanpa ingat mengucapkan permisi.
Rumahnya kosong, seperti biasa.
Aku melangkahkan kakiku dengan gontai menyusuri rumahnya menuju tangga marmer yang terletak di ruang keluarga.

Satu persatu aku menaiki tangga itu, sampai akhirnya pintu putih milik kamar Alvin sudah berada tak sampai tiga meter di depan mataku.
Aku bergegas berlari dan memegang knop pintu.

"Alvin..."
Aku memanggilnya perlahan.
Tok tok tok

"Alvin..."
tak ada jawaban?
Perasaan kuatirku semakin membesar. Akhirnya aku memberanikan diri membuka pintu kamarnya.

Kakiku terasa lemas saat aku melihat pemandangan yang sekarang berada di hadapanku.
"ALVIN!!!"
================================

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro