Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Neverending Party

Suatu hari mataku terbuka. Di depan, aku mendapati daun pintu kayu jati kembar tua yang tertutup. Di sisi-sisi dan permukaannya yang setengah lapuk tersebut terdapat tanaman merambat berbunga kecil yang kelopaknya bagai tempurung sayap peri. Meskipun aku sendiri tidak yakin apakah peri-peri punya tempurung sayap seperti serangga atau tidak.

Kemudian aku pun bangun dari peti mati dan menepuk-nepuk gaun yang kotor kena debu dan tanah seribu tahun. Kaki tanpa alas ini mengambil langkah pertama mendekat. Kudapati sensasi dingin dan basah menyengat, lantas kulihat ke bawah, rupanya di bawah telapak ada genangan lumpur dan sekelompok kumbang kecil yang seukuran kuku kaki. Aku mendesah. Kalau tahu begini lebih baik aku tetap tidur saja di dalam petiku yang hangat dan kering.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Telapak kakiku sudah terlanjur basah, kotor, dan mungkin juga bau. Maka, kulanjut melangkah sembari sesekali menyenandungkan simfoni Bagatelle nomor dua puluh lima. Entahlah, aku sendiri tidak tahu kenapa simfoni yang bagai lulabi pengantar tidur itu tiba-tiba ke luar dari mulut. Padahal seharusnya aku tidak memiliki ingatan apa-apa tentang hidupku.

Aku bahkan tidak tahu siapa aku.

Tanpa sadar, langkah ini pun berhenti sembari kutatap daun pintu kembar di depan lamat-lamat lalu mendorongnya. Keras. Karena tidak sabar, jadi sekalian saja aku menabrakkan diriku ke sana. Duk! Tidak terbuka. Duk! Duk! Sekali lagi. Duk! Duk!

Setelah berkali-kali mencoba, rupanya pandanganku malah jadi berputar-putar. Pusing, pusing, pusing, pusing. Kemudian, saat hidungku mengeluarkan cairan merah yang menetes ke atas helai kain gaun, pintu tiba-tiba terbuka. Aroma manis dari segala macam kue dan jus buah seketika menyeruak ke udara, terbang dipermainkan udara hingga buat perutku bergejolak.

Di sana, di ambang pintu ada seorang anak. Tingginya jauh lebih pendek daripada aku. Kulitnya berwarna pucat kemerahan, persis seperti buah persik yang baru masak. Lucu sekali. Kedua netra ini lantas melirik ke arah rambutnya yang ikal dan berwarna pirang. Dia tampak seperti malaikat kecil yang selalu mejeng di dalam lukisan-lukisan rohani gereja.

“Halo,” katanya. Si Pendek menyapaku.

“H-halo,” jawabku gugup. Aku tidak tahu kenapa aku jadi gugup, padahal seharusnya aku biasa saja. Aku yakin itu.

Sepasang manik hijau terang milik si Pendek mengawasiku dari atas ke bawah seolah menelanjangiku hingga kulit terkelupas lalu tatapannya masuk ke dalam tulang. “Siapa namamu?”

Aku terdiam. Kucoba mengingat-ingat, tapi otakku yang tampaknya sudah direset ini tidak menyimpan informasi semacam itu. Lantas aku pun menggeleng dan berkata, “Aku tidak tahu. Kurasa aku tidak punya nama.”

Si Pendek seketika membisu di sana, netranya yang kehijauan bagai batu zamrud yang memantulkan sinar matahari itu menatap kosong.

“Kalau mau masuk harus punya nama.” Si Pendek akhirnya bersuara lagi. Bibirnya yang mungil itu mengeluarkan suara yang manis bagai gula-gula kapas. Kemudian aku pun menggigit bibir. Berpikir, berpikir, berpikir, dan berpikir.

Ketika satu lagi cairan merah menetes ke atas kain gaunku, aku seketika terpikirkan satu nama. “Elise. Namaku Fur Elise, tapi kamu bisa memanggilku Elise.”

Satu ukir senyum lebar muncul di wajah si Pendek. Bahkan sangking lebarnya, aku sampai berpikir kalau sebentar lagi gadis kecil itu akan merobek bibirnya sendiri. Namun, untunglah dia segera berhenti melebarkan senyumnya lalu meraih tanganku yang berkerak dipenuhi kotoran seribu tahun. Si Pendek menarik diriku perlahan, melangkah masuk ke ruang di balik daun pintu jati kembar.

“Aku yakin kalau kamu akan merasa senang di sini,” katanya sembari tersenyum manis, menunjukkan gigi kelinci dari balik belah bibir, “di sini selalu ada pesta. Pesta yang tidak pernah berakhir.”

Aku sempat terhipnotis dengan bagaimana cara si Pendek mendeskripsikan frasa pesta yang tidak pernah berakhir lewat suaranya yang lembut nan ringan. Kemudian begitu kaki telanjang ini menyentuh lantai keramik berwarna krem terang dengan sedikit pola abstrak berwarna hijau dan cokelat, cahaya-cahaya silau langsung menyambut netraku. Rasanya seperti naik ke atas sebuah mimbar batu di siang terik untuk diadili ramai-ramai atau saat dipaksa naik ke atas panggung pertunjukkan dan semua mata memandang hanya padamu.

Keduanya atau yang mana pun, aku tidak tahu pasti dari mana aku bisa mendapatkan gambarannya. Sebab seharusnya aku tidak ingat apa-apa pasca isi kepala direset oleh sesuatu yang misterius. Kedua manik milikku perlahan mulai beradaptasi dengan berbagai cahaya yang menyerang retina. Lantas, seolah melihat ayunan tongkat ibu peri, sebuah ruangan mungil dengan berbagai dekorasi muncul di depan mata. 

Masih dituntun oleh si Pendek, aku berjalan mengitari ruangan. Di dalam sini ada satu buah meja kayu bundar di tengah-tengah, lengkap dengan lima kursi yang di masing-masingnya duduk orang-orang asing. Tidak hanya anak remaja seusiaku yang duduk di pojok, tapi ada juga seorang kakek dengan gigi satu, wanita buta dengan netra putih, dan terakhir pria tampan bertopi tinggi.

Iya, serius. Dia tampan. Namun, ketampanan pria itu tidak berhasil mencuri fokusku sepenuhnya sebab netra ini langsung jatuh ke atas permukaan meja bundar. Di sana ada berbagai macam kudapan manis seperti roti kismis, kue jahe, gula-gula, kue mangkuk, dan bahkan ada juga barisan teko kaca yang diisi berbagai macam cairan warna-warni berbau nikmat.

Perutku langsung saja berbunyi setelah sekian lama tidak diisi. Aku pun segera menarik kursi, tak jauh dari perapian dan mengenakan sehelai kain putih yang tadi ada di atas kursi ke sekeliling leherku. Perutku yang kosong makin bergejolak diiringi dengan liurku yang menetes jatuh ke permukaan meja kayu.

Para penghuni pesta tersenyum lebar menyaksikan aksiku yang tampak kelaparan seperti kucing garong. Sementara itu si Pendek hanya terdiam di sisi lain ruangan sambil bertepuk tangan. Plok! Plok! Plok!

Semua orang di sana lantas ikut bertepuk tangan dengan bibir tersenyum lebar, seratus persen tidak keberatan dengan air liurku yang mengalir bagai sungai dari mulut ke atas meja. Sedangkan aku yang sudah tak tahan langsung menyantap makanan di atas meja layaknya seekor kucing menyantap ikan asin. 

“Enak! Ini enak sekali! Aku baru pertama kali makan kue jahe seenak ini!” kataku girang begitu berhasil menelan tiga buah kue jahe ke dalam mulut.

“Wah, terima kasih. Tentu saja itu enak. Makanlah yang banyak,” ujar si Pendek sembari mengawasiku.

Bagaikan anak yang disodorkan permen oleh orang asing, aku pun kini beralih mengambil sepotong roti kismis dan menjejalkannya ke dalam mulut tanpa curiga. Riang, senang. Hari ini aku senang sekali.

Kemudian para penghuni mulai ikut makan. Semuanya tampak seolah tersihir begitu satu jenis kudapan berhasil menerobos masuk ke mulut. Wajah orang-orang itu berseri dan mereka mulai makan dengan cepat. Karena tidak mau kehabisan, aku pun coba mengimbangi kecepatan makan mereka. Ajaibnya, kue jahe, roti kismis, dan kue mangkuk di piring selalu muncul dan muncul lagi.

Aku terdiam kagum sesaat. Ini surga! Ini pasti surga! Peti matiku telah mengantarku ke tempat bernama surga!

Rasa manis dan hangat yang datang bertubi-tubi bagai belai kasih sayang ibu berhasil memabukkanku. Aku seolah kembali hidup lewat jamuan-jamuan di pesta yang tidak pernah berakhir ini. Rasanya aku ingin satu dunia tahu, atau setidaknya seluruh orang di sini tahu kalau aku—

Aku muntah. Perutku rasanya seperti dihantam palu hingga mendorong tuas di mulut untuk terbuka. Ueek! Dari mulut terus keluar gelembung-gelembung mirip sabun dibarengi air liur. Sakit. Sakit. Sakit. Sakit. Sakit.

“Loh, Elise kenapa?”

Salah satu dari tamu pesta bertanya dengan nada polos, tapi aku tidak tahu siapa yang bersuara karena pandanganku buram oleh air mata. Mungkin saja itu si gadis remaja yang duduk di pojok. Sakit. Sakit. Sakit. Sakit. Sakit.

Gelembung-gelembung dan air liur terus keluar dari mulut seiring dengan dipukulnya perutku oleh palu besar transparan yang tak bisa kulihat. Kemudian, pandanganku semakin buram, putih sepenuhnya dan berangsur-angsur ruangan pun berubah menjadi sebuah panggung pertunjukkan.

Semua orang di sana berteriak sambil menunjuk-nunjuk aku yang kejang di atas lantai panggung dingin. Cahaya menyilaukan dari lampu sorot tetap mengarah kepadaku, membuat gelembung-gelembung yang disertai liur di lantai dan di sudut bibir bersinar layaknya mutiara.

Tak ketinggalan, cairan merah yang memantulkan cahaya lampu turut keluar dari kepala dan hidung akibat benturan hebat dengan marmer. Lantas, sayup aku mendengar alunan simfoni Bagatelle nomor dua puluh lima dari pengeras suara.

Lama-lama simfoni itu menjadi semakin jelas di telinga, mengalahkan jerit dan tangis horor milik para penonton berwajah pucat. Simfoni Fur Elise itu menjelma menjadi musik latar belakang pertunjukkan malam ini. Lalu seolah ada angin berembus, seketika aku ingat pernah menenggak beberapa butir pil warna putih. 

Tidak hanya satu kali, tapi berkali-kali secara rutin hingga isi botol kaca di genggaman hanya tinggal setengah. Pada saat itu, pikiranku teracuni oleh bisik iblis sampai seolah dunia ini terlihat menjijikan dan Tuhan adalah tempat pulang terbaik. Padahal aku dan dunia yang katanya jijik itu adalah ciptaan-Nya, lalu siapa yang coba aku bohongi di sini?

Ah, iya. Karirku selesai. Tidak ada lagi si penari hebat. Buat apa disukai orang banyak kalau bayaran untuk itu adalah hujatan tanpa henti di sosial media. Dadaku yang masih terasa dihantam palu gaib pada akhirnya menerima satu pukulan keras terakhir. 

Bam! Semua gelap. Aku mati.

🥨

Aku tidak kaget begitu kedua mata ini terbuka dan mendapati diri terbaring di dalam peti mati. Kedua jemari lantas menggenggam sisi-sisi benda kotak memanjang itu lalu aku pun bangkit dari dalamnya. Di depanku, si anak bersurai pirang dan berpipi merah bagai buah persik tersenyum lebar. Dia berdiri di depan daun pintu kembar yang tertutup. Iya, dia si Pendek.

"Selamat datang di pesta yang tidak pernah berakhir," katanya riang.

"Lagi?" tanyaku lirih. Perlahan-lahan, memoriku sewaktu masih hidup merangsek masuk ke dalam otak dan mengguncang diri ini. Itu pun kalau belatung-belatung dan serangga-serangga kecil masih punya hati untuk tidak membiarkan otakku tak habis digerogoti.

Si Pendek lantas meraih tanganku dan berkata bahwa aku kena hukuman. Hukuman berabad-abad yang memaksa aku untuk mengulangi siklus mati yang sama karena telah menyakiti hati Tuhan.

Tuhan tidak ingin aku mati, tapi pada hari itu aku memaksa mati.

Dan siklus ini ... akan terus berulang, katanya, sampai Tuhan mengampuni aku.

Selamat datang di neraka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro