Chapter 2.28:Double Faced Joker
Alvin's View
"Pergilah..."
Ucapku datar, sambil menatap orang yang terus menatapku dengan pandangan sedih.
"Kamu ga dengar? Pergi..."
Ujarku lagi.
Dia hanya menatapku, wajahnya jelas tidak setuju dengan perkataanku.
"Alvin..."
Tampak dia berusaha meyakinkanku, tapi aku tidak mengubah raut wajahku sedikitpun.
"Aku cuma tidak rela kalau dia menyakitimu lagi..."
Aku menggeleng mendengar perkataannya.
"Aku tidak perduli, kamu sudah kelewatan. Lagipula apa pedulimu? Kamu bukan siapa siapa!"
Ujarku sedikit keras.
Beberapa orang tampak mulai memandangi kami, memperhatikan apa yang sedang terjadi.
Dia melebarkan matanya saat mendengar balasan terakhirku, akhirnya dia maju perlahan, dengan raut muka yang benar benar lesu.
"Benar, aku memang bukan siapa siapa untukmu, tapi..."
Dia maju, dan memelukku di tengah tengah keramaian.
"Kamu segalanya buatku..."
Bisiknya lagi, membuat perasaan panas meleleh di dadaku.
Rio melepaskan pelukannya, ia tersenyum lemah, kemudian berjalan pergi meninggalkan kami.
Aku menghela nafasku dengan berat.
"Alvin..."
Nafasku tercekat saat mendengar suara itu.
Christ.
Dia yang sedaritadi hanya menatapku dan Rio akhirnya membuka mulutnya.
Sedaritadi dia berdiri di belakangku, diapit Kevin dan Kenny.
Aku memang membatasinya dari Rio, kuatir kalau kalau Rio mendadak menyerangnya lagi.
Kami barusaja menghabiskan setengah jam untuk menahan Rio agar tidak menghajar Christ terus menerus.
Entah setan apa yang merasukinya.
Dia terus meronta, bahkan membuat tubuhku melayang layang di udara sambil terus memeganginya.
Setelah beberapa menit yang melelahkan akhirnya dia menyerah, dan petugas keamanan akhirnya meminta kami untuk membubarkan diri sambil membantu Christ berdiri.
Dia memegangi kedua bahuku.
Setelah melihat kedua orang yang membuat kepalaku hanya jadi setinggi bahu mereka, aku jadi merasa kalau pertumbuhanku benar benar terhambat.
Aku masih bisa melihat goresan goresan kecil di tangannya akibat tergores pinggiran pot yang cukup kasar untuk memuat luka lecet.
Beberapa bilur kebiruan bekas terbentur dan bekas pukulan juga terlihat jelas di wajahnya, sementara kemejanya tampak kotor, sebuah kancingnya tampak terlepas dari tempatnya.
Christ menarik nafas dalam, menutup matanya, dan kembali membukanya setelah ia menghembuskan seluruh nafasnya keluar.
"Aku, seperti yang kau dengar.... Aku adalah Richard..."
Ujarnya lagi, raut mukanya tampak benar benar masam. Entah itu ketakutan, atau itu kekuatiran yang aku baca, tampaknya sama saja bagiku.
"Ya, aku sudah mendengarnya..."
Ucapku datar, walaupun perasaanku jelas tak menentu sekarang.
Orang yang mendapatkan segala emosi dariku. Amarah, Cinta, Dendam, Kebencian, semua kutuangkan pada satu orang yang sekarang berdiri di hadapanku.
"Benar, aku yang mengatur semua peperangan ini, aku mengatur semuanya untuk menyingkirkanmu, aku memang berniat menghancurkanmu, sehancur mungkin."
Dia menarik nafasnya.
"Tapi itu dulu, setelah aku bertemu denganmu di rumah sakit, aku tidak tahu kalau itu adalah kau, Alvin..."
Wajahnya semakin terlihat lemas, dia berusaha keras melanjutkan kata katanya.
"Aku memang mendekatimu, tapi tidak untuk memanfaatkanmu.. Kupikir... Kupikir..."
Dia mengalihkan pandangannya ke lantai, membuang nafas, kemudian kembali menatapku.
"Kamu membuatku jatuh cinta..."
Ujarnya, sembari mengecup bibirku dengan cepat, dan memelukku.
Aku merasakan sekelilingku berbisik bisik, tapi otakku sudah membeku untuk memerintahkan mataku menoleh ke sekeliling.
Cukup lama ia memelukku, kemudian melepaskannya, dan menatap wajahku dengan lembut.
"Masih ada yang harus kita selesaikan, benar?"
Ujarnya sambil kembali tersenyum, dan pergi meninggalkan kami.
Kepalaku rasanya mau pecah.
Aku bahkan masih belum bisa memahami apa yang sedang terjadi saat ini.
Kepalaku seakan terlalu penuh dengan berbagai masalah yang barusaja terjadi.
Christ adalah Lord Marty
Dia mendekatiku
Karena dia menyukaiku
Dan Rio mengamuk karena dia mau melindungiku
Bahkan mengorbankan sahabat baiknya sendiri
Walaupun aku berusaha membuatnya menjauh dariku.
Bukan karena aku membencinya, tapi karena aku-
"Alvin, Kamu ga kenapa kenapa?"
Suara manis Kenny membuatku terkejut dan membawaku kembali pada kesadaranku.
Aku menoleh, mencoba terlihat sewajar mungkin.
"Iya, aku ga kenapa kenapa, thanks ya Kenny..."
Ujarku tersenyum manis, tapi Kevin dan Kenny malah saling bertatapan dengan wajah kuatir.
"Kalau Alvin sedih, bisa ngomong ke kami kok, lagipula, ini ada salahku juga..."
Ujar Kenny sambil menundukkan kepalanya.
"Gara gara Rio dengar aku bilang Christ adalah Lord Marty, semuanya jadi begini sekarang, aku minta maaf..."
Ujar Kenny sambil menepuk bahuku dengan takut.
Aku tersenyum, menatap ke arahnya.
"Udah, ga masalah, kalau ga begini, aku ga bakal tahu semuanya kan, kalau ga begini, mungkin aku bakal lebih sakit lagi saat tahu semuanya, ya kan?"
Ujarku sambil tersenyum, walaupun sebenarnya separuh hatiku berharap agar semuanya tidak terjadi, agar aku dapat terus hidup tanpa mengetahui apapun.
Tunggu.
Aku berharap semuanya tidak terjadi.
Apa agar aku tidak memiliki alasan untuk membenci Christ?
Apa hatiku kembali terbuka untuknya?
"Alvin...?"
Kenny memandangku dengan wajah kuatirnya, padahal jelas aku sudah memasang senyuman terbaikku di hadapannya.
"Kamu paling buruk soal menyembunyikan kesedihanmu..."
Ujar Kevin sambil berjalan mendekatiku.
"Alvin ga pernah tersenyum..."
Ujarnya menyadarkanku kalau selama ini aku terus berwajah ketus bila perasaanku sedang baik.
"Dan yang pasti, tidak ada orang yang tersenyum dengan airmata.."
Tambahnya lagi. ia mengulurkan tangannya, menyeka butiran hangat yang menggantung di pinggiran mataku.
Aku tertegun.
Sejenak aku terdiam, merasa kalah dari mereka.
Terkadang aku iri,
Mengapa aku tidak bisa memiliki kisah cinta yang wajar seperti mereka. Kenapa semua yang kudekati harus berakhir dengan masalah seruwet ini?
Aku tersenyum lagi, menyeka buliran airmataku.
"Aku harus menyiapkan pasukan sekarang..."
Ujarku pada mereka, kemudian membalik tubuhku, berjalan melewati mereka kearah Lobby, tanpa peduli ratusan pasang mata yang masih memperhatikan kami karena kejadian barusan.
Disana aku menaiki sebuah taxi yang tampak stand by di sekitar lobby mall.
"Veteran, 31..."
Ujarku kemudian menutup kedua wajahku dan membanting diriku ke arah kursi.
Sesekali sopir itu tampak memperhatikanku dari kaca depan mobil, tapi tidak berani menanyakan apapun ke padaku.
Aku hanya menutup mataku, meremas dahiku untuk menghilangkan beban yang sedaritadi bagaikan menindih kepalaku.
================================
Rex's View
"Selamat malam, Lord Rex, malam sekali anda Online?"
Aku hanya mengangguk membalas tegurannya. Wanita berambut ikal kecokelatan di depanku tersenyum.
"Lady Anabelle? Apa yang anda lakukan malam begini?"
Dia melepaskan bandana biru dari kepalanya, jaket jins biru yang membuatnya tampak seperti anak gank motor berkibar di terpa udara malam.
"Tidak ada keperluan khusus, aku suka berada di dunia game pada malam hari. Anda sendiri?"
Aku cuma menggeleng sambil menutup mataku.
"Ah, baguslah, anda mau menemani saya menghabiskan malam ini dengan minum minum di bar?"
Anabelle tertawa lebar sambil merangkulkan lengannya yang cukup terpahat untuk seorang wanita di bahuku.
Dengan sopan aku melepaskan rangkulannya dan menggeleng.
"Aku mau jalan jalan..."
Ujarku lagi, sambil berjalan melewatinya, menembus lorong lorong gelap dengan penerangan cahaya bulan yang dipantulkan oleh beberapa cermin di dalam lorong, menciptakan penerangan yang indah dengan sinar bulan.
Sebuah taman kecil dengan sebuah danau menyambutku saat aku melewati pintu belakang istana Rupanda.
Seekor kuda putih berjalan santai di hadapanku, dan minum dari air di kolam tersebut.
Aku hanya mengelus kuda itu perlahan, kemudian berjalan ke bawah salah satu pohon, dan duduk bersandar di batang kokohnya.
"Lord Rex? Malam sekali?"
Lagi lagi aku harus mengayunkan kepalaku dengan malas, menatap orang yang barusaja menegurku.
"Keith?"
Aku mengernyitkan dahiku.
Dia tampaknya mengerti, dan segera duduk di sampingku.
"Aku harus mempersiapkan semua tentara dan peralatan mereka sebelum peperangan. Rover dan Clive juga ada disini, membantuku, banyak hal yang harus kami siapkan..."
Ujarnya seraya menunjuk ke belakangnya dengan jempolnya.
Sebuah tumpukan yang terdiri dari tenda, makanan dan berbagai peralatan perang tertumpuk di sana.
"Pada Duck Clan juga, mereka membawa Artilery, beberapa Missile Launcher dan Trebuchet, jadi aku juga harus menyiapkan beberapa Wagoon tambahan untuk mereka."
Aku mengernyitkan dahiku mendengar perkataannya.
Artilery? Missile Launcher? Trebuchet?
Keith tampaknya lagi lagi membaca kebingunganku.
"Mereka memang memiliki spesialisasi di bidang senjata, dan mereka juga punya teknologi yang sedikit lebih maju daripada bangsa lain, makanya mereka bisa memiliki banyak senjata yang menarik."
Sedikit?
Apa definisi sedikit sudah berubah sekarang?
Mereka menggunakan beragam senjata api level angkatan bersenjata, sementara kami disini masih berperang dengan panah?
Astaga.
"Ada apa anda online di malam selarut ini, Lord Rex?"
Keith ikut menyandarkan tubuhnya di batang pohon, sambil menatapku santai.
Kedua matanya yang berwarna keemasan, sewarna dengan warna rambutnya menatapku dari kelopak matanya yang tajam.
Sesekali kalung salib keemasan di perutnya berguncang saat dia menarik nafas.
Aku hanya menggeleng, kemudian menyandarkan tubuhku dibatang kayu keras.
"Apa tentang masalahmu dan Cardinal Yue, Alvin...?"
DEG!
Aku segera menatapnya tajam, dia tampak salah tingkah karenanya.
"Maafkan saya..."
Ujarnya cepat sambil menunduk melihatku.
"Darimana kamu tahu?!"
Ujarku tajam.
"Cukup lama. Semenjak terbunuhnya Arsais lama, yaitu kamu, Cardinal jadi sering murung."
Keith memulai bercerita, sambil sesekali melirik ke arahku.
"Awalnya aku membiarkannya, tapi karena Lady Kanna memintaku, akhirnya aku memberanikan diri berbicara padanya."
"Dan?"
Tanyaku tidak sabar.
"Dia bercerita banyak tentangmu, Lord Rex. Dia bercerita semuanya, dia bahkan mengingat dengan jelas semua kejadian saat dia bersamamu, dia bercerita panjang lebar padaku, dengan bersemangat..."
".... walaupun setelah selesai bercerita dia jadi lebih murung dari biasanya..."
Ceritanya.
Aku tertegun mendengar ceritanya.
Aku tidak bisa membayangkan keadaan Rio saat dia terus menyalahkan dirinya karena telah membunuhku.
Dia pasti tak memaafkan dirinya karena kejadian itu.
Keith menatapku sekarang, terseyum manis padaku dari mata emasnya.
"Dia selalu menyalahkan dirinya untuk semua yang terjadi, dia juga selalu menyesali kenapa ia tak mampu menahanmu di Valerie waktu itu."
Keith menyibakkan rambut panjangnya yang berantakan karena tertiup angin.
"Maaf, rambut panjang ini cukup mengganggu..."
Ujarnya sambil tersenyum.
"Yang selalu dikatakannya di akhir ceritanya adalah..."
Keith mengingat ingat cukup lama
"Aku tidak pernah, tidak akan pernah berniat menyakitinya."
Keith menggaruk rambutnya.
"Kurang lebih seperti itu, aku tidak mengerti apa artinya, tapi sepertinya lumayan dalam, eh?"
Dia melirik ke arahku dengan tatapan bertanya tanya, sedangkan aku hanya menatap datar ke arahnya.
"Jadi, apa kalian berkelahi?"
Dia mengulang pertanyaan pertamanya.
Aku kembali melotot menatapnya.
Dia hanya tertawa.
"Astaga, ga perlu sampai marah seperti itu padaku! tak di jawab pun sebenarnya tidak masalah..."
Dia tertawa sambil mendorong pelan bahuku.
"Waktu aku pertama kali sampai disini kemarin, dia dengan bersemangat bercerita kalau Rex adalah Alvin, dan dia juga bercerita kalau dia menemukanmu di dunia nyata. Kamu tahu ekspresinya waktu itu? Dia tampak seperti anak kecil yang kegirangan karena diberi hadiah orangtuanya..."
Keith melanjutkan ceritanya dengan ekspresi lucu.
"Dia tampaknya benar benar senang karena dia berhasil mendekatimu. Dia juga bercerita dengan yakin, walalupun kamu sekarang menutup diri padanya, tapi dia yakin dia bisa kembali membuatmu mencintainya. Orang yang keras kepala ya?"
Lanjutnya sambil terkekeh.
"Dia juga bercerita tentang Marty, dia menceritakan semua tentang Lord Marty, Yue mencari tahu ke semua orang, menyelidiki apa yang terjadi antara kau dan Lord Marty, dan kau tahu? Semua itu membuatnya benar benar marah. Dia bersumpah akan menghabisi Lord Marty dan membuatnya membayar atas semua yang sudah dilakukannya."
Keith membuat ekspresi bergidig sambil melihat ke arahku.
Sekarang dia seakan bercerita pada seorang anak TK daripada berbicara pada Jendral perangnya.
"Yahh...."
Akhirnya Keith berdiri dan menepuk pundakku.
"Dia benar benar mencintaimu, jadi, jangan kecewakan dia..."
Ujarnya sambil terkekeh.
"Hai! Alvin! Kamu ada disini!"
Clive dan Rover datang dari kejauhan, tampaknya mereka sudah selesai dengan tugas mereka.
Rover melambaikan tangannya ke arahku, sembari merangkul pundak Clive dangan santai.
"Ah, mereka tampaknya sudah selesai. Oh, ya, ada yang harus kami ceritakan..."
Ujar Keith, mendadak raut wajahnya berubah menjadi lebih serius dari saat dia datang tadi.
Clive dan Rover yang datang berpandangan, kemudian saling melihat dengan Keith.
"Kamu sudah beritahu Rex..?"
Ujar Clive dengan tajam.
Keith hanya menggeleng, ia tersenyum lemah pada Rover.
Ada apa lagi ini?
Apa ada yang akan terjadi lagi?
"Ah, Lord Rex..."
Ujar Keith, kembali pada gaya bicara formalnya.
"Ada yang harus kami bicarakan..."
Mereka bertiga duduk bersila di depanku, wajah mereka jelas tampak begitu serius.
"Bisakah, kau mempercepat peperangan ini...?"
Rover dan Clive yang ada di belakangnya mengangguk bersamaan, mereka menatapku dengan wajah penuh harap.
"Aku kuatir, kalau ditunda lebih lama lagi..."
Keith menarik nafasnya.
"Aku tidak akan bisa menemanimu sampai perang ini selesai."
Aku mengernyitkan dahiku mendengar penjelasan mereka.
"Apa? Kenapa?"
Tanyaku, mereka hanya menggeleng.
"Karena aku punya waktu yang terbatas, menurut perjanjian kami, dan kami kuatir sebentar lagi waktu itu habis..."
Aku menelisik ke wajah mereka, berusaha mencari kebohongan yang tersirat, tapi tidak kutemukan seguratpun raut bercanda di wajah mereka.
"Bagaimana bisa? Perjanjian apa? Aku tidak tahu! Jelaskan padaku!"
Baru Keith akan membuka mulutnya, saat tiba tiba suara lonceng bertalu talu mengagetkanku dan mereka semua.
"Apa?! Serangan?! Di tengah malam ini?"
Clive tampak tak percaya dengan yang didengarnya.
Beberapa pasukan yang ada di markas bergegas keluar, para Wizard segera melontarkan sihir api mereka ke langit, membuat bola api raksasa yang menerangi kegelapan malam.
"Ada apa ini?"
Rover tampak masih belum bisa menguasai keadaan.
Aku dengan cepat menarik sabitku, dan memunculkan lambang Soul Eater di udara, menunjukkan keberadaanku pada semua pasukanku.
"BERKUMPUL DISINI!"
Semua orang yang tadi tampak kebingungan tanpa pasukan segera bernapas lega dan mereka segera berkumpul di hadapanku. Sebuah lingkaran dengan cahaya seperti matahari muncul di belakangku setelah beberapa Wizard merapalkan mantra mereka.
Serangan malam hari? Ini akan sangat merugikan bagi kedua pihak, kenapa Marty menyerang selarut ini?
Apa dia dendam karena kejadian tadi?
SIAL!
Ternyata dia benar benar picik!
Seberkas bulatan cahaya datang, dan Windy muncul di sisiku.
"Leknaat dan Water Bishop sudah memulai peperangan, mereka memohon bantuan, pasukan besar menyerang perbatasan kita, tampaknya separuh dari Harmonia datang kemari saat ini..."
Aku meremas kepalaku.
Sebanyak itu menyerang malam ini?
Jadi mereka sudah merencanakan semua ini?
Apa tadi Christ datang ke tempatku untuk menjauhkanku dari pasukanku? Apa dia sengaja membawaku ke Mall agar mereka bisa menyerang tanpa sepengetahuanku?
SIAL
Padahal aku sudah mulai percaya padanya.
Segurat kekecewaan kembali menyobek dadaku.
"Sisa bishop tidak bisa dihubungi, Lord Axel pun tidak bisa dihubungi entah kenapa. Para kepala negara yang lain tidak ada yang online..."
Clive dengan panik berusaha memberitahuku, raut wajahnya tampak begitu tegang, walaupun entah kenapa aku melihat ada seringai senang di wajahnya.
Aku tersenyum masam.
Jelas, saat ini Kevin dan Kenny pasti sedang berada di Mall, dan mungkin mereka tidak akan membuka HP nya sampai mereka selesai pacaran.
Sungguh keberuntungan yang hebat.
"Bagaimana ini?"
Seru seorang Captain pasukan dari dalam pasukan kami.
"Kalau kita hanya bertempur dengan pasukan seadanya seperti ini kita pasti kalah!"
"SIAPA BILANG?"
Kami semua menoleh, Lady Anabelle, tampak berdiri dengan Cyrdan, berjalan perlahan menuju kami.
Dibelakangnya, beberapa dari pasukan Jowston dan para Sindarin sudah berbaris rapi.
"Kami ada disini, siap berperang!"
Anabelle menunjuk ke dadanya dengan yakin, sembari mengembangkan senyumannya. Wajahnya terlihat sangat berani. Jujur saja, raut wajah dan dandanannya mengingatkanku pada preman preman wanita gank motor yang sering aku lihat di teve.
Dia menarik sebuah pistol dari tangannya, semakin mempertegas kesan preman di dirinya.
Semua orang bernafas lega melihat mereka.
kecuali aku, Windy dan Keith.
Kami tahu, bahwa jumlah pasukan kami sekarang pasti tidak akan mampu menandingi mereka.
"We're Doomed...."
Bisik Keith dengan pahit.
Aku hanya menggeleng, campuran rasa khawatir dan bingung mengelilingi hatiku, tapi aku harus berpura pura tenang, karena aku tidak mungkin menghancurkan mental pasukanku. Kami sudah jelas kalah jumlah, apalagi kalau kami harus bertempur dengan perasaan takut.
Jelas kami akan menjadi sasaran empuk serangan mereka.
"Kabari semua orang, kita akan tahan mereka. tapi, jangan berharap banyak, berusahalah seakan hanya kita yang berperang, karena kita tidak akan tahu, apa mereka akan datang membantu atau tidak!"
Aku mengangkat sabitku, dan memimpin pasukanku menembus kegelapan malam menuju North Wall.
Samar dari jauh aku mendengar teriakan nyaring dari arah North Wall. Percikan percikan api pun menerangi dinding North Wall yang keperakan.
Apa itu?
"Pasukan Harmonia dipimpin oleh Sir Joshua dan Yuber, mereka membawa Dragon Rider menyerang North Wall..."
Ujar Windy seakan dia barusaja berbagi pikiran denganku.
Jadi yang barusan kulihat adalah naga?
Joshua pemegang Dragon Rune? Captain dari Dragon Knight?
Bagus
Itu menambah daftar panjang alasan kami untuk dibantai malam ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro