Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

List - 19

Update lagi🤗😘

Pagi ini Duda datang dengan diantar ayahnya. Sebelum berangkat kerja mereka memesan makanan fast food yang memiliki drive thru sehingga mudah dibawa tanpa harus makan di tempat. Dua mendengarkan ayahnya berceloteh ria ingin mengajaknya berlibur ke Kolombia untuk menyaksikan keindahan panorama di sana. Ayahnya penikmat sejati cerita Pablo Escobar, gembong narkoba dari Kolombia. Setelah menonton film dan serial televisi menyangkut Pablo, ayahnya penasaran dengan negara Kolombia.

"Kamu ajak Mercu sekalian," ucap Arfin.

Duda diam cukup lama. Semalam dia tidak membalas pesan Mercurius dan hanya membaca saja. Dia terlalu malu untuk menanggapi pesan laki-laki itu. Bodohnya, dia malah membalas pesan Igor dan mengabaikan kekasihnya sendiri.

"Coba nanti Duda ajak," balasnya pelan.

Arfin menoleh sekilas melihat putrinya. "Kenapa nggak semangat gitu? Kemarin waktu kenalin sama Papa menggebu-gebu banget seakan dunia bakal kiamat kalau nggak direstui."

"Mercu lihat Duda jalan sama Igor," akunya dengan kepala menunduk.

"Bentar, apa? Igor mantan kamu?"

"Iya, Pa."

"Astaga, Duda!" Arfin geleng-geleng kepala tidak percaya. "Kamu ngapain lagi, sih, ketemu sama Igor? Buat apa? Lebih baik fokus aja sama hubungan kamu sama Mercu."

"Duda mau mastiin perasaan, Pa. Papa sendiri, kan, tahu Duda cinta banget sama Igor." Duda menoleh ke samping menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Tapi ... Duda takut nyakitin Mercu. Kalau ternyata Duda masih cinta, gimana dengan Mercu?"

Di depan sana lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Tidak banyak basa-basi, Arfin mengusap kepala putrinya sambil sesekali memantau lampu lalu lintas. Arfin menghela napas bingung. Arfin tidak mau putrinya terluka lagi dan menangis sampai sesegukan seperti dulu. Momen itu sangat menyakitkan untuknya. Arfin merasa gagal menjaga dan mengawasi putrinya dari laki-laki seperti Igor.

"Nak," Arfin mengusap kepala Duda sekali lagi. "Perasaan nggak bisa kita ubah semudah membalik telapak tangan. Kalau memang kamu masih cinta, jangan dikejar lagi atau kembali ke tempat yang sama. Kamu tahu sendiri dia udah menyakiti kamu. Dia berani menyelingkuhi pacarnya. Laki-laki yang pernah selingkuh nggak akan pernah berubah kecuali dia sekarat. Kalaupun ada, itu langka. Igor belum tentu berubah. Omongan laki-laki nggak bisa dipercaya, Nak. Hari ini bilang cinta, besok bisa aja bilang benci sama kamu. Papa nggak mau kamu terluka lagi, lebih baik jalani hubungan dengan laki-laki yang nggak akan menyakiti kamu, contohnya Mercurius."

"Papa tahu dari mana Mercu nggak akan nyakitin Duda?"

"Papa cari tahu masa lalunya. Dia punya pengalaman yang sama seperti kamu. Bedanya hubungan dia sama tunangannya lebih lama. Lebih baik pacaran sama orang yang punya masa lalu menyedihkan daripada pacaran sama laki-laki yang semena-mena dengan perempuan."

Duda mengusap wajahnya. Kata-kata ayahnya benar. Arfin menyadari kekalutan yang dirasakan putrinya. Sebelum lampu lalu lintas berubah hijau, Arfin menarik putrinya dan menyandarkan kepala Duda di pundaknya. Bagi Arfin, putrinya akan selalu menjadi putri kecilnya dan selalu begitu meskipun menikah nanti.

"Papa sayang sama Duda. Jangan buat keputusan gegabah dan syukuri apa yang udah ada. Bertahan dengan seseorang memang sulit, tapi bukan berarti terjebak dalam lubang yang sama jauh lebih mudah. Pilih yang membuat kamu bahagia. Jangan sampai nangis lagi. Papa sedih," ucap Arfin lirih.

"Iya, Pa."

Duda menarik diri dan menatap ayahnya yang tidak pernah berhenti menunjukkan betapa besarnya kasih sayang itu untuknya. Duda mengangguk. Ayahnya sebaik ini berusaha agar dia tidak disakiti dan memilih laki-laki yang salah. Akan lebih bodoh kalau dia memilih laki-laki yang menyakitinya bukan?

💋💋💋

Mercurius hanya punya waktu beberapa hari sebelum kembali disibukkan dengan latihan untuk turnamen nanti. Sebelum dia menghilang, dia ingin bertemu dengan Duda lebih dahulu untuk membicarakan hubungan mereka. Mercurius menunggu Duda di restoran Mac and Love. Dia tidak masalah kalau ada yang melihatnya bersama Duda. Lagi pula orang-orang tahunya dia adalah salah satu penghuni di apartemen ini.

Sudah tiga puluh menit menunggu dan mendengarkan lagu-lagu lawas tahun 80-an, Mercurius belum mendapat balasan apa pun dari Duda. Kalau memang Duda tidak mau datang dan hanya membaca pesannya, ya sudah. Mercurius akan menghampiri secara langsung ke kantor dan berbicara di sana.

"Hei."

Suara yang familier mendengung di telinga Mercurius. Hal itu membuat Mercurius menoleh dan menemukan Duda melempar senyum tipis. Tiba-tiba Mercurius merasa sedih. Mercurius jadi ingat bagaimana Zoriona hanya menyapanya dengan satu kata 'hei' sebelum mengakui perasaannya yang tidak lagi sama.

"Gue pikir lo nggak datang," kata Mercurius berusaha tenang.

Duda tidak mungkin tidak datang setelah kemarin tertangkap basah berdua dengan Igor dan parahnya lagi Alim memberi tahu Mercurius akan foto itu. Duda ingin membicarakan masalah ini secara langsung setelah Mercurius mengajaknya bertemu. Duda yakin Mercurius mengajaknya bertemu untuk membahas masalah itu.

"Mana mungkin. Mac and cheese di sini enak. Gue nggak mau ketinggalan makan bareng lo," balas Duda, yang kemudian duduk di depan Mercurius dengan senyum yang lebih lebar.

"Glad to hear that." Mercurius balas tersenyum. Sambil menyodorkan buku menu, dia menambahkan, "Sebenarnya gue tahu lo suka yang original, tapi lebih baik dipilih dulu. Siapa tahu mau coba yang lain."

Duda mengambil alih buku menu yang diberikan padanya dan membuka tiap lembar yang ada. "Oke, gue pilih dulu. Mau coba yang lain."

Mercurius memperhatikan Duda dengan senyum yang masih terukir sempurna. Dia bisa melihat raut wajah Duda sedikit lebih rileks dibandingkan saat pertama kali datang menyapanya. Setidaknya Mercurius tidak perlu mendengar kalimat yang tidak ingin didengar setelah Duda duduk.

"Omong-omong, selama beberapa hari ke depan atau tepatnya semingguan, gue mau latihan. Tapi kali ini nggak bakal benar-benar nggak buka hape. Gue usahain buka hape di sela latihan gue. Biar gue bisa dengar pacar gue ngoceh sebagai hiburan," mulai Mercurius.

Tangan Duda berhenti saat mendengar ucapan itu. Pandangannya beralih pada Mercurius yang tetap tersenyum. "Ada turnamen lagi? Oke, jangan lupa telepon. Kalau lo nggak telepon, gue samperin."

Mercurius tertawa kecil. "Iya, samperin lebih bagus biar lo lihat betapa kerennya gue."

"Narsis," cibir Duda.

Suara tawa Mercurius mulai menghilang. Mercurius menatap serius tanpa senyum. "Gue serius, kok. Kalau lo mau nyamper, itu lebih bagus. Jadinya gue punya vitamin dan semakin semangat. Lo bakal nyamper, kan?"

"Maybe later."

"Later ada batasnya, kan? Bisa iya atau nggak sama sekali."

Duda bingung harus mengatakan apa. Setiap kali memandang Mercurius perasaan bersalahnya muncul. Duda menggerakan bibirnya dan mulai mengumpulkan keberanian untuk membahas masalah kemarin.

"I'm sorry," mulai Duda.

"For what?"

"Gue nggak bilang sama lo jalan sama orang lain, bukan Adrian. Kak Alim pasti udah kasih lihat foto gue makan berdua orang itu, kan? Orang itu mantan gue."

Mercurius menarik senyum tipis. "Anggap aja gue nggak lihat kemarin. Tapi lain kali tolong jujur. Gue lebih suka lo jujur daripada menghindar. Lagian gue nggak bisa mengekang atau larang lo ketemu dengan siapa pun yang lo mau temui. Selama lo bilang, itu aja cukup. Kemarin gue anggap kakak lo udah wakilin lo. Jadi, nggak apa-apa."

Mata Duda berkaca-kaca. Kalau laki-laki lain pasti akan memaki atau memarahinya bukan? Kenapa Mercurius tidak melakukan hal seperti itu? Memarahinya dengan keras?

"Gue bicara begini bukan karena nggak marah. Salah banget. Gue marah dan kesal. Kalau bisa gue samper lo kemarin. Tapi buat apa? Gue lebih suka dengerin lo bicara seperti ini secara langsung dan ngomong pahitnya di depan gue," lanjut Mercurius.

Duda tidak bisa menahan diri. Air mata yang sudah di ujung pelupuk mata luruh bagaikan air terjun. "Sialan," umpatnya sedih. Duda tidak menyangka respons Mercurius akan seperti ini. Perasaan bersalahnya jadi semakin besar dan membuatnya sedih. "Sialan. Gue benci banget sama lo."

Mercurius bangun dari tempat duduknya, lalu duduk di samping Duda. Dengan merangkul pundak kekasihnya, Mercurius membiarkan Duda bersandar. Mercurius berucap dengan lantang. "Hati-hati, lho, benci bisa jadi cinta melebihi luasnya samudera," candanya mencoba mencairkan suasana.

Duda tidak menjawab lagi dan menangis. Mercurius menarik Duda dalam pelukannya dan mengusap kepala perempuan itu berulang kali. Mercurius mencoba menghibur sambil tetap tersenyum.

"Gue cinta sama lo, Duda. Banget," aku Mercurius.

Mercurius tahu Duda menangis karena perasaan bersalahnya. Ya, Duda sebenarnya tahu tindakannya salah, tapi tetap dilakukan sehingga membuat rasa bersalah menguasainya. Justru hal itulah yang menusuk hati Mercurius. Dan ingatan buruk Mercurius akan masa lalunya muncul, membuatnya takut Duda akan melakukan hal yang sama: meninggalkannya demi seseorang yang lain. 

💋💋💋

Jangan lupa vote dan komen kalian🤗🤗🤗😘

Follow IG: anothermissjo

Btw, ye, aku punya 1 cerita khusus buat ceritain kisah adiknya Igor yang namanya Kabut wkwk tapi tunggu ini tamat dulu yaaa ehehe

Ada salam dari Mercurius >_<

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro