Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2.16: Death King

Alvin's View

"Sinyo, ada yang nyarii..."
Sayup kudengar teriakan si Bibik dari lantai bawah.

Temanku? Apa dia sudah datang?
kulirik jam yang tergantung di dinding di atas komputerku.

Pukul 4 sore?

Cepat sekali?

Bukannya ini masih jam kerjanya?
Aku berdiri, dan mengganti bajuku dengan sweater panjang berwarna cokelat, kemudian dengan malas aku berjalan menuruni tangga putar rumahku.

"Sinyo, itu temannya nunggu diluar..."
Wanita paruh baya itu menoleh sebentar padaku sambil terus menggerakkan tangannya mengepel lantai ruang makan yang berada tepat di depan tangga.

"Oke..."
Aku berjalan menuju ruang keluarga, kemudian mendongakkan kepalaku untuk mencari tamuku.

"Ah, Alvin! Syukur deh kamu ada dirumah! Kupikir kalau kesorean nanti bakal ga enak sama keluargamu."

"Dokter Rio?"
Rio mengangguk sambil menyapukan tangannya di udara.

"Ah, Rio aja, jangan dokter, rasanya aku jadi tua banget! Aku baru umur 21!"

Pria muda itu tersenyum, kemudian ia membuka jaketnya.

"Kamu lagi sibuk?"
Aku melirik ke arah jam tanganku.
Masih ada 2 jam sebelum dia datang.

"Tidak, memangnya kenapa?"
Dengan kikuk ia menggaruk rambutnya, sambil membuka tutup mulutnya, tampak bingung dengan yang akan dikatakannya.

"Kenapa?"
Aku menatapnya dengan bingung, tapi tampaknya itu justru membuatnya semakin salah tingkah.

"Enggak, aku pulang cepat, jadi, aku main kesini, sekalian ngeliat keadaanmu, umm, ngganggu gak?"

"Enggak kok..."
Sikap dinginku tampaknya justru semakin membuatnya salah tingkah, dia berkali kali menelan ludahnya, sambil melirik kekiri dan ke kanan, tampak jelas dia sedang berusaha memikirkan sesuatu.

"Ah, Si Sinyo gimana, temannya kok ga disuruh masuk. Ayo masuk dulu, apa mau Bibi buatkan minuman?"
Bik Inah mendadak muncul disampingku, dan memasang senyuman ke arah kami.
Benar juga, tampaknya dia daritadi menungguku menyuruhnya masuk ya?
Ada ada saja, habis, dia ga bilang sih.

"Iya bik, tolong di bawa ke kamarku aja. Ayo, ke kamarku..."
Aku mengangguk ke arahnya, sembari melambaikan tangan mengajaknya naik ke kamarku.

"Gimana keadaan lukamu, Vin...?"
Rio mendudukan tubuhnya dengan kikuk di atas kursi belajarku, dan membaliknya agar berhadapan denganku.

"Baik, sudah lumayan baik..."

"Arvin dimana?"

"Dia udah balik tadi pagi..."

"Ohh..."

"..........."

"Kok rumahmu sepi?"

"Masi pada pergi..."

"Oh..."

"............."
Rio menggaruk rambutnya, dia dengan panik mencari cari ke sudut ruangan.

"Kamu nyari apa? Bahan obrolan ga ada di jendela..."
Rio segera meringis malu karena sadar dia sedang kebingungan mencari bahan obrolan.

"Ga perlu ngobrol kok, kamu datang aku udah senang. Kenapa ga dari kemarin datang?"
Senyuman senang segera muncul dari bibirnya, dia tersenyum, dan akhirnya memberanikan diri duduk di kasur bersamaku.

"Iya, soalnya mau datang kesini kan ga enak, lagipula kan ga kenal, masa main datang aja..."
Aku mengangguk, Rio sejenak berpikir, kemudian segera menjentikkan jarinya.

"Oh, iya!"
Dia mengeluarkan dua bungkus snack yang tidak asing lagi, dan memberikannya padaku.

"Kamu suka kan? Nih! Hehehehe..."
Aku menerimanya, kemudian membuka sebuah bungkusnya.

"Hmm, apa aku ngganggu kalau aku datang kemari...?"
kugigit sedikit ujung snack yang ada ditanganku, kemudian menggeleng padanya.

"Ga, aku senang kok..."
Rio tersenyum senang.

"Kenapa kamu senang?"

"Entahlah, cuma senang aja..."

"Boleh aku duduk disampingmu..?"
Aku mengangguk, kugeser sedikit tubuhku, memberikan sedikit celah yang segera diduduki olehnya.

"Hmm, Alvin, boleh nanya sesuatu...?"
Rio melirik kearahku sambil ikut menyandarkan punggungnya di dinding kasur.

"Yeah..."

"Apa kamu pernah suka sama seseorang?"
Dia menatapku lekat.

"Yeah, pernah..."

"Oh ya? Siapa dia?"

"Musuhku..."
Rio tampak menggigit bibir bawahnya.

"Dan sekarang, dimana dia...?"
Kuangkat kedua bahuku sambil menatap ke arah komputer di hadapanku.

"Entahlah, aku memilih untuk tidak memikirkannya..."

"Mengapa...?"

"Lebih baik..."

"Kenapa lebih baik...?"

"Entahlah..."
Rio menggaruk kepalanya.

"Apa kau membencinya?"

"Tidak, aku tidak membencinya, tapi tetap saja, dia hanya memanfaatkanku. Semakin aku mencoba membencinya, semakin besar rasa sayangku padanya..."

"Bagaimana kalau dia tidak memanfaatkanmu...?"

"Aku tidak tahu, tapi itulah yang terjadi..."

"Bagaimana kalau kamu salah sangka...?"
Aku mengernyitkan dahiku.

"Apa maksudmu...?"
Rio hanya tersenyum miris.

"Gregorio Giovanny, namaku, Rio adalah panggilanku di sekolah, tapi di rumah aku lebih sering dipanggil..."
Dia menarik nafasnya.

"Jyo... Alvin, ini aku..."

"A..Apa maksudmu, Dokter Rio, aku ga mengerti..."

"Yeah, Alvin, ini aku, Jyo."
Lelaki dihadapanku yang mendadak identitasnya menjadi abu abu bagiku hanya tersenyum kembali.

"Akhirnya aku menemukanmu. Aku merindukanmu..."
Aku masih mematung mendengar perkataannya, kemudian dia bergerak maju, dan mendekapku dengan kedua lengannya.

"Lepaskan..."
Aku mendorong kedua tanganku di dadanya, melepaskannya dari tubuhku.

"Siapa kamu...?"
Dia menatapku dengan sedih.

"Aku Jyo... Kamu tahu kan, Arsais...?"
DEG
Berbagai mimpi buruk yang sudah mulai mengendap di dasar hatiku sekarang bagai diaduk kembali.
Semua ingatan tentang dia mendadak kembali mencuat ke permukaan.

"Kamu bercanda..."
Ujarku tak percaya.

"Tidak, Alvin, aku terus mencarimu, dan beruntung aku bisa menemukanmu..."
Jyo memegang kedua tanganku dengan kuat, dan meletakkannya di dadanya.

Aku bisa mendengar detakan dadanya yang begitu tenang, mengalir.
Ya, detakan ini seperti detakan Jyo, tenang, dan teratur.

"Jyo..."
Lelaki itu hanya tersenyum dan menatap kearahku, tapi aku kembali mendorongnya dengan kuat.

"Alvin...?"
Dia menatapku dengan bingung.

Aku pun tidak mengerti, aku hanya bisa menatapnya tanpa berbicara.
Jyo kembali mendekat ke arahku, tapi aku segera menarik tubuhku.
Entah kenapa, hatiku memerintahkanku untuk mundur, membangun benteng untuk mencegahnya diserang sekali lagi.

"Sudah tertutupkah...?"
Jyo tersenyum lembut, senyuman yang sama dengan senyuman yang selalu kurindukan.

"Tidak apa apa...."
Dia menutup wajahnya, mengusapkan tangannya hingga menyisir rambutnya ke belakang.

"Aku sudah memberitahumu, dan aku menunggumu, menunggumu kembali siap, aku akan sekali lagi meminta hatimu..."
Jyo tersenyum, kemudian mengambil sebuah benda dari dalam tasnya.
Tiara hitam, tiara hitam seperti yang aku berikan padanya di game.

"Begitu kamu menghilang, hanya benda ini yang ada di tanganku, dan aku membeli barang aslinya dari perusahaan yang menjual merchandisenya. Semenjak saat itu, benda ini selalu ada di dalam tasku..."
Jyo mengulurnya ke udara, kemudian meletakkannya ke tangan kirinya, sebelum mengamit tanganku, dan memindahkan benda itu ke tanganku.

"Kupikir, aku belum waktunya menerima ini, tapi, kalau memang kamu bisa membuka hatimu lagi untukku, aku akan menunggumu memberikannya padaku sekali lagi..."
Jyo tersenyum sekali lagi, kemudian perlahan keluar dari kamarku dan menutup pintunya dengan lembut, meninggalkanku yang masih membatu.

Setitik cairan mengalir dari mataku.
Kuusap wajahku, dan kuacak rambutku.
Mengapa, setelah sekarang dia ada dihadapanku, aku malah sudah menutup hatiku.
Mengapa selalu aku yang dipermainkan oleh perasaanku.
Aku menutup wajahku dengan bantal, membiarkan airmataku mengalir dengan bebas, menumpahkan semua perasaanku.

***

"...Vin..."

"Alvin..."
Aku kembali tersadar setelah sebuah hentakan pelan di bahuku membangunkanku dari tidurku.
Sesosok lelaki menatapku.

"Kamu ketiduran? Matamu bengkak, kamu kenapa? Maaf, aku masuk ke kamarmu, soalnya aku kuatir tadi kamu gabisa dihubungi..."

"Dokter Christ?"
Pria itu mengangguk, dan mengambil posisi duduk di pinggir kasurku.

"Aku udah sms dan telpon berkali kali, tapi kamu ga balas. Sama pembantumu dibilang kamu ada dikamar, jadi aku naik."
Aku mengambil HP ku, dan benar saja, ada beberapa sms dan panggilan tak terjawab terdaftar di teleponku.

"Maaf, aku ketiduran..."
Christ tertawa pelan.

"Ga, ga masalah, aku yang harusnya minta maaf tadi bangunin kamu, Kamu ga kenapa kenapa...?"

"Enggak..."
Aku berbicara dengan datar, Christ mengangguk, tapi dari raut wajahnya jelas dia mengerti kalau aku berbohong.

"Yah, baguslah kalo ga kenapa kenapa, kamu udah makan? Aku bawa kue..."
Christ menyodorkan sebuah roti kepadaku, tapi segera menariknya karena aku hanya memandanginya dengan hampa.

"Yahh, kamu mau lanjut istirahat lagi aja? Kalau iya aku pulang..."
Christ mengemasi barangnya, dan melihat ke arahku.
Aku memegang tangannya, dan menggeleng.

"Yah, kamu mau cerita apa? Mungkin aku bisa bantu..."
Christ tersenyum lebar sambil mengusap rambutku.

"Hmm? Lho? Hei hei..."
Christ tampaknya terkejut, karena aku mendadak memajukan tubuhku, mendekatinya, dan mendadak memeluknya.
Aku tidak bisa menahannya lagi.
Sudah terlalu banyak masalah yang kutampung
sudah terlalu banyak kesedihan yang aku simpan.
Aku sudah tak mampu menahan apapun lagi dalam hati kecilku.
Aku membenamkan wajahku di dadanya, dan mengeluarkan seluruh kekesalanku dengan menangis.

"Ah...."
Aku bisa merasakan usapan lembut tangannya di kepalaku, dia membiarkanku terus menumpahkan perasaanku di dadanya.
Aku tidak perduli apapun yang dipikirkannya.
Aku pun bahkan sekarang tidak berpikir apa yang sedang aku lakukan.

"Kamu udah enakan?"
Sekitar sepuluh menit kemudian, aku mulai bisa menguasai kembali diriku, aku melepaskan tubuhku, dan mengangguk padanya.

"Hmm, Alvin yang jutek dan sinis ternyata bisa begini juga ya..."
Christ menatapku dengan senyuman tipis tergambar di wajahnya.

"Wahh, bajuku sampai basah, yasudahlah, kamu udah enakan kan?"
Christ memegang bahuku, kemudian meremasnya dengan lembut.

"Yahh, apapun masalahmu, aku yakin kamu pasti bisa melewatinya, apalagi dengan kepribadianmu, aku yakin kamu orang yang tegar. Apapun yang terjadi, dahulukan apa yang menurutmu harus kamu lakukan. Jangan biarkan apapun mempengaruhimu!"
Ia tertawa setelah selesai berbicara, kemudian mendekap bahuku, dan menarik tubuhku ke dekatnya.

"Yaah, kalau begini, mungkin darumaku bakal lama dapat sebelah matanya lagi..."
Christ mengedipkan sebelah matanya, dan tertawa, tapi kemudian segera menghentikannya dan menatapku lekat.
Ia menyeka sebulir airmata yang masih bertengger di mataku, kemudian tersenyum.

"Aku ga suka liat kamu yang kayak gini. Aku yakin kamu orang yang kuat. Wajahmu lebih cocok untuk tersenyum, kamu tahu...?"

"Entah kenapa, aku ingin melihatmu tersenyum...."
Christ melanjutkan monolog panjangnya sambil menatap lekat padaku.

"Jadi aku akan terus berjuang untuk senyumanmu. Siapapun yang berusaha mengambilnya akan berhadapan denganku..."
Samar aku melihat wajahnya memerah.

Christ mengalihkan pandangannya dariku sejenak, kemudian kembali menatap ke arahku.
Ia memandangku dengan lekat.
Cup
Bibirnya mendadak bertemu dengan bibirku, dia menciumku.
Aku tidak melawan, tubuhku menolak untuk melawan, aku membiarkannya menciumku, walau tak lama kemudian dia menariknya dariku.

"Maaf, Maaf! Aku, aku, jangan berpikir yang tidak tidak! Maaf, aku reflek!"
Christ tampak terkejut dengan perbuatannya sendiri, dia berusaha keras mencari alasan.

"Maafkan aku!"
Christ segera berdiri dari kasurku, kemudian mengambil tasnya.

"Ya, kamu sudah ga kenapa kenapa kan, kalau begitu aku tinggal sekarang ya..."
Christ mengangguk dengan kikuk, kemudian segera pergi meninggalkanku.
Aku mengambil telepon genggamku, kemudian mengetikkan pesan.

To: Christ

Thanks ya....

Aku menekan tombol hijau, menunggu sejenak, dan melemparkannya kembali ke sisiku.
Aku beranjak berdiri, dan menyalakan komputerku dan mengenakan perlengkapanku.

================================
==========WELCOME TO==========
======SUIKOWORLD ONLINE!======
================================

Warrior's Village, Scarlet Moon Empire

Rex's View

Aku mengerjapkan mataku.
Kutatap sekelilingku, berbagai karakter dengan wajah pemula tampak berlalu lalang di sekelilingku.
Suasana ini, suasana yang sudah begitu lama aku tinggalkan, dan sekarang kembali kurasakan.
Yah, aku memutuskan untuk kembali bertarung sekali lagi bersama teman temanku.
Tapi entah aku harus memulai darimana.

"Herald of Victory, kau kembali...."
Sebuah suara muncul dari dalam seberkas sinar yang perlahan membesar, dan sosok seorang wanita muncul di hadapanku.

"Lady Leknaat? Bagaimana kau bisa mengetahui aku kembali?"
Wanita itu tersenyum.

"Aku terus memperhatikan, menunggumu kembali, dan begitu aku melihat kau kembali, aku segera mengikutimu kemari..."
Aku mengangguk

"Jadi, kau sudah bersiap? Ikut denganku, karena kita berada di wilayah musuh saat ini..."
Leknaat mengangkat tangannya.

"Gate of Netherworld, open the gate to countless vicinity, let us travel through the world. Nether Gate!"
Ukiran ukiran berbentuk mantra kuno muncul, membentuk persegi dan menciptakan sebuah lubang dengan cahaya putih.

"Masuklah, Kita akan segera pergi ke Sindar Ruin, Soul Eater sudah menunggumu..."
Leknaat mendahuluiku, dan menghilang dibalik kilatan sinar.
Aku segera menutup mataku, kemudian berjalan melewatinya.

FLASH!

*********

Sindarin Ruins, Barren Land

Aku membuka mataku, pemandangan pertama yang muncul di depanku adalah ratusan tulang belulang dan reruntuhan batu, dengan sebuah bengunan yang tampak berumur ratusan tahun berdiri di tengahnya.

"Tempat ini adalah salah satu dari Sindar Ruins, satu dari 27 True Rune masih tersimpan di dalamnya.  Kami menyegel rune ini karena dia sadar..."

Sadar?
Apa maksudnya?

Leknaat membawaku maju menuju bangunan yang berdiri kokoh walaupun sudah dijalari berbagai tumbuhan di seluruh sisinya.

"Rune ini memang dibiarkan tertidur, karena dia sulit dikendalikan. Apa kau yakin kau siap menerimanya...?"
Aku menatapnya.

"Kenapa aku harus memilikinya...?"
Leknaat tersenyum.

"Tidak ada yang memaksamu untuk memilikinya, kekuatan, apapun yang kau inginkan, semua ada pada pilihanmu. Kekuatan inipun sama, apa kau ingin memilikinya, atau tidak..."
Leknaat menatapku dari kedua matanya yang selalu tertutup, kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke arah bangunan tua itu.

"Ini adalah rune terakhir, kemungkinan perang ini akan menyeret ke 27 true rune, dan ini adalah kesempatanmu untuk mengamankan Rune ini sebelum ia menjadi musuhmu. Keputusan ada padamu.."
Leknaat kembali menatapku.

"Yeah, aku akan mencobanya..."
Leknaat tersenyum, kemudian mengangkat tangannya.

"Rune ini adalah Rune yang ganas, cobalah yakinkan dia untuk bergabung denganmu. Bukan dengan kebohongan, tapi dengan dirimu apa adanya..."
Leknaat melangkah kesamping, membiarkanku menaiki anak tangga menuju ruangan itu.

Sebuah selaput hitam menutupi pintu bangunan itu.
Dengan ragu aku menutup mataku, kemudian melangkah menembus selaput itu.
Atmosfir yang begitu menekan tiba tiba segera mempengaruhiku, seakan mencoba menarik keluar nafasku dari paru paruku.
Sebuah suara bergemuruh menyambutku.

'Siapa Kau?'
Aku membuka mataku, sebuah bola dengan ukiran berbentuk jubah memegang sabit melayang di hadapanku.

"Siapa Kau?!"
Ujar bola itu lagi dengan tidak sabar.

"Aku calon pemilikmu."

"Ha? Bukankah kamu sedikit terlalu percaya diri? Sampai kau yakin AKU akan tunduk padamu?"

"Yeah..."
Suara tawa menggelegar memenuhi telingaku.
Suaranya seakan muncul dari dalam telingaku, bukan dari luar.

"Aku adalah Rune of Life and Death, menguasai kehidupan dan kematian, apa yang membuatmu berpikir kekuatan besarku akan kupinjamkan padamu?"

"Karena aku memerlukanmu..."

"Ha? Mendadak merendahkan dirimu? HAHAHAHAHA! JAWAB PERTANYAANKU! Kenapa kau begitu yakin aku akan menjadi milikmu?"

"Tidak ada, tidak ada kekuatan apapun padaku, aku tidak berkata aku akan memilikimu, aku ingin kau membantuku..."

"Menarik, tapi apa kau bisa menguasai kekuatan yang kuberikan? Kau tahu darimana ratusan tengkorak diluar? Kebanyakan dari mereka adalah orang yang dulunya berperang untuk mendapatkanku, tapi aku membunuh mereka semua..."

"Mengapa tidak, kita tidak akan tahu kalau belum mencoba..."

"Menarik sekali anak muda!Apa kau akan menyajikan hal menarik padaku...?"

"Para True Rune sedang berperang di luar sana..."

"Apa? Dan apa yang harus kupedulikan? Aku tidak pernah tertarik dengan manusia, karena itulah aku tidak menolak untuk disegel disini, menjauhkanku dari manusia manusia dan semua ego mereka"

"Aku akan membawamu maju dan berperang melawan mereka."

"Begitu...? Menarik. Berapa banyak nyawa yang akan kau habisi? Aku ingin tahu. Seberapa banyak yang bisa kau bunuh..."

"Aku akan menyelamatkan sebanyak mungkin."

"Ahh, sungguh tidak menyenangkan!"

"Bukankah kau Penguasa Kematian dan Kehidupan? Mengapa hanya kematian yang kau kejar? Bukankah kehidupan lebih berarti daripada kematian?"

"Manusia naif! Kau berusaha menyelamatkan orang sementara engkau berperang dan membunuh? Pada dasarnya kau hanya menyelamatkan pihakmu, tapi kau menghabisi musuhmu! Itu yang kau bilang menyelamatkan?"

"Tidak ada manusia yang memiliki hak untuk hidup dengan membunuh orang lain, itu adalah tujuanku berperang"

"................. Apa maksudmu? "

" Bukankah kau, Rune tentang kehidupan dan kematian bisa lebih memahaminya? Orang berpikir membayar kehidupan baginya dengan kematian orang lain, itulah yang terjadi disini."

"Lalu, apa engkau bisa mendapatkan kehidupan tanpa membunuh? "

" Karena itulah aku bertanya kepadamu, apakah kehidupan memang harus dibayar dengan kematian orang lain? "

".............. Pintar sekali...... Baiklah, kalau begitu, aku akan ikut denganmu, untuk melihat bagaimana idealismemu saat kau berada di depan musuhmu! Hahahahaha!"
Seluruh bayangan hitam di sekelilingku segera berputar cepat, kemudian segera masuk ke dalam tubuhku bersama dengan bola rune dihadapanku.
Rasa sakit luarbiasa menguasaiku, seakan tubuhku disobek menjadi dua.

"Bagaimana...?"
Aku membuka mataku saat rasa sakit itu menghilang, Aku tiba tiba sudah berada di beranda bangunan itu, dan Leknaat melihatku dengan kuatir.
Aku mengangkat tangan kananku, menunjukkan lambang berbentuk bayangan membawa sabit di tanganku.

"Kau berhasil meyakinkannya?"

Krak Krakk...

Belum selesai kami berbicara, suara retakan dan keretak bersambung memenuhi sekeliling kami.
Aku dan Leknaat segera membalik tubuhku, tumpukan tengkorak yang tadinya terserak mendadak tersusun, dan membentuk pasukan tengkorak yang berjalan terseok ke arah kami.
Mereka mengangkat pedangnya dengan lunglai.

"Undead! Mereka pasti tertarik dengan Rune mu! Gawat, waktunya kurang untuk membuka gate. Bersiaplah untuk bertarung!"
Leknaat mengatupkan kedua jempol dan jari telunjuknya.

"Creature of Darkness, I Open the gate for you! Come and Assist me! Leviathan!"
Sebuah pintu mendadak terbuka di atas kami, dan seekor naga berwarna biru menampakkan kepalanya, dan menyemburkan sinar biru disertai kilatan listrik ke arah tengkorang yang datang ke arah kami.
Tengkorak itu terserak, kemudian tersusun kembali dan maju perlahan.

"Tidak mempan!"
Leknaat menghela nafasnya dengan panik.
Apa aku harus mencoba kekuatan baruku?

"Leknaat, buka gate untuk lari, aku akan menahan mereka."
Aku mengangkat tangan kananku.

=Heh, bocah, sudah waktunya aku digunakan? Cepat sekali, mereka tampaknya, masih haus akan kekuatan, saat merasakan keberadaanku, mereja bangun untuk merebutnya! Manusia, sudah matipun masih serakah....! =

+Berisik, pinjamkan aku kekuatanmu+

=Hahahaha!=

"Conqueror of Death, Open the gate to the death, vanish their mortal soul and engulf their Life! Finger of Death!"
Sebuah meteor dengan sinar putih keunguan muncul dari sebuah gerbang bundar, mengitari musuh, dan melenyapkan siapapun yang tersentuh olehnya, sebelum akhirnya kembali ke dalam gerbang itu.

"Masih terlalu banyak..... Controller of Live and Death, steal their soul, and grant me immortallity! Stealer Soul!"
Lantai batu tempat tengkorak itu berjalan segera bersinar putih, dan ribuan cahaya berbentuk manusia melayang dari dalam tanah, muncul dan menarik keluar cahaya putih dari dalam pasukan tengkorak itu, dan membuat mereka berserakan ke tanah, sementara para arwah itu melayang ke atas, dan menghilang di langit.

"Sebentar lagi, sebentar lagi! Aku sudah hampir siap! Sepertinya ada error di game, daritadi aku tidak bisa menggunakan mantraku!"

GROARR!

Sigh, apa lagi ini, apa ini latihan perdanaku dengan rune ini?
Levelku langsung meningkat drastis karena dapat musuh sebanyak ini!
Tengkorak yang tadinya berserakan mengumpul menjadi satu, dan berubah menjadi sebuah monster raksasa mengerikan dari tumpukan tulang.
Oke, kupikir anjingku bakal lebih cepat menyelesaikan mereka daripada aku.

"Judge of Life, Punisher of Dead, Unleash your enraging power towards my enemy! JUDGEMENT!"

Enam malaikat berjubah dengan sabit raksasa di tangan mereka muncul dari lobang hitam di tanah dan terbang mengelilingi monster itu Mendadak sekeliling kami berubah menjadi kegelapan yang mengerikan dan kobaran api berwarna hitam bermunculan dari tanah. Kilatan sinar muncul dari para malaikat membentuk heksagram dan menjatuhi lingkaran dalam heksagram itu dengan ribuan sinar. suara dentuman yang memekakkan telinga memenuhi tempat ini.

Monster itu hancur berkeping keping, menyisakan ribuan potongan tulang yang tampak hancur dan terserak di sekeliling kami.
Aku menghela nafasku, dan memperhatikan tanganku.
Rune itu berpedar sejenak, kemudian kembali meredup.
Hmm, Aku tidak terluka? Tidak ada damage apapun dari rune ini? Baiklah....

"Gate of Netherworld, open the gate to countless vicinity, let us travel through the world. Nether Gate!"
Leknaat akhirnya berhasil membuka gerbangnya, kemudian memanggilku untuk segera memasuki gerbang itu.
Aku berdiri, mendekatinya, kemudian segera menutup mataku dan berjalan melewati gerbang cahaya itu.
================================

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro