Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 2.6: Lust? Anger? Revenge!

Yue's View

Aku melirik ke arah para panglima perangku, kami duduk berjajar di sekeliling meja kayu yang terletak di belakang aula besar di Valerie.
Dari keadaan dan barang barang yang tertinggal, kurasa ruangan ini adalah ruangan strategi tentara Valerie.
Yeah, paling tidak berarti kami mempergunakan ruangan ini dengan tepat, ya kan

"Keith, Harmonia, hanya diam...?"
Aku melirikkan bola mata perakku ke arahnya, Keith mengangguk sambil menatap peta di bawah kami dengan serius.

"Tidak ada pergerakan, mereka semua hanya berdiam, hanya berkemah di sekitar benteng Gaia Wall di selatan kita, yang tampak masih rapat, selain itu tidak ada pergerakan berarti dari mereka.
Tidak ada tanda tanda akan memulai penyerangan juga."
Kanna menimpali pertanyaanku dengan serentetan penjelasan panjang.

"Bagaimana dengan pasukan kita? Vian?"
Seorang Priest berpakaian hitam dengan kumis hitam tipis menunduk dengan sopan kemudian menatap dengan mantap ke arahku.

"Pasukan kita dalam kondisi moral terbaik, Valerie memiliki banyak sarana dan berbagai penunjang yang mendukung keadaan pasukan, kupikir, tidak ada yang perlu di kuatirkan untuk pasukan kita. Selain itu, separuh dari pasukan kita juga sudah saya kirim untuk kembali ke Aronia, karena ada beberapa masalah di perbatasan kita dengan negara tetangga, tampaknya mereka memanfaatkan keadaan ini untuk menyerang perbatasan kita."
Aku mengangguk angguk, sejenak aku berpikir, kemudian aku kembali memutar pandanganku ke arah mereka.

Vian sejenak menimang nimang untuk berbicara, tapi akhirnya memutuskan untuk berbicara.

"Cardinal Yue, maaf saya harus menyatakan hal ini, tapi ada baiknya, kita melepaskan Valerie, dan kembali ke Aronia, lalu menyatakan perdamaian pada Harmonia, apalagi kita sudah mengalahkan Lord Arsais, perang ini sudah tidak ada tujuannya lagi...."

"Tidak.... Aku berubah pikiran.... Kita tidak akan menarik mundur atau berdamai.... Tujuan baru kita adalah: Menghabisi Harmonia.... Kita tidak akan mundur sebelum Harmonia menghilang dari peta.... "
Tegasku, membuat semua orang tampak terkejut dengan perubahanku yang selama ini selalu bersikap damai dan menghindar.

"Cardinal, aku bisa mengerti keinginan anda untuk merebut Harmonia, tapi seperti yang anda lihat, Harmonia berukuran enam kali lebih besar dari kita, begitu juga kekuatan militer massifnya, belum lagi benteng yang didesain sedemikian rupa, memerlukan jumlah pasukan besar untuk mempertahankan satu distrik saja, karena desain pentagonal mereka. Kita saat ini tidak meninggalkan kekuatan apapun di Valerie karena harus mempertahankan South Wall, dan perbatasan dengan dua distrik lainnya, kita hanya akan diinjak seperti lalat jika kita maju lebih dari ini..."

"Tidak, kataku.... Kita akan menghabisi Harmonia. Aku menginginkan Harmonia... Dan.... Untuk pasukan, kita tidak perlu kuatir, kupikir tidak akan lama lagi kita akan mendapat bala bantuan pasukan, dan mereka semua adalah veteran dan terlatih dalam seni berperang."
Semua orang memandangku dengan kebingungan, kecuali Keith dan Kanna

"Apa? Bagaimana bisa kita dapat bala bantuan? Jelas jelas selama ini semua negara aliansi kita tidak mau membantu kita, darimana anda bisa mendapat bala bantuan, Cardinal?"
Aku tersenyum, kemudian kembali menatap mereka.

"Serahkan urusan pasukan padaku, banyak yang harus kita lakukan, saat ini aku punya tugas rahasia untuk kalian yang ada disini, semuanya..."
Mereka mengernyitkan dahi mereka dengan bingung, beberapa saling berpandangan, kemudian akhirnya mereka memajukan sedikit kepala mereka ke arahku.

"Apa itu, Cardinal?"

"Kanna, mohon jelaskan ke mereka..."
Kanna mengangguk, dan berjalan ke arahku.
Aku berdiri dari kursiku, dan memberikan kursiku pada Kanna yang sedaritadi berdiri di belakangaku.

"Cardinal berpikir untuk mengganti sistem pemerintahan kita, dari Parlemen, menjadi Kerajaan, itu artinya, Semua kekuasaan akan ada di tangan Cardinal, dan tidak ada seorangpun yang mempengaruhi kekuasaannya, untuk mencegah perang seperti ini terjadi lagi. Tapi tentu saja parlemen yang ada akan mencegah hal ini apapun bayarannya.... Mereka adalah ahli politik dengan mulut dan kemampuan mengadu domba yang hebat, apabila hal ini terdengar ke telinga mereka, bisa jadi Cardinallah yang akan didepak dari Aronia... Jadi, tugas kalian adalah.."
Kanna tersenyum dingin, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling meja.

"Menghabisi semua anggota parlemen..."
Semua orang terkesikap, keterkejutan begitu nyata tercetak di wajah mereka.

"A..apa? Cardinal?"
Aku mengangguk.

"Sudah cukup para Parlemen korup itu mempengaruhi kita. Jujur saja, apa kalian selama ini merasa mereka berguna kecuali demi perut mereka sendiri...?"
Semua Panglima perangku berpandangan satu sama lain, kemudian mereka serempak menatap ke arahku, dan menggeleng secara hampir bersamaan.

"Bagus, kalau begitu semua orang setuju. Sore ini aku memanggil semua orang untuk rapat parlemen di Lorelei, pastikan kalian datang tepat waktu, dan lakukan tanpa ada kesalahan..."
Semua orang menelan liurnya sambil berpandangan, mereka sejenak ragu, tapi akhirnya mengangguk dengan mantap sambil tersenyum ke arahku.

"Bagus, kalau begitu kalian boleh bubar, oh ya, rapatnya akan dimulai pukul 4 waktu Suikoworld, jadi pastikan kalian terus memperhatikan waktu kalian..."
Semua orang mengangguk mengerti, kemudian satu persatu mulai meninggalkan ruangan kecil itu.
Aku hanya menghela nafasku, kemudian berdiri dan pergi meninggalkan ruangan itu.

"Ahh~!"
Aku menguap lebar, ruangan sempit dan gelap itu cukup memberikan tekanan padaku. Aku tidak bisa berpikir bagaimana ahli strategi Valerie bisa bertahan dalam keadaan seperti itu.

Aku keluar, menaiki tangga putar, sampai aula besar yang aku yakin menjadi tempat berkumpul semua orang di Valerie menyambutku.
Disinilah terakhir kali aku bertemu dengan Arsais.
Aku menggapai kantongku, mengeluarkan sebuah tiara hitam yang tampak bersinar redup.

"Indah..."
Aku memandanginya, sambil tanpa sadar membiarkan kakiku bergerak melintasi ruangan yang sekarang sudah mulai diperbaiki.

Istana indah ini, terletak di tengah padang tandus dan gersang, seakan akan sebuah oase di tengah padang pasir. Entah kenapa, keadaan di Istana ini sangat jauh berbeda dibanding alam di sekitarnya. Sangat makmur, dan penuh dengan toko toko, dan yang menjadi perhatianku adalah, banyak rumah, yang aku yakin sebelumnya dihuni oleh banyak pemain yang tinggal di Valerie, sangat berbeda dengan distrik lain, yang menjual tanah untuk tinggal dengan harga fantastis, membuat hanya orang orang kaya yang bisa memiliki rumah untuknya sendiri, sementara petualang biasa harus puas dengan penginapan dan alam terbuka....

Arsais memperjuangkan semua ini?
Dia pasti sangat dicintai oleh rakyatnya.
Tapi sekarang aku datang dan membawa kehancuran pada tempat ini. Istana yang tadinya aku yakin sangat megah dan indah sekarang tampak hancur dimana mana. Diluar bangunan istana, banyak rumah dan bangunan yang sudah ditinggalkan pemiliknya. Hanya beberapa NPC yang memang bertugas yang tetap ada di Valerie.
Aku yakin Arsais sudah mempersiapkan semua ini, dan mengungsikan semua orang karena takut hal buruk akan terjadi saat kami mencapai Valerie.

Aku berhenti sejenak, menyimpan tiara hitam itu di dalam saku bajuku, dan mendongak ke hadapanku.
Sebuah pintu kayu besar bercorak cokelat muda, dengan sebuah lambang besar terpatri di tengah tengahnya.
Dua buah lingkaran dengan beberapa sisi yang tampak membesar, dan mengecil.
Aku merasa pernah melihat lambang ini di suatu tempat.
Tapi dimana?
Aku yakin lambang ini pernah aku lihat beberapa kali.

"AH!"
Ini, lambang Harmonia ya?
Aku mengelus lambang itu, merasakan ukiran timbul itu di jemariku.
Ya, benar ini adalah lambang yang saat itu aku lihat berada di jam saku yang saat itu terjatuh di desa yang dibantai oleh pasukan Harmonia palsu.
Tapi, rasanya aku pernah melihatnya selain disana, tapi, dimana?
Aku menggaruk kepalaku, berusaha mengingat kembali tempat aku melihatnya.
Ah, sudahlah, mungkin aku melihatnya di bendera perang mereka!

Kudorong pintu kecokelatan itu perlahan.
Semenjak Valerie direbut, aku belum pernah menjelajahi Istana ini sama sekali.
Nampaknya tidak dikunci, pintu itu berderak perlahan, membuka dirinya untukku, memperlihatkan sebuah kamar yang tampaknya sangat lebar, dengan berbagai ornamen indah di sekelilingnya.
Aku yakin kamar ini dipakai oleh orang yang cukup penting.
Aku berjalan masuk, beberapa gulungan perkamen tampak tertumpuk di sebuah sisi ruangan, sementara sebuah sabuk dengan banyak belati kecil tergantung di sebuah rak berisi berbagai buku.

Sebuah meja menarik perhatianku, sebuah meja besar, dengan ukiran indah, dan sebuah kursi kayu dengan ukiran mewah.
Satu set pakaian berwarna biru dengan corak keperakan tampak terlipat rapi di meja itu, ditindih sebuah topi biru bundar besar. Ukiran yang nampaknya seperti kepala naga tampak terukir di ujung topi itu.

pakaian ini..

Pakaian Konselebran?

Kuangkat seluruh pakaian itu, sebuah buku kecil berada di bawah tumpukan pakaian itu.

'Arsais'

itulah tulisan dengan tinta yang mulai menguning jelas di sampul buku kulit berwarna kecokelatan itu.
Jadi kamar ini adalah kamar Arsais?
Kujatuhkan tubuhku ke atas kursi itu, dan perlahan kubuka buku kecokelatan itu.

Agenda?
Tulisan rapi dari tinta hitam tertulis jelas di atas setiap halamannya yang kekuningan.

Arsais tampaknya mencatat semua urusan kenegaraannya di sebuah buku ini.
Tampaknya dia benar benar orang yang sangat jeli dan teliti dalam bekerja.
Aku menutup buku itu, tapi, saat aku menutupnya, tak sengaja cover terakhir buku itu tidak ikut tertutup.
Sebuah tulisan, tampaknya agenda lain, tapi ditulis secara mundur, dan nampaknya lebih rahasia dari agenda yang berada di depan.

"Aku bertemu dengan seorang lelaki di danau hari ini, saat aku berjalan jalan untuk berlatih di hutan. Kukira dia perempuan, tapi, setelah aku berkenalan dengannya, aku baru menyadari kalau dia laki laki. Dadaku tadi berdebar keras saat melihatnya. Apa ada yang salah?"
Aku tertegun membaca tulisan itu. Sebuah bunga berwarna kuning yang banyak terdapat di pinggiran danau tempatku bertemun pertama dengan Arsais terjatuh dari dalam buku itu. Tampaknya bunga itu dijadikan bunga kering dan disimpan di dalam buku ini.
Aku membalik halaman buku itu.

"Aku terus memikirkannya, aku berharap aku bisa kembali bertemu dengannya, kenapa denganku?"
Sebuah bunga lain diletakkannya di halaman itu.
Aku membolak balik halaman demi halaman.
Arsais tampaknya mencatat semua hal, mulai dari pertemuan pertama kami hingga saat sebelum perang, dan dia menyelipkan sebuah bunga di setiap halaman ia bercerita tentangku.

Beberapa halaman terakhir nampaknya ditulis dengan sangat frustasi. Dia tampaknya benar benar stress saat aku menolak menemuinya di saat saat terakhir kami.
Aku menolak bertemu karena aku mengetahui dia Arsais, dan takut bila aku terus akan menyakiti perasaan kami, sehingga aku akhirnya memutuskan untuk pergi darinya secara diam diam.
Tapi tampaknya rencanaku malah membuat masalah jadi semakin parah.
Dadaku terasa mau pecah saat aku membaca betapa dia menungguku setiap waktu, berharap dia akan bertemu denganku.

"Hari ini pun tidak ada, aku menunggunya di Danau, entah sampai kapan aku harus menunggu, tapi aku akan terus menunggu, karena dia berjanji dia tidak akan meninggalkanku."

"Apa terjadi sesuatu padanya? Semoga saja tidak, hari ini pun aku sendirian di danau tempat kami bertemu..... "

"Hari ini pun aku tidak bertemu, sudah seminggu aku menunggu, entah apa yang terjadi, tapi aku yakin dia pasti akan datang ke danau."

"Aku akan terus menunggu."
Aku tertegun membaca halaman terakhir, hanya sebuah kalimat yang tertulis disana, dan halaman itu tampak lusuh dan bergelombang. Sebuah bunga berwarna putih diletakkan di halaman itu pun melekat ke halamannya. Tampaknya halaman ini sempat basah karena seuatu, tapi kemudian dibiarkan hingga kembali mengering tanpa tertutup selama beberapa lama.

Mungkin program game yang akhirnya menutup buku ini, untuk menyimpan data datanya tanpa terbuka agar performa gamenya tidak melambat karena dokumen yang dibiarkan terbuka.

Aku masih tertegun membaca halaman terakhir itu.
Tulisannya tampak bergelombang, dan tampak ditulis dengan susah payah. Beberapa bercak darah juga mewarnai halaman itu.
Tampaknya dia menulis di halaman terakhir ini dalam kodisi yang buruk, dan tetap memaksakan dirinya untuk menuliskan perasaannya di dalam buku.

Apa dia sudah tidak mampu lagi menyimpan perasaannya hingga dia memaksakan diri meluapkannya ke buku ini?
Aku mengambil pakaian biru itu, kemudian mendekapnya dengan lembut di tubuhku.
Kututup mataku.

Lembut, hangat, seperti Arsais.

Rasa hangat yang aku rasakan dari Arsais kembali samar aku ulangi di kepalaku saat aku mendekap pakaiannya di dadaku.
Letupan rasa yang sulit kujelaskan tampaknya terus memompa dadaku dengan keras, tanpa perduli dadaku yang mungkin sudah tidak lagi mampu menahan semuanya.

"Maaf, saya tidak sopan...."
Aku membuka mataku, tersenyum pada sosok wanita yang ada di hadapanku.

"Kanna..? Silahkan masuk..."
Kanna tersenyum lembut, kemudian berjalan memasuki sambil menyisir seluruh ruangan dengan sapuan matanya.

"Kamar Lord Arsais...?"
Aku mengangguk, meletakkan pakaian itu di atas meja.

"Yeah..."
Kanna tersenyum, dia menopangkan pipinya diatas tangan kirinya.

"Anak yang egois. Dia bilang tidak ingin terlibat perang, tapi malah jadi Kepala distrik disini."
Aku tertawa pelan mendengar kata katanya.

"Entah apa yang dipikirkannya, dia selalu sulit ditebak. Tapi pada dasarnya dia anak yang rapuh dan rendah hati..."
Dia terkekeh pelan.

"Dan akhirnya jadi seperti ini...."
Segurat kesedihan tampak jelas di wajahnya.

"Dia bilang 'Buku itu sudah aku buang sejak lama' Hahahaha! Bahkan dia tidak pernah perduli dengan apa yang kuajarkan padanya! Dia pada dasarnya memang berbakat, lebih brillian dari pada aku, hanya saja, mungkin dia terlalu sering membawa perasaannya..."
Kanna menghela nafasnya.

"Dia muridku yang paling baik, kurasa, tidak ada orang sebaik dia yang pernah kutemui, hanya saja, dia memang tidak bisa menyatakan apa yang dia rasakan di dalam hatinya, karena itulah dia sering di cap dingin dan kasar. Sebenarnya tidak seperti itu..."
Kanna ikut menjamah pakaian biru di tanganku, dan kemudian berajak kembali ke depan mejaku.

"Oh, yah, sudah waktunya, Cardinal, anda bertemu dengan Ahli taktik dan Komandan perang Bishop Arsais..."
Wanita itu kembali tersenyum, kemudian membukakan pintu untukku.

"Ayo, kita harus pergi sekarang, Lord Keith sudah menunggu anda untuk segera berangkat ke Gaia Wall. Saya yakin mereka sudah ada disana..."

"Oh, benar, kita tidak boleh membiarkan mereka menunggu..."
Kuangkat tubuhku dengan cepat dari kursi empuk itu, sebenarnya tubuhku dan pikiranku menolak untuk pergi dari kamar Arsais, hanya saja, aku punya tugas yang harus segera kuselesaikan.
Aku dan Kanna beriringan berjalan ke Teleportation Port, dan meminta untuk dipindahkan ke Gaia Wall, batas antara Valerie dengan Central Distric, untuk bertemu dengan utusan Harmonia.

"Cardinal! Syukurlah anda sudah datang! Bishop Arsais dan Lord Axel sudah menunggu anda di dalam kemah..."
Aku terkejut.

Arsais?
Aku dengan mata kepalaku melihat Arsais menghembuskan nafas terakhirnya di tanganku.
Mungkinkah?
Dengan segera aku berlari ke arah kemah, dan dengan panik aku menyibakkan kain yang menghalangi pandanganku.

"Arsais?!"
Tiga pasang mata menatapku.
Keith tampak berbicara berhadapan dengan dua laki laki, seorang berpakaian hijau dengan ornamen khas Arch Mage, dan seorang lagi dengan pakaian konselebran biru.
Mereka memandangku dengan pandangan bingung.

"Lord Arsais?"
Aku sedikit mengambil jarak, berhati hati karena tampaknya orang yang aku maksud bukanlah dia yang aku pikirkan.
Lelaki berpakaian biru itu tersenyum, kemudian berdiri dan menjabat tanganku.

"Lord Arsais, saya, tapi saya bukanlah Lord Arsais, saya sebelumnya adalah Caesar, ahli strategi Lord Arsais, tapi sekarang menjabat sebagai Earth Bishop menggantikan Bishop Arsais lama..."
Wajahnya tampak sedikit murung saat dia menjelaskan ke padaku, begitu juga dengan Penyihir muda yang datang dengannya.

"Oh, ya, saya tahu, baik, silahkan duduk..."
Semua yang tadinya berdiri kembali menempati kursi mereka, begitu juga dengan Arsais baru, yang sekarang mengambil kursinya di hadapanku.

Air muka yang berbeda.
Berbeda dengan Alvin yang selalu terlihat tenang dan teduh, Arsais yang baru tampak lebih enerjik dan aktif, raut mukanya juga tampak lebih tajam daripada Alvin.

"Cardinal, jadi ada apa anda mengundang kami secara diam diam kemari...?"
Penyihir muda itu berbicara dengan penuh keyakinan.

Aku yakin, anak ini adalah Komandan perang Arsais.
Sungguh muda.
Raut wajahnya terlihat penuh dengan semangat, dia memandang ke arahku dengan mantap.
Aku menghela nafasku.

"Baiklah, aku kemari, untuk membicarakan tentang perdamaian, bukan dengan Harmonia, tapi dengan kalian, dan semua Alliansi kalian..."
Arsais memandangku dengan tajam.

"Apa yang Cardinal inginkan?"
Dia terus memandangku dengan tajam. Aku membalas pandangannya dengan terkekeh pelan.

"Ya, aku menawarkan perdamaian dengan kalian, sekaligus tawaran untuk menghabisi Harmonia..."

"APA?!"
Penyihir muda itu berdiri dan melotot ke arahku.

"Axel, duduk, jaga kelakuanmu..."

"Maaf, Bishop..."
Arsais baru kembali menatapku dengan tatapan tajam.

"Kenapa kau mengajak kami untuk menghancurkan negara kami sendiri? Kamu tak takut kami akan berkhianat dan menghabisimu di medan perang?"
Dia bukan orang yang bodoh rupanya.
Arsais yang baru tampaknya jauh lebih terbuka dari Alvin.
Yah, berarti lebih mempermudahku.

"Kalian tahu apa yang terjadi? Semua perang ini? Mengapa Lord Arsais lama sampai harus menjadi korban? Karena kepala negara kalian sang Pontiff.... Aku yakin kalian sudah tahu tentang hal ini. Aku pun kehilangan orang yang kusayangi karena perang ini. Aku juga yakin kalian lebih loyal pada Arsais daripada dengan Pontiff, jadi, kenapa aku harus ragu menawarkan bantuan untuk membalas dendam?"
Arsais terdiam melihatku, dia sejenak berpikir, kemudian menatap ke arah Axel, yang juga menatapnya dengan kening berkerut.

"Apa kalian tertarik? Aku yakin keempat bishop yang lain juga akan tertarik, karena Arsais pasti lebih banyak pendukung daripada Pontiff, apa aku salah? Sebenarnya Arsais lama adalah pemimpin yang mendirikan Harmonia, tapi dia gugur di perang terakhir, dan KEBETULAN priest bernama Richard, berada disana dan mau tidak mau memenuhi permintaan Alvin sebelum dia tewas.... Dan sekarang dia dikenal sebagai Pontiff Harmonia. Kebetulan sekali... Medic unit berada di pusat perang, ya kan...? "
Arsais mengelus dagunya, dia tampak berpikit sangat keras.

"Kamu terlalu banyak tahu, seperti yang digosipkan, lidah aronua lebih tajam dari pedangnya.... Kau benar, cepat atau lambat, kudeta pasti pecah karena Arsais lama sudah membongkar kedok Pontiff sebelum dia tewas. Tapi bila harus aliansi dengan Aronia, negara yang secara langsung terlibat membunuh Arsais... Aku memiliki beberapa syarat..."

"Apa itu?"

"Pertama, aku ingin, kami berlima tetap memerintah distric Harmonia dengan bebas dan leluasa, tanpa campur tangan dari Aronia, karena kami memiliki tujuan, yang harus aku, dan Lord Arsais lama capai, impian kami..."
Arsais mengeratkan genggaman tangannya, tampak menahan sesuatu untuk keluar dari dalam dirinya.

"Yeah, aku setuju, kalian akan memerintah secara independent, tapi dibawah bendera Aronia."
Arsais mengangguk

"Itu bukan masalah. Kedua, Kami berlima akan membantumu dalam berperang, tapi kami tidak akan menerima perintahmu untuk berperang, kami akan membantu bila kami merasa harus."
Aku berpikir sejenak, permintaan yang berat, berperang tanpa kerjasama bukanlah hal bijaksana, tapi lebih baik daripada menjadi musuh....

"Baiklah, tapi izinkan aku juga melayangkan permohonan bantuan pada kalian bila aku merasa perlu."
Arsais mengangguk.

"Tidak masalah, Ketiga, aku ingin Circle Rune tetap berada di Great Shrine. Kami kelima Bishop akan menyegelnya di Great Shrine saat Pontiff terbunuh. Dan kami harap tidak ada yang akan menggunakannya selain Central Bishop yang kami pilih.... "
Aku mengangguk.

"Tidak masalah, Circle Rune bukan bagian dari Aronia, Aronia memiliki pusat di Beginning Rune di tanganku, dan aku tidak keberatan jika kami tidak memiliki Circle Rune..."
Aku membuka sarung tanganku, dan menunjukkan lambang Beginning Rune di tanganku.

Arsais mengangguk.

"Dan terakhir, aku ingin yang membunuh Arsais lama untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya..."
Aku tercekat saat mendengar permintaan terakhirnya.
Aku membuka suaraku dengan hati hati.

"Maaf, tapi, apa yang kalian inginkan...?"
Aku meremas tangan Keith perlahan, mencegahnya untuk membuka mulut ataupun mengambil tindakan.

"Kami ingin dia disingkirkan..."
Aku menggeleng.

"Tidak mungkin..."
Arsais mengerutkan keningnya, dia tampak sangat kecewa dengan jawabanku.

"Apa? Tapi kenapa?"
Aku menggeleng.

"Karena dia tidak mungkin dibunuh saat ini..."

"Tapi.. Kenapa?!"
Axel kembali menyentakku, dia tampak begitu kecewa dengan jawabanku.

"Karena akulah pelakunya..."
Mereka tersentak, tampak sangat terkejut.

"APA?!"
Arsais mendengus marah, dia segera berdiri, dan menatapku dengan mata berkilat.

"Munafik! Kau membunuh Arsais, dan sekarang kau mengajak kami untuk membalas dendam?! Permainan apa lagi ini?!"
Arsais mencercaku dengan sangat marah, lambang di tangan kanannya menyala dengan terang, dan lambang Earth Rune bersinar di atas kepalanya. Tanah tempatku berpijak mulai bergemeretak.

Gawat.

Valerie adalah tempat Earth Rune, dan itu berarti kekuatannya akan berlipat disini.

"Pembunuh, mengajak balas dendam? Heh?! Konyol!"
Arsais menghantamkan tangannya ke meja, dan membalik tubuhnya.

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan! Pembunuh!"
Dia meraung marah, kemudian dengan kasar menyibakkan pintu tenda, dan pergi diikuti dengan penyihir muda itu.

"Kamu, kamu membunuh Lord Arsais! Dia adalah orang yang benar benar kami hormati, tidak, dia adalah orang yang memberikan kami harapan, dan kau membunuhnya! Tak cukup kamu merebut rumah kami, bahkan kau membunuh Lord Arsais! Dan, andai kau tau apa yang terjadi dengannya saat ini, kau! Kau harus menyesal!"
Penyihir muda itu mencercaku dengan penuh kemarahan, bulir demi bulir airmata berjatuhan di matanya. Dia mendengus, kemudian mengikuti tuannya pergi.

"Apa aku harus menahan mereka, Cardinal?"
Aku mengangkat tanganku, menghalangi Keith pergi lebih jauh.

"Tidak perlu, tidak ada gunanya bicara dengan mereka saat mereka dalam keadaan seperti ini..."
Keith mengangguk, dan segera bergerak ke sampingku.

"Tampaknya mereka benar benar kehilangan Arsais..."
Aku mengangguk, membenarkan kalimat Keith.

Pikiranku sedang sibuk memikirkan perkataan penyihir muda itu.
Apa yang terjadi pada Alvin sekarang?
Apa yang terjadi pada Alvin?
Apa sesuatu terjadi?
Sial, aku tidak tahu apapun!

Aku menghantam meja kayu dengan marah, membuat Keith terkejut dengan kelakuanku.

Bagaimana aku bisa tahu keadaannya?

SIAL!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro