Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

List - 12

Yuhuu update😘🤗

Setelah kerinduan membludak, api-api yang tertahan pun membara dalam gelora panas kegiatan intim. Duda dan Mercurius meleburkan rasa mereka malam ini. Memberi ruang untuk diri mereka saling membelai dan menjamah tubuh masing-masing.

Mereka baru mengakhiri setelah gelora-gelora penuh nafsu padam oleh kelelahan. Mereka membiarkan oksigen dihirup banyak-banyak untuk menetralkan napas yang terengah-engah.

Entah sudah berapa banyak kondom yang diikat dan dibuang ke dalam tempat sampah. Mereka tidak mau menghitung kegilaan malam ini. Sebab, setelah mereka menghabiskan waktu bersama, mereka akan dipisahkan kembali dengan kesibukan Mercurius.

"Mau makan apa, Baby Girl? Biar gue masakin," tanya Mercurius setelah keluar dari kamar mandi selesai membersihkan diri.

Duda sudah mengganti pakaian dengan mengenakan kemeja milik Mercurius. Dia mengenakan celana dalam miliknya yang sengaja ditinggalkan di apartemen Mercurius. Beberapa pakaian pun dia tinggalkan supaya kalau mau ganti pakaian lebih mudah tanpa perlu pulang. Akan tetapi, dia ingin mengenakan kemeja Mercurius supaya bisa mengingat wangi laki-laki itu.

"Pancake!" sahut Duda.

"In the middle of the night?"

"Iya. Memangnya pancake cuma untuk sarapan doang?"

"Nggak juga. Ya udah tunggu."

Mercurius beranjak keluar kamar, sedangkan Duda masih berguling ria di atas tempat tidur. Duda menatap langit-langit kamar Mercurius yang cerah dan terang.

Merasa bosan, Duda mengambil ponselnya. Walau dia jarang bertemu Nahla belakangan ini, dia sering bertukar pesan dengan sahabatnya itu. Duda pun mengirim pesan kepada Nahla, ingin mengajak sahabatnya bertemu dan clubbing. Sudah lama Duda tidak clubbing.

Pada saat yang sama, tiba-tiba ponselnya berdering. Duda melihat layar ponsel yang menampilkan nama Alim sebagai id-caller. Duda segera menjawab panggilan sang kakak.

"Di mana lo?" cecar Alim di seberang sana tanpa basa-basi.

Dua menyahuti malas. "Rumah teman."

"Teman yang mana?"

"Kenapa, sih? Telepon, tuh, yang lembut, kek. Jangan suaranya ngamuk-ngamuk gitu. Gue aduin Papa baru tahu rasa!"

"Gih, ngadu. Gue mau jemput lo. Di mana?"

"Gue bisa balik sendiri. Gue bukan bocah tahu."

"Heh! Kalau bukan karena Papa telepon terus minta gue jemput lo, gue nggak akan jemput lo. Lagian lo bikin orang khawatir mulu heran. Kirim lokasi lo sekarang. Jangan banyak ngoceh."

Sebelum Duda sempat menjawab, Alim sudah lebih dulu mematikan sambungan. Detik berikutnya dia mendapatkan notifikasi pesan masuk berisi omelan Alim untuk segera mengirim alamat. Duda tidak langsung membalas. Biar saja Alim kesal.

Duda memilih keluar dari kamar, meninggalkan ponselnya di atas nakas. Pada saat yang sama, bunyi bel pintu apartemen terdengar. Duda pun segera membukakan pintu saat menyadari Mercurius sibuk memasak. Sebelum dibuka, Duda mengintip dari peephole.

"Shit!" umpatnya pelan.

Tidak jadi membuka pintu, Duda berlari masuk ke dalam. Dia menghampiri Mercurius.

"Kak, Kak, itu abang gue datang," ucap Duda setengah pelan sambil menunjuk pintu.

"Hah? Siapa?"

"Alim!"

"What?!" Mercurius ikut panik. Kalau ketahuan dia menahan Duda di sini, habislah dia. Secepat mungkin dia menarik Duda ke dalam kamarnya dan berhenti di dalam walk in closet. "Lo tunggu sini. Jangan berisik. Oke?"

"Oke, oke. Kalau bisa lo usir dia balik, Kak."

"Iya. Lo tunggu situ. Kunci dari dalam."

Mercurius segera keluar dan beranjak menuju pintu utama. Dia mendengar suara bel berbunyi berulang kali berkat ulah Alim––yang katanya menjadi sosok di luar sana.

Begitu pintu dibuka, Mercurius menemukan Alim datang membawakan botol wine. Ditenteng-tenteng oleh Alim. Kalau melihat Alim seperti ini, dia yakin Alim sedang galau. Tidak biasanya manusia itu membawa wine. Jangan lupa pula, toleransi alkohol Alim paling payah di antara dirinya dan Mario.

"Mer, gue numpang minum wine, ya," kata Alim, yang kemudian segera masuk ke dalam unit apartemen Mercurius dengan membawa wine.

"Harusnya lo telepon dulu, kek, biar gue ajak Mario sekalian," balas Mercurius.

"Galau."

Mercurius mengernyit. Oh, tumben? Siapa yang membuat galau Alim yang terkenal dingin dan anti perempuan? Hanya ada satu nama yang muncul di kepala. Pasti Paska. Namun, dia tidak berani menebak. Mau pura-pura tidak tahu. Mercurius mengikuti Alim dari belakang.

"Kok, bau gosong?" Alim mengendus aroma gosong yang menguar kuat.

"Sialan! Gue lagi masak pancake!"

Mercurius lari terbirit-birit meninggalkan Alim. Seperti kata Alim, pancakenya hangus saat dibalik. Mercurius segera mematikan kompor dan meletakkan pancake di piring.

"Gue telepon Duda nggak jawab lagi. Gue mau jemput. Ngeselin banget, tuh, anak," gerutu Alim, yang kini sudah duduk di depan meja dapur seraya meletakkan botol wine.

Mercurius menuang kembali adonan pancake. Kali ini lebih hati-hati supaya tidak gosong. Sambil menyibukkan diri, dia menoleh sekilas. "Kenapa, sih, Lim? Biarin aja. Adik lo udah gede. Dia bisa pulang sendiri."

"Gue tahu, tapi bapak gue nggak bisa tenang kalau gue, kakak-kakak yang lain, atau sopir jemput."

"Gue belum cerita, ya, Duda pernah kecelakaan?"

Kalimat Alim menarik perhatian Mercurius. Dia mengecilkan kompornya, lalu berbalik badan. "Belum. Kecelakaan mobil?"

"Iya. Bukan kecelakaan parah, sih, tapi orang tua gue sampai nangis-nangis. Duda cuma syok aja terus tangannya luka. Habis adik gue nangis-nangis telepon bokap soal si monyet itu, nggak lama dia nabrak tiang papan reklame. Untungnya, itu tiang kuat dan Duda nggak ngebut. Memang lagi nggak fokus aja. Jadi, kalau lo nggak pernah lihat Duda nyetir mobil itu karena bokap gue nggak izinin. Kalau pun dia nyetir sendiri, gue pasti pantau dari belakang ikutin dia," cerita Alim.

Mercurius baru mengetahui cerita kecelakaan ini. Soal mantannya Duda, dia tahu. Namun, dia tidak pernah mengira ada kejadian lain yang membuat orang tua Duda khawatir setengah mati.

Alim menghela napas. "Lagian heran kenapa percaya aja sama mulut manis laki-laki, sih? Laki-laki bajingan banyak. Harusnya dia bisa pilih-pilih pacar. Modelan Igor aja dipacarin. Bego banget adik gue."

"Namanya cinta, Lim." Mercurius berbalik badan, lalu membalik pancake. Syukurlah yang satu ini tidak gosong. "Lo pasti gitu, deh. Nggak peduli orang ngomong apa tentang perempuan yang lo cinta, bagi lo, dia perempuan terbaik. Salah satu hal buruk saat lo jatuh cinta adalah lo nggak mendengarkan pendapat orang lain tentang pasangan lo. Soalnya kebahagiaan yang lo dapat meski sikapnya nggak banget udah membutakan."

Alim diam sejenak. "Make sense." Lalu, dia mencoba menghubungi ponsel adiknya sekali lagi. Meskipun terhubung, tidak ada jawaban. Pandangannya pun beralih ke belakang. "Btw, tadi gue lihat heels Prada. Lagi ada pacar lo di sini?"

Mercurius tersentak. "Oh, bukan. Sepatu sepupu gue."

"Oh." Alim ber-oh-ria. "Mirip punya Duda. Dia punya sepatu heels itu hadiah dari bokap gue. Waktu itu ngotot banget minta dibeliin langsung dari Milan. Pas sampai gue pikir heels yang dia mau ada sayap gitu, nggak tahunya heels biasa. Heran."

Mercurius menoleh sekilas sambil nyengir. "Sepupu gue juga gitu, kok. Dia nitip heels itu biar bisa gonta-ganti pas mampir sini. Sepatunya kebanyakan jadi dia suka nitip di rumah sepupu yang lain." Kemudian, dia mengangkat pancake yang sudah matang ke atas piring.

"Mending sepatu lah, ya. Sepupu gue yang perempuan rada sinting. Ninggalinnya celana dalam. Lo bayangin, deh, kalau gue punya pacar terus lihat, tuh, celana dalam ada di lemari apartemen gue bisa dikira punya selingkuhan. Heran. Ada aja kelakuan absurd sepupu gue," celoteh Alim.

Mercurius tertawa kecil. "Ya, namanya juga sepupu, Lim. Biar gimana masih keluarga."

"Iya, sih." Alim memandang layar ponsel. Adiknya masih tidak menjawab panggilan. "Ah, elah ... gue makin kesel. Nih, anak ke mana, sih?" Lantas, dia bangun dari tempat duduknya. "Gue nggak jadi minum, deh. Titip dulu botol wine ini. Gue mau cari Duda di Jack Black. Tolong bantu gue teleponin Duda, ya, Mer. Kalau lo tahu dia di mana kabarin gue atau lo jemput, deh. Pusing kepala gue."

"Iya, Lim. Santai aja. Nanti gue kabarin lo." Mercurius bisa bernapas lega sekarang. "Lo nggak mau makan dulu?"

"Makan apaan?"

"Pancake."

"Nggak, deh. Lo mirip Duda banget makan pancake malam-malam. Makan yang bergizi, Mer."

Mercurius nyengir. Kenapa Duda tidak memberi tahu kalau perempuan itu punya kebiasaan makan pancake malam-malam? Hampir saja dia pasang wajah kaget kalau tidak menahan diri.

"Iya, nanti."

"Ya udah, gue cabut dulu. Thank you udah dengerin ocehan gue, Mer. Duluan, ya." Alim turun dari tempat duduknya, lalu beranjak meninggalkan dapur.

Mercurius menemani Alim sampai ke luar dari apartemen. Setelah memastikan Alim pergi menjauh, Mercurius menutup dan mengunci pintu, lalu dia berlari menuju kamar untuk memanggil Duda.

"Duda?" panggilnya seraya mengetuk pintu.

Tidak perlu waktu lama pintu terbuka lebar. Duda memasang wajah cemberut.

"Lama amat, deh. Gue capek nunggu tahu, Kak," dumel Duda.

Mercurius mengusap kepala Duda berulang kali. "Sori. Kakak lo curhat dulu tadi."

"Curhat apa?" 

"Rahasia laki-laki."

Duda berdecak. "Idih! Sok-sokan. Gue lapar, nih. Yuk, makan! Gendong sekalian, Kak."

"Anything for you, Princess." Tanpa ragu Mercurius menggendong Duda, membawanya pergi ke luar kamar menuju dapur dan mendudukkan perempuan itu di meja makan.

Mercurius tidak mau cerita apa yang Alim ceritakan. Cukup dia yang tahu. Mercurius tidak mau Duda teringat lukanya lagi.

💋💋💋

Mercurius mengamati Duda yang tengah berjoget ria di bawah sana mengikuti alunan lagu bersama beberapa teman perempuan. Dia menemani Duda clubbing. Kemarin untungnya dia berhasil mengelabui Alim dengan bilang pesannya dibalas Duda dan akan mengantar pulang. Jadi, Alim tidak mencurigainya.

Mercurius terlalu malas turun. Dia hanya memantau dari ruang VIP di lantai atas dengan jendela yang terbuat dari serba kaca. Mercurius mengajak sahabatnya bertemu.

"Duda nggak bakal lari sama laki-laki lain, Mer. Tenang aja. Nggak usah diperhatiin mulu," tegur Brave Prambadi, sahabat baik Mercurius.

"Halah! Macam lo nggak gini aja kalau merhatiin Jiwaya dulu. Lo pantengin mantan lo berjam-jam biar dia nggak lari ke pelukan yang lain," balas Mercurius setengah meledek.

Brave nyengir sambil garuk kepala. "Dulu, kan, lagi buta-butanya, Mer. Cinta banget gue, tuh."

"Iya, iya, sampai rela jadi selingkuhan."

"Sialan!" Brave melempar bantal sofa ke arah Mercurius. Sahabatnya itu tidak menangkap sehingga mengenai punggung.

Mercurius tertawa puas sambil memungut bantal yang tergeletak di lantai, lalu menuju sofa dan duduk setelahnya. Mercurius memeluk bantal yang dilempar Brave, menyandarkan tubuh di punggung sofa.

"Omong-omong, cara jitu nolak perempuan gimana, Mer? Jiwaya resek banget. Masih aja telepon. Gue capek banget ngadepin dia," cerita Brave.

"Blokir nomornya atau ganti nomor."

"Lo begitu dulu sama Zoriona?" ledek Brave.

"Gue ganti nomor, sih, meski ujungnya gue kasih tahu dia." Mercurius menjawab dengan tawa pelan.

"Sialan. Gue pikir lo nggak bakal tergoda buat nggak infoin nomor baru. Susah, deh, ngomong sama orang bucin."

Mercurius geleng-geleng kepala. "Sadar diri wahai buciner sejati. Lo juga sama aja."

Brave tertawa pelan seraya meneguk vodka dari gelas slokinya. Mercurius tidak mau minum alkohol malam ini, dia harus mengantar Duda pulang.

Saat mereka hendak berbincang lagi, suara ketukan pintu terdengar. Mercurius mempersilakan si pengetuk pintu untuk masuk. Rupanya bukan orang lain atau pegawai kelab melainkan Duda.

"Sayangkuuuu!" Duda berlari masuk dan segera duduk di atas pangkuan Mercurius.

"Duda, tolong, Duda. Ini ada gue, lho," celetuk Brave.

Duda melihat Brave, lalu menjulurkan lidahnya. "Sori, Kak. Gue mau nyapa ayang tercinta dulu."

Tanpa aba-aba Duda menangkup wajah Mercurius, lalu mencium bibirnya dengan mesra. Mercurius ikut membalas ciuman Duda seraya memegang kedua sisi pinggang ramping Duda agar tidak jatuh. Sementara itu, Brave geleng-geleng kepala menyaksikan adegan yang tidak sepatutnya dilihat.

Suhu tubuh Duda panas seperti terbakar. Berbeda dengan suhu tubuh Mercurius yang dingin. Perbedaan suhu mereka membuat tubuh kian menempel untuk saling mengisi satu sama lain. Ciuman pun semakin intens.

"Wah ... gila. Gue cabut, deh," ucap Brave, yang kemudian meninggalkan ruangan agar dua insan itu bisa leluasa melakukan yang mereka inginkan.

Baik Mercurius maupun Duda tidak memperdulikan ucapan Brave. Mereka masih saja membiarkan bibir bertaut dalam perang bibir yang bergelora. Seakan tidak cukup hanya saling mencium, tangan mereka mulai bergerak lincah ke tempat-tempat sensitif.

Pada akhirnya mereka bercinta. Di atas sofa dengan menyerukan nama masing-masing, menyatukan diri dalam gelora membara, dan menghapus segala penat dalam benak.

Di sela-sela kegiatan panas mereka, saat bibir tidak lagi saling menjamah, tapi bagian lain yang sedang sibuk, ada kalimat yang cukup mengganggu telinga.

Mercurius berbisik pelan, dengan suara parau dan setengah mengerang. "I love you, Duda."

Duda belum mabuk untuk tidak mendengar ucapan itu. Pupil mata Duda melebar. Apa Mercurius baru saja mendeklarasikan perasaannya? Duda takut salah dengar, sialnya, dia tidak bisa mempertanyakan karena gerakan di bawah sana menghancurkan seluruh konsentrasinya.

💋💋💋

Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘🤗❤️

Follow IG: anothermissjo

Ini kalo kalian nanya seberapa sering Duda sama Mercu bercinta, tentu mirip lagunya Jungkook yang Seven hahahaha everyday🙃🫠 pokoknya ada aja waktunya tiap hari cuma kan aku ga mungkin masukin adegan nananinu mereka di setiap cerita🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro